Menu
Menu

Bertahun-tahun melihat ikat pinggang buatan Ibu, aku terbiasa hanya menerima standar tinggi. Gugus Sabuk Kurnia – Triskaidekaman.


Oleh: Triskaidekaman |

Tinggal di Jakarta. Karya-karyanya termasuk dalam nominasi Buku Sastra Pilihan Tempo empat tahun berturut-turut (2018-2021). Sesekali menulis puisi dan cerita pendek. Bisa ditemui di akun Instagram dan Twitter @triskaidekaman.


Mao dan Khrushchev bercakap tentang ikat pinggang, tetapi tak pernah ada buktinya. Benarkah Mao menelepon Khruschev dan minta dikirimi ikat pinggang hingga ratusan juta jumlahnya? Apakah lantas Khrushchev mengiyakan? Atau apakah ini cuma rekaan pelawak yang tak ingin namanya dikenal dan diciduk simpatisan antikomunis? Kakek tak pernah cerita. Aku juga sudah tak bisa bertanya. Namun setiap musim ziarah, Ibu selalu menceritakan ulang soal ikat pinggang Khrushchev milik Ayah—anak laki-laki Kakek—yang tak lekang selama puluhan tahun, dan masih tersimpan dalam kotak barang-barang peninggalannya dalam lemari. Ikat pinggang itulah yang menjadi percontohan ikat pinggang ideal di mata Ibu. “Hanya itu barang luar negeri yang ayahmu punya, Nia,” ucap Ibu setiap menyekar. Matanya kering, tetapi terus menerawang ke arah pokok kamboja, seolah kesiur dahan-dahan itu bisa akurat memutarkan ulang masa lalu ketika mendengar kata-kata Ibu. Masa-masa ketika Ayah belum kecelakaan. Walaupun setiap hari selalu memakai ikat pinggang, Ayah tak pernah sempat berkisah banyak soal benda itu. Jangankan, dia bahkan nyaris tak pernah menyinggung ikat pinggang-ikat pinggang buatan Ibu, yang tak kalah bagusnya di mataku.

Jika Kakek menghadiahi Ayah dengan ikat pinggang Khrushchev, Nenek menghadiahi putri kandungnya dengan sepetak industri ikat pinggang. Bukan sembarang ikat pinggang, keluarga Ibu hanya percaya pada kulit—sama seperti ikat pinggang Khrushchev. Meskipun dibantu beberapa pekerja untuk memotong dan mengobras, tak ada yang benar-benar tahu asal muasal kulit itu, selain Ibu sendiri. Saat Nenek masih ada, pasti dia tahu suatu rahasia, yang kuyakini cuma sempat dia beritahukan kepada Ibu. Aku pernah mencoba mengorek informasi. Ibu tidak menjawab lebih dari belum waktunya kamu tahu—senjata khas orang tua.

Aku bertekad membuat Ibu bicara sesegera mungkin, meskipun suasana malam sepulang ziarah biasanya sendu. Kami makan berdua di restoran yang agak mewah, hanya sekadar penghiburan bahwa kami masih bertahan, masih baik-baik saja tanpa Ayah. Malam itu kuputuskan untuk mengaku. Kartu keluarga kami belum sempat diperbaiki sepeninggal Ayah. Aku sudah bersiap kalau-kalau setelah ini Ibu juga ingin mencoret namaku. Atau bahkan mengutukku berkelanjutan, seperti yang dialami Malin Kundang.

“Mungkin kamu bisa coba hadiahi dia dengan ikat pinggang?”

_________ Gugus Sabuk Kurnia – Triskaidekaman.

Membelikannya hadiah sungguh sebuah tantangan. Apabila tepat, dia bisa jatuh ke tanganku; tetapi jika tidak, kami mungkin takkan pernah bertemu lagi. Yang pertama terpikir olehku adalah setelan jas. Dia harus tampil meyakinkan agar aku tidak dianggap sandingan memalukan. Bahkan kalau bisa lebih meyakinkan daripada sekarang, agar aku dianggap layak menggantikan istrinya—perempuan mewah yang selalu menyala-nyala. Sebelum aku tahu ukuran-ukuran tubuhnya, dia muncul dengan tuksedo hitam. Selekasnya aku beralih ke dasi. Lagi-lagi, sebelum aku tahu cara memasangkannya, aku lebih dulu melihat dasi incaranku di restoran. Dia dan istrinya makan malam berdua. Denting alat makan dan piring terdengar sampai mejaku. Malam itu dasi kotak-kotaknya mencolok mata dan perasaanku, sampai-sampai membuatku sulit menilik sisa penampilannya: celana, sepatu, cukuran cambang, hingga pomade. Lalu tibalah malam ziarah. Ibu menggertakkan gigi, mungkin sedih mungkin marah, tetapi setelah bungkam lama dan pikir yang agak panjang, dia memungkas bincang kami yang dingin dengan saran singkat. Saran yang tak pernah jauh dariku, sebenarnya. Tiba-tiba saja aku sadar di manakah dia bercela, di manakah sela yang bisa kumasuki.

Bertahun-tahun melihat ikat pinggang buatan Ibu, aku terbiasa hanya menerima standar tinggi. Aku tak bisa membayangkan gesper yang lebih baik daripada motif jepit sederhana, sekujurnya bersepuh emas atau perak. Aku juga tak pernah tahu ada bahan yang lebih lentur dan bertahan daripada kulit. Ada banyak ikat pinggang buatan Ibu yang memenuhi kedua kriteria itu.

“Bagaimana, Nia?”

“Tidak boleh ikat pinggang Ibu saja?”

Ibu menggeleng malam itu, aku ingat betul. Berpura-pura lupa, kuambil ikat pinggang buatan Ibu yang baru selesai diobras. Satu saja, Ibu tidak akan tahu. Hadiah itu datang padanya begitu elegan, tepat pada puncak hari jadinya. Tanpa kartu ucapan, tanpa namaku, tetapi dia tahu benar itu dariku. Orang-orang di kantor mengulum maklum: itu hadiah malu-malu dari bawahan yang segan kepada atasannya. Pekan demi pekan, perlahan-lahan, ikat pinggang itu melekat padanya, tak pernah lepas. Dia, yang alaminya sudah atletis, jadi kian memesona. Seiring itu istrinya memudar, jarang kelihatan lagi. Desas-desus dari kantor menyebutkan, sang ibu sudah berang. Seperti biasa, ini persoalan keturunan, di mana kalau tidak terjadi apa-apa, perempuan pilihan anak laki-laki selalulah disalahkan. Nyala api boleh megah dan mewah, tetapi tak ada artinya jika tidak berbuah; begitu kata ibunya. Mendengar itu, kukirimkan laporan bulanan. Bukan lewat surel yang merepotkan itu, tetapi kucetak pelan-pelan. Kuantar langsung ke ruangannya. Ke mejanya. Sembari itu, kuperhatikan mejanya. Tak ada kotak bekal. Tak ada foto istri. Apalagi foto ibunya. Mataku berpindah pada kemejanya. Dia tergesa mengunci pintu, melonggarkan dasi, melepas kancing demi kancing. Dia menjepitku setiap ada kesempatan. Tak hanya hari itu, karena dia tak kunjung puas. Aku sering jadi pelananya, sesekali dihela geletar ikat pinggangnya. Aku mengerang tertahan, takut terdengar sampai kubikel. Panas balsem di atas larik-larik bilur tak bisa menghentikan rasa puasku ketika tahu talaknya pada sang istri diam-diam sudah tiga. Betapa hebat Ibu. Hadiahnya begitu tepat dan jitu. Kami tak pernah benar-benar menggelar pesta. Bagi ibunya, pernikahan kedua tak perlu dirayakan. Pertama karena yang dinikahi kalah mewah ketimbang yang pertama. Kedua karena kartu tanda penduduk mereka sekeluarga ada stempelnya. Soal yang pertama bisa didebat, tetapi yang kedua jauh lebih sulit. Maka Ibu diam saja, tahu diri tetapi tak punya jalan keluar. Malah aku yang memutuskan keluar dari pekerjaanku, demi menjadi istri penuh waktu baginya, sekaligus menepis dengung gunjingan kubikel kanan-kiri. Sementara itu, Ibu terus membuat dan menjual ikat pinggang, sambil mengamatiku dari kejauhan. Sepertinya Ibu tahu perbuatanku.

Selang beberapa bulan, bilah pemindai mengitari pusar, sesekali menekan; sekencang lilit ikat pinggang. Monitor memampangkan bubur kabut, berdenyut dan tak bisa kupahami. Kembar laki-laki, Mbak Kurnia. Aku percaya saja, Ibu juga, ibunya lebih-lebih. Ibunya menemui aku dan Ibu, lalu mendelik tajam pada dia yang tertunduk telak, “Demi putra-putramu, yang baru dikasih sekarang.” Tujuh bulanan tergelar sederhana. Pesta buat kalangan tertutup saja. Lagi-lagi karena faktor gemerlap dan stempel. Bulan-bulan bergulir cepat. Pecah ketuban serasa sepintas lalu. Jam-jam genting berselang, mereka pinang terbelah di tengah, berjengit dan merah. Mungkin karena berbulan-bulan terbelit kencang ikat pinggang. Kuharap suatu hari mereka menyala dan mewah, agar aku dianggap ibu yang pantas.

Tahun-tahun awal kami masih berbunga. Aku manis di depan ibunya, dia sopan di depan Ibu. Mula-mula dia mekar, tetapi perlahan memelar. Mulanya kupikir itu wajar. Ikat pinggangnya mulai tertekuk. Tampaknya karena selalu dikenakan lewat lubang yang sama. Ketika kuperhatikan benar, lubang sebelahnya juga melonggar. Lubang sebelahnya belum, tetapi tepinya mulai rompal-rompal—bentuk perjuangan yang gagal. Perpaduan makan yang tak teratur, olahraga yang terlewat, dan metabolisme yang mulai termegap mengganjarnya dengan beberapa kilogram tambahan. Seperti harga barang-barang kebutuhan, timbangan itu terus naik, tak bisa turun. Hela cambuknya tak lagi sekuat dulu. Api yang menyulut tenaganya juga sama. Dulu meletup, kini kian redup. Apakah sebetulnya dia yang redup dan bukan istri pertamanya? Kupikir masalah satu-satunya ada pada berat badan, tetapi perlahan-lahan mataku terbuka.

Ikat pinggang yang dipakainya setiap hari sudah bukan yang dulu lagi.

Bukan, bukan karena melar hingga tak muat; melainkan karena bukan itu ikat pinggang yang dulu kuhadiahkan.

Kuingat-ingat bagaimana caraku dulu mendapatkan dia, apa saja trikku sampai dia memilihku ketimbang istrinya yang berlipat-lipat lebih istimewa. Saat itu ada sepotong ikat pinggang kulit baru, masih mengilap, yang bergeletar ketika dicambukkan. Ikat pinggang yang dia pakai sekarang tidak begitu. Bahannya sintetik, kusam, terlihat murahan. Kucoba berbaik sangka. Barangkali karena harga barang terus naik dan ikat pinggang hadiahku telah lapuk, dia membeli ikat pinggang baru yang lebih murah dan jelek. Asal bisa dipakai. Toh, uang kami juga terbatas, tidak bisa sembarangan berbelanja seperti lajang. Rumah tangga juga punya ikat pinggang yang harus selalu siap dikencangkan kapan pun saat situasi mengharuskan. Namun seiring itu, dia semakin jarang pulang. Gumam alasannya beragam: rapat, kunjungan, jamuan, pameran, dipanggil direksi. Kucocokkan dengan lubang-lubang pada ikat pinggangnya. Semua semakin mencurigakan.

Temanku pernah bilang, beberapa kejadian buruk cenderung berulang, dan kita sering tak bisa mencegahnya. Laki-laki juga. Sekali dia berselingkuh, dia cenderung akan mengulanginya. Sambil mengencangkan ikat pinggang si kembar, pikiranku berputar. Bagaimanapun dulu dia berselingkuh dari istrinya, Nia. Bagaimanapun kau pernah jadi selingkuhannya. Memang temanku benar, tetapi aku tak terima beberapa hal. Apakah dalam kasus ini aku yang salah? Bukankah menyelamatkan seseorang dari pernikahan yang tidak bahagia adalah kebaikan? Ini tak benar, bisikku marah. Dia berkeliaran tak pulang sementara ikat pinggang kian mencengkeram, pikirku.

Dalam keadaan ikat pinggang rumah tangga yang masih mengencang, mulailah kuselidiki dia, seperti Stalin menyelidiki tinja Mao, bertahun-tahun sebelum Mao terlibat urusan ikat pinggang dengan Khrushchev. Ke mana saja dia pergi, makan apa saja dia setiap hari, siapa saja yang dia hubungi lewat telepon… Semua bukan perkara sulit. Kantornya masih yang dulu; kantorku yang dulu. Aku tinggal datang. Tinggal membuntutinya dari sana. Dari sana aku mendapatkan tiga nama, yang dengan cepat mengerucut jadi satu saja. Alamatnya jauh, di luar pinggiran kota. Kukejar dengan taksi, yang radionya sibuk memberitakan perkembangan wabah. Aku gagal menemukan rumah perempuan itu, karena jalan-jalan keburu dipalang.

Penyakit itu menyebar cepat, menyerang saluran napas. Korbannya sebagian besar sudah berumur. Ibu termasuk. Karena semua orang dilarang keluar, tak ada yang tahu kapan persisnya Ibu meninggal. Kabar itu dibawa salah satu pekerjanya, yang terpaksa nekat pulang kampung. Aku bergegas pulang, walaupun orang-orang berjaga di mana-mana. Di rumah, Ibu sempat meninggalkan kotak besar berisi samakan-samakan kulit dan selipat kertas berisi petunjuk. Petunjuk yang, tak lain, adalah rahasia turun-temurun tentang asal-muasal kulit ikat pinggang kami. Aku segera paham apa yang harus kulakukan. Kertas itu kubawa serta, sedangkan lembar-lembar kulit itu kusimpan di bawah tempat tidur Ibu. Rumah itu kukunci rapat. Seluruh kunci serepnya kumasukkan dalam tas.

Dia ikut mengurung diri di rumah, karena kantornya—seperti kantor semua orang—sedang ditutup. Beberapa hari pertama rasanya biasa saja, tetapi semakin lama semakin seperti neraka. Dia yang dulu tenang, manis, dan penghindar dari konflik; kini pemarah dan emosional. Apalagi setelah si kembar keteteran pelajaran, tak sanggup belajar terus di depan layar. Nilai mereka tak beranjak dari rerata C plus—nilai yang digadang-gadang sebagai masa depan gelap. Begitu dia sadar betapa medioker anak-anaknya di sekolah, dan betapa biasa saja-nya kecerdasan mereka, dia tak segan melayangkan ikat pinggang. Bergeletar, diikuti rintihan minta ampun yang tak pernah berjawab. Punggung telanjang mereka terdera cambuk berulang-ulang, bilur biru-biru keunguan silih berganti antara lama dan baru.

Setelah memukul si kembar, dia sering keluar pintu dan menelepon. Mula-mula berbisik, belakangan baru agak keras; seolah orang yang dia ajak bicara sungguh ada di rumah. Di luar itu, dia banyak bungkam. Jarang bicara, jarang mau makan. Karena tak pernah keluar rumah, ikat pinggangnya tak pernah dipakai lagi. Aku tak tahu apakah ikat pinggang baru itu masih pas dengannya, ataukah ukurannya sudah kembali ke ikat pinggangku lagi.

Saat suaranya membahana kencang pada suatu siang, aku membuka kertas peninggalan Ibu. Aku hampir ikut berteriak, tetapi buru-buru kutahan. Informasi itu meluber seperti banjir pada kepalaku, tetapi perlahan air menetes meninggalkanku, jatuh dan masuk ke dalam tanah. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan, sebagai pewaris bisnis ikat pinggang Nenek dan Ibu.

_________ Gugus Sabuk Kurnia – Triskaidekaman.

Cerita Ibu ternyata banyak bohongnya.

Lipatan kertas dalam kotak mengungkap nasib Ayah sebenarnya. Hanya Ayah, tak ada Kakek, tetapi aku menduga ini tabiat turun-temurun dari nenek. Pokok kamboja saksinya, bahwa laki-laki pendamping Ibu itu bukan korban kecelakaan. Ayah baru dimasukkan ke liang lahat dalam keadaan merah membara, sekujur tubuhnya habis dikuliti. Ibu melakukan itu sebagai pembalasan. Sama seperti dia sekarang, dulu bulan-bulan terakhir Ayah pun mencurigakan. Pergi pagi, tiada berkabar, tiba-tiba pulang pagi, linglung-limbung dan bau arak. Bisa ditebak, aroma asing dan bekas lipstik adalah tamu berikut; tersampir pada kerah kemejanya. Darah tunak alkohol membuat Ayah tak berkutik sewaktu Ibu menyekapnya, merantai keempat anggota geraknya, dan mulai menyamak kulitnya yang badak. Kulup duluan. Tetapi kulup tak cocok diolah jadi ikat pinggang. Ibu justru mengirisnya dengan melingkar. Lalu Ibu menyamak begitu panjang: dari tengkuk sampai betis, melewati bahu, punggung, pantat, dan paha. Lalu dari rahang hingga pergelangan kaki. Empat ikat pinggang tercipta dari kulit Ayah. Setelah disekap, disamak, dan tidak diberi makan-minum empat hari, barulah Ayah tewas. Dia dikubur asal-asalan dekat pokok kamboja. Sisa tubuhnya hara yang lekas menyuburkan, sehingga tak ada yang tahu perbuatan Ibu. Juga tak ada yang menyaksikan. Atau barangkali ada, tetapi mereka keburu disamak Ibu sebelum sempat membuka mulut? Bagaimanapun, aku setuju pada Ibu: semua penyelingkuh harus mati, karena setidaknya sekelebat, dan pasti pernah, mereka mengharapkan pasangannya mati.

Tetap tenang, Nia. Ibumu bisa, kamu juga pasti bisa.

Ketika perempuan incaranku nekat mendobrak pintu belakang, si kembar sedang dibelit layar komputer lipat. Lekas kukeluarkan pisau lipat dan rafia, lalu mengunci kamar selagi mereka di dalam. Perempuannya kupukul hingga terkapar pingsan. Dia mengerang ketika tahu niatku, tetapi tubuhnya yang ringkih karena kurang makan kalah kuat dariku. Supaya dia tidak berisik, kumasukkan ikat pinggang hadiahku ke dalam mulutnya—yang tak lain adalah kulit Ayah. Sembari kulit para penyelingkuh bersinggung, kusamak tengkuknya, perlahan sampai betis dekat pergelangan kaki. Potongan panjang itu bersinar terkena pantulan lampu, kusampirkan pada gantungan baju di belakang pintu. Saat kembali ke ranjang, aku tertarik mengintip isi tas si perempuan. Apa yang biasa dia bawa, sampai-sampai dia terpikat seperti kena pukat? Rogoh punya rogoh, tanganku menumbuk sesuatu, hingga aku terkejat, seperti kena sengat listrik. Benda itu segera menggelinding keluar.

Itu ikat pinggang!

Bahannya kulit. Gespernya emas putih. Terlihat lebih mahal dari bikinan Ibu, tetapi lebih panjang dan banyak pilihan lubangnya. Ini pasti hadiah untuknya. Jelas ini ikat pinggang yang longgar dan membebaskan; lebih mewah dan menyala daripada hadiahku. Pisau lipat terlepas begitu saja dari tangan. Ke mana jatuhnya, aku tak terlalu peduli, walaupun begitu sakit.

Apakah dalam kasus ini, perempuan di depanku ini salah? Bukankah menyelamatkan seseorang dari pernikahan yang tidak bahagia adalah kebaikan?

Khruschev tahu Stalin pernah menelaah tinja Mao, tetapi dia tidak mau tahu hasilnya. Dia tetap menutup laboratorium tinja itu, lalu menyanggupi permintaan ikat pinggang dari Mao. Aku bisa saja memilih bersikap seperti Khrushchev, tetapi sudah terlambat. Sebelum aku sempat khawatir apakah perempuan itu membawa penyakit ke rumahku, juga sebelum aku sempat melonggarkan waspada dan menyelidiki dia; mata kami telanjur bertemu. Dia sudah sadar. Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku. Kencang, lebih kencang dari ikat pinggang mana pun yang pernah kupakai. [*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Siapa yang Menyuruhmu Masturbasi?
Tujuh Benda yang Ditemukan bersama Tubuh Arami


Komentar Anda?