Menu
Menu

Lelaki itu sedang berusaha membuatmu percaya untuk membawa pulang sebuah onthel buatan Belanda. “Kalau kita ketahuan bagaimana?”


Oleh: Regent Aprianto |

Lahir dan besar di Gorontalo. Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar. Menulis puisi dan cerpen yang terbit di media cetak dan online. Penerima Anugerah Literasi Al-A’la UIN Alauddin Makassar.


“Siapa juga yang tahan diteriaki sundal gila?”

Gerutunya dalam hati seusai melayangkan batu sungai seukuran kentang ke arah Mbuqi. Sebetulnya ia menyasar mulut wanita tua itu. Mungkin beban batu sungai, jarak sasaran yang sekitar sepuluh langkah dan juga tenaga yang mulai habis musabab batu itu sekadar mengetuk tungkai bawah—kaki kanan tepat di tulang kering—Mbuqi saja. Tapi istri tengkulak itu makin bersungut-sungut saja. Hantaman batu sungai yang barangkali berhasil membuat kakinya memar seminggu tak cukup menyurutkan amarahnya. Malah kini dia seperti kucing yang kuyup diguyur air dingin; meraum dan siap menerjang siapa saja.

Njoba tak acuh pada wanita tua yang tengah dilerai oleh pengulit lainnya itu. Ia hanya terus berjalan ke arah utara hutan untuk menjemput onthel-nya sambil beberapa kali tetap menggumam

“Apa coba maksud si nenek peyot itu mengataiku sundal gila? Bukannya dua kata itu tak cocok sama sekali? Orang gila mana yang kepikiran melacur? Dan, aku pun tak pernah mendengar ada pelacur yang bekerja sampai gila. Jangan-jangan nenek itu yang gila. Sundal!”

Langit merah saga mengantarnya menunggangi sepeda unta yang perlahan menerobos dingin hutan. Ia harus lekas pulang sebelum langit legam. Meski semua orang di kampung juga tahu, tak ada yang menunggunya di rumah.

***

1942, orang-orang berkumpul di alun-alun kota—di seberang kantor pos—setelah mendapat kabar dari Laskar Rakyat yang berhasil menduduki seluruh bangunan milik pemerintah Hindia Belanda. Pertanda tak lama lagi kau akan mengakhiri mimpi burukmu yang panjang. Setelah meninggalkan keluarga dan pergi bertempur, kau tak pernah lagi kembali ke kampung. Sebab pantang bagimu kembali sebelum punya sesuatu untuk kaubawa pulang. Bagimu sebaik-baik buah tangan tak lain adalah perasaan yang merdeka. Dari perbudakan dan juga dari pertempuran.

Sesekali kaubayangkan rekah senyum istrimu yang turut bahagia atas kemerdekaan dan kepulanganmu. Kau sungguh tak sabar melihat paras anakmu yang terpaksa kau tinggalkan, sehari setelah molonthalo. Kau punya niat menggelar tasyakuran sederhana bersama keluarga, handai tolan dan sanak saudara. Sebagai perayaan kelahiran anakmu—walau sudah telat—juga sekaligus permintaan maaf kepada istrimu yang kau tinggalkan setahun lalu. Tentu semua rencana yang ada di kepalamu itu akan sangat menyenangkan jika bisa terwujud.

Seorang lelaki berpostur tegap di tengah alun-alun memimpin sebuah lagu setelah menutup pidatonya. Tembakan senapan ke angkasa membuatmu sontak menegapkan badan, mengangkat pandangan, dan turut bernyanyi. Wajahmu diterpa udara dingin yang datang dari pegunungan di arah selatan. Tapi yang kini kaurasakan adalah kehangatan kala melihat bendera dua warna ditarik menanjaki tiang. Orang-orang di sekelilingmu hening dengan begitu khidmat. Sedang kau dan para laskar yang lain tak bisa lagi menahan isak. Pertempuranmu sudah berakhir dan kau akan pulang ke rumah.

***

Njoba tiba sebelum Magrib turun sepenuhnya. Jarak dari hutan ke rumahnya tak begitu jauh, tak sampai setengah jam mengayuh. Tak butuh salam atau ketukan pintu, ia pun tahu tak ada sesiapa di rumah itu. Dituntunnya sepeda kesayangannya masuk ke dalam. Di pondok sederhana yang berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, dan beratap rumbia itu mungkin tak ada harta yang lebih berharga dari sebuah sepeda buatan Belanda.

Ia hidup sebatang kara setelah ibunya wafat dua tahun silam. Ibunya mengidap penyakit janggal; saban hari geligi dan hidungnya berdarah, wajahnya selalu pucat pasi. Di kampung, tak ada seorang pun tamotota yang mengenali penyakit seperti itu. Mereka hanya mengecap ibunya dikutuk salah satu jin hutan yang tempatnya terusik oleh para pengulit kayu. Namun entah mengapa dari sekian banyak pekerja, hanya ibunya yang terserang penyakit demikian. Pun setelah ibunya wafat, tak ada lagi orang di kampung yang mengidap penyakit serupa, apalagi sampai berujung maut. Sejak itu ia benar-benar merasa terkutuk. Semua orang di kampung percaya semua kesialan yang merundunginya bermula dari kelakuan ayahnya di masa lalu.

Jauh sebelum kehilangan sang ibu, Njoba tak pernah mengenal sosok ayah. Ia hanya sering mendengarnya dari mulut orang-orang kampung. Mereka selalu bilang, ayahnya adalah pengkhianat laskar yang dihukum mati di kota. Namun ibunya terus menyangkal tuduhan itu dengan jawaban yang sama; ayah Njoba bergabung Laskar Rakyat untuk bertempur merebut kemerdekaan. Ayahnya adalah seorang pejuang, kalaupun mati tak mungkin disebabkan hal sekeji itu.

“Sebagai seorang anak pejuang, kamu mestinya bangga, Nak.” Hibur ibunya kala Njoba kecil pulang mengaji dengan sesenggukan. Ia dirundungi anak-anak kampung yang lain dengan ejekan si anak maling.

“Mereka itu belum paham berkat ayahmu-lah kampung kita ini merdeka, anak-anak bebas bermain dan pergi mengaji, serta orang-orang bisa bisa kembali bekerja di ladang sendiri. Atau pergi ke hutan mengambil keningar seperti ibu ini.” Lanjut ibunya sambil mengusap air di pipi Njoba dan juga di sudut matanya sendiri.

***

Air di matamu tak kunjung surut, tapi kini kau menilik sela kerumunan, berusaha mencari seseorang. Pandanganmu tertuju kepada gelagat seorang lelaki di kejauhan. Lelaki yang juga ternyata sedari tadi mencarimu. Tatapanmu akhirnya bertemu dengannya. Kau dan lelaki itu lekas berjalan saling mendekat.

“Selamat, Bung. Kita sudah merdeka,” katamu setelah menjabat erat tangannya.
Kau hanya melepas senyum haru. Senyum isyarat bimbang, entah harus gembira atau bersedih. Sebab tak sedikit pejuang Laskar Rakyat yang gugur selama dan setelah pertempuran.

“Tak perlu larut bersedih, Bung. Mari kita rayakan kemenangan ini,” lelaki itu menepuk pundakmu lalu memberi isyarat agar kau mengikutinya.

“Aku punya hadiah untukmu, bawalah ke kampung. Istrimu pasti akan senang melihatnya,” dia melanjutkan. Kau penasaran sambil langkahmu menuju sebuah bangunan di belakang kantor pos.

***

Meski hidup sendiri, Njoba tak pernah kesulitan walau dengan kondisi sederhana. Sehari-hari, bila sedang musim keningar seperti sekarang ini ia pergi ke hutan untuk menguliti batang kayu manis. Setelah kulit kayu itu dibawa pulang dan dijemurnya sampai kering, ia akan pergi ke rumah Wak Samu untuk menimbangnya dan membawa pulang beberapa rupiah.

Setidaknya pada musim keningar ia bisa lebih sering makan nasi tanpa campuran jagung, umbi talas, atau ubi rebus. Sisa penjualan keningar ditabungnya, ia belum tahu harus beli apa. Yang ia tahu, ia telah banyak berhutang budi pada Wak Samu; tengkulak keningar sekaligus suami Mbuqi—wanita tua yang tadi ditimpuk Njoba.

Tak seperti istrinya, Wak Samu adalah lelaki tua yang selalu bersimpati pada Njoba. Tak hanya satu atau dua kali Wak Samu membeli keningarnya dengan harga yang lebih mahal. Padahal Njoba selalu punya dalih untuk menolak harga yang ditawarkannya. Sebab ia tak enak hati pada pengulit yang lain. Orang-orang di kampung sudah terlanjur sering merundunginya. Kalau mereka sampai tahu keningar Njoba dibeli lebih mahal, pasti mereka akan bertindak lebih dari sekadar mencibir.

Namun aroma perlakuan istimewa Wak Samu pada Njoba terlanjur pekat dan terendus oleh istrinya sendiri. Bagaimana tidak, Wak Samu nekat datang ke rumah Njoba bulan lalu. Dia datang untuk membeli keningar sekaligus memberikan Njoba sebuah onthel Belanda. Itulah penyebab mengapa Mbuqi tadi mendatangi dan meneriakinya ‘sundal gila’. Mungkin wanita tua itu mengira Njoba sudah menggoda suaminya.

Sebenarnya Njoba bersikeras untuk tidak menerima hadiah apa pun dari Wak Samu. Bahkan sekadar sepeda sekalipun. Ia lebih memilih berjalan kaki berjam-jam, ketimbang harus menunggangi sepeda sambil mendengar gunjingan. Sebagai gadis penjual keningar, mustahil rasanya punya sepeda buatan Belanda. Tentu itu akan ganjil di mata setiap orang. Ia tak mau menyuburkan prasangka buruk, apalagi sampai dijuluki maling seperti ayahnya.

“Ambil saja, Nak. Anggap saja ini hadiah dari seorang ayah kepada anaknya yang sudah rajin bekerja,” Wak Samu membujuknya.

“Saya bekerja untuk diri saya sendiri, Wak. Kalau uang saya sudah cukup, saya akan beli sepeda sendiri,” Njoba berucap lembut agar Wak Samu tak tersinggung.

“Baiklah, kalau begitu, sepeda ini kamu cicil saja ke saya. Akan saya potong dari harga keningar yang kamu jual. Bagaimana?” Lelaki tua itu memberi tawaran.
Meskipun setelah itu, setelah Njoba menyepakati tawarannya, Wak Samu tak pernah benar-benar memotong harga keningar yang dibelinya.

***

Kau mengerutkan dahi setelah mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. Kau tak menyangka teman seperjuanganmu punya siasat yang buruk.

“Gila kamu, Sam!” Kau mengumpat sambil berusaha meredam amarah. Lelaki yang tadinya kausapa ‘Bung’ itu, kini kaupanggil dengan namanya.

“Kamu yang gila! Kita di sini tak pernah diupah, dan memang tak akan diupah serimis pun. Jadi tak ada salahnya mengambil harta rampasan barang satu atau dua. Pun ini cuma sepeda, Bung! Tak akan ada gunanya untuk mereka. Laskar tak akan menunggangi sepeda penjajah, laskar terbiasa berlari. Bawalah barang satu saja, sebagai hadiah untuk istrimu, atau kelak untuk anakmu nanti.” Lelaki itu sedang berusaha membuatmu percaya untuk membawa pulang sebuah onthel buatan Belanda.

“Kalau kita ketahuan bagaimana?”

“Jangan khawatir. Besok malam pergilah ke sebelah utara barak, tidak jauh dari jembatan. Di sana akan ada kawan-kawan kita yang akan menunggu. Kamu berangkatlah dulu dengan mereka, bawa sepeda ini ke kampung. Aku akan menyusulmu nanti.”

Tatapanmu berubah. Sepertinya kau menaruh percaya pada lelaki itu. Pikirmu ucapannya tadi tak juga sepenuhnya salah. Sebagai pejuang kau tak pernah diupah. Kalaupun mati di medan perang, tak ada jaminan bagi keluarga. Semua pejuang yang gugur hanya pulang nama.

Namun, tidakkah kemerdekaan lebih dari cukup sebagai imbalan? Kau tak tahu. Kau hanya percaya pada Samu, sebagai teman sekampung yang juga ikut bertaruh nyawa bersamamu. Kau tak sungkan percaya padanya, meski dulu kau bersaing dengannya untuk memikat hati Asih—istrimu kini. Kau tetap percaya padanya, meski di depan kantor pos melintang selembar kain putih bertuliskan “Siapa yang Mencuri, akan Ditembak Mati”.[*]

Catatan:
Molonthalo: Upacara adat masyarakat Gorontalo untuk menandai tujuh bulan usia kandungan.
Tamotota: “Orang pintar” atau cenayang yang biasa melakukan pengobatan alternatif.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Menjadi Tentara – Cerpen Ilda Karwayu
Menghentikan kelandjutan – Cerpen Joss Wibisono


1 thought on “Gadis Keningar dan Onthel Belanda”

  1. WR berkata:

    keren

Komentar Anda?