Menu
Menu

Kerja kolaborasi harus dimaknai secara baru. Bagaimana melakukannya?


Oleh: Maria Pankratia |

Mengelola Program untuk Klub Buku Petra dan Flores Writers Festival. Penerima Beasiswa Beyond Projects and Spaces 2022 oleh Goethe Institut Indonesien.


Pada satu sesi lokakarya bersama kawan-kawan Lakoat Kujawas di bulan April 2022, salah satu peserta, Mama Meti namanya, menanyakan hal ini kepada saya: “Kaka Mar, jadi apa bedanya kerja manajemen seni atau manajemen produksi itu dengan kerja-kerja kepanitiaan? Karena semua yang Kaka Mar jelaskan barusan, kami su pernah bikin. Hanya memang, alurnya belum serapi yang Kaka Mar bikin ini.”

Pertanyaan Mama Meti membuat saya terlempar jauh ke belakang, ke masa-masa ketika masih aktif bergabung dengan komunitas dan organisasi. Masa-masa itu, saya mengenal adanya perbedaan antara kepengurusan dan kepanitiaan. Pengurus adalah mereka yang memikirkan keberlangsungan suatu komunitas atau organisasi, sedangkan kepanitiaan adalah tim kerja sementara yang dibentuk apabila komunitas/organisasi mengadakan kegiatan tertentu sebagai wujud tindak lanjut dari program-program yang telah disusun.

Kebiasaan atau kondisi di atas yang kemudian memberi pemahaman baru kepada orang-orang di sekitar saya tentang Manager Program. “Pekerjaan macam apa itu? Bikin-bikin acara saja toh maksudnya?” Demikian mengurus program atau acara masih dipandang sebelah mata atau dianggap sepele di lingkungan saya. Termasuk oleh saya sendiri. Dulunya.

Sejak diminta mengelola Klub Buku Petra di Ruteng pada tahun 2019, saya datang dengan segala kekosongan—di kemudian hari, saya memahami bahwa memang seharusnya demikian laku seorang Manager Program. Semua diawali dari nol. Mengurus legalitas lembaga, membuat daftar koleksi buku sebanyak kurang lebih 3000 judul, kemudian membangun sistem peminjaman yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhan masyarakat di Kota Ruteng. Mengelola bincang buku bulanan serta platform media dalam jaringan yang para redakturnya tidak berada di kota yang sama. Hingga akhirnya mengerjakan Flores Writers Festival. Semua tentu saja tidak terlepas dari tantangan dan macam-macam kendala. Saya kemudian baru paham bahwa posisi Manager Program itu penting. Sangat penting malah karena ia menjadi pusat dari keberlangsungan suatu institusi/komunitas/lembaga.

Pada bulan November 2021, saya mendapat sebuah pesan yang diteruskan oleh seorang teman tentang Program Beasiswa Beyond Projects and Spaces yang diselenggarakan oleh Goethe Institut Indonesien untuk para Manager Seni/Manager Program di dua negara, Indonesia dan Thailand.

“Someone with multiple hats, each poses its challenges. Sometimes, not specialized.” Demikian istilah “Manager Seni/Manager Program” seperti yang didefenisikan oleh salah satu peserta diskusi tertutup yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut pada Agustus 2021.

Mengisi formulir aplikasi hibah dan evaluasi, memoderasi konflik, memastikan kesejahteraan seni, dan lain sebagainya, hanyalah beberapa dari tugas sehari-hari yang dilakukan oleh Manager Seni/Manager Program saat ini. Lebih dari itu, mereka diharapkan dapat mempertahankan eksistensi sebuah inisiatif atau institusi dalam menghadapi pelbagai situasi yang menantang. Untuk melakukan itu, mereka harus terampil dalam menggunakan pelbagai perangkat lunak, bekerja secara efisien dan etis, serta memperhatikan wacana dan tren terbaru. Terlepas dari perannya yang signifikan, Manager Seni/Manager Program seringkali tidak memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Akses ke pelatihan lebih lanjut terbatas. Ini adalah kesempatan “belajar sembari melakukan” dan pada saat bersamaan menjadi rutinitas yang disertai tekanan dalam menghadapi tenggat waktu.

Sebagai bagian dari Program Budaya, Goethe Institut juga banyak bekerja dengan seniman, kurator, dan penyelenggara acara dari pelbagai bidang, dan menyadari banyaknya permintaan/kebutuhan akan Manager Seni/Manager Program yang kuat, terlatih, dan bersimpatik. Oleh karena itu, Goethe Institut dengan senang hati menawarkan program khusus yang didedikasikan untuk individu-individu yang sangat dibutuhkan ini.

Didukung dalam kerangka pembelajaran komunal: setiap peserta diberi keleluasaan untuk memilih kolaboratornya (co-produser) yang telah berpengalaman dan bersedia mendukung proses belajar selama enam bulan, serta bersama-sama mengembangkan sebuah program sebagai karya kolaborasi. Di akhir program, para peserta juga diharapkan mendokumentasi seluruh proses dalam bentuk satu tulisan panjang (esai) yang akan membahas beragam pendekatan, nilai, dan pandangan mereka terkait Manajemen Seni/Manajemen Program.

Tertarik untuk mendalami kerja-kerja manajerial yang telah saya lakukan selama ini serta keinginan untuk meningkatkan kapasitas saya sebagai pengelola program di Klub Buku Petra, saya pun mendaftar. Kabar baik itu datang sebulan kemudian. Aplikasi saya diterima dan saya menjadi salah satu dari tiga partisipan yang berasal dari Indonesia. Selain saya, ada Novan Effendy; seorang aktivis dan praktisi budaya yang tengah berupaya melestarikan Lampion Damar Kurung dari Gresik, Jawa Timur sejak tahun 2010, dan Alifah Melisa dari Milisifilem Collective yang diprakarsai oleh Forum Lenteng, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus kepada pengembangan studi sosial dan budaya melalui eksperimen visual.

Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya kemudian menyusun daftar hal yang ingin saya pelajari dari kolaborator dan tentu saja program apa yang mesti kami kerjakan bersama-sama sebagai proyek akhir dari fellowship. Sejak lama saya memperhatikan pergerakan literasi patjarmerah, berkunjung dari kota ke kota, mendekatkan buku dengan para pembaca serta menghadirkan beragam perbincangan menarik di setiap sesinya. Saya tentu saja memiliki harapan bahwa suatu saat bisa melakukan hal yang sama di Flores. Oleh karena itu, ketika Goethe Institut memberi kesempatan untuk memilih sendiri kolaborator, pilihan saya jatuh kepada patjarmerah. Kami akan menyelenggarakan Pasar Buku di Flores Writers Festival. Demikian mimpi besar saya.

Sementara itu, jika bicara tentang hal-hal yang ingin saya pelajari, sebagian besar adalah hal-hal teknis terkait pengelolaan Pasar Buku, Manajemen Keuangan dan Pelaporan, serta Pengelolaan Media yang sesuai dengan kebutuhan saat ini. Tetapi begitulah yang namanya proses, pada akhirnya tidak semua hal yang ada di dalam daftar tersebut bisa terpenuhi. Beberapa hal harus saya tangguhkan dulu, sebab ternyata ada hal lain yang jauh lebih penting yang mesti saya pelajari dan pahami dengan sungguh-sungguh. Pengalaman berikut ini, mengubah total cara pandang saya terhadap Kerja Manager Program.

Kolaborasi/ko·la·bo·ra·si/ n (perbuatan) kerja sama

Pengalaman saya saat menjalani masa residensi di patjarmerah serta berkeliling ke beberapa komunitas di Indonesia, membawa saya kepada permenungan yang cukup lama. Setelah kembali dari perjalanan yang panjang selama kurang lebih empat bulan; bertemu para pengelola penerbitan, pengelola gudang buku, serta para penulis—sepuluh di antara para penulis tersebut ternyata sudah pernah menulis untuk bacapetra.co, mendatangi Mataram dan Berastagi untuk melihat dari dekat bagaimana patjarmerah mempersiapkan dan mengelola program Aksilarasi Subsektor Penerbitan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia bersama kawan-kawan komunitas setempat, berkunjung ke Lakoat Kujawas di Mollo dan bertemu kawan-kawan di Ruang Sajange, Ambon, untuk melakukan penelusuran tentang makanan dan obat-obatan tradisional; perjalanan dan pertemuan-pertemuan tersebut memporak-porandakan isi kepala saya.

Ketika menjalani proses ini, saya belajar bagaimana melakukan pendekatan kepada kawan-kawan, baik secara komunitas/lembaga maupun sebagai individu. Setiap daerah, setiap komunitas/lembaga, dan masing-masing individu memiliki keunikannya yang tidak serta-merta bisa kita pahami dalam waktu yang singkat. Kita tidak bisa datang lalu menerapkan metode yang sama. Ketika akan berkunjung ke tempat yang baru, kolaborator saya selalu mengingatkan saya untuk menanggalkan seluruh yang telah melekat pada saya selama ini. Latar belakang budaya dan tradisi saya, pendidikan dan pengetahuan yang telah saya miliki, serta cara pandang saya terhadap apa pun. Saya harus datang dengan kekosongan dan memperhatikan secara keseluruhan, dari pelbagai macam sisi.

Ini merupakan tantangan terberat untuk saya baik secara pribadi maupun sebagai seorang Manager Program. Saya harus lebih banyak melihat dan mendengarkan, ketimbang berbicara. Saya harus memahami kebutuhan kawan-kawan sebagai komunitas maupun sebagai pribadi dan memosisikan diri seperti mereka sehingga saya bisa mewujudkan program yang sesuai dengan kebutuhan maupun harapan bersama.

Hal lain yang saya pikir perlu saya bagikan adalah sebagai orang muda di Nusa Tenggara Timur, beberapa tahun terakhir, kami memiliki isu–yang kurang lebih persis yang saya temukan dalam perjalanan ini–tentang sebagian besar orang-orang dari luar yang datang ke NTT dan melakukan penelitian atau pun mengadakan program, selalu datang dengan standar mereka dan memperlakukan warga tempatan sebagai objek. Apa yang mereka kembangkan seolah-olah menjadi pilihan terbaik dan tepat untuk daerah kami. Pada situasi ini, saya kemudian berusaha keras untuk menghindari hal semacam itu. Memakaikan ukuran baju saya ke tubuh orang lain. Rupanya itu bukan sesuatu yang mudah. Menjadi orang yang rendah hati dan memahami, tidak semudah ketika kita mengatakannya.

Di sesi terakhir di Ruang Sajange, Ambon, pertanyaan lain muncul dari salah satu peserta. Pertanyaan yang cukup menohok. “Jika kami melakukan hal-hal ini (baca: kerja penelusuran dan penulisan kembali tentang makanan/penganan khas Ambon) kami akan dapat apa atau untungnya buat kami apa? Apa bedanya ketika kami mengerjakan ini masing-masing dan ketika kami mengerjakan ini dalam satu kelompok tertentu seperti yang kita lakukan saat ini?”

Pertanyaan ini menjadi tamparan yang kuat sekaligus sesuatu yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Selain itu, benar adanya bahwa tidak semua niat baik akan selalu mendapat tanggapan yang positif. Pertanyaan yang sama, sempat kami ajukan juga dua tahun lalu kepada salah satu kementerian yang yang menyelenggarakan sebuah program di Labuan Bajo. Saat pertanyaan tersebut muncul kembali, dan kali ini justru ditujukan kedapa saya, saya hampir tidak bisa menjawabnya. Saya menghabiskan waktu beberapa menit untuk diam. Kata-kata yang telah sampai di ujung lidah, saya masukan kembali ke tenggorokan. Pertanyaan seperti ini bukan membutuhkan jawaban yang benar, melainkan jawaban yang tepat.

Mau tidak mau, saya membandingkan kedua tempat yang telah saya kunjungi. Jika di Lakoat, semua berjalan lancar dan menyenangkan, kami bahkan berkolaborasi menyusun program dan menjalankannya, maka di Sajange, kolaborasi adalah satu kata yang mesti dimaknai ulang. Kolaborasi harus dilihat dari pelbagai sudut pandang yang berbeda, menjadi satu kata yang perlu didefinisikan kembali agar di kemudian hari tidak menimbulkan sesuatu yang buruk seperti kekecewaan atau kerugian bagi satu sama lain. Bahkan dengan orang-orang yang kau rasa sudah cukup lama mengenal mereka, atau kawan-kawan lintas-komunitas yang kau pikir selama ini memiliki ideologi atau pemikiran yang sama. Bagaimanapun, rasa setara antara satu sama lain; baik yang tetap tinggal, yang datang lalu akan pergi, bahkan yang duduk dan bertukar gagasan sehari-hari, haruslah adil sejak dalam pikiran. Sejak awal program dibicarakan. Mendadak, saya merasa posisi Manager Program yang diberikan kepada saya selama ini, belum tepat.

Saya menyadari, saya menjadi pribadi yang berbeda setelah menyelesaikan masa fellowship ini. Saya merasa perlu berupaya lebih keras lagi untuk terus menjadi kertas kosong atau papan tulis kosong yang siap diisi dengan coretan apa pun, atau gelas kosong yang siap dituangi air hingga meluap. Saya harus menjadi telinga yang senantiasa mendengar dengan saksama, seperti cermin yang memantulkan hal-hal baik, menjadi spons yang menyerap hal-hal menyenangkan, serta serupa saringan yang membuang ampas yang tidak bisa lagi digunakan. Saya harus mampu memahami kebutuhan, mengelola hal-hal sehingga bisa mewujudkan sesuatu yang berharga dan berguna, baik bagi diri saya sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika menjalani masa-masa persiapan Flores Writers Festival di bulan Juni hingga Oktober 2022, saya memulainya dengan lebih hati-hati. Menyusun konsep kegiatan, menyiapkan strategi pelaksanaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lokasi di mana festival akan dilaksanakan. FWF juga mengajak kawan-kawan komunitas, baik yang ada di Ende maupun yang ada di daratan Pulau Flores untuk berkolaborasi mengerjakan beberapa program. Dalam proses ini, saya terus dibayangi dengan pelbagai pertanyaan untuk diri saya sendiri maupun tim yang saya terlibat di dalamnya, sebisa mungkin memeriksanya terus-menerus, berulang-ulang, apakah yang saya lakukan ini sudah tepat, sudah sesuai dengan harapan dan kebutuhan semua orang? Sebab menjadi Manager Program juga adalah bagaimana meminimalisir kekecewaan sehingga tidak tercipta dusta dan dendam di antara kita. Semoga niat baik kita selalu dibarengi ketulusan dalam menciptakan karya serta menjalankan kerja-kerja yang diyakini demi kemaslahatan orang banyak.

Flores Writers Festival 2022 telah terselenggara pada 29 September – 1 Oktober 2022 di Ende. Mengangkat tema Mari Bermain di Halaman (Mai Kea Bēgo Gha Wēwa Sa’o). Selain Pasar Buku, beberapa program lain yang juga ikut dilaksanakan adalah Seminar Budaya, Bincang Tematik, Telaah Karya, Showcase Komunitas, Pameran Permainan Tradisional, Pameran Aksara Lota, Ruang Mendongeng, serta Malam Pertunjukan. Tentu ada banyak peristiwa yang memberi pengalaman baru, baik yang menggembirakan maupun yang kurang menyenangkan selama masa persiapan hingga festival selesai. Semuanya menjadi pelajaran dan hikmat yang baik bagi saya dan kawan-kawan yang terlibat serta berproses bersama-sama untuk FWF.

Tulisan ini saya kerjakan sebagai catatan akhir dari Program Beyond Projects and Spaces yang telah saya jalani sepanjang bulan Februari hingga Juni 2022. Semoga permenungan ini mendatangkan manfaat, juga perubahan dalam kerja-kerja program maupun kerja kolaborasi kita di masa mendatang. Terima kasih kepada Goethe Institute Indonesien untuk kesempatan berharga ini, juga kepada sahabat, teman, dan kenalan yang saya jumpai selama program berjalan. Semoga kita semua tetap diberkati dengan kesehatan, panjang umur perjumpaan dan pengalaman baik, sampai bertemu di lain waktu. Salam dari Ruteng.(*)


Baca juga:
Panjang Umur Gerakan Literasi Nasional
Tiga Tahun yang Menyenangkan


Komentar Anda?