Menu
Menu

Relasi guru-murid adalah yang terbanyak pengalaman absurd-nya di muka bumi ini (selain kita dengan agama, barangkali).


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng.


Selamat Hari Guru!

Kemarin adalah peringatan Hari Guru Nasional. 25 November 2020. Ya, tahun 2020. Sebuah peringatan atas peristiwa tahun 1945. 24-25 November tahun itu, beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, para tenaga pendidik Indonesia masa itu menggelar Kongres Guru Indonesia yang lalu melahirkan PGRI. Persatuan Guru Republik Indonesia.

Guru Don menjadi satu anggotanya bertahun-tahun kemudian. Mengajar. Saya, anak bungsunya, jadi salah satu muridnya. Selanjutnya saya menjadi murid dari banyak guru. Lalu sempat juga menjadi guru puluhan tahun kemudian— menemukan soal yang sama sejak zaman Guru Don (barangkali juga sebelumnya): murid-murid yang lucu, yang ingin tahu tetapi juga malas tau, yang rajin belajar hingga rajin berdoa menjelang ujian, murid-murid yang (sebut saja) meninggalkan pengalaman-pengalaman absurd (menggelikan, konyol, tidak masuk akal, dan lain-lain) seperti ketika diminta agar membawa alat kerja bakti di sekolah dan lupa membawanya lalu memberi alasan aneh. “Kenapa tidak bawa alat kerja?” “Saya nanti bersih-bersih debu di kelas, Bu!” “Bagaimana caranya?” “Saya pake tiup saja nanti, Bu.” Haleluya….

Saya ingat, masih soal situasi absurd ini, pada suatu masa di tahun 80-an akhir. Saya adalah murid sekolah dasar di kampung dan bahasa Indonesia jarang sekali dipakai dalam percakapan sehari-hari. Kami pakai bahasa Manggarai dialek Rego. Tetapi ada pelajaran Bahasa Indonesia, sebuah kondisi yang ‘mau tidak mau kau harus omong pake itu bahasa’, Kakak. Dan kecelakaan-kecelakaan kecil adalah hal yang biasa pada situasi seperti itu.

Guru: Siapa yang bisa buat kalimat dengan kata pesisir?
N: (Mengacungkan jari) Saya, Pak!
Guru: Bagus, N. Silakan.
N: Sebelum ke sekolah, saya harus pesisir rambut.

Pada bagian ini seharusnya pembaca tertawa sebab saya merasa ini lucu. Jika tidak, berarti bisa dipastikan bahwa cerita itu memang absurd sekali; membuat saya merasa mantap dengan keyakinan bahwa relasi guru-murid adalah yang terbanyak pengalaman absurd-nya di muka bumi ini (selain kita dengan agama, barangkali). Bukankah bagian murid-murid menceritakan betapa kejamnya guru-guru mereka sama sekali tidak membuat mereka kehilangan kesadaran bahwa orang-orang itulah yang telah turut membawa mereka hingga ke titik terbaik hidup mereka?

Ya,ya, ya. Tentu saja ada guru yang begitu buruk perlakuannya. Catatan ini tidak sedang ingin mengenang mereka—yang di berita-berita kita lihat melakukan pelecehan seksual, tidak menghargai perbedaan keyakinan, yang korupsi, dan lain-lain—seperti juga tidak ingin mengenang mereka yang begitu baik ketika menjadi murid dan begitu ganas setelah ‘jadi orang’. Tidak. Yang sedang ingin dikenang adalah tentang relasi saling menguntungkan yang pasti ada di sekolah-sekolah. Guru-guru memberikan apa yang mereka tahu dan murid-murid mendapatkan apa yang mereka harus peroleh. Simbiosis mutualisme, sebab memberi dan menerima adalah sama-sama kebutuhan.

Soalnya adalah bagaimana relasi itu sekarang ketika dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 yang menyebabkan keduanya dipaksa memasuki gerbang baru bernama pembelajaran daring?

Baca juga: Tak Ada Internet di Kampung, Portal Mana yang Akan Terbuka?

Saya ingat, dua tahun lalu, pada sebuah video ucapan selamat, Komunitas Saeh Go Lino menampilkan komentar tentang guru masa kini. Salah satunya adalah tentang pentingnya kecepatan beradaptasi dengan era 4.0 yang saat itu sedang jadi salah satu agenda penting negara demi terciptanya generasi emas 2040. Yang dipikirkan ketika itu adalah pembangunan infrastruktur yang mendukung perjalanan para guru di era itu akan dilakukan. Dengan cepat. Internet. Yang cepat. Harapan yang ternyata tidak tepat.

Maksudnya, ketika pada tahun 2020 ini, saat pandemi menyerang dan internet menjadi salah satu kebutuhan paling vital, guru-guru di kampung masih berkutat dengan perjalanan mencari sinyal. Murid-murid, yang di kampung itu, bahkan dilarang berpikir tentang sinyal sebab orang tua mereka masih sibuk mencari uang agar dapat mencicil harga handphone yang semakin hari semakin mahal sebab memang semakin canggih.

“Kita tertinggal satu generasi e, Kela,” kata Daeng, desainer grafis kami itu. Di situ saya merasa sedih. Di situ. Bukan disitu. Paham maksud penjelasan ini? Kalau tidak berarti kita harus mundur lagi. Ke masa pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Halaaaah…. Malah bahas yang begini lagi.

Pokoknya begitu. Entah kita menyalahkan pandemi atau apa saja, tetapi kemarin itu Hari Guru Nasional yang kita rayakan dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang banyak. Banyak sekali. Termasuk tentang apa yang akan mereka lakukan setelah belajar dari pembelajaran di era pandemi ini? Mereka: Mas Menteri Nadiem Makarim dan semua yang orang yang saat ini ‘berkuasa’ atas wajah pendidikan di negeri ini. Meski tentu saja menciptakan orang-orang berkualitas adalah seumpama pelari marathon, tetapi menyediakan teknologi yang mendukung harusnya bisa dikerjakan dalam konsep ‘sprinter’.

Ah, saya jadi ingat Celus kalau bicara tentang pelari marathon dan sprinter ini. Marcelus Ungkang. Teman saya. Dosen yang juga sesekali curhat tentang betapa sulitnya situasi ini dan betapa mau tidak mau harus melakukan ‘ubah-sesuai’ pola pengajaran dan ketika melakukannya tetap juga berhadapan dengan hambatan-hambatan: jaringan, penguasaan penggunaan teknologi yang tidak merata, ketersediaan peralatan para peserta didik yang tidak mendukung, dan lain-lain.

Astaga… Apa betul hanya satu generasi, Daeng? (*)


Baca juga:
– Membaca Perbatasan
– Babak Baru

Ilustrasi dari Pexels.

Komentar Anda?