Menu
Menu

Wajahnya membuatku terkejut ketika aku melihatnya di samping pintu lift hotel Cleopatra. Wajah itu adalah wajah seseorang yang pelan-pelan jatuh ke dalam jurang kesedihan yang gelap. Nikosia – Cerpen Saadi Youssef.


Oleh: Mira Agustin |

Menyelesaikan studi dari Program Studi Arab FIB UI tahun 2022.


Di antara dua kafe, Ar-Raudah dan Al-Kamal, yang letaknya tak begitu jauh dari Jembatan Victoria, di sanalah perjalananku sehari-hari: pagi di Ar-Raudah dan sore di Al-Kamal. Malam harinya aku kembali ke pondokanku di perumahan Barzah, sebuah tempat yang kutinggali bersama tiga orang lain sepertiku.

Damaskus jauh dari kami.

Kami tinggal di pinggirannya yang jauh. Kami makan seperti orang-orang miskinnya, memandangi etalase toko dan restoran, juga layaknya para orang miskin.

Tapi orang-orang miskin Damaskus itu sebenarnya jauh dari kami. Tak ada hubungan antara kami dan mereka. Kami tak bersinggungan dengan mereka. Mereka berjalan mencari roti, sedang kami menyusuri kafe untuk mencari makna tentang hari kemarin, hari ini, dan mungkin pula hari esok.

Kadang aku melewati Al-Kandil, di mana para sastrawan dan seniman duduk di sekeliling meja dengan kebab, arak, dan basil. Karya-karya pelukis terkenal digantung. Aku hanya berlalu, tak duduk. Teh di sana tak seperti teh di kafe Ar-Raudah, Al-Kamal, atau Al-Hijaz. Teh di Al-Kandil dituang dalam cangkir, harga secangkirnya sama seperti harga makanku.

Namun aku hanya lewat. Aku mendorong pintu depan, melintasi koridor, lalu segera berbalik.

Aku melihat mereka yang duduk-duduk di pinggir kolam. Para gadis necis yang sedang minum arak, juga lukisan-lukisan yang digantung. Lukisan yang istimewa. Kemudian pergi.

.Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Dulu aku bertemu dengan Adil dan Fadil Al-Marzuq.

Bulan-bulan pun berlalu, berubah menjadi tahun. Hingga banyak tahun yang telah terlampaui.

Adil pergi ke Perancis.

Sedangkan Fadil Al-Marzuq berkata bahwa ia mungkin akan ke Aden.

Apa yang akan kulakukan jika aku benar-benar pergi suatu hari nanti?

Aku tak mampu membangun hubungan baru. Bahkan di pondokanku perumahan Barzah, aku sulit berbaur dengan tiga orang yang sama-sama berbagi tempat bersamaku. Mereka pemuda yang baik, menyenangkan, dan banyak membantu, tapi kudapati diriku jauh dari mereka. Aku sibuk oleh berbagai pikiran yang berdiri menjulang seperti tembok yang memisahkan kami. Pikiran-pikiranku itu tak berhubungan dengan mereka. Mereka, sebagaimana yang aku katakan, adalah orang-orang baik, menyenangkan, dan sering membantu. Pikiranku itu milikku. Aku tak membicarakannya, tapi aku dihantui olehnya. Ketika malam, sering salah seorang dari mereka membangunkanku, menyelamatkanku dari salah satu mimpi burukku.

Fadil Al-Marzuq pergi ke Aden.

Aku mengantarkannya ke bandara.

Ketika pulang dengan bus ke Jembatan Victoria, aku tak melewati kafe Al-Kamal.
Aku pergi ke restoran Ar-Rais.

Aku duduk seorang diri, dan dengan penuh keringat aku pun minum.

Di kafe Ar-Raudah, matahari berkilauan dalam cangkir teh.

Di sampingku seseorang sedang membolak-balik koran, kemudian ia pergi meninggalkan koran itu.

Cangkir teh itu masih berada di depanku.

Tiba-tiba seorang lelaki berjalan mendekat. Ia menyapaku kemudian duduk. Usianya sekitar 40-an. Ia mengenakan pakaian yang cukup elegan, baju yang tak dipakai orang-orang sini.

Ia bertanya padaku tanya basa-basi, “Apakah kau Tahir? Tahir Al-Mahmud?”

“Ya,” jawabku.

Sembari mengambil surat dari saku kemejanya dan memberikannya padaku, dia berkata, “Ini dari sepupumu, Syaban. Aku juga tinggal di London seperti dia. Aku datang ke Damaskus untuk mengunjungi kerabatku. Syaban memintaku untuk mencarimu, dia mengirimimu surat. Aku sudah mencarimu sejak seminggu yang lalu. Aku diberitahu bahwa kau mengunjungi Ar-Raudah di pagi hari. Aku menanyakan tentangmu, dan pemilik kafe mengenalimu. Untunglah. Jika tidak, maka akan sulit. Lusa aku kembali ke London. Kuharap kau membaca surat itu sekarang, lalu tulislah balasan ke Syaban. Tulis alamatmu juga.”

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Salam sejahtera, Tahir.

Aku tahu kau berada di Damaskus, jadi aku meminta pembawa surat ini untuk mencarimu. Aku ingin membicarakan suatu hal kepadamu secara singkat, jelas, dan aku minta jawaban terang darimu.

Aku memiliki rumah di dekat Pafos, Siprus.

Rumah itu jarang kugunakan. Adakalanya aku datang ke pulau itu untuk menghabiskan liburan akhir pekan, tak lebih dari tujuh kali dalam setahun. Kebetulan aku sekarang menjadi pengusaha ternama. Bisnisku ada di Timur Tengah dan Afrika. Sepupumu, Syaban, adalah orang sukses.

Ada penjaga yang tinggal di rumah itu.

Aku menyarankanmu untuk tinggal di sana.

Aku yang akan menanggung semua biayamu. Temanku akan memberimu tiket dari Damaskus ke Larnaca. Sampai di sana naiklah taksi ke Nikosia, kemudian menginap di hotel Cleopatra. Aku akan menelepon pihak hotel begitu aku mendapat jawabanmu untuk memesankan kamar. Full booking. Tunggu aku. Aku akan segera datang ke Siprus. Aku merindukanmu. Sampai jumpa.

(Syaban)

Tampaknya lelaki itu tidak sabar menunggu hingga aku selesai membaca surat itu. Terlihat dari matanya yang menatapku dengan bertanya-tanya begitu aku selesai membaca.

Aku tak mengucapkan sepatah kata pun.

Lelaki itu mengeluarkan notes kecil dan memberiku pena. Ia berkata, “Tulislah balasan ke Syaban, juga alamatmu.”

Aku menulis sejumlah empat baris. Kukatakan padanya, “Aku tak punya alamat.”

Lelaki itu membaca apa yang kutulis. Ia melipat buku catatan lalu mengambil pena.

“Jadi dalam sebulan kau akan ke sana? Di awal Maret?”

“Ya,” aku menjawabnya.

“Berangkatlah dengan Cyprus Airways. Siprus tak jauh dari sini. Ambil tiketmu. Syaban yang akan menanggung semuanya. Ini uang tambahan untuk ongkosmu. Ambillah. Itu dari sepupumu, bukan dariku.”

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Prosedur di bandara Larnaca mudah dan cepat.

Orang yang bepergian hanya sedikit karena bukan sedang musim panas.

Aku membayar dua lira Siprus, lalu mereka menstempel pasporku dengan visa masuk.

Dengan segera aku keluar ke jalan, membawa satu tas tanganku.

Aku naik taksi menuju Nikosia.

**

Di hotel Cleopatra, namaku tertera dalam daftar reservasi. Mereka berkata, “Telah dipesankan dari Inggris.”

Aku mengambil kunci dan menuju kamar. Kamar itu menghadap kolam renang, kosong.

**

Aku tak lama tinggal di kamar.

Kuletakkan tas tanganku dalam loker lalu turun.

Di resepsionis, mereka memberitahu bahwa reservasiku adalah full booking, termasuk restoran dan bar.

Aku pergi ke bar.

Bartender di sana seorang Lebanon. Namanya Samir, seperti yang dikatakannya.

Aku minum dua gelas.

Samir menawarkan, “Anda bisa makan di sini atau di restoran. Kami menyediakan makanan-makanan ringan.”

Aku menyantap sandwich keju dan salad hijau.

Musik Yunani diputar.

Hanya ada sedikit pengunjung.

Aku minum gelas yang ketiga.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Naik ke kamar, aku pusing karena Ouzo[1] dan udara pantai.
Tertidur lelap aku hingga sore…

Malam pertamaku di Nikosia begitu tenang.

Aku turun dari kamar.. lantas bertanya pada Samir, orang Lebanon itu, tempat yang bisa dikunjungi di malam hari. Dia memberitahu semua tempat yang ada di kota ini. Katanya aku harus memilih sendiri. Maka aku berjalan dan memilih.

Nikosia itu kecil. Pusat kotanya lebih kecil daripada telapak tangan. Aku berjalan sebentar hingga menemukan pos pemeriksaan PBB yang berada tepat di tengah pasar. Sementara itu, di belakang pusat kota berdiri tanah terlarang, Siprus Turki.
Aku tak akan pernah tersesat. Jika memang benar tersesat, aku hanya perlu menyetop taksi. Di sini hotel Cleopatra lebih terkenal daripada kantor pabean.
Begitulah caraku keluar dari hotel.

.Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku ingin menelusuri langkah awalku yang mengejutkan hingga tiba di kota ini. Bermula dari kafe Ar-Raudah, melalui pesan dalam surat yang tak pernah kutunggu kedatangannya. Surat dari sepupuku yang hampir tak kukenal.

Damaskus masih bersamaku, kecuali bahwa diriku tak tertaut dengannya. Aku di sini, dengan sejumlah perbandingan. Aku ingin memandang Nikosia sebagaimana aku melihat dirinya sendiri, bukan membandingkannya dengan kota lain. Hanya saja kesunyian yang menyambut segera setelah aku keluar dari hotel, lantas membuatku tenggelam dalam perbandingan itu.

Saat petang seperti ini Damaskus sedang mencapai puncak aktivitasnya: manusia, mobil, dan pasar. Namun di sini, jalanan hampir kosong. Tak ada satu pun orang yang lewat. Bahkan mobil-mobil hanya sedikit. Tak ada suara. Tak ada keributan klakson. Tak ada penjual yang memanggil-manggil. Pertokoan tutup, hanya emperannya yang tetap menyala.

Di sini cahaya mengelabui, membuatmu menyangka bahwa malam di kota ini masih hidup. Sementara itu orang-orang telah masuk ke rumah, mengunci pintu-pintunya hingga pagi.

Restoran dan bar buka sendirian, berkelap-kelip dengan lampu. Samir, orang Lebanon itu, benar. Aku harus berjalan dan memilih sendiri.

**

Aku mengarahkan pandangan ke dealer mobil terkenal. Mobil-mobil baru dipajang di balik etalase kaca yang lebar.

Tiba-tiba saja mataku menangkap guci itu.

Guci besar yang terbuat dari tanah liat, warnanya coklat. Diletakkan dengan mantap, kokoh, dan percaya diri pada tikungan jalan yang bercabang, berdampingan dengan dealer mobil.

Aku berjalan hingga mencapai guci itu. Kusentuh benda itu dengan ujung jari. Guci tembikar asli, berada di depan pintu sebuah bar yang bertuliskan namanya: Bar Guci.

Aku masuk.

Tak ada seorang pun di sana kecuali sang pemilik.

Ia pemuda Siprus Yunani, usianya sekitar dua puluh lima.

Ia mempersilakanku duduk sembari menunjuk ke sebuah meja.

Aku tersenyum dan memilih kursi tinggi di samping meja bar. Aku mendekat ke sana, ke tiga buah rak display yang menakjubkan, tempat dipajang minuman dari setiap benua.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Jam sepuluh pagi ketika aku turun sarapan di kafe hotel, seorang pelayan memberikan faks dari sepupuku. Syaban berkata ia akan tiba sore ini dan aku harus tetap di hotel menunggunya. Segalanya tampak begitu nyata, selama terkait seperti ini. Hal-hal yang saling berhubungan satu sama lain.

Aku berada dalam mimpi petualangan, seorang diri di hotel sebuah kota yang baru kumasuki pertama kali. Aku berjalan di sore yang ambigu, di jalan-jalan yang tak kukenali. Kemudian menuju ke bar yang tak sengaja kutemukan, di mana aku dipertemukan dengan orang-orang ramah.

Tapi…, surat faks itu di hadapanku, di atas meja. Ia memandangku, mengedipkan mata di antara cangkir kopi dan roti. Syaban, sepupuku, memandangiku, dalam lima huruf namanya yang tertulis rapi[2]. Aku tak bisa mengingat wajahnya. Dia pergi ke luar negeri sejak dua puluh tahun yang lalu dan tak pernah sekali pun pulang. Pada dasarnya aku tak pernah melihat sosoknya kecuali sesekali saja.

Tetapi ia datang, secepat ini. Tepat di hari ini, sore ini.

Aku melanjutkan sarapanku, dan faks itu kuselipkan di saku.

Aku keluar dari hotel dan berjalan ke pusat kota, yakni ke pasar. Aku berhenti di samping penjual koran. Aku membaca berita utama, lalu berbalik ke kanan. Para tentara PBB sedang duduk-duduk minum bir di bangku depan pintu salah satu kedai minum. Aku masuk, minum sebotol. Tentara-tentara lain menyantap makanan ringan sambil memegang gelas di tangan. Tak ada seorang pun gadis di sana.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku keluar dari kedai minum tentara itu tengah hari.

Kemudian kembali lagi ke hotel.

Seperti kemarin ketika aku tak sengaja melihat guci itu, mataku kali ini juga tak sengaja menemukan hal lain. Kata “Babel” yang terukir pada papan nama kayu.

Itu sebuah restoran kecil, di dalamnya hanya ada empat meja.

Seorang wanita tambun, sepertinya pemilik restoran, sedang memanggang daging di luar.

Aku menyapa wanita itu.

Kemudian duduk.

Aku memesan salad hijau, keju halloumi panggang, dan anggur merah muda[3].
Wanita tersebut berkata, “Anggur merah muda ini tidak didinginkan. Haruskah aku mengambil yang putih?”

Ia datang dengan anggur itu terlebih dahulu.

Ia membentangkan alas meja, kemudian kembali menyiapkan pesanan. Ia menjalankan restoran kecil itu sendirian. Gerakannya lambat seperti boneka kemasan yang berdenyut.

Aku tak tahu mengapa aku mengeluarkan pena dan mulai mencoret-coretkan garis di lembaran alas putih itu.

Aku sibuk dengan coretanku ketika pemilik restoran datang.

Dia berseru, “Kau pelukis? Putraku Makrius juga pelukis. Dia tinggal di Polis,” ia letakkan di meja, jauh dari coretanku, salad hijau dan keju halloumi panggang.

Untuk pertama kalinya seseorang mengatakan tentang diriku, bahwa aku adalah pelukis.

Sementara itu, anggur putih Siprus nampaknya bereaksi.

Begitulah. Ketika naik ke kamar, aku langsung berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata. Aku berada di tepi laut.

Laut itu tenang… suara ombaknya lembut seperti gemerisik pinus. Matahari di cakrawala meluncur seperti jeruk besar di atas permukaan air. Airnya berwarna oranye. Laut seluruhnya berwarna oranye. Pasir di bawah kakiku bukanlah pasir. Ia bergerisik seperti daun pinus kering di jalan setapak hutan yang sepi.

Tapi, dari mana datangnya daun pinus itu? Dari mana asal gemerisik itu?

Seekor ikan menyembulkan kepalanya, lalu kembali ke air dekat pantai, dekat dengan tempatku duduk.

Sebelum berdiri dengan ekornya dan bicara padaku, ia menatapku dengan dua mata lebarnya yang basah, terpaku.

“Kenapa kau datang ke pantai ini?”

Aku tak menjawabnya. Aku terpesona pada kedua matanya yang indah.

Ikan itu semakin mendekat. Seolah-olah ekornya adalah sepasang kaki. Ia mendekat hingga aku dapat mencium aromanya. Aroma hutan pinus setelah hujan.

Ia berkata lagi, “Jawab aku. Aku bertanya, kenapa kau datang ke pantai ini?”

Aku tertawa sampai mataku basah karena air mata.

Ia juga tertawa. Ia bergoyang-goyang sambil tertawa. Terlihat giginya yang putih bersih, tersusun rapi. Dengan lembut ia berkata,

“Aku tahu mengapa kau kemari.”

“Kenapa?” tanyaku padanya sambil tertawa.

Ia tergelak panjang sampai tercebur ke dalam air, percikannya sampai ke wajahku. Kemudian ia berdiri dan mencondongkan kepalanya padaku. “Karena kau adalah ikan. Kau datang ke pantai ini karena kau seekor ikan,” katanya.

Ikan itu kembali berenang, tapi tak jauh. Matanya terus menatapku.

“Jadi, kau akan membawaku bersamamu?” tanyaku.

“Dengan senang hati. Namun, kau harus turun ke dalam air terlebih dahulu,” jawabnya.

“Bagaimana aku turun dengan pakaianku ini?” tanyaku padanya.

Ia tertawa, lalu berbalik, “Mudah. Buka bajumu dan turun ke air.”

**

Telepon berdering. Aku mendengar suara deringnya yang panjang. Tapi aku tak bisa bangun. Ia kembali berdering. Kubuka mataku dan kuraih gagang telepon dengan linglung.

“Tahir.. aku Syaban. Aku sudah sampai. Sekarang di hotel.”

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Pintu lift terbuka. Pegawai resepsionis berkata padaku sambil berbisik, “Itu dia.”

Aku menoleh. Berpikir, berkata pada diriku sendiri bahwa pegawai tersebut salah mengira. Itu bukan sepupuku Tahir. Lift dan meja resepsionis hanya dipisahkan oleh jarak yang dekat. Ia menghadap ke pegawai, bertanya tentangku. Aku berada di sampingnya. Sepertinya ia tak mengenalku. Apakah penampilanku juga berubah sejauh itu?

Pegawai itu tersenyum. Ia memberi isyarat padaku dengan tangannya. Tahir melihatku dengan mata yang agak kemerahan. Uban terlihat di belahan rambutnya. Tahir lebih muda dariku. Aku mengulurkan tangan untuk menjabatnya.

“Aku Syaban. Apa kabar, Tahir?”

Ia tak menjawab. Seketika ia mengulurkan tangan dan menjabatku. Kulihat matanya berkaca.

“Seperti yang kau lihat. Bagaimana denganmu, Syaban?” tanyanya.

“Baik. Bagaimana jika kita duduk di tempat minum?” kataku padanya.

Ia mengangguk setuju.

Kami masuk dan duduk di meja.

Seorang pelayan datang, tersenyum kepada Tahir,“Ouzo?”

Aku juga memesan Ouzo.

Tahir berkata setelah pelayan itu pergi membawa pesanan kami, “Namanya Samir. Ia orang Lebanon.”

Aku melihat sebuah ketenangan yang aneh dalam gestur dan perkataan Tahir. Belum pernah seperti ini.

“Aku tak menyangka temanku akan bertemu denganmu semudah itu. Juga aku tak mengira kau akan menerima permintaanku secepat itu. Aku senang segala sesuatunya terjadi seperti ini,” kataku padanya.

Tahir menjawab, “Terima kasih, Syaban.” Ia kembali diam, tetapi dari waktu ke waktu ia makin menatapku lama. Matanya tak lagi basah.

Samir datang membawa dua gelas.

Kami minum, bersulang untuk pertemuan ini.

Kukatakan padanya, “Aku kehilangan kabarmu. Tapi temanmu yang namanya Adel, yang sekarang tinggal di Paris, lewat dirinya aku secara tidak langsung memperoleh informasi tentangmu. Kau dulu di Beirut, kemudian pindah ke Damaskus. Hal itu yang tidak sengaja menunjukkanku di mana tempat tinggalmu. Ada temanmu yang sedang bercakap-cakap di restoran Irak, salah seorang kenalanku di sana. Ia memberi tahuku.”

Tahir tersenyum. Untuk pertama kalinya kegembiraannya memancar setelah pertemuan kami.

Ia berkata, “Adel, teman baikku… bagaimana kabarnya?”

“Aku tak tahu persis,” jawabku.

Samir kembali dan bertanya apakah kami menginginkan sesuatu.

Tahir menggelengkan kepala.

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku pun begitu. Ketika aku turun setelah panggilan telepon dan menuju meja resepsionis, aku tak menyangka bahwa orang yang berdiri di sana dan berbicara dengan pegawai adalah sepupuku, Syaban.

Aku selalu mengingatnya dengan disdasha putihnya[4]. Dulu di kebun ia berlari di belakangku dengan menggigit ujung gamisnya. Ia bergegas di belakang, melompati anak sungai, sementara aku terhuyung-huyung di jembatan. Dan ketika aku jatuh ke air, terjerembab ke lumpur becek, ia berdiri di tepi sungai sambil menertawakanku.

Orang yang berdiri itu, yang berbicara dengan resepsionis, bukanlah Syaban.

Tubuhnya padat berisi. Wajahnya bulat kemerahan, kulit coklatnya agak putih.

Pakaiannya mahal, hanya saja penampilannya tidak berlebihan.

Aku pikir dia masih ingat dengan dishdashanya.

Jika tidak. Tidakkah dia mengingatku?

Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengannya di awal. Aku harusnya tadi memeluknya, tapi aku ragu. Itu sebabnya ia mengulurkan tangan dan menjabatku.

Kukatakan dengan terus terang bahwa aku tersentuh bisa bertemu dengannya. Itulah mengapa aku meneteskan air mata. Bukan karena aku melihatnya, tapi karena ia melihatku.

Aku yakin penampilanku terlihat berbeda. Kelelahan selama bertahun-tahun yang kualami terlihat jelas di wajahku. Karena itu pula kulihat ia tampak kasihan padaku, dan kurasa itu normal. Seperti itulah tanggapanku padanya. Di sisi lain, bisa kukatakan bahwa aku amat gugup di meja resepsionis tadi.

Lihat, mungkinkah Syaban sadar akan hal ini, makanya dia menawarkan duduk di bar, jauh dari tatapan mata pegawai resepsionis yang mengamati apa yang terjadi di antara kami?

Aku merasa lebih tenang di bar.

Keteganganku berkurang.

Dan ketika ia menyebutkan nama Adel, aku lega. Saat itu aku tahu bahwa di urat nadi pengusaha itu masih ada darah Arab.

Setelah meminum segelas Ouzo aku mulai melihat sepupuku, Syaban.

Dia mengenakan dishdashanya, menggigit ujungnya. Dia berlari di belakang, berusaha menangkapku.

Di hari itu, balasan dariku karena ia berhasil menangkapku adalah tawa yang nyaring.

Adapun di sini, di Nikosia…

Di sini, setelah dia menangkapku…

Balasanku adalah pandangan belas kasih yang penuh air mata.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku berkata ke Tahir, “Aku kenal Nikosia dengan baik. Aku ke sana beberapa kali dalam setahun. Kadang-kadang untuk urusan pekerjaan, kadang hanya kunjungan singkat ketika aku ke Pafos. Maka dari itu, kita akan mengisi hari kita dengan asyik di sini sebelum pergi ke Pafos.”

Tahir bertanya padaku, “Kira-kira kapan kita akan pergi ke Pafos?”

Ia terlihat sedih karena akan pergi ke sana.

“Kapan pun kau mau,” jawabku.

“Seumpamanya besok?” ia bertanya.

Aku tak menyangka ia ingin meninggalkan Nikosia secepat itu, ia ingin ke Pafos sesegera mungkin.

“Tentu! Tapi kita akan bersenang-senang di sini dulu,” jawabku.

“Aku tahu restoran kecil bernama Babel. Aku tidak sengaja mengunjunginya, dan aku pulang dari sana dengan senang,” kata Tahir.

“Kau tahu perempuan yang ada di sana?”

“Iya. Perempuan itu usianya 60-an. Badannya pendek. Dia memanggang daging dan keju,” katanya sambil tersenyum, senyum yang disembunyikan.

“Dan kau senang ke sana?” tanyaku.

Ia menjawab, ”Senang sekali. Kau tahu apa yang dikatakannya padaku? Dia berkata kalau aku seorang pelukis seperti puteranya, Makrius.”

“Apa kau melukisnya?”

“Tidak. Aku hanya mencoret-coret di taplak meja.”

“Tapi kau dulu memang melukis… kau ingin menjadi pelukis sebelum dipenjara.”

Wajah Tahir menunjukkan roman sedih…

Dengan cepat aku berusaha mengubah topik pembicaraan. Aku merasa bahwa kata penjara membuatnya tidak merasa nyaman.

Kukatakan padanya, ”Ayo begadang ke tempat hiburan Kuda Gila[5].

“Ada pertunjukan apa di sana?” dia bertanya.

Aku menyahut dengan tertawa, “Lagu-lagu dan tarian yang bagus, juga para penari yang sangat cantik. Sejak kapan kau tidak pergi ke tempat hiburan?”

“Aku sama sekali belum pernah ke tempat hiburan,” jawabnya.

Kamarku ada di sebelah kamarnya, dan kita bercakap-cakap di depan pintu kamarnya.

“Kita harus bersiap-siap sebelum pergi ke Kuda Gila. Kita istirahat di sini sebentar. Setengah jam kemudian kita berangkat. Aku akan mengetuk pintumu. Sekali ketuk saja.”

**

Kira-kira jam sepuluh, aku mendengar Syaban mengetuk pintu.

Aku membuka pintu. Dia masuk dengan gaya yang keren, khas laki-laki yang akan ke tempat hiburan malam. Ia memandangku, “Kenapa kau tak ganti baju? Kita akan pergi ke klub, ke Kuda Gila… Baiklah, kemari, ikut denganku ke kamar.”

Aku pergi ke kamarnya, dan ia membuka lemari pakaian.

“Cobalah. Aku memang agak lebih gemuk daripada kau. Tapi di antara pakaian ini, aku yakin ada yang cocok untuk kau pakai ke klub.”

Aku ragu-ragu.

Kemudian ia mulai mengeluarkan baju-baju dari lemari. Setelan, kemeja, dasi…, ia melemparnya ke tempat tidur…

Ia mengambil setelan gelap, mengangkat, dan memperhatikannya. Lalu Ia berkata, “Tidak… tidak.”

Ia ambil baju yang lain, dan kembali dilemparkan ke tempat tidur.

Ia mengambil yang ketiga, baju dengan warna yang terang. Ia amati itu dengan seksama. “Aku rasa ini cocok denganmu. Bukankah begitu? Cobalah. Tidak, jangan di kamarmu. Cobalah di sini, di depanku. Lepaskan baju lusuhmu itu. Ngomong-ngomong besok kau akan membeli baju. Aku tak akan memberikanmu pakaianku… jangan khawatir!”

Dua penjaga tempat hiburan itu bergerak sesaat setelah kami melewati pintu Kuda Gila. Salah seorangnya menyambut Syaban, sedang yang lainnya bergegas masuk ke dalam. Ia datang dengan penari yang sebelumnya telah dikenal Syaban. Penari itu menemani kami menuju aula. Ia memilihkan kami meja di pojok dekat dengan panggung. Kemudian ia duduk bersama kami, menempel dengan Syaban.

Mereka membawakan kami minuman dan jamuan malam.

Penari tersebut meminta wiski.

Syaban menawariku, “Apa kau ingin ada penari yang menemanimu duduk? Teman kita ini akan memilihkan yang paling cantik untukmu…”

Aku minum, menerima sulangannya.

Kukatakan padanya, “Aku minta kertas.”

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Pertunjukan tari dimulai.

Aku pikir rombongan itu berasal dari Eropa Tengah.

Aku mengeluarkan pena dan mulai menggambar. Dalam keremangan itu aku berusaha menangkap gerakan para gadis yang tengah menari.

Aku menggambar sketsa wajah teman perempuan Syaban.

Sketsa itu kuberikan pada Syaban, ia mengamatinya. Ia berikan gambar itu kepada temannya tadi,

“Lihat bagaimana sepupuku menggambarmu. Aku sungguh mencintaimu…”

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Jam sebelas aku membangunkan Tahir. Dia membukakanku pintu sembari mengucek matanya. “Ayo. Hari ini kita akan pergi ke Pafos tepat satu jam lagi. Taksi akan menjemput di pintu hotel jam dua belas pas,” kataku padanya.

Kita tak berhenti di Larnaca.

Kita berhenti di Limassol dan makan siang di restoran Lebanon, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pafos. Di Pafos, kami berbelok cepat di pelabuhan.
Lautnya bersih, dan matahari berseri-seri.

Tahir memperhatikan pelabuhan, kapal, dan burung-burung camar dengan seksama. Ia memandangnya dengan mata terpana.

“Pafos, pelabuhan legendaris,” katanya.

**

Itu adalah rumah yang kubeli beberapa tahun lalu, di sebuah desa yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Pafos. Sebuah desa baru yang dibangun di atas reruntuhan desa lama. Sebagian besar pemilik rumah-rumah itu tidak tinggal di sana. Seperti halnya aku, mereka datang untuk menghabiskan liburan, baik dalam waktu yang lama atau hanya sebentar. Sebuah desa dengan rumah-rumah kecil yang dibangun pada taman yang besar. Di sana hanya ada satu jalan, yakni yang mengarah ke jalan raya utama yang menghubungkan Polis, Pafos, Limassol, dan Larnaca.

**

“Ini rumahnya, rumah barumu,” kataku ke Tahir. “Di dalamnya ada aula dan bar. Dapurnya di dalam bar. Kau tidak akan lelah.”

“Ini tempat tidur satu-satunya, kau tidur di sini. Penjaga rumah tidur di aula, ia menyukainya. Kau bisa memintanya untuk menyiapkan makanan. Dia koki yang hebat. Semua yang kau inginkan didapatkan dari toko desa.”

“Kalau kau ingin pergi ke Polis atau ke tempat lain, minta dia untuk menghubungi kantor taksi desa. Dalam beberapa menit kendaraan itu akan datang.”

“Lihat… taman yang luas. Apakah kau mau aku tunjukkan? Penjaga itu yang merawatnya.”

“Ini adalah tungku yang biasa digunakan orang desa untuk memanggang…”

“Tamannya akan dipenuhi dengan bunga-bunga… Aku rasa kau akan banyak menghabiskan waktumu di sini.”

Tahir terus menerus tersenyum.

Roman mukanya terlihat rileks.

Kupikir ia sebelumnya sangat tegang.

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Sepupuku, Syaban, tak menyembunyikan kegembiraannya atas apa yang ia tunjukkan padaku.

Rumah, taman, dan Pafos itu sendiri. Banyak hal yang ia tunjukkan padaku. Ia pun sumringah. Dan karena aku melakukan banyak hal dengannya, aku menjadi dekat dengannya.

Di pelabuhan tua Pafos, ia menunjuk burung-burung camar. Ia mengingatkanku pada Basrah[6] dan camar-camarnya, pada kapal-kapal pelabuhan yang banyak jumlahnya, juga para pelaut yang datang dari mana-mana.

Aku terpesona dengan Pafos sejak pandangan pertama, sejak kami memutar cepat di pelabuhan. Aku yakin bahwa aku akan sering pergi ke pelabuhan, menghabiskan banyak waktuku di sana.

Salah satu kelebihan tempat tinggal itu adalah lokasi desanya yang dekat dengan pelabuhan.

**

Penjaga itu datang.

Ia orang Siprus Yunani, orang desa sini. Namanya Georgiades.

Ia datang dengan membawa bermacam-macam barang: kantong-kantong tas, boks, dan botol…

Syaban memberitahunya, “Ini sepupuku, Tahir. Dia akan tinggal di sini. Layanilah dia seperti kau melayaniku, dan yang lainnya… “

Georgiades menjabat tanganku.

Usianya sekitar 40-an. Wajahnya tampak dilukis oleh matahari dan angin laut. Gerakannya tenang, cenderung lambat. Bicaranya ringkas. Ia berbicara dengan bahasa Inggris praktis yang terbatas, bahasa yang juga digunakan oleh orang-orang Siprus Yunani yang kuajak bicara.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Syaban berkata padaku, “Selama Georgiades ada di sini, kita bisa pergi ke Limassol. Aku suka dengan restoran ikan di pelabuhannya. Akan kutunjukkan padamu restoran enak di dekat kantor pabean di sana. Jangan lupa, kau harus membeli pakaian. Baju-baju di Limassol lebih bagus daripada yang ada di Nikosia.”

**

Georgiades menghubungi kantor taksi.

Kendaraan itu datang, sopirnya mengenal Syaban.

Ketika kami melewati Pafos, Syaban menunjuk ke cabang Bank Siprus. Ia berkata, “Besok kau membuka rekening di bank itu. Tak ada yang boleh bermukim tanpa rekening. Itu aturan di negara ini.”

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Kami kembali ke desa sebelum tengah malam.

Kami menyelesaikan makan malam di bar rumah, makan malam yang disiapkan dengan baik oleh Georgiades.

Hari ini aku kembali ke London dengan pikiran tenang.

Aku bersama Tahir seminggu penuh, jangka waktu terpanjang yang pernah kuhabiskan di pulau itu dalam dua tahun ini… Sebelumnya, waktu itu, aku menyukai seorang penari dari Aleppo yang kukenal di klub Kuda Gila. Hanya saja aku tak melihatnya ketika ke sana bersama Tahir. Mungkin ia kembali ke kotanya, atau mungkin telah menikah.

Bagaimanapun…

Aku yakin dengan diriku yang meninggalkan Tahir. Ia akan baik-baik saja.

Hubungannya dengan Georgiades baik. Itu hal yang bagus.

Dia juga suka dengan rumah, taman, dan pelabuhan tua Pafos.

Kami sudah melakukan tahap awal dalam mengurus izin tinggal. Aku tidak merasa ia akan menemui kesulitan dalam hal ini. Orang-orang di bagian imigrasi mengenalku dengan baik. Salah seorang dari mereka berjanji bahwa ia akan mengurus surat-surat Tahir. Aku sudah memberitahukan tentang janji itu ke Tahir ketika menjamunya dengan bakar-bakar mewah di taman. Dua hari yang lalu kuberitahu Tahir kalau aku akan pergi ke London.

Reaksinya biasa saja, dan aku senang dengan itu. Dengan itu aku tahu bahwa Tahir sekarang merasa nyaman, tenang, dan tidak memerlukanku.

Aku beberapa kali bertanya padanya apakah ia memerlukan hal lain.

Dia menjawab kalau ia sudah memiliki lebih dari yang ia butuhkan.

Aku memberitahu bahwa aku akan meneleponnya setiap minggu untuk membuatnya merasa tenang.

Dia tertawa dan berkata kalau dirinya bukan penghuni rumah sakit.

Aku mempercayakan Tahir ke Georgiades. Kuberi tahu itu pada Georgiades berulang kali. Aku juga menaikkan gajinya. Kenaikan itu tidak lain karena Tahir.
Tak ada hal lain lagi yang harus kulakukan di pulau itu.

Aku akan membiarkan Tahir mengatur urusannya.

Ia harus kembali ke keadaan normalnya setelah semua kesukaran dan masalah yang dialaminya.

Wajahnya membuatku terkejut ketika aku melihatnya di samping pintu lift hotel Cleopatra. Wajah itu adalah wajah seseorang yang pelan-pelan jatuh ke dalam jurang kesedihan yang gelap.

Namun sekarang, aku mendapati roman mukanya terlihat rileks. Kekusutan yang semula melingkupinya mulai mengendur. Aku sangat gembira karena terkadang ia menggambar dengan pena di alas meja restoran.

Ia berkata akan mengantarku ke bandara Larnaca bersama Georgiades.

Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Meskipun dua hari lalu Syaban memberitahu bahwa ia akan pergi hari ini, keberangkatannya sebentar lagi agak membuatku terganggu.

Aku mengingat kenangan masa kecil dengannya, pemandangan kebun dan anak-anak sungai di kota Basrah yang jauh. Kita berlari bersama. Melompati anak sungai, menyebrangi jembatan, dan memanjat pohon kurma. Kita memetik ruthab[7] dan menyantap jimar[8]. Siang harinya kita tidur di bawah teralis anggur. Kita menghirup aroma daun ara dan mencari buah tin yang matang. Kita mengingat nama teman-teman, menelusuri bagaimana nasib mereka di bumi yang amat luas ini, terlalu luas dari yang seharusnya, tak bisa kami jangkau.

Kukatakan kepadanya bahwa aku dan Georgiades akan mengantarnya ke bandara Larnaca. Ia mencoba mencegahku, tapi aku bersikeras.

Syaban menerima desakanku itu.

Kami begadang di bar rumah.

Tertawa lama…

Georgiades menyiapkan tas-tas barang, menyisakan Syaban sebuah tas tangan ringan untuk dibawanya.

Pagi harinya kami berangkat ke Larnaca.

Pemandangan begitu menakjubkan ketika kami masuk bandara.

Warna kuning dan putih bergerak-gerak di sekitar terminal utama bandara. Hanya kuning dan putih. Tampak dua pesawat yang datang dari negeri Skandinavia mendarat dalam waktu yang bersamaan. Rambut kuning dan baju putih. Suka cita akan keelokan dan gadis-gadis. Seolah-olah terminal bandara Larnaca ini adalah salah satu taman bermain surga. Betapa burung-burung itu datang dari Skandinavia dengan sayap angin.

Syaban tidak terkejut dengan pemandangan itu.

Georgiades berkata bahwa mereka, penumpang pesawat itu, akan pergi ke Ayia Napa[9]. Orang-orang Skandinavia lebih suka Ayia Napa dari pada Limassol, Larnaca, atau Pafos…

Di sana baru saja dibuka wisata pantai.

Syaban berkata padaku, “Sekali lagi aku pesan kepadamu, Tahir.. Kalau kau perlu apa-apa, kapan saja, yang perlu kau lakukan hanyalah mengangkat gagang telepon.”

Tanda keberangkatan ke London mulai disiarkan di papan pengumuman.

Syaban merangkulku sebagai tanda perpisahan.

Ia menyalami Georgiades.

Bandara ditinggalkan oleh warna kuning dan putih itu.

Syaban melambaikan tangannya, lambaian perpisahan terakhir…

Setelah keberangkatan Syaban dan keluarnya kami dari bandara, Georgiades bertanya apakah aku ingin langsung pergi ke Pafos atau melihat-lihat Larnaca.

Kuberitahu dia kalau aku ingin berjalan-jalan sebentar di kota ini… Kukatakan kalau aku tidak suka toko-toko dan jalan-jalan besar. Aku ingin dekat dengan laut.

Georgiades memutuskan kalau sebaiknya kita mengunjungi pelabuhan kapal pesiar, kemudian ke tukiyya Utsmaniyah[10], makam para bani Hasyim laki-laki dan perempuan, dan para sahabat yang terbunuh pada era penaklukan awal, di pantai ini, di abad pertama hijriah. Di depan tukiyya ini ada kapal-kapal Utsmaniyah, ketika kami melewati pelabuhan Larnaca, kapal-kapal itu menembakkan meriamnya untuk memberi hormat kepada para sahabat.

**

Di sekitar tukiyya itu berdiri pepohonan kurma.

Satu-satunya pohon kurma di pulau ini. Begitu yang dikatakan Georgiades.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Kami makan siang di restoran ikan, di sebelah permulaan jalan yang menuju ke Ayia Napa. Tempat makan itu ada di laut, di sana ada ceruk kecil yang sering dikunjungi oleh sampan nelayan.

Alas meja restoran itu berwarna putih.

Aku mengeluarkan penaku…

**

Dalam perjalanan pulang menuju ke Pafos, tepatnya di pinggiran kota Limassol, aku merasakan pusing, mataku menjadi gelap, dan rasanya ingin muntah.

Kuberitahu Georgiades.

Taksi berhenti di samping kafe.

Georgiades turun dan membawakanku sebuah gelas.

“Minumlah sedikit. Yang kau minum tadi Brandy Siprus.”

Aku minum seteguk air.

**

Setelah kami sampai di desa, aku tiba-tiba merasa kelelahan.

Kubilang pada Georgiades, “Aku ingin tidur.”

Aku minum air mineral dan menyelinap ke tempat tidur.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku terbangun di tengah malam…

Georgiades kupanggil, tapi ia sedang tidur.

Aku kembali tidur, memikirkan tukiyya dan pohon-pohon kurma…

Pagi ini adalah pagi pertama yang kusaksikan di desa Yunani setelah keberangkatan Syaban.

Aku minum kopi bersama Georgiades di bar rumah, kemudian pergi ke taman.

Dengan udara awal musim semi.

Kukatakan pada Georgiades kalau aku ingin berjalan-jalan sendirian di desa.

Desa ini tidur.

Penghuninya hanya sedikit dan mereka bukan orang yang makmur. Mereka dibangunkan oleh ayam jago, kemudian menggarap bumi.

Tanah-tanah kosong dan yang terpelihara dipenuhi tumbuhan musim semi: thyme, stachys, adas… bunga-bunga margareta, narsis, dan anemon poppy.

Udara lengang.

Laut mengirim nafasnya dari jauh.

Aku menelusuri jalan menurun hingga menemukan kedai kopi kecil yang mengisi sudut persimpangan jalan desa dan jalan raya utama.

Di sana ada kebun jeruk dan lemon.

Aku duduk di kedai itu, beristirahat, meminum kopi.

Supir taksi yang kemarin mengantarkan kami ke bandara Larnaca ada di sana. Kendaraannya diparkir di samping pintu masuk. Ia duduk menyeruput kopi sambil mengobrol dengan kawan-kawannya. Ia tersenyum mengucapkan selamat pagi padaku dan bertanya tentang Georgiades. Kukatakan padanya kalau Georgiades ada di rumah.

Laut mengirimkan nafasnya.

Kuperhatikan sopir tersebut dan bertanya apakah ia sedang sibuk. Aku berpikir akan pergi ke pelabuhan tua Pafos.

Sopir itu bertanya padaku apakah aku ingin pergi ke suatu tempat.

Kukatakan padanya, “Aku ingin pergi ke Pafos, ke pelabuhan tua.”

“Siap,” jawabnya.

“Apakah tuan bisa menghubungi Georgiades dan mengatakan padanya kalau kita akan pergi ke Pafos?” kataku.

** Nikosia – Cerpen Saadi Youssef

Aku di sini, di pelabuhan tua.

Kukatakan kepada sopir itu untuk kembali siang hari.

“Anda mau ke mana?” tanyanya.

“Di samping burung-burung ini,” jawabku.

Aku berjalan menuju ke seekor burung pelikan besar yang jenaka. Ia berjalan, berayun dengan ketenangan, di dermaga, di antara tali dan pasak-pasak.

Sopir itu tertawa. Ia menuju kendaraannya dengan langkah ringan.

Siang harinya, ketika sopir itu datang untuk menjemputku kembali ke desa, ia menemuiku di antara burung-burung pelikan.

Ia berkata, “Itu burung keberuntungan. Orang-orang Pafos percaya akan hal tersebut. Mereka menghormatinya. Mereka berkata kalau burung itu adalah jenis burung pertama yang datang dan memilih pelabuhan kota ini sebagai tempat tinggal. Apa Anda tahu dari mana burung itu berasal?”.

“Aku tidak tahu. Mungkin mereka berasal dari ujung utara sana, dari arah kutub.” jawabku.

“Burung-burung yang bermigrasi itu menyukai pulau kita,” kata sang sopir.[*]

***

Catatan kaki:

[1]: Minuman beralkohol suling yang diberi rasa adas manis asal Yunani.
[2]: Syaban dalam bahasa Arab ditulis dalam lima huruf (شعبان).
[3]: Rose wine.
[4]: Pakaian laki-laki khas Arab, yakni gamis putih panjang.
[5]: Secara harfiah nama tempat hiburan itu Al-Hishonu Al-Mukhobbil, artinya kuda gila.
[6]: Kota terbesar kedua di Irak, letaknya 545 km dari Baghdad.
[7]: Kurma yang matang (masih segar).
[8]: Pelepah putih yang diambil dari pucuk batang kurma.
[9]: Kota di ujung timur Siprus Yunani yang terkenal karena wisatanya.
[10]: Masjid kuno yang dibangun tahun 648 M. Masjid ini bernama Hala Sultan, berada di dekat Bandara Internasional Larnaca. Di dalamnya terdapat makam Ummu Haram, seorang sahabat wanita yang memiliki peran penting di masa kenabian.

***

Tentang Saadi Youssef

Saadi Youssef (1924-2021) merupakan penyair kontemporer Arab kelahiran Basrah, Irak. Karena aktivitas di masa mudanya yang terlibat dalam politik, ia kemudian meninggalkan Irak pada 1979 dan bekerja sebagai jurnalis dan aktivis di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ia sempat tinggal di sejumlah negara seperti Algeria, Lebanon, Perancis, Yunani, Siprus, dan Inggris. Youssef menulis lebih dari 30 buku puisi, 2 novel, dan 1 kumpulan cerpen. Ia juga menerjemahkan karya-karya Asing ke dalam bahasa Arab. Ia menerima sejumlah penghargaan seperti Sultan bin Ali Al Owaiz Prize, Cavafy Prize, Arkana Prize, dan The Blue Metrpolis Arab Literary Prize.

Cerpen ini diterjemahkan oleh Mira Agustin dari cerpen berbahasa Arab yang berjudul نيقوسيا, dalam bahasa Indonesia berarti “Nikosia”, ibu kota Siprus. “Nikosia” dimuat dalam majalah Nizwa edisi 1 yang terbit bulan November 1994. Nizwa merupakan majalah sastra dan kebudayaan yang terbit per triwulan. Majalah ini berbasis di Oman dan diedarkan kesejumlah negara Arab dan negara asing. Arsip cerpen “Nikosia” dapat dilihat di laman resmi Nizwa Magazine.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Kebakaran dan Reruntuhan – Esai Orhan Pamuk
Puisi-Puisi Badi’ Al-Qasha’ila – Andai Aku


Komentar Anda?