Menu
Menu

BANYAK cerita yang aku dengar setiap malam dari nenekku. Tentang masa kecilnya atau tentang para tentara Jepang yang sering mengincar gadis-gadis di masa remajanya. Alzheimer.


Oleh: Yonetha Rao |

Lahir di Oebeo, Noemoti, Timor Tengah Utara, 21 April 1992. Menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Timor, Kefamenanu, TTU. Ia pernah mengajar di Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores. Buku-bukunya yang sudah terbit adalah kumpulan puisi Tangisan Sang Perawan (Kupang: Penerbit Lima Bintang, 2011) dan Surat Cinta dari Yesus (Yogyakarta: San Juan, 2020). Saat ini ia berdomisili di Yogyakarta.


“Kamu siapa?”

Pertanyaan itu terucap dari mulut nenekku beberapa tahun silam ketika aku mengunjunginya di rumah Mama Besa Agnes, tempat ia dirawat oleh keluarga anak perempuan tertuanya itu.

Ya, ia tak lagi mengenaliku. Dan sebetulnya bukan hanya diriku yang tak ia kenali. Anak-cucunya yang lain pun akan mendapatkan pertanyaan yang sama. Bahkan yang lebih menyedihkan bagi kami, beberapa waktu terakhir ia juga lupa pada namanya sendiri.

Aku keluar dari kamar nenek, duduk di sudut luar rumah Mama Besa dan terisak kecil. Bagaimana mungkin ia lupa padaku? Lupa pada semua nama anak-anaknya sendiri? Aku tak mampu menahan rasa sesak di dadaku. Aku ingat seminggu sebelumnya ketika ia ditanya oleh Elsa, kakak sepupuku, apakah ia masih ingat nama suaminya, ia justru memberikan jawaban yang bagi orang lain mungkin bakal terdengar lucu. Namun tidak bagi kami anak-cucunya tentu saja.

“Oh, si Yosef yang sudah tiada itu ya?” celetuknya dengan kedua mata sedikit mengawang.

“Bukan, Nenek! Itu nama papamu. Nama suamimu Cornelis dan ia masih hidup. Ia menunggumu pulang,” tukas kakak sepupuku.

Ia berpaling pada Ka Elsa dengan tatapan bingung. Keningnya berkerut, dan sambil tertawa kecil ia berkata, “Ya, ya, dunia ini penuh dengan banyak cerita.”

Lalu ia menunjuk segelas air di atas meja di samping ranjangnya. Mama Besa buru-buru meraih gelas itu dan menyodorkannya kepada sepupuku yang membantu Nenek minum.

“Siapa anak perempuan yang tadi menciumku?” tanyanya ketika Ka Elsa meletakkan kembali gelas ke atas meja.

“Nek, itu Janet. Anak Mama Veronika.”

Ia kembali menatap kakakku dengan bingung sambil menggeleng-gelengkan kepala. Merunduk, katanya kemudian: “Saya tidak mengenalnya.”

Mendengar ia berujar demikian, dari luar kamar aku berteriak keras dengan air mata berlinang, “Nek, ini saya Janet! Saya Janet yang dulu sering temani Nenek tidur dan membantu Nenek non tais dan beti!

Tak tahan, aku berlari ke dalam kamar nenek, memeluk tubuh rentanya, mengusap wajahnya dan membelai rambut putihnya dengan penuh sayang. Ia terdiam menatapku. Tiba-tiba aku teringat pada sebuah lagu yang dulu sering kami nyanyikan ketika hendak tidur malam.

“Saya mau ikut Yesus, saya mau ikut Yesus sampai selama-lamanya. Meskipun saya susah, menderita dalam dunia, saya mau ikut Yesus sampai selama-selamanya.”

Perlahan aku pun mendendangkan lagu itu. Kulihat ia menatapku sambil tersenyum tenang lalu mulutnya mulai bergerak-gerak. Ia mencoba ikut bernyanyi bersamaku. Kami mengulangi lagu itu beberapa kali hingga akhirnya ia tertidur.

Ketika ia benar-benar telah pulas tidur, aku masih saja terus menyanyikan lagu itu dengan suara kecil sambil menatapnya. Pikiranku membawaku ke masa kecil ketika aku sering bersamanya dan kakek. Setiap pagi ia akan bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan membuatkan kue pisang untukku. Kalau aku menolak untuk membawa kue pisang itu ke sekolah, ia akan menaruhnya dalam lemari makan sambil berkata, “Pulang sekolah nanti, ingat makan kue ini.”

Aku masih duduk di bangku SD kala itu. Dan setiap pulang sekolah, aku yang berumah dua, rumah orang tuaku dan rumah kakek-nenekku, lebih memilih beristirahat di rumah kakek-nenek. Nenek akan menyuruhku berganti baju kemudian menyendokkan nasi dan lauk-pauk ke piring, menyuruhku makan sambil berpesan, “Jangan lama-lama makan, nenek menunggumu di lopo untuk non tais.”

Non adalah kegiatan meluruskan benang tenunan di salak atau sebuah bingkai kayu yang panjang sebagai proses awal menenun kain tais dan beti. Setelah benang-benang dengan berbagai macam warna itu sudah tertata rapi di atas salak, mengapit motif yang sudah jadi, maka salak akan digantung untuk memastikan benang-benang itu tidak kusut sebelum ditenun. Kegiatan non itu terkadang melelahkan, membuatku jenuh, apalagi ketika teman-teman sebayaku sudah memanggilku untuk bermain petak umpet. Maka aku pun mulai memberi seribu alasan pada nenek yang disambutnya dengan jawaban lembut, “Kalau kamu sudah lelah, cukup sudah. Kita lanjutkan saja besok.”

Sore harinya aku mesti kembali ke rumah orang tuaku yang tak begitu jauh dari rumah nenek. Setelah mandi dan beristirahat secukupnya, barulah pada malam harinya aku datang kembali untuk menemani nenek tidur.

***

Banyak cerita yang aku dengar setiap malam dari nenekku. Tentang masa kecilnya atau tentang para tentara Jepang yang sering mengincar gadis-gadis di masa remajanya. Lalu ia menunjukkan kepadaku tato di tangannya. “Kalau orang-orang Nippon itu melihat gadis pada masa itu bertato, maka tahulah mereka bahwa si gadis sudah bersuami. Meskipun sebagian cuma akal-akalan kami saja agar tidak dibawa oleh para Nippon itu, termasuk Nenek.”

Ia pencerita yang baik menurutku. Ia ingat setiap detail kejadian di masa hidupnya tanpa melewatkan satu cerita, bahkan ia dapat menyebut nama lengkap keempat belas anaknya dengan cepat beserta tempat dan tanggal lahir mereka. Kendati suaminya adalah seorang guru pada masa Nippon yang sering berpindah-pindah tempat mengajar, ia tetap bisa mengingat dengan baik di tempat mana anak kesekian lahir, di waktu pagi, malam atau sore. Juga bidan atau dukun beranak siapa yang membantunya melahirkan. Bahkan ia mengenang setiap kenakalan anak-anaknya yang laki-laki dan bagaimana kakekku menghukum mereka dengan cara membuat bedeng untuk ditanami lada, pala, dan cengkeh. Saat itu Kakek sedang bertugas mengajar di Seoam, sebuah desa dekat kaki gunung Mutis yang tanahnya amat subur.

Di suatu malam yang lain ia akan berkisah bagaimana ia bertemu kakekku lalu mereka menikah, dan di lain waktu lagi ada cerita tentang tahun-tahun paceklik dan kakekku yang saat itu punya beberapa ekor kuda mesti menunggang kuda bersama beberapa orang anaknya pergi ke tempat yang punya cukup makanan untuk menukar beberapa potong baju yang masih bagus dengan bahan makanan. Hingga akhirnya mereka berhasil melewati tahun-tahun yang sulit itu. Ia mengakhiri ceritanya dengan kalimat yang datar: “Jangan pernah berhenti berdoa, dalam keadaan tersulit pun sebab kita tak akan pernah terjatuh sampai tergeletak.”

Ia sering pula berkisah tentang pastor-pastor Belanda atau para misionaris Portugis yang ia kenal dan menyebut nama mereka dengan jelas. Yang membuatku kagum, ia bahkan menghafal doa-doa dalam bahasa Latin dengan baik. Ia dan kakek selalu rajin berdoa rosario. Ketika lima orang putranya beranjak dewasa, ia berdoa memohon agar Tuhan berkenan memilih salah satu anaknya menjadi pelayan bagi-Nya dan sesama. Meski dari empat orang anak laki-lakinya yang ia kirim ke sekolah seminari, hanya satu yang kemudian menjadi pastor.

Siang itu ketika aku menangis sendirian di sudut rumah, anaknya yang menjadi pastor itu mengambil cuti dan datang mengunjunginya di rumah Mama Besa. Nenek menatap putra keduanya itu seperti keheranan. Tanpa beban ia bertanya kepada sang anak, “Kamu siapa? Apakah hari ini cuaca cerah?”

Pamanku menunduk untuk memeluk dan menciumnya. “Ini aku anakmu, Pater Gabriel,” bisik pamanku ke telinga ibunya. Ia menatap pamanku sekali lagi, kali ini sambil mengulum senyum. “Apakah Tuan mau mendoakanku?” tanyanya dengan sepasang mata berbinar.

“Janet, tolong ambilkan kursi untuk Oom,” tukas kakak sepupuku melihat paman kami masih tegak di depan tempat tidur Nenek. Mendengar itu, aku baru tersadar. Bergegas aku beranjak dari tempat dudukku sambil mempersilakan pamanku untuk duduk di kursiku. Om Pater Gabriel menarik kursi lebih dekat ke ranjang ibunya, lalu mengulurkan tangan mengenggam jari-jemari ibunya. Keduanya, anak dan ibu, saling memandang.

Kemudian, perlahan paman mencoba mengajak ibunya untuk bercakap-cakap. Ia bercerita kepada sang ibu tentang tugas pelayanannya, tentang orang-orang yang ia jumpai, tentang anak-cucu nenek. Paman berusaha membangkitkan memori ibunya akan banyak hal. Tetapi nenekku hanya menatapnya dalam diam. Aku merasa ia tak lagi memahami cerita-cerita yang disampaikan oleh pamanku meskipun kedua matanya menatap lekat pada wajah putranya itu.

Aku percaya bahwa kelembutan dalam setiap kalimat yang disampaikan oleh pamanku adalah salah satu cara berkomunikasi yang lain dengannya. Aku berdiri di pintu kamar dan memandangnya dalam senyum ketika pamanku selesai bercerita dengannya. Ia masih memperhatikan wajah pamanku sebentar lalu melemparkan matanya kepadaku dengan pandangan asing. Yang tak pernah aku kenali ketika aku masih kanak-kanak dan sering menghabiskan waktu bersama dengan dirinya.

“Kamu siapa?” tanyanya cukup lantang, dengan suara yang terdengar menyimpan rasa curiga.[*]

Catatan:
Tais: Sebutan untuk kain tenun bermotif yang dikenakan perempuan suku Dawan di Timor.
Beti: Sebutan untuk kain tenun bermotif yang dikenakan laki-laki suku Dawan di Timor.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Teratai Merah Isan
Gadis Keningar dan Onthel Belanda


1 thought on “Alzheimer”

  1. Ella berkata:

    ✨????

Komentar Anda?