Menu
Menu

Kami belajar membaca. Belajar memilih bacaan, cara membaca, cara mempercakapkannya, dan belajar bahwa membaca sama pentingnya dengan menulis.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Anggota Klub Buku Petra.


Kami memulai klub buku di Ruteng dengan alasan sederhana. Ingin berbagi pengalaman membaca. Seperti orang-orang duduk bersama lebih lama setelah nonton pertandingan sepak bola; membahas tendangan penalti yang melambung tinggi, barisan pertahanan yang kedodoran, striker andal yang gagal tampil maksimal, teman yang kalah taruhan, persaingan abadi Ronaldo dan Messi, sampai ke gol tangan tuhan yang dibahas berulang-ulang.

Semacam momen curahan hati: tidak mampu mengubah apa-apa atas apa yang sudah terjadi. Kita perlu saling dengar, kalau-kalau suatu saat jadi pemain atau pelatih sepak bola, kita bisa belajar dari pertandingan-pertandingan yang sudah kita saksikan. Niatnya begitu saja. Siapa tahu bisa belajar menulis setelah sering melihat dan berbincang tentang cara orang-orang mengarang cerita.

Buku pertama yang kami baca adalah novel berjudul Petra – Southern Meteor (Gita Kasih, 2006) karangan Yoss Gerard Lema, seorang jurnalis yang tinggal di Kupang. Ronald Susilo, inisiator klub buku kami mendapat kiriman belasan eksemplar novel itu langsung dari penulisnya saat beberapa anggota awal klub ini sudah sepakat berkumpul dalam waktu dekat tetapi belum memilih buku yang harus dibaca bersama. Ya, klub buku yang kami bentuk tahun 2013 itu memang punya cita-cita: semua anggota membaca satu buku yang sama lalu membahasnya di pertemuan bulanan klub, bulan berikut kita cari judul yang lain, dan seterusnya.

Dari judul buku pertama itulah klub kami sekarang ini bernama Klub Buku Petra. Tidak ada alasan spesifik, misalnya bahwa karakter tokoh utama novel itu yang bernama Petra hendak kami pakai sebagai pendasaran gerak klub kami di tahun-tahun selanjutnya. Toh beberapa menit setelah membaca novel itu, kami tidak terlalu yakin bahwa penokohan Petra dibuat dengan sungguh-sungguh.

Kami lebih banyak tertawa setelahnya, juga mengomentari bertebarannya iklan pariwisata NTT di lembaran-lembaran novel itu; iklan pariwisata sesungguhnya, seperti foto-foto obyek wisata yang kau temui sekarang di Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain yang dikelola oleh institusi pemerintah yang Adminnya tidak dapat honor yang layak sehingga mengambil foto dari akun medsos fotografer profesional tanpa permisi.

Saya ingat, cara kami membahas hal-hal yang seharusnya ada atau tidak ada dalam novel Petra – Southern Meteor itu mirip dengan komentar kami bertahun-tahun kemudian tentang keputusan Gareth Southgate yang memberi kepercayaan penuh pada Harry Kane untuk mengambil tendangan penalti kedua pada pertandingan kontra Prancis di Piala Dunia 2022 di Qatar. Berapi-api, lalu selesai. Pertandingan berakhir dengan kekalahan Inggris, novel itu telah terbit, kami tetap membaca bersama, mendiskusikannya sekali sebulan, sesekali ngobrol tentang sepak bola, main futsal jika sempat, lalu tumbuh bersama.

Belajar Membaca di Klub Buku Petra

Sudah hampir seratus judul yang kami baca bersama sejak Petra – Southern Meteor sampai saat ini. Mawar Padang Ara, Makan Siang Okta, Laut Bercerita, Malaikat Lereng Tidar. Ronggeng Dukuh Paruk, Dawuk, Ibu Susu, Burung Kayu, Orang-Orang Oetimu, Nadus dan Tujuh Belas Pasung. Kura-Kura Berjanggut, Semua Ikan di Langit, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Lengking Burung Kasuari, Kokokan Mencari Arumbawangi. Haniyah dan Ala, Dekat dan Nyaring, Tango dan Sadimin. Dan masih banyak lagi, dan kami belajar lagi. Belajar membaca. Belajar cara membaca yang baik. Belajar membaca dengan baik.

Akhirnya begitu. Setelah mimpi awal bahwa klub buku yang kami bangun ini akan menghasilkan banyak penulis, terbit kesadaran bahwa tahu cara membaca adalah yang terutama.

Beberapa anggota awal sudah jarang hadir. Saya, Celus, Dokter Ronald, Ucique masih bertahan. Anggota baru berdatangan. Maria, Yuan, Ajin, Lolik, Beato, Nadya, Febry, Retha, Marto, dan banyak lagi. Sesekali latihan menulis, termasuk untuk publikasi hasil diskusi di Bacapetra.co, kami lebih banyak belajar membaca. Dengan tekun. Melihat cara penulis membangun karakter rekaan mereka, menemukan hal yang aneh dalam cara bertutur narator, mengenal sejarah dari sudut-sudut yang lain, menghubungkan diri dengan tokoh-tokoh dalam cerita, membangun empati sebagaimana tokoh dalam cerita tumbuh (menjadi lebih baik), melihat dunia dengan cara yang lain; sekali mendengar cerita, dunia tak lagi sama.

Dan memang tak lagi sama. Klub yang sekarang bernama Petra ini telah berubah. Rentang antara 2013 sampai 2023 ini membantunya bergerak, menemaninya berbenah, melahirkan anak-anak.

Kami percaya bahwa kesenangan membicarakan buku yang dibaca bersama tidak seharusnya jadi milik kami sendiri. Maka selain Bincang Buku Petra yang adalah nama resmi program bincang buku bulanan kami saat ini, Klub Buku Petra melakukan hal yang sama di luar klub. Namanya Bincang Buku Sekolah. Perlakuannya mirip, kecuali bahwa yang jadi peserta di Bincang Buku Sekolah adalah anak-anak sekolah. Dan para mahasiswa. Diadakan di sekolah-sekolah. Dan kampus. Yang sudah menjalin kerja sama dengan Yayasan Klub Buku Petra.

Kami belajar memilih bacaan. Yang cocok untuk kami di klub, belum tentu cocok untuk mereka di sekolah atau kampus. Yang penting untuk mereka, barangkali sudah tidak lagi kami perlukan. Yang diulang-ulang banyak penulis, seperti tema-tema perdagangan manusia atau enam-lima, barangkali perlu digarap dengan cara yang lain agar tidak jadi buku yang membosankan. Yang bekerja di penerbitan, harus lebih serius memperhatikan kesejahteraan pemeriksa aksara agar mereka bekerja lebih baik. Yang dipuji-puji aktivis perbukuan, belum tentu menarik. Yang eksotik kenapa selalu kami dari desa? Dan lain-lain, dan lain-lain, dan seterusnya demikian.

Rubrik Bincang Buku di Bacapetra.co kami pakai untuk menceritakan hal-hal yang terjadi di klub ini. Selain sebagai usaha dokumentasi, notula yang ditayangkan reguler ini juga dimaksudkan sebagai umpan balik. Kepada penerbit, kepada penulis, kepada industri perbukuan, kepada pembaca yang jauh. Bahwa kita semestinya sama-sama belajar membaca. Tidak ada yang sudah seratus persen selesai, to? Kami mengkritik. Beberapa orang berharap bahwa kritikan kami seharusnya sejalan dengan kemampuan kami menghasilkan cerita. Padahal kritik tidaklah seperti itu polanya. Kritik adalah satu hal, dan menghasilkan cerita adalah hal yang lain. Kami memuji novel-novel bagus. Sebab memang harus begitu. Dan, kami bercakap-cakap tentang lebih banyak buku. Semakin banyak pula orang-orang terlibat di klub.

Tentu saja jumlah orang yang mempercakapkan novel tidak akan pernah sama dengan atau setengahnya atau seperempatnya atau sepersekiannya jumlah mereka yang bicara tentang sepak bola. Tidak akan pernah sama. Tetapi, ketika memulai klub kami pada tahun 2013 silam, kami tidak membayangkan bahwa jumlah anggotanya akan bertambah. Berkurang? Kami sudah pikirkan kemungkinan itu dahulu. Bahkan memikirkan kematiannya. Sekarang? Kami masih ada. Mendapat anggota baru. Mendapat dukungan-dukungan. Juga dari Gramedia yang mulai tahun ini jadi penyedia beberapa judul buku. Siapa bisa menebak yang akan terjadi beberapa tahun setelah ini; membincangkan sebuah buku akan jadi semacam kebutuhan. Hiaaa… Sap mimpi terlalu besar? Tirapa-apa.

Coba pikirkan ini. Anak-anak sekolah yang pernah jadi peserta Bincang Buku Sekolah, suatu saat akan membentuk klub buku mereka sendiri. Bisa saja to Ketika memulai klub buku di Ruteng beberapa tahun silam, kami tidak pernah tahu bahwa kami bisa memulai sebuah klub buku: orang-orang berkumpul dan membincangkan pengalaman membaca mereka, menemukan diri mereka dalam diri tokoh-tokoh yang diciptakan para penulis lalu belajar tumbuh bersama mereka; menjadi lebih baik.

Kami memulai klub buku di Ruteng dengan alasan sederhana. Ingin berbagi pengalaman membaca. Dan mewartakan bahwa membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Selebihnya hanya bonus. Astaga! Ternyata bisa begitu. [*]


Baca juga:
Kita Semua Perantau
Apa yang Membentuk Kelopak Bunga Pohon Sakura?


Komentar Anda?