Menu
Menu

Orang Gelanggang; Ingatan Pulang; Saat Sakit; Memikirkan Aku; Perantau Pesisir Selatan; Senjaraya.


Oleh: Arif Purnama Putra |

Lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit Suara Limbubu (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel Binga (Purata Publishing, 2019). Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Tempo, dan lainnya. Sekarang berkegiatan di Komunitas Serikat Marewai, website marewai.com.


Orang Gelanggang

bila aku tidak lupa, ayah membawakan bergoni ayam
ia beli dari dusun transmigran
tempat orang-orang pasrah dijauhkan dari kampung halaman
tapi bukan ayam dari gelanggang

kemudian ia datang tiba-tiba, menyibak wajahku yang dilumuri air mata
katanya, untuk apa seorang lelaki menangisi ibu yang hanya pergi ke pasar
kata-kata itu nyalang dalam ingatanku, menetap bagai wangsit—bagai wejangan masa depan.
tapi ayah orangnya piawai menelan amarah, menenangkan anak-anak manja tak karuan

lalu ibu menanyai apa obat mujarab pelunak anak menangis?
ayam-ayam datang bagai bantuan masa depan
yang kelak dengan ialah aku bersekolah tinggi
menjadi objek kebanggaan sanak sepersukuan

tapi, tiba-tiba ingatan yang nyalang muncul seperti cewang saat gabak datang
ia menjalar tak karuan, membawakan bergoni ayam-ayam gelanggang yang datang dari kampung transmigran. siapa sangka, wangsit menjadi pituah.
wejangan memperlurus jalan ke gelanggang

kata ayah, untuk apa kau tangisi ibu yang pergi ke pasar?
sedang mata nyalang bisa kau bawa ke tualang-tualang tak terduga
aku menanak ayam di gelanggang
seperti ayah menenangkan tangisku
seperti ia yang bersigegas saat waktunya mengangkat ayam
yang kalah, yang menang

Padang, 2022

.

Ingatan Pulang

jalan-jalan yang kelok dari kampungku adalah ratapan senyap ibu-ibu
dipupuk para perantau patah hati
bila malang datang, ia mainkan lagu-lagu sedih menyayat hati
teringatlah ia kembali rumah dan tepian mandi

buhul mati yang dibuat sejak kepergian hanyalah sentak yang sewaktu-waktu mencekik diri
rindu bagai dendam orang-orang tualang; ingin pulang tapi dalam kekalahan
maka ia buka kembali riwayat diri, mencari-cari alasan bertahan
dari sibingkeh ke tapan
halimun bergerak pelan bagai pukat telat turun
anak-anak menung di persimpangan
orang-orang tergesa di perkotaan
perkampungan mengirim kabar sungsang
ia mendiang diri dalam ingatan
Oh… mambang, adakah ingatan baik dalam musim-musim tak karuan?

perantau patah hati yang hendak pulang hanya tinggal ngingau tiap malam
di mana badan terlentang, di situ jaring dibentang

Padang, 2022

.

Saat Sakit

saat sakit, aku mengingat ibu mencari obat mujarab. ia bertanya dari rumah ke rumah tentang sitawa sidingin, obat mujarab yang dipercayai ibu bisa menurunkan demamku. bila tak dapat, ia akan menggantinya dengan bungorayo. daun-daunnya akan dipatah, dipiuh sebagaimana ia merenggut nakal dari kulitku.

saat sakit, ibu mengingat aku seperti seorang anak kecil—kadang ia menangis tak karuan, kadang ia pergi tanpa pamit, hanya untuk mencari sepotong kue untuk membujukku. saat aku sakit, ibu benar-benar berada di sampingku. tapi, saat ibu sakit, aku benar-benar jauh. sampai lupa cara memiuh obat mujarab. sampai tak ingat mana lebuh ke halaman depan, mana pintu paling belakang.

Pesisir Selatan, 2021

.

Memikirkan Aku

Untuk Musnia

suatu waktu, dalam perjalanan
orang-orang datang bagai rombongan pencari suaka; riuh dan tak menentu
jiwa-jiwa malang mematut nasib di antara bersin dan sendawa
di antara gagang dan sandaran
di antara pulang dan melalang
di antara ada dan tiada
di antara ada dan tiada
di antara siapa dan mengapa
di antara “atau” yang penuh ragu, di antara “dan” yang penuh pertimbangan.

aku mematung, memahat wajah sendiri
rindu kian sengit, tapi kau benar-benar tak di sini
wajah yang kupahat adalah wajah sunyi, liat bagai dua pasang mata memendam luka,
mengukir dengan satu tangan cilaka kutukan sejak lahir; bisa yang berbeda dari biasanya.

kutatap mata merah dalam bayang-bayang, yang ada hanya bala tentangmu
bala yang keluh saat ingin kusampaikan kangen
lelucon membabibuta, seruan-seruan selamat malam
dan alarm penanda kanak-kanak
kau benar-benar tak di sini, dan aku sungguh sendiri.

Padang, 2021

.

Perantau Pesisir Selatan

ke malaysia jua kita akan pergi
mengantarkan merasai
melunasi piutang
mengadu nasib dari rasian kampung

semenye, batu sembilan, dan sungai buloh
paya jaras adalah lekuk badan bujang penjual buah
suara yang merasai saban hari teriak
dan surat usang tak sempat terkirim

oh… dendang paling iba
sampaikanlah lewat rabab tentang ratap perantau malang
ngingau bujang tengah malam
atau lagu penggalas di tengah melayu malaysia
adakah orang-orang menyediakan tumpangan masa depan
atau keberangkatan pulang

badan rasa berdiang—mendiang
mati segan, hidup malas pula

Padang, 2022

.

Senjaraya

ibu menuangi ruku-ruku dalam kuali
bersilang kayu tapi api tak kunjung nyala
tungku dikepung asap
nyalang api bagai cewang yang dibohongi gabak

di luar, orang-orang bersigegas mengejar magrib
burung-burung telat pulang
suara muazin berkejaran dengan klakson kemacetan
sudah seperti itik serati terlambat ke kandang

dusun yang serupa kota
kesibukan datang selalu kelewatan;
kalau tidak magrib, pasti senjaraya

tapi ibu, bertenang-tenang di depan tungku
mendiang badan seperti musim dingin yang segera berakhir sehabis magrib
aku buka ngingau, tetapi ibu memasak makanan paling enak
kami tak makan sebelum magrib selesai
sebab ibu telah mendiang diri
bagai musim dingin yang segera berakhir sehabis magrib

Padang, 2022


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Mariati Atkah – Lukisan Perahu
Puisi-Puisi Afryantho Keyn – Sesaat Sebelum Kau Berlabuh
Puisi-Puisi Ricky Ulu – Perempuan Memilih Warna


Komentar Anda?