Menu
Menu

Tentang Klub Buku Petra, sebagian orang melihat kami seolah tengah bermain-main saja. Sebagian lagi mengira, kami begitu serius bahkan cenderung ambisius…


Oleh: Maria Pankratia |

Lahir di Ende. Tinggal di Ruteng, dan bersama kawan-kawan yang lain, memastikan dapur Klub Buku Petra selalu menyajikan menu yang enak.


Agustus 2018, saat itu Ruteng memasuki musim yang mulai basah. Hampir setiap hari hujan turun.

Di pagi hari kabut naik perlahan dan barisan bukit Mandosawu tampak berjejer rapi. Matahari akan bersinar hingga pukul sebelas, lalu perlahan mendung dan awan berarak menumpahkan air dari langit. Saya menghabiskan waktu kurang lebih dua minggu di kota nan romantis ini.

Satu minggu pertama, mengisi kelas menulis kreatif bersama dua kawan lainnya di salah satu Sekolah Menengah Atas. Satu minggu tersisa, menghabiskan waktu menjumpai kawan-kawan dan mengakrabi tempat tidur yang nyaman dengan cuaca yang sangat menentukan seperti yang saya ceritakan sebelumnya.

Kebetulan yang sangat luar biasa, bahwa sehari setelah kegiatan mengisi kelas menulis tersebut, buku kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam (PMA) yang diterbitkan Dusun Flobamora dirayakan kehadirannya di Ruteng. Tentu saja ini terjadi karena penulisnya adalah orang Manggarai dan menetap di Ruteng. Saya hadir sebagai perpanjangan kawan-kawan di Kupang, juga tentu saja sebagai seorang kawan yang ingin ikut serta dalam euforia kelahiran buku kedua sang penulis—buku pertamanya berjudul salah satu alat indera manusia, Telinga.

Di acara launching PMA, saya bertemu orang-orang baru yang perlahan membuat saya semakin lebih betah berada di kota ini—setelah saya pikir-pikir, mungkin hal ini juga yang membuat saya memutuskan tinggal seminggu lebih lama dari rencana sebelumnya. Perbincangan yang seru terkait dunia kepenulisan dan karya-karya sastra Indonesia yang makin hari makin berisik saja, berlangsung menyenangkan di sini.

Beberapa hari kemudian, setelah acara tersebut, saya diajak oleh Kaka Armin, yang juga menjadi tuan rumah selama saya menikmati Ruteng, menyambangi rumah salah seorang kawannya, sebut saja Njeuk—demikian beliau sering disapa. Tiba di sana, ternyata telah hadir juga dr. Ronald Susilo. Kedua orang ini, saat launching buku PMA, menjadi pembicara yang membahas hasil pembacaan mereka terhadap buku kumpulan cerpen tersebut.

Saya dan tiga orang ini, duduk di atas karpet ruang tengah rumah Om Njeuk, yang kemudian saya ketahui sebagai Marcelus Ungkang. Obrolan kami ngalor ngidul tentang hal-hal seputar sastra, sembari ditemani sopi yang dibawa dr. Ronald yang tidak kuat minum sopi dan membiarkan kami menghabiskannya. Tiga puluh menit sebelumnya, Kaka Armin baru selesai menenggak obat sakit gigi, akan tetapi bapa tua malas tau, hajar saja sopi enak tersebut. Hal-hal serius belum sempat menghampiri kami, tidak ada bayangan apa pun tentang hari ini: hari ketika saya mengenang dan menulis kembali semuanya, hari di mana saya menceritakan mimpi yang sedang berusaha dibangun, dan kerja-kerja yang telah dilakukan demi mewujudkan hal tersebut.

Malam itu, saya kemudian lebih mengenali profesi Om Celus/Njeuk dan dr. Ronald. Marcelus Ungkang adalah seorang Dosen Sastra di STKIP Santu Paulus Ruteng (sekarang UNIKA Santu Paulus Ruteng). Seseorang yang sangat keras pada dirinya sendiri dan cenderung tidak pernah merasa puas.

Sedangkan dr. Ronald Susilo adalah dokter yang senang membaca karya sastra dan sedang ingin menulis blog tentang kesehatan. Satu bulan setelahnya saya dan dr. Ronald sama-sama berada di Jakarta. Beliau mengajak saya makan di lantai satu Gramedia Matraman. Kami mendiskusikan buku dan hidup yang luar biasa keras ini. Tanpa saya sadari, beliau sebenarnya tengah mewawancari saya dan menanamkan keyakinan di alam bawah sadar saya: tidak lulus PNS Kementrian BUMN, ada Klub Buku Petra Ruteng yang menanti engkau pulang, Maria!

Sepanjang tahun 2019 hingga beberapa hari lalu, saat Bincang Buku Petra berakhir, ini yang saya alami setelah mematikan lampu kamar dan bersiap untuk tidur; pikiran saya tidak juga berhenti bekerja sementara tubuh saya sudah berteriak kelelahan, seperti memohon-mohon untuk dimatikan sejenak. Namun, saya tidak sanggup melarang pikiran yang terus menyala.

Saya memang memiliki kebiasaan tidur yang aneh—pola ini terbentuk sejak masih kuliah—tetapi tidak pernah sulit tertidur di mana pun saat letih mendera. Saya bisa tertidur di sofa, di bangku ruang tunggu, bahkan di trotoar. Tetapi tidak dengan kelelahan setelah melewati sesi diskusi di Klub Buku Petra. Barangkali, adrenalin yang terpacu serta atmosfer yang tercipta saat bincang buku berlangsung, selalu memberikan rasa nyaman yang menyenangkan.

Ya, tentu saja sangat menyenangkan jika kau bisa membincangkan hal yang kau sukai dengan beberapa orang sekaligus dalam waktu bersamaan, seperti di Bincang Buku Petra. Dan, saya dipercaya sebagai orang yang mengatur perbincangan ini agar terus berlangsung sepanjang tahun. Selain bincang buku, ada perpustakaaan dan media dalam jaringan yang dikelola menggunakan nama Petra. Tentang awal mula Klub Buku Petra, kawan-kawan bisa membacanya di salah satu artikel di sini. Benar-benar sesuai harapan dr. Ronald, saat beliau dengan keahliannya mempengaruhi saya untuk kembali ke Flores setahun yang lalu: “Ke Ruteng saja, Mar. Jakarta sudah terlalu penuh, saya tidak yakin kau bakal betah.”

Setelah Setahun di Ruteng

Pada bulan Desember 2019 yang lalu, Bincang Buku Petra dilakukan tiga hari sebelum Natal tiba. Perjumpaan ini dilanjutkan dengan evaluasi terkait kegiatan-kegiatan yang telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Setelah semua peserta Bincang Buku telah pamit, tersisa saya, dr. Ronald Susilo, Armin Bell, dan Marcelus Ungkang: para Redaktur Bacapetra sekaligus Pengurus Yayasan Klub Buku Petra.

Kami membincangkan beragam hal dan, seperti biasa, saat-saat seperti ini kami selalu abai tentang waktu. Hingga akhirnya, salah satu handphone berbunyi. Panggilan masuk sekaligus alarm untuk pulang. Ketika itu, ingatan saya kemudian terlempar ke ruang tengah rumah Om Njeuk. Ketika kami berempat duduk bersila di atas karpet sembari mengedarkan botol sopi dan membahas hal-hal remeh temeh.

Setelah sepuluh bulan yang luar biasa yang telah kami lewati bersama-sama di Bacapetra.co, dan sebelas bulan di Yayasan Klub Buku Petra, pembahasan kami tak bisa dikatakan receh dan sesukanya lagi. Begitu banyak hal “mengerikan” yang harus diulik sehalus mungkin demi tahun-tahun mendatang yang bisa jadi bakalan lebih ganas, penuh tantangan.

Sebagian orang melihat, kami seolah tengah bermain-main saja. Sebagian lagi mengira, kami begitu serius bahkan cenderung ambisius membangun hal-hal yang kami sendiri belum tahu pasti ke mana akan bermuara. Bagian terakhir ini juga yang saya duga membuat sebagian orang diam-diam menilai bahwa kami terlampau sulit dijangkau dan terkesan sangat eksklusif. Seolah-olah kami sedang membentengi diri dari dunia luar. Demi Tuhan!

Adakah hal baik yang dilalui tanpa rintangan? Saya pikir, tidak ada! Semua yang diawali dengan ketulusan, akan menghadapi macam-macam hambatan, niscaya buah yang dihasilkan tidak akan sia-sia. Berbicara tentang idealisme, kami yakin kami paham, dengan sangat baik, apa yang sementara kami perjuangkan.

Hutan ini akan terus diterabas, lahan subur adalah mimpi yang sejati. Akan tetapi, pada mulanya adalah tanah yang mesti digarap melalui peluh dan doa yang tak kunjung putus melewati musim-musim yang senantiasa memberi tanda.

Selamat Satu Tahun, Mar!

Untuk kalian semua, salam dari Ruteng!


*Judul diadaptasi dari salah satu buku kumpulan puisi Aan Mansyur, “Melihat Api Bekerja”.

Foto: Kaka Ited

Komentar Anda?