Menu
Menu

Berjuang menjadi diri yang lain seharusnya dipertimbangkan dengan modal yang kita punya.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Kedutul, Ruteng.


Kita sering bertemu dengan seseorang lalu menjadi sedikit bingung sebab dia tak seperti yang kita pikirkan.

Kau tentu pernah mengalaminya: ada gambar yang cukup jelas di kepalamu tentang orang yang akan kau temui dan kau membangun harapan atasnya sembari menyesuaikan dirimu pada sasaran.

Internet memudahkan semuanya. Beberapa kata kunci akan mengarahkanmu pada lingkaran yang kau tuju, kata kunci yang lebih spesifik mengecilkan lingkaran itu, kata kunci yang tepat memunculkan profilnya dengan jelas; gambar subyek yang dicari terpampang dalam berbagai pose. Dengan tambahan kesabaran, kau buat gambarmu semakin jelas sebab kau (merasa) telah mengenal karakternya. Foto terbarunya adalah hasil extreme close-up shot, menampilkan jarak antara alis dan matanya yang tampak dekat.

Artikel yang kau baca menjelaskan bahwa model alis mata macam itu hanya dimiliki oleh orang yang sangat loyal, setia, baik dalam berkomitmen, dan biasanya memiliki hubungan yang lama dalam hal percintaan. Beberapa waktu kemudian kau berpikir, seharusnya dia memiliki alis yang tinggi, seharusnya jarak antara mata dan alisnya lebih lebar; dia begitu sulit dijangkau humor-humor yang telah kau siapkan.

Sesungguhnya itu bukan kali pertama pertemuan pertamamu dengan seseorang tidak berjalan lancar. Kau pernah membayangkan penulis favoritmu adalah pribadi yang terbuka, easy going, pokoknya asyik. Pada suatu kesempatan bertemu, yang sebelumnya telah membuatmu menyiapkan bahan-bahan yang menyenangkan untuk dipercakapkan dan pertanyaan-pertanyaan tentang cara dia menciptakan karakter-karakternya, kau menghabiskan waktumu untuk berjuang mendengar kalimat-kalimat sepanjang kalimat ini Usaha yang kemudian kau tahu sia-sia belaka. Dia lebih banyak tersenyum, menunduk, sesekali mengangguk, dan tiga puluh menitmu selesai. Kau menghakiminya, kan?

Saya baru saja menonton Not Okay. Film ini berkisah tentang media sosial yang ternyata bisa membawa petaka. Saya sudah tahu itu, tentu saja. Media sosial tidak semata tempat yang menyenangkan. Kita berbahagia bertemu teman-teman lama di sana. Kita bersenang-senang selama beberapa waktu sampai akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah dengan kita yang tidak sebahagia mereka. Foto-foto mereka di media sosial begitu luar biasa. Tertawa bersama, berpesta, healing ke pantai, dan lain-lain—berbeda dari hidupmu yang kau rasa datar. Kau memerlukannya: tampil ceria di media sosialmu agar mereka juga melihatmu sebagai seorang dari antara mereka. Tetapi bagaimana melakukannya? Bagaimana kita melakukannya? Saya pernah melakukannya. Menampilkan diri yang lain, diri yang berbeda dari situasi nyata. Toh, ini hanya dunia maya. Begitu kita membenarkan diri.

Not Okay, film garapan Quinn Shephard tidak persis begitu. Tetapi mirip. Kita selalu berjuang menjadi relevan. Seperti Danni Sanders (Zoey Deutch) dalam film itu. Danni yang tidak punya banyak teman di kantornya, Danni yang ingin jadi kekasih seorang influencer (yang adalah teman sekantornya juga), Danni yang ingin menunjukkan ke semua orang bahwa dia juga bisa sesekali ke luar negeri (yang kira-kira berarti bahwa dia bukan orang main-main, bukan sembarang orang).

Lalu Danni berbohong ke bosnya bahwa dia akan ke Paris untuk satu kegiatan kepenulisan. Oh, iya. Danni bekerja di satu media online tetapi tulisannya tidak pernah viral. Padahal dia ingin relevan. Kegiatan di luar negeri itu adalah salah satu hal yang dipikirkannya sebagai salah satu hal yang akan membuat dia menjadi lebih dihargai sang bos. Izin keluar, tetapi Danni tidak ke terbang ke Paris. Dia hanya berbaring di kamarnya di New York, menyunting fotonya, menempelkannya pada salah satu tempat wisata di Paris. Diunggah ke Instagram, lalu tidur. Yang terjadi kemudian sama sekali di luar perhitungannya. Hanya beberapa saat setelah ‘foto Paris-nya’ diunggah, sebuah aksi teror terjadi di Paris. Di tempat yang dipilih Danni sebagai latar liburan palsunya itu. Bisa tebak yang terjadi kemudian?

Orang-orang yang melihat unggahannya di Instagram serentak mengira bahwa Danni ikut jadi korban aksi teroris di sana. Semua menelepon, mengkhawatirkannya, bertanya apa yang sedang dia lakukan sekarang, mendaraskan doa semoga Danni baik-baik saja. Danni bingung. Jujur atau meneruskan pekerjaannya sebagai diri yang lain? Dia memilih yang terakhir. Pilihan yang membuatnya terlibat pada kebohongan-kebohongan lain, kebohongan-kebohongan yang mau tidak mau harus diakhiri dengan kejujuran yang menyakitkan. Danni jadi bahan meme, Danni harus menyembuhkan dirinya, Danni harus berjuang kembali ke dirinya sendiri, Danni sadar bahwa berjuang menjadi diri yang lain sama sekali bukan pilihan yang bijak.

Tetapi media sosial bukan satu-satunya sumber soal dewasa ini. Gaya hidup orang lain juga bisa jadi alasan lain. Teman, tetangga, saingan, orang-orang dekat; rumput tetangga yang selalu lebih hijau itu. Seperti kehidupan pernikahan Amara dan Baron dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma yang akhirnya berantakan karena tak kuat dengan godaan ‘kesejahteraan’. Betapa sering kita menyaksikan itu setiap saat. Betapa sering kita mendengar para motivator berkotbah tentang pentingnya taking risk, the more you take the great life will be yours. Lalu kacau. Amara putus asa, Baron tak kunjung kaya, cinta yang dibangun sejak usia muda menjadi sia-sia.

Tidak ada yang salah, tentu saja, dalam hal mengambil risiko. Yang salah adalah kealpaan kita menghitung kekuatan sendiri: berjuang menjadi diri yang lain seharusnya dipertimbangkan dengan modal yang kita punya—menghitung cadangan risiko. Tetapi seberapa sering kita menyadarinya?

Orang-orang kerap tampil berbeda dari diri mereka yang sesungguhnya. Mereka ingin dikenal sebagai diri yang lain. Diri yang tidak berhasil kita jangkau, diri yang tidak ada di etalase media sosial, diri yang berusaha disembunyikan sebab merasa publik tidak akan menghargai itu. Karena itulah kadang kita melihat beberapa orang begitu ganas di media sosial, membongkar-bangkir ketidakberesan yang sedang terjadi (dan oleh karenanya mendapat simpati publik) tetapi tidak lama setelahnya diketahui sebagai seseorang yang tidak semegah itu keberaniannya. Dia berhenti bicara karena merasa posisinya terancam. Ini bisa terjadi di dunia apa saja. Sastra, ekonomi, politik, you mention it.

Apakah kita lantas harus kecewa?

Dunia yang kau kenal sesungguhnya berlapis-lapis. Menghakimi seseorang hanya karena penampilannya yang pertama ternyata tidak sesuai dengan yang kau ketahui kemudian, tentu tidak dianjurkan. Apalagi menghakiminya beramai-ramai. Kita semua punya diri yang lain. Sedangkan yang kita tampilkan saat ini adalah diri yang lain yang lebih relevan. Sampai kapan?


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Demonstrasi dan Pertanyaan-Pertanyaan
Masa-Masa Emas


Komentar Anda?