Menu
Menu

Meskipun dirinya bukan bangsawan, ia tetaplah matahari. Lihatlah griya Dinasti Dharmmawijaya. Meski disengat matahari siang, griya itu tetap segelap kuburan.


Oleh: Sulfiza Ariska |

Penulis emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali. Pemenang Tangguh Award dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2018) dan pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (2012). Menjalani pendidikan dan aktif menulis di Yogyakarta.


Setiap hari, biting seruncing dendam di tangan Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya, meliuk-liuk seperti penari baris[1]. Mata alat jahit itu menjalin daun-daun dan bunga-bunga keramat. Begitu tangkas dan buas. Dalam waktu singkat, beragam perlengkapan upacara—mulai dari canang, porosan, kwangen, asjuman, tipat kelanan, peras, daksina, segehan, hingga pejati—tercipta di pangkuannya. Hasil mejejehitan itu bisa awet berhari-hari, sempurna, dan tersebar luas ke seluruh pelosok Bali.

Bagi Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya, mejejahitan tidak sekadar menjahit janur beserta bunga-bunga keramat, sehingga menghasilkan beragam perlengkapan upacara berbentuk kurva dan persegi. Namun, ia menjadikan mejejahitan sebagai sebuah upacara suci. Setiap bulan purnama dan bulan tilem[2], ia senantiasa menghaturkan sesajen di sanggah pemerajan[3], agar para dewa menggerakkan tangannya untuk mejejehitan. Tidak mengherankan, kebutaan belum bisa mengikis keahliannya itu.

Namun, siang ini, biting tiba-tiba menyerang Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya. Tidak hanya sekali, mata alat jahit itu melubangi tangannya berkali-kali. Darah bangsawan yang mengaliri sungai-sungai dalam tubuhnya, menyerbu bumi dan setumpuk canang.

Hyang Jagad!” jerit Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya sekuat tenaga. Namun, suara terperangkap di pita suaranya. Tidak ada jeritan yang terdengar. Bahkan, bisikan sehalus benang sutra pun, tidak tergelincir dari lidahnya. Lehernya seolah dicekik mantra pencabut nyawa.

***

Seumur hidup, baru siang ini tangan Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya terluka saat majejahitan. Fokusnya buyar bagai serpih-serpih embun yang pecah. Hal ini disebabkan aroma bangsawan yang terbang dari halaman griya dan mendekapnya erat-erat. Membuat napasnya sesak. Jauh di dalam hati, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya menduga, aroma itu mengalahkan keharuman seluruh bunga kamboja yang mekar serentak di seluruh penjuru bumi.

Bersama angin yang terus berhembus mesra, aroma bangsawan tersebut perlahan-lahan mendekati Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya. Membuat perempuan buta itu merasa semakin kerdil. Telah ribuan bangsawan yang dijumpai Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya, tetapi aroma bangsawan yang mendekatinya jauh lebih wangi dan perkasa. Ia merasa seolah-olah didatangi seorang Nareswari[4].

Perlahan-lahan, sepasang tangan yang kokoh, meraih telapak tangan Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya yang dilubangi biting. Meskipun tidak bisa melihat, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya merasa sangat terhormat. Penderitaan dan perasaan terhina yang dipikulnya selama buta, terasa terangkat semuanya.

“Siapa Ratu?” tanya Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya setelah lubang-lubang di telapak tangannya dibalut dengan kain dan nyerinya berkurang.

Ampura[5] Ratu[6],” sahut perempuan tersebut. “Tiang[7] bukan brahmana, melainkan seorang perempuan sudra. Tidak semestinya tiang memegang tangan ratu dan menodai kehormatan Brahmana. Namun darah Ratu tumpah terlalu banyak. Tiang hanya ingin menolong.”

Suara perempuan semerdu buluh perindu bagai petir yang menyambar daun telinga Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya. Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya merasa tubuhnya tiba-tiba oleng diringkus badai kenangan. Dalam sekejap, perempuan buta berdarah bangsawan itu, tenggelam dalam pusaran ingatan masa lalu.

***

Sebelum buta, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya merupakan istri bangsawan yang sangat kaya. Ia sangat angkuh dan tergila-gila pada kehormatan. Putri tunggalnya, Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya, menjadi tumpuan harapan. Pada gadis Brahmana itulah kejayaan griya akan diturunkan.

Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya memiliki wajah secantik cinta. Sorot matanya seindah kebijaksanaan. Napasnya sesegar kehidupan. Lidahnya setajam kebenaran. Langkahnya gemulai awan. Keyakinannya sepasti kematian. Pesonanya bisa melunturkan mahkota para dewa.

Sejak kecil, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya mempersiapkan Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya untuk menjadi permaisuri raja Buleleng. Ia memakaikan pakaian terbaik dan termahal. Ia mendatangkan guru tari terbaik dengan bayaran termahal untuk mengajari Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya. Sejak usia delapan tahun, Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya telah mahir menarikan tari klasik Bali. Mulai dari tari rejang, pendet, oleg, hingga legong kraton. Setiap Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya menari, seluruh dewa penari seolah-olah turun ke bumi.

Kemahiran Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya dalam menarikan tari klasik Bali tidak hanya memukau Ubud, tapi juga termasyur ke seluruh penjuru pulau Bali. Di usia tujuh belas tahun, Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya dikenal sebagai pragina[8] tari klasik Bali. Popularitasnya mengharumkan kampung halamannya, Ubud.

Berkat foto-foto dokumentasi para wisatawan yang singgah di Ubud, kabar tentang keindahan tarian Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ia pun mendapat undangan untuk menari di kota-kota besar Eropa, membuat Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya semakin bangga. Tidak jarang, ibunya itu menyombongkan putrinya di depan penduduk.

Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya memberi kebebasan bagi Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya mempelajari tari Bali—selain joget bumbung. Ia pikir, asalkan tidak mempelajari tarian yang biasa ditarikan perempuan nakal itu, putrinya akan tetap menjunjung kehormatan griya. Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya tidak menduga, tari oleg menghancurkan impiannya.

Sejak pertama kali menarikan Oleg di halaman Puri Ubud, cinta telah menemukan jalan pulang menuju hati Sarasvati. Tari Oleg merupakan tari percintaan. Menyatukan langit dan bumi. Tarian ini, mempertemukannya dengan pemuda sudra bernama lengkap I Wayan Wiko Tangkas.

I Wayan Wiko Tangkas benar-benar jauh berbeda dengan lelaki yang pernah dijumpai Sarasvati. Pemuda itu mengenalkannya pada kerinduan yang tak bertepi dan kecemburuan yang bisa meremukkan hati. Sentuhan-sentuhan Wayan memercikkan api di sumbu-sumbu lilin dalam diri Saraswati.

Engkaulah perempuan yang kuburu selama berabad-abad,” bisik Wayan setiap hidung mereka hanya berjarak satu senti dalam gerakan Tari Oleg. “Jadilah ratu yang akan aku puja, aku cintai, dan kulindungi sepanjang masa.”

Meskipun I Wayan Wiko Tangkas lebih muda lima tahun dari dirinya, sinar mata pemuda itu memancarkan kedewasaan yang tidak lazim. Jiwa seorang lelaki dewasa seolah terperangkap di tubuhnya yang masih muda belia. Karena itulah, Sarasvati tidak segan memanggilnya Bli[9]. Wayan telah memekarkan bunga-bunga di kehidupan Sarasvati, hingga kupu-kupu berterbangan dan menyemarakkan hidupnya yang sering dikoyak sepi.

Cinta tersebut membuat griya menjadi gempar. Ketika Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya mengajukan keinginannya untuk menikah dengan pemuda sudra itu, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya mengamuk dan menyiksa putrinya itu dengan cambuk.

“Kau pasti diguna-guna pemuda sudra itu!” bentak Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya.

“Tidak, Ibu!” bantah Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya. “Aku mencintai Bli Wayan.”

“Apa yang kau harapkan dari seniman tari miskin itu?” balas Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya.

Bli Wayan memiliki cinta sejati dan senang bekerja,” balas Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya. “Bagi tiang, itu lebih dari segala kemewahan di dalam griya, termasuk gelar bangsawan.”

Bagaikan air yang mengalir, tekad Ida Ayu Sarasvati Dharmmawijaya untuk menikah dengan pemuda tersebut tidak terpatahkan. Berpuluh balian disewa Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya untuk mematahkan cintanya, tetapi tidak ada yang mempan. Akibatnya, upacara patiwangi tidak bisa dihindari.

Pati berarti mati. Wangi berarti harum. Dalam upacara ini, Sarasvati membunuh keharuman nama bangsawan Ida Ayu[10] yang disandangnya. Untuk menjalani patiwangi, ia harus kembali melangkah ke dalam griya[11] Dinasti Dharmmawijaya. Di sana, ia wajib pamit pada leluhurnya. Prosesi patiwangi akan menjadikan Sarasvati sebagai perempuan sudra yang sempurna dan kehilangan haknya sebagai bangsawan. Ia pun harus memanggil ratu pada para Brahmana. Bagaikan budak, ia harus bersimpuh di hadapan para Brahmana.

“Jangan pernah kembali ke griya ini, kecuali kau ingin mati, Sarasvati!” bentak Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya seusai upacara patiwangi. Nada suaranya penuh ancaman dan kutukan. Untuk menegaskan ucapannya, Ida Ayu Dharmmawijaya menghunus keris dan mengancungkannya ke arah Sarasvati. Selain pakaian upacara yang melekat di badan, tidak ada satu pun benda yang dibawa Sarasvati dari griya.

Namun, sejak Sarasvati resmi terusir griya, satu per satu malapetaka menyerbu griya. Mulanya, suami Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya, Ida Bagus Dharmmawijaya mengalami salah pati[12]. Ia ditemukan tewas dalam keadaan telanjang di kamar pelacur. Mulutnya penuh dengan busa. Tidak hanya penyelenggaraan ngaben, penghuni griya Dharmmawijaya harus mengeluarkan harta untuk mecaru[13], agar kematiannya yang tidak wajar tersebut tidak mengundang wabah dan huru-hara.

Dua bulan setelah ngaben tersebut, api membakar griya. Tidak seorang pun yang mengetahui sumber api. Dalam sekejap, kobarannya melahap dan mengerkah-ngerkah griya dengan rakus. Selain menghanguskan separuh griya, kobaran api membakar ruang tempat penyimpanan harta Dharmmawijaya. Dinasti Dharmmawijaya yang dikenal sebagai dinasti bangsawan terkaya, langsung jatuh miskin dalam waktu satu malam. Satu per satu wong jero meninggalkan griya itu.

Seolah belum lengkap malapetaka yang menyerbu griya Dharmmawijaya, Ida Telaga Dharmmawijaya diserang penyakit glaukoma yang merampas penglihatannya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain mejejehitan. Di tengah reruntuhan griya Dharmmawijaya, Ida Ayu Dharmmawijaya mejejehitan setiap hari. Seorang wong jero yang setia—menjual perlengkapan upacara hasil mejejehitan dari pintu ke pintu dan dari pasar ke pasar. Meskipun perlengkapan upacara tersebut terkenal dengan keindahannya, uang yang dihasilkan dari penjualannya tidak akan pernah bisa digunakan untuk membangun dan mengembalikan kemegahan griya Dharmmawijaya.

Malapetaka-malapetaka tersebut menimbulkan pergunjingan. Dalam waktu cepat, pergunjingan itu menyebar ke seluruh penjuru desa.

“Sarasvati adalah matahari[14] Dinasti Dharmmawijaya,” ucap seorang perempuan tua berkasta sudra di sebuah halaman pura. “Mengusirnya berarti mengusir matahari. Apa jadinya kehidupan ini tanpa matahari?”

“Bukankah dia telah menjalani upacara patiwangi, Meme?”[15] sahut putri perempuan sudra itu.

“Benar, Luh[16],” sahut sang ibu. “Namun, hanya Sarasvati yang memiliki taksu[17] Dewa Surya. Taksu itu tidak akan bisa dibunuh upacara patiwangi. Meskipun dirinya bukan bangsawan, ia tetaplah matahari. Lihatlah griya Dinasti Dharmmawijaya. Meski disengat matahari siang, griya itu tetap segelap kuburan.”

Tidak hanya kedua perempuan tersebut, tetapi para balian[18] juga membenarkan hilangnya matahari dari griya dinasti Dharmmawijaya. Bagai matahari, kehidupan Sarasvati sebagai sudra, membawa terang di desa tempat ia bermukim. Meski tidak menyandang nama Ida Ayu, Sarasvati tetap dihormati sebagai bangsawan. Suaminya, I Wayan Wiko Tangkas, sungguh-sungguh memperlakukan dirinya sebagai seorang ratu.

Bila tidak menerima panggilan menari di luar desa, Sarasvati mengajari orang-orang sudra banyak hal. Mulai dari menulis lontar, berhitung, makidung, majejahitan, hingga membaca veda. Karirnya sebagai penari kian cemerlang. Tidak jarang ia diundang dalam pementasan tari bali klasik dengan bayaran jutaan dolar. Meski ia berkasta sudra, kekayaannya melampaui kekayaan yang pernah dimiliki para Brahmana dari Dinasti Dharmmawijaya.

Berita tentang kesuksesan Sarasvati dan pergunjingan tentang hilangnya matahari dari griya Dinasti Dharmmawijaya—terlontar ke seluruh penjuru mata angin. Ida Ayu Dharmmawijaya tidak menghiraukannya. Rasa kecewa yang luar biasa membuat ia menganggap putri tunggalnya telah mati.

***

Sekuntum bunga kamboja putih yang dipetik angin, jatuh di bahu Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya dan menyentaknya dari perangkap pusaran kenangan masa lalu. Putrinya yang dianggapnya telah mati, Sarasvati, masih bersimpuh di hadapannya. Dalam hati, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya membenarkan desas-desus tentang taksu Dewa Surya yang tertanam dalam tubuh Sarasvati. Meskipun berkasta sudra, cahaya matahari yang menerangi seluruh generasi Dinasti Dharmmawijaya seolah memancar dari tubuh Sarasvati. Kedatangannya tidak ubahnya kepulangan matahari yang hilang dari griya Dinasti Dharmmawijaya.  Alih-alih meraih keris dan membunuh Sarasvati sebagaimana sumpahnya di masa lalu, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya malah memeluk putri tunggalnya itu. Rasa haru dan perasaan menggumpal dalam hatinya. Tangisnya memecah siang.

“Sarasvati,” bisik Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya dalam isak tangisnya.

Tiang, Ratu,” sahut perempuan sudra dalam pelukan Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya. “Kita akan bangun kembali griya ini, Ratu. Agar bisa menjadi tempat berteduh yang nyaman. Tiang yang menanggung biayanya. Ratu tidak perlu lagi mejejehitan dari pagi sampai pagi kembali. Bila memerlukan uang atau bantuan lain, Ratu hanya perlu mengirim wong jero untuk memberi tahu tiang.”

Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya semakin merasa rendah di hadapan Sarasvati. Perlahan-lahan, ia meraih sepasang tangan gadis sudra yang lahir dari rahimnya dua puluh lima tahun yang lalu.

Ampura, Tugeg[19],” bisik Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya. “Dulu, aku hanya melihat dengan mataku. Namun setelah kehilangan penglihatan, aku bisa melihat dengan hatiku. Meski upacara patiwangi telah mengikis nama bangsawanmu, engkau tetaplah seorang Ida Ayu di hatiku. Kembalilah memanggilku Ibu.”

Perlahan-lahan, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya menyadari bahwa kebangsawanan sejati lahir dari hati yang suci. Air, bunga-bunga, dan mantra-mantra telah membunuh nama Ida Ayu yang disandang Sarasvati. Putrinya telah sempurna menjadi perempuan sudrakasta rakyat jelata dalam tatanan masyarakat Bali. Keharuman nama bangsawan yang disandangnya—telah mati. Namun kebangsawanan sejati yang bersemayam dalam hati Sarasvati tetap mewangi dan mengalahkan keharuman seluruh bunga surgawi. Di dalam tubuhnya tertanam matahari yang menyinari Dinasti Dharmmawijaya.

Disaksikan Dewa Surya dari kahyangan, Ida Ayu Telaga Dharmmawijaya bangkit sambil terus menggenggam tangan Sarasvati. Kini, ibu dan putrinya itu—kasta brahmana dan kasta sudra—berdiri sama tinggi [.]

.

Catatan: [1] Tari perang Bali | [2] Bulan purnama dan tilem (bulan saat gerhana) sangat sakral dalam Hindu-Bali | [3] Pura keluarga | [4] Raja perempuan | [5] Maafkan aku | [6] Ratu merupakan sebutan penghormatan untuk golongan bangsawan (Brahmana) | [7] Saya | [8] Primadona | [9] Kakak laki-laki | [10] Nama depan anak perempuan kasta Brahmana. Biasa dipanggil juga ‘Dayu’ | [11] Rumah yang menjadi tempat tinggal kasta Brahmana di Bali | [12] Mati tidak wajar | [13] Upacara kurban untuk meruwat bumi atau lima unsur alam (tanah, air, udara, api, dan ether) | [14] Salah satu kepercayaan di Bali menyebutkan bahwa perempuan Brahmana adalah surya (matahari) | [15] Panggilan ibu untuk kasta sudra | [16] Panggilan untuk perempuan muda kasta sudra | [17] Aura, kharisma spiritual, atau kekuatan dari dalam yang menimbulkan mukjizat | [18] Dukun | [19] Panggilan untuk anak perempuan bangsawan.


Ilustrasi: Oliva Sarmustika Nagung.

Baca juga:
Telur – Cerpen Jeli Manalu
Cairan – Cerpen Latif Nur Janah


2 thoughts on “Pulangnya Matahari yang Hilang”

  1. Komang Berata berkata:

    Entah sudah berapa kali saya baca cerita ini, masih belum membosankan, walaupun ada sangat sedikit kejanggalan.

    1. Sebut Saja Bunga berkata:

      Suasananya betapa sungguh mirip. Suka.

Komentar Anda?