Menu
Menu

Novel Orang-Orang Biasa adalah buku kedua dari trilogi Guru Aini. Tentang sepuluh sekawan di kota Belantik.


Oleh: Apri Bagung |

Siswa kelas XII program Ilmu-Ilmu Sosial di SMA St. Fransiskus Saverius Ruteng. Telah menerbitkan buku antologi puisi berjudul Kemeja Kenangan. Berasal dari Tentang, Manggarai Barat.


Pada tanggal 25 Maret 2022, saya berkesempatan untuk terlibat dalam kegiatan Bincang Buku Sekolah yang dilaksanakan oleh Yayasan Klub Buku Petra bersama lembaga pendidikan SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng. Kegiatan tersebut diadakan di Ruang Guru SMA St. Fransiskus Saverius Ruteng. Selain dihadiri oleh para siswa, kegiatan juga dihadiri oleh para guru pengajar serta perwakilan dari Klub Buku Petra.

Kegiatan dimulai sekitar pukul 16.00 Wita. Tampil sebagai moderator adalah Kae Lolik Apung. Sebelum masuk pada kegiatan pemaparan materi, acara dimulai dengan mendengarkan pengantar dari Romo Martin Wilian selaku kepala sekolah. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan pantikan singkat dari Pak Yano Warut, Guru Bahasa Indonesia di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng. Pak Yano memulai presentasi materinya dengan terlebih dahulu memperkenalkan identitas buku yang akan kami bedah bersama. Buku yang menjadi bahan perbincangan kami sore itu ialah sebuah novel berjudul Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata.

Sekilas tentang Orang-Orang Biasa

Novel Orang-Orang Biasa adalah buku kedua dari trilogi Guru Aini. Novel ini secara umum mengisahkan perjuangan sepuluh sekawan yang adalah orang-orang biasa, orang-orang dengan latar belakang ekonomi yang sama. Selain miskin, mereka juga digambarkan sebagai orang-orang bodoh. Selama berada di bangku pendidikan, mereka selalu menempati posisi bangku paling belakang.

Mereka adalah warga kota Belantik yang digambarkan oleh Andrea Hirata sebagai kota paling damai sekaligus kota paling naif. Di kota Belantik sangat jarang terjadi tindakan kejahatan. Kota Belantik adalah kota yang sangat tenteram. Para penduduknya seperti tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka seperti tidak tahu cara berbuat jahat. Hal ini membuat Inspektur Abdul Rojali dan asistennya, Sersan P. Arbi merasa seperti menjadi polisi yang sama sekali tidak berguna di sana.

Konflik dalam novel Orang-Orang Biasa dimulai ketika Aini dinyatakan lolos seleksi fakultas kedokteran di salah satu kampus ternama. Namun langkah Aini untuk mewujudkan cita-citanya sebagai seorang dokter mau tidak mau harus terhenti. Ini terjadi karena Dinah, ibunya yang juga adalah anggota sepuluh sekawan, merasa mustahil untuk memperoleh uang dengan jumlah yang fantastis.

Dinah telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan biaya tersebut. Ia sering keluar masuk bank untuk mengajukan pinjaman. Namun usahanya seperti tidak membuahkan hasil. Tidak ada bank yang bersedia memberikan pinjaman kepadanya sebab ia tidak memiliki jaminan pinjaman. Dinah adalah anggota sepuluh sekawan yang memiliki empat orang anak. Ia bekerja sebagai pedagang kaki lima yang menjual mainan anak-anak di pinggir jalan. Sementara itu, suaminya telah lama jatuh sakit sehingga tidak bisa membantu menafkahi keluarga.

Demi mewujudkan cita-cita Aini anaknya, Dinah menceritakan semua masalah yang dihadapinya kepada Debut Awaludin yang adalah pemimpin sepuluh sekawan. Sebagai orang yang berkawan sejak masa kecil, Debut tentu saja prihatin dengan masalah yang dihadapi Dinah. Debut ngotot agar Aini tetap melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Soal biaya, Debut menawarkan sebuah ide yang tak biasa.

Debut beranggapan bahwa seluruh uang yang ada di muka bumi terkumpul di bank. Maka untuk memperoleh uang itu, jalan yang harus ditempuh ialah dengan merampok sebab tidak mungkin mereka mengajukan pinjaman dengan jaminan yang sama sekali tidak menjamin pelunasan utang. Untuk mewujudkan ide yang tak biasa itu, Debut mengumpulkan kawan-kawan yang lain. Semula mereka hanya berjumlah delapan orang. Namun selanjutnya jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Mereka rajin mengadakan pertemuan, membahas rencana perampokan bank.

Tak hanya Debut dan sepuluh sekawan saja yang berjuang mati-matian dalam mencari biaya. Aini sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga. Ia rela bekerja di salah satu kedai kopi di kota Belantik. Upah yang diterimanya memang itu-itu saja. Tidak mungkin cukup untuk memenuhi biaya pendidikannya. Tetapi ia tetap gigih dalam berjuang.

Debut Awaludin yang adalah otak perampokan, merencanakan aksi perampokan ketika Festival Tujuh Belas Agustus digelar. Semua warga tentu akan meninggalkan rumah ataupun tempat kerjanya demi menyaksikan festival tujuh belasan. Debut memang orang paling cerdas di kumpulan mereka. Ia tidak sebodoh anggota kawanannya.

Di akhir cerita, aksi yang dilakukan Debut dan kawan-kawannya berhasil membongkar suatu masalah besar yang selama ini terjadi di kota Belantik. Debut dan kawan-kawannya menguak kasus pencucian uang yang selama ini dilakukan dengan sistematis sehingga tidak ada yang berpikir bahwa kota Belantik menyimpan suatu permasalahan yang sangat luar biasa.

Kekurangan dan Kelebihan Orang-Orang Biasa

Diskusi yang berlangsung sore hingga malam itu berlangsung alot. Setiap peserta yang hadir seperti berebut kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan hasil pembacaan masing-masing. Sebagai moderator, Kae Lolik Apung secara acak memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan hasil pembacaan mereka.

Kesempatan pertama diberikan kepada seorang siswi bernama Valeria dari kelas XII MIA 1. Menurut Valeria, dalam novel Orang-Orang Biasa terlalu banyak tokoh yang dihadirkan. Ia merasa jumlah tokoh yang banyak ini membuat pembaca sangat bingung. “Dalam novel ini, saya menemukan ada begitu banyak tokoh yang turut terlibat. Bagi saya, kehadiran banyak tokoh tersebut membuat pembaca akan bingung. Hal ini karena pembaca akan susah untuk memfokuskan perhatian pada tokoh tertentu,” ungkapnya.

Ketika diberi kesempatan, Ilan senada dengan Valeria. Baginya kemunculan tokoh-tokoh baru justru membuat pembaca akan bingung. “Tokoh-tokoh baru yang dihadirkan Andrea Hirata pada bagian-bagian akhir cerita membuat saya sebagai pembaca seperti dipaksa untuk berpikir keras. Jujur, kisahnya memang menarik dan banyak kejutan. Tetapi tokoh yang terlibat terkesan terlalu banyak sehingga pembaca akan bingung,” ungkap Ilan.

Sementara itu, Ogilvie Poseng (siswa kelas XII IIS 2) merasa bingung dengan kisah yang dilakoni Debut. Menurut Ogilvie, dirinya bingung sebab Debut pada bagian awal cerita dikisahkan sebagai orang biasa yang teramat bodoh. Ia hanya cerdas di kumpulannya saja. Tetapi pada bagian akhir cerita, Debut justru berhasil menguak kasus pencucian uang yang terjadi secara sangat sistematis.

“Andrea Hirata seperti terburu-buru dalam menyelesaikan cerita Orang-Orang Biasa. Sebagai pembaca yang sangat menikmati kisah dalam novel, saya merasa bingung ketika sampai di akhir cerita. Pada bagian sebelumnya, Debut adalah orang bodoh. Sama seperti kawan-kawannya yang lain, ia diperintahkan oleh guru untuk menempati bangku belakang sebab ia bodoh, tetapi di bagian akhir cerita, Debut melakukan aksi luar biasa. Ia menguak kasus pencucian uang yang sama sekali tak gampang diungkapkan, sekalipun oleh pihak terkait,” kata Ogilvie.

Kekurangan lain buku ini diungkapkan juga oleh Velin Angkat. Menurut Velin, beberapa iklan atau promosi yang disematkan pada beberapa halaman terakhir dalam buku ini sungguh membuatnya merasa terganggu ketika sedang membaca. “Sedikit catatan dari saya, ini terkait beberapa halaman terakhir dalam novel Orang-Orang Biasa. Jujur saja, promosi karya pada beberapa halaman akhir sebenarnya tidak perlu. Nama Andrea Hirata sudah dikenal oleh publik. Harusnya tidak perlu lagi menyematkan beberapa iklan karya atau promosi karya dalam novel tersebut,” ungkap Velin.

Mendengar apa yang disampaikan Velin, Jefri Parus (siswa kelas XII MIA) menyampaikan komentarnya. Menurutnya iklan yang disematkan pada bagian akhir buku bukanlah hal yang begitu mengganggu. “Bagi saya promosi karya pada beberapa halaman terakhir menjadi hal yang perlu dilakukan oleh Andrea Hirata. Artinya, jika orang atau pembaca baru pertama kali membaca karya tangan Andrea, mereka akan tahu karya Andrea lainnya dengan membaca promosi pada halaman-halaman akhir buku tersebut,” komentar Jefri.

Sementara itu, tak sedikit juga audiens yang mengagumi Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata. Kekaguman tersebut salah satunya diungkapkan oleh Ibu Yotin (salah satu guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia). Menurut Ibu Yotin, Andrea Hirata berhasil mengangkat kisah tentang orang-orang biasa dengan cara yang biasa. “Andrea Hirata adalah salah satu penulis yang sangat berbakat. Dalam novel ini ia berhasil menulis kisah orang-orang biasa dengan gaya bahasa dan gaya bercerita yang sangat biasa. Ini membuat novelnya menarik dan tidak sulit untuk dipahami,” terang ibu Yotin.

Tak hanya Ibu Yotin, salah seorang siswa yang akrab disapa Tere juga mengaku kagum dengan novel itu. Tere mengungkapkan, meski dihadapkan pada kisah yang sangat menegangkan, pembaca sesekali akan menjumpai beberapa kalimat-kalimat jenaka yang membuat novel menjadi lebih menarik. Pedro Seda menyampaikan pendapat yang kurang lebih sama dengan Tere. “Andrea Hirata seperti sangat memahami sasaran pembaca novelnya. Dalam novel ini Andrea Hirata tidak melulu fokus pada konflik. Artinya, ia juga menuliskan beberapa kalimat jenaka yang membuat pembaca menjadi tidak bosan,” tegas Pedro.

Komentar terkait kelebihan novel juga disampaikan oleh Romo Martin. Bagi Romo Martin, Andrea berhasil mengonstruksi pikiran pembaca. “Selama membaca novel ini, pikiran saya seperti terkonstruksi. Andrea seolah membuat kita sadar bahwa hidup kita manusia selalu bergerak pada tiga dimensi waktu yakni masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Saya kira inilah yang menjadi keunggulan lain dari novel Orang-Orang Biasa,” kata Romo Martin.

Yang Tersirat dan Tersurat dalam Orang-Orang Biasa

Sama seperti karya-karya lainnya, dalam novel ini Andrea seperti sedang memperjuangkan nilai-nilai kehidupan yang kian hari kian memudar. Melalui Orang-Orang Biasa Andrea sebenarnya sedang menyuarakan realitas hidup zaman sekarang yang sungguh memprihatinkan. Ketika diberi kesempatan berbicara, saya sendiri lebih memilih menggali pesan tersirat dalam novel itu.

Hasil pembacaan pribadi saya, novel ini sebenarnya menyindir keras para tokoh papan atas. Mereka bergelimang harta tetapi cara mendapatkan harta tersebut sungguh tidak adil. Selain itu, kehadiran tokoh Aini, yang adalah perempuan yang gigih berjuang, merupakan sebuah tamparan keras bagi anak-anak zaman sekarang. Seperti yang dikisahkan dalam novel, Aini adalah perempuan miskin yang sebelumnya dianggap bodoh tetapi berhasil lolos dalam seleksi masuk fakultas kedokteran berkat kegigihannya dalam berjuang. Sebuah ironi akan sangat kentara jika kehidupan dan karakter tokoh Aini dikaitkan dengan karakter anak zaman sekarang yang cenderung pasrah pada keadaan.

Afy Dolo juga menyampaikan hasil pembacaannya. Senada dengan saya, ia juga memberi perhatian pada hal-hal yang tersirat dalam novel ketimbang memfokuskan perhatian pada kekurangan atau kelebihan novel. Menurut Afy, novel ini memuat banyak pelajaran. “Novel Orang-Orang Biasa berhasil membuat saya menjadi pribadi yang tidak melulu melakukan atau mengerjakan apa yang saya cintai tetapi belajar untuk mencintai apa yang saya kerjakan. Novel ini memang kaya akan pelajaran hidup,” komentar Afy.

Tasya, salah seorang siswi kelas XII mengungkapkan bahwa novel ini mengulik realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Andrea menampilkan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. “Secara pribadi saya berpendapat bahwa novel ini secara sangat keras ingin menyindir sistem pendidikan kita. Seperti realitas yang kita lihat bersama, pendidikan kita memang belum dapat dijangkau oleh orang-orang biasa dari segi biaya. Ini membuat orang-orang biasa selamanya akan menjadi orang-orang biasa. Padahal mereka juga punya hak mendapatkan pendidikan,” terang Tasya.

Terkait pesan tersirat dalam novel, Valencia (siswa kelas XII MIA) juga ikut menyampaikan komentar. Dalam kaca mata Valencia, novel ini mengandung nilai-nilai moral seperti kejujuran, keikhlasan, dan kegigihan dalam berjuang. Nilai-nilai tersebut secara gamblang disampaikan melalui para tokoh yang terlibat dalam cerita.

Diskusi kami ketika itu berakhir dengan acara makan malam bersama. Acara makan malam merupakan rangkaian acara yang menjadi acara penutup. Namun sebelum itu, dilangsungkan acara penandatanganan keputusan kerja sama peningkatan literasi antara pihak sekolah SMA Katolik St. Fransiskus Saverius dengan pihak Yayasan Klub Buku Petra. Surat keputusan kerja sama tersebut ditandatangani oleh Romo Martin Wilian selaku Kepala Sekolah dan Kaka Armin Bell sebagai perwakilan Yayasan Klub Buku Petra.(*)


Baca juga:
Guru
Kita adalah Tokoh dalam Cerita


Komentar Anda?