Menu
Menu

Kertas itu menjelma sayap kupu-kupu kuning. Ribuan sayap gugur perlahan di hadapan Ma. Ma senyum. Ma selalu senyum.


Oleh: Sasti Gotama |

Penulis. Kumpulan cerpennya Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (Diva Press, 2020) menjadi salah satu buku rekomendasi Tempo 2020, nominee Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2021, dan pemenang I Hadiah Sastra “Rasa” 2022. Buku terbarunya berjudul “B” telah diterbitkan oleh Diva Press awal tahun 2022 ini.


Sepatu kuning tali jingga. Ma membungkuk dan menyimpul tali sepatuku. Jaket kuning tudung merah. Ma mendongak, merapikan jaketku. Ke mana kita, Ma? Kutanya-tanya dengan tidak sabar. Jika sepatu kuning bertali jingga keluar, itu artinya jalan-jalan. Ma mendongak. Ia tersenyum. Kupu-kupu telah lahir di bukit, katanya. Ah, Ma. Kita akan menjaring kupu-kupu? Senangnya. Senangnya. Apakah Ma akan cabut sayap kupu-kupu itu lagi? Senangnya. Senangnya.

Ma jalan di depan. Tangannya gandeng tanganku. Rasanya dingin. Aku hanya lihat rambut bergelombang Ma yang bergoyang-goyang. Langit kuning matang, jadi Ma tampak seperti bayang-bayang hitam. Kita jalan ke bukit. Bau rumput dan bunga-bunga yang terpanggang siang. Batu-batu diam, tapi angin saling bincang. Satu kupu-kupu kuning terbang. Lalu dua. Lalu tiga. Lalu tujuh. Senangnya, senangnya.

Ma, tapi kita lupa bawa jaring.

Ma tak menoleh, tapi bilang, Kita punya tangan.

Tapi kata Ma, tangan tak selalu bisa raih semuanya. Ma tetap tak menoleh. Ma lihat kupu-kupu terbang.

Aku tak tahu kenapa Ma tak jawab. Apa Ma lupa pernah bilang itu? Aku lupa kapan, tapi saat itu siang juga kuning matang. Ma lipat sekeranjang kemeja dan kaus dan celana sambil lihat luar jendela. Aku baru baca buku tentang ruang angkasa. Kata Ma, matahari adalah bintang. Bintang juga seperti manusia: lahir lalu besar lalu berbinar lalu gelap lalu mati. Aku suka bab tentang lahirnya matahari, tapi Ma lebih suka cerita tentang bintang mati.

Bisa dua kemungkinan, kata Ma. Bintang perlahan redup, jadi gumpalan helium dan hidrogen yang lembam, lalu berkeliaran seperti hantu di ruang angkasa. Tapi bisa juga bintang mati itu meledak menjadi supernova yang indah dan terang seperti sepasang sayap kupu-kupu raksasa.

Aku tak suka bintang mati. Aku suka bintang yang bercahaya terang. Kalau begitu, apa manusia juga bisa berbinar? Apa Ma pernah berbinar?

Hampir. Bibir Ma membentuk senyum. Saat itu, Ma pikir semua bisa Ma genggam dengan tangan. Tapi rupanya tangan Ma terlalu pendek. Tak semua bisa Ma raih.

Kenapa tidak, Ma?

Ma memandang keluar jendela. Cahaya terang masih kuning matang. Ma pejamkan mata. Ma lalu menoleh. Karena ada kamu.

Karena aku?

Ah, Ma tidak bilang itu. Kamu salah dengar. Ma senyum. Ma bilang, Ma senang ketika kamu ada. Sekarang, cepatlah mandi, lalu siap-siap les aljabar.

Ma, telingaku tidak tersumbat. Aku juga tidak mimpi. Karena aku, Ma tak lagi berbinar? Karena aku, Ma jadi bintang mati yang menghantu di angkasa?

Ma bukan bintang mati. Sudah Ma katakan, kamu salah dengar. Jangan mikir macam-macam. Ma menepuk pipiku lembut lalu senyum. Ma selalu senyum. Sana. Mandi.

Lalu aku diam. Ma kembali lipat baju depan jendela. Wajahnya separuh terkena cahaya kuning, separuh bayang-bayang, seperti bulan di tanggal delapan.

Seekor kupu-kupu kuning hinggap di hidungku. Ah, ini bukit, bukan depan jendela. Kupu-kupu berdatangan. Serumpun kupu-kupu kuning hinggap di bunga rumput cokelat gersang dekat ujung tebing.

Tangkap, Ma. Nanti kita cabut sayapnya.

Ma menoleh. Apa katamu?

Tangkap!

Bukan, setelahnya.

Cabut sayapnya?

Kenapa?

Kenapa Ma tanya kenapa? Aku lihat Ma cabut sayap kupu-kupu. Dulu.

Ma tak pernah lakukan itu.

Pernah. Aku lihat sendiri.

Tidak. Mungkin kamu hanya berhalusinasi.

Aku diam. Aku tak debat Ma lagi. Tapi aku tahu, aku tak lihat ilusi. Saat itu, Ma duduk dekat jendela. Selalu depan jendela. Langit kuning matang dan Ma sedang kupas bawang. Kupu-kupu kuning masuk dan hinggap di daun bunga mawar di jambangan.

Jeda.

Ma kupas bawang.

Jeda.

Ma tangkap kupu-kupu itu.
Jeda.

Ma cabut sayap kupu-kupu. Cabut sayap depan, cabut sayap belakang, cabut sayap depan, cabut sayap belakang. Setelah itu Ma duduk diam. Mata Ma hinggap di awan-awan.

Saat itu aku tanya, Apa itu Ma?

Ma jawab, Kupu-kupu.

Kenapa sayapnya?

Ia lebih baik tak bersayap. Jika bersayap, ia akan terbang ke mana-mana. Tanpa sayap, ia akan diam di sini.

Kenapa ia harus diam?

Kamu lihat? Ma tunjuk daun. Di situ ada bintik-bintik hitam.

Ia bertelur. Ia harus diam sampai telur jadi ulat, jadi kepompong, jadi kupu-kupu. Ia tak seharusnya terbang.

Ma lihat daun itu lama. Ma letakkan kupu-kupu tanpa sayap itu di sana. Aku lihat Ma diselubungi selaput tipis kepompong.

Ma, Ma! Aku panggil, tapi Ma diam. Aku takut Ma jadi kepompong lalu jadi kupu-kupu lalu Ma cabuti sayapnya sendiri.

Tiga kupu-kupu hinggap di hidung, mata, dan mulutku. Aroma rumput-rumput kering. Batu-batu diam dan angin berbincang. Ah, aku di bukit.

Ma, kupu-kupu hinggapi aku.

Tapi Ma tak jawab. Aku lihat sekeliling. Aku hanya lihat angin. Tak ada Ma. Ma ke mana? Aku berteriak. Ma, Ma! Tak ada jawab.

Lalu aku lihat. Ma di ujung bukit, di tepi tebing. Angin menyibak rambut Ma. Ma bersayap kuning. Ma menoleh. Ma cabuti sayap-sayapnya sendiri. Ma senyum. Ma berkata, Punyalah sayap. Jangan biarkan siapa pun cabut sayapmu, termasuk dirimu sendiri. Kamu akan punya sayap. Besar dan indah. Kamu akan terbang. Terbanglah. Terbanglah!

Lalu Ma melangkah ke arah angin. Tanpa sayap.

Lalu ribuan kupu-kupu lahir. Lalu kupu-kupu kuning membentuk langit kuning. Semua bersayap. Semua bersayap.

“Bangun, Ji!”

Mataku terbuka. Ada Pa. Pipiku ditepuknya. “Jangan tidur di lantai!”

Aku terisak. “Ma, Ma jatuh. Di tebing!”

Dahi Pa mengernyit. “Ma ada di dapur. Sudah, kamu mandi, siap-siap les.”

Usai mandi dan bersiap, aku jalan ke dapur. Di muka pintu, kucium aroma sup ayam. Kulihat Ma berdiri menghadap kompor. Ia membelakangiku. Ia tak bersayap.

Pa melewatiku. “Apa ini?” desis Pa kepada Ma sambil mengacungkan sesuatu. Di tangannya ada kertas berlogo rumit. Pa bicara pelan, tapi penuh tekanan. Nadanya seperti saat ia bertanya kepadaku mengapa aku masih ngompol di kelas. Padahal aku tidak ngompol. Aku hanya pipis sedikit di celana. Bu guru selalu bilang, anak pintar tak berisik di kelas. Anak pintar tak sedikit-sedikit izin ke belakang. Anak pintar haruslah duduk manis dan sediam kukang.

Ma masih menghadap ke kompor. Tangan kanannya terlihat bergoyang, mungkin mengaduk sup ayam. “Untukku. Surat penerimaan dari Stanford.”

“Kenapa kau memikirkan dirimu sendiri? Bagaimana nanti dengan Ji? Siapa yang akan mengurusnya?”

“Ji sudah besar. Ji ada Pa.”

“Tapi mendidik anak tanggung jawab Ma!”

Ma berbalik dan menghadap Pa. “Delapan tahun lalu aku sudah mundur dari Harvard karena ada Ji di perutku. Pa bilang, tunggu nanti jika Ji sudah besar. Sekarang Ji sudah besar. Setidaknya beri aku waktu sekarang.”

Pa menggeram, lalu sobek-sobek kertas itu jadi serpihan. Kertas itu menjelma sayap kupu-kupu kuning. Ribuan sayap gugur perlahan di hadapan Ma. Ma senyum. Ma selalu senyum. Tapi itu bukan senyum di wajah Ma. Apa Pa tak lihat? Tubuh Ma diselimuti kepompong tanpa warna. Itu senyum yang terlukis di kulit kepompong.

“Baiklah. Nanti akan kukirim balasan bahwa aku mundur.” Ma berbalik, tetap senyum, lalu mengaduk sup ayam.

Aku bertanya-tanya, apa di balik kepompong itu, Ma adalah ulat yang luka? Apa aku sumber luka Ma? Apa ini salahku? Apa itu karena aku terlalu lekat pada Ma seperti anakan koala pada induknya? Apa aku yang membuat Ma terperangkap dalam kepompong?

“Ma …”

Ma menoleh. Masih senyum. “Ya?”

“Ji berangkat.”

“Hati-hati.” Masih senyum.

Aku mengangguk. Ma masih senyum. Ma selalu senyum. Ma tak pernah tak tersenyum.

Aku berjalan, tetapi tidak ke tempat les aljabar. Aku berjalan, melewati jalan makadam, menuju bukit kupu-kupu.

Ma, apa yang bisa kulakukan agar Ma bebas dari kepompong?

Aku di tepi tebing. Ada ribuan kupu-kupu kuning.

Ma, mungkin aku harus jadi kupu-kupu. Lalu terbang. Lalu menghilang.

Lalu sepasang sayap kupu-kupu tumbuh di punggungku.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Kisah Kematian Ben dalam Tiga Babak
Pembuat Topeng


4 thoughts on “Di Bukit, Kupu-Kupu Kuning Terbang”

  1. Cerita Mbak Sas mewakili banget ibuk-ibuk seperti akyuh. Terima kasih menuliskannya. Heuheuheu

  2. Galih berkata:

    Ketidakadilan pada perempuan dapat dikiaskan dengan baik dalam cerita yang keren dan mudah dipahami. Kasihan anaknya juga yang merasa bersalah. Aku benci dengan tokoh Pa???

  3. Rosmawati berkata:

    Sedih sekali cerpen ini mbk sasti ?
    Keren banget…

  4. Fadhilah berkata:

    Omaigad. Memgapa bahkan untuk belajar pun perempuan tidak memililiki hak yang sama? Anak-anak kerap.menyalahkan diri, ya.

Komentar Anda?