Menu
Menu

Dalam novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga, catatan dari penulis tentang hutan dimulai dengan memasukkan unsur mistis dalam kepercayaan orang Manggarai.


Oleh: Erik Jumpar |

Tinggal di Manggarai Timur. Berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Turut mengurus tabeite.com bersama anak muda Manggarai Timur yang memiliki semangat yang sama.


Novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga dibuka dengan kisah seorang perempuan yang sedang terbang dengan pesawat. Ia berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju kampung halamannya, Pulau Flores. Perjalanan ini membawa imajinasinya ikut pulang ke kampung halaman, membawanya kembali menuju segala peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Bermula dari imajinasi di atas burung besi inilah, novel karya Willy Hangguman ini membawa pembaca berkunjung ke masa lalu.

Gaya kepenulisan di dalam novel ini tidak berbelit-belit dan mudah dicerna oleh pembaca dari lintas usia. Ia berhasil membuat imajinasi pembaca turut terbang ke segala babak cerita yang mengesankan. Ragam peristiwa yang disuguhkan dijamin akan mengobok-obok hati para pembaca. Sejak paragraf pertama berkenalan dengan novel ini, saya seperti sedang membaca sebagian diri saya di masa lalu.

Novel ini menceritakan petualangan anak desa yang punya mimpi menjadi guru. Molas, tokoh utama dalam noveli ini, mulai berjuang mewujudkan mimpi setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat di kampungnya, kemudian melanjutkan Sekolah Standar di Ruteng, dan Sekolah Guru Bawah (SGB) di Ndona, Ende. Namun mimpi sebagai kunci dalam menaklukkan dunia, nyatanya bertubruk dengan banyak tantangan. Perjalanannya ke Ende tak semulus jalur Ruteng-Ende hari ini; nyalinya beberapa kali diuji kenyataan.

Sepanjang membaca Molas Flores Gadis Pulau Bunga, saya bertemu berbagai konflik yang mengitari perjalanan hidup dari tokoh utama. Salah satu konflik yang menarik adalah kala tokoh utama sebagai seorang perempuan diperhadapkan dengan persoalan klasik masyarakat patriarki. Anak perempuan tempatnya di dapur, ia tak boleh sekolah tinggi, kalaupun sekolah tinggi, cara pikir publik tetap berada pada pilihan bila perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur; sebuah cara pandang yang keliru, dan tidak adil untuk perempuan.

Molas yang sejak awal digambarkan memiliki cita-cita untuk menjadi guru, nyatanya malah diharapkan oleh orang tuanya untuk mencari suami. Willy Hangguman lalu memasukkan tokoh lain untuk meredam konflik yang sedang dialami oleh tokoh utama, Guru Wakil, salah satu guru dari Molas. Ia menyakinkan orang tua Molas agar Molas melanjutkan pendidikan. Bujukan itu pada akhirnya berhasil. Orang tua Molas luluh. Molas diperbolehkan melanjutkan pendidikan.

Dalam konflik klasik dari masyarakat patriaki yang sedang dihadapkan oleh tokoh utama, menariknya penulis memasukkan peran guru. Sebagai guru, saya jadi terkenang peran guru di masa lalu. Di dalam konteks kehidupan komunitas kampung, peran guru amat signifikan. Pendapatnya kerap dipertimbangkan dalam kehidupan bersama. Pemikirannya selalu ditunggu-tunggu ketika ada musyawarah tingkat kampung. Anggapan ini membuat guru sebagai salah satu tokoh berwibawa dan mendapatkan tempat duduk istimewa saat ada pesta-pesta di kampung.

Saat kita menelaah budaya lokal sesuai latar cerita yang diangkat oleh penulis, status anak perempuan dalam budaya Manggarai sebagai ata pé’ang (orang luar), sedangkan laki-laki sebagai ata oné (orang dalam). Setelah menikah perempuan mengikuti keluarga suami. Karena itu ia tidak perlu disekolahkan setinggi langit. Saya pikir, narasi dalam novel ini dipengaruhi anggapan bahwa dalam mendapatkan akses pendidikan, laki-laki ada di kelas utama sedangkan perempuan kelas kedua.

Masalah ketidakadilan dalam masyarakat patriarki sering dipercakapan. Aktivis feminis jadi salah satu yang berperan penting dalam menghidupkan percakapan tentang isu perempuan. Mereka kerap memperjuangkan isu kesetaraan gender, terus mendorong publik untuk memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, termasuk mendorong kebijakan yang sebelumnya bias gender agar lebih memperhatikan kepentingan perempuan.

Hutan dan Halaman dalam novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga

Penulis, dalam membangun cerita, seolah-olah membawa pembaca sedang menumpang oto pos, kendaraan yang ditumpangi oleh tokoh utama dalam perjuangannya menuju mimpi. Ia pun memasukkan unsur cerita bila perjalanan dari tokoh utama melewati hutan yang lebat. Di sini ia menggambarkan bahwa orang Manggarai memiliki kepercayaan kalau hutan memiliki penghuninya.

Catatan dari penulis tentang hutan dimulai dengan memasukkan unsur mistis dalam kepercayaan orang Manggarai. Di Manggarai, hutan dianggap memiliki penunggu. Di sekitar mata air wajib hukumnya hutan terjaga. Orang tidak boleh menebang pohon secara serampangan. Siapa yang menebang pohon dipercaya akan mendapatkan marabahaya, malapetaka akan datang setelah seseorang bertindak tidak adil pada lingkungan alam. Kepercayaan akan hutan memiliki penunggunya terlampau mistis, di luar akal sehat. Tetapi dilihat dari isu kelestarian lingkungan, anggapan mistis pada hutan-hutan kita merupakan salah satu pintu masuk menjaga kelestarian hutan. Apalagi saat ini kita selalu disuguhkan oleh rencana eksploitasi hutan besar-besaran untuk investasi, walau melabrak konservasi. Cerita yang berkembang di tengah masyarakat Manggarai tentang Danau Rana Mese yang dianggap angker, justru menyelamatkan kawasan itu dari praktik eksploitasi hutan yang tidak berimbang bagi ekosistem di dalamnya.

Hutan termasuk bagian dari halaman, menumbuhkan banyak harapan. Hutan bagian dari halaman itu sendiri, suatu ruang bagi keberlanjutan dari keanekaragaman hayati. Semakin ke sini, kita tidak dapat menghindar dari kerisauan soal kerusakan lingkungan. Di beberapa tempat di daratan Nusa Bunga ini, praktik eksploitasi lingkungan semakin menakutkan. Saya tidak perlu menyuguhkan data tentang ancaman pada halaman kita bersama. Kita bisa mencari informasi di mesin pencari soal eksploitasi hutan yang belakangan ini tidak berimbang. Menghidupkan percakapan tentang kelestarian hutan merupakan bagian dari usaha merawat halaman, merawat kehidupan kita bersama.

Di dalam Molas Flores Gadis Pulau Bunga, Willy Hangguman terus membawa pembaca untuk tetap berada dalam oto pos. Ia menceritakan tentang kopi, saat tokoh utama tiba di Kampung Wakas dan Sita, dua kampung di Kabupaten Manggarai Timur. Di sini ia menyinggung soal kopi yang sedang sedang berbunga. Kopi memiliki tempat yang istimewa dalam relasi sosial orang Manggarai. Ia dinikmati semua kalangan, dari kelas bawah sampai kelas atas. Budaya minum kopi melekat dengan kehidupan orang Manggarai. Kopi turut membawa nama Manggarai dikenal dunia. Kopi dari daerah Colol, Manggarai Timur misalnya, acapkali menjuarai kontes kopi tingkat nasional.

Hari ini cerita tentang kopi barangkali jadi salah satu persoalan krusial di halaman kita. Kebun kopi di tanah ini sudah tidak produktif lagi. Pohon-pohonnya sudah tua. Buahnya tak lagi lebat seperti dulu, sementara petani-petaninya juga sudah masuk usia renta. Anak-anak muda malah memilih untuk memunggungi kebunnya masing-masing. Mereka justru memilih untuk melangkah ke pulau seberang, menjadi pekerja di Pulau Dewata atau Pulau Borneo. Krisis petani muda, saya pikir, menjadi salah satu ancaman serius terhadap ketersediaan kopi di halaman.

Bagi saya, novel ini membangun presepsi baru untuk melihat tanah Manggarai. Willy Hangguman membawa pembaca melihat cerita-cerita masa silam yang terekam di kepala orang Manggarai tetapi belum tertulis rapi. Dan Molas Flores Gadis Pulau Bunga ini menjawab segala ketidakteraturan kita dalam mendokumentasikan segala cerita-cerita di masa lalu, mengajak kita untuk melihat ketidakteraturan dalam merawat halaman kita masing-masing. Biar tak hanya saya yang berkunjung ke masa lalu, baiknya kita bersama-sama membaca Novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga. Rasakan sensasi menertawai berbagai kekonyolan di masa lalu, menangis atas segala ketertinggalan, lalu kita mengunjungi halaman yang ada di masa lalu.[*]


Catatan: Tulisan ini adalah salah satu pemenang Sayembara Pembaca yang merupakan bagian dari perhelatan Flores Writers Festival 2022 di Ende. FWF yang kedua itu mengambil tema Bermain di Halaman. Simak selengkapnya di sini.

Baca juga:
Apa yang Lebih Senyap dari Bisikan?
Gadis Pantai: Sebuah Metafora untuk Manusia Indonesia


Komentar Anda?