Menu
Menu

Biduan Dangdut; Bawa Aku ke Hari; Kampung Rantau; Elegi Sebuah Kota; Jalur Sempit Tanah Abang.


Oleh: Andreas Mazland |

Lahir di Banda Aceh, 21 Juni 1997. Alumnus Universitas Andalas Padang. Puisi-puisinya dapat ditemukan di berbagai media seperti Tempo, Kedaulatan Rakyat, Media Indonesia, Haluan, Padang Ekspres, Riau Pos, dan lain-lain. Bergiat di Sarang Tampuo, sebuah komunitas sastra kecil-kecilan di Kota Padang.


Biduan Dangdut

malam nanti kudengar kau akan
memberi hiburan mahabahagia
untuk kampung kami yang luka
maka berikanlah kami joget
yang semanis gula-gula, nova
agar pahit empedu yang mengendap
pada lubuk lidah kami lepas semua

nyanyikan kami lagu-lagu indah, nova
meski irama yang kami dengar itu-itu saja
sebab hari-hari kami tanpa suaramu
hanyalah bau obat mengudara
dan catatan kusut seorang mantri
yang sangat sulit untuk dibaca

nanti sebelum malam tiba
kami akan berlagak
laksana bintang film india
membusung dada serupa
tentara perang memasuki kota

akan kami datangi pentasmu beramai-ramai
semacam karavan kapal dagang eropa
memburu cengkeh dan pala
mencari kamper dan lada

malam nanti kuharap kautiba, nova
karena tanpa suaramu hari-hari kami
hanya udara berbau minyak angin
dan kelambu anti malaria

Pauh, 2022

.

Bawa Aku ke Hari Esok

: Padang

kupercayakan air mataku pada kota ini
kupertaruhkan benar segalanya di sini
tapi belum ada yang mampu membawaku
ke hari esok

kususun segala malang segala demam
menjadi burung api
terbakarlah semua
lintuhlah segala

tapi nafasku terus saja sesak
seakan-akan usia hanyalah
sederet angka diintai maut

maka dari ruang sempit kamarku
kukutuki nasib seperti waktu
mengutuk setiap angka yang padanya
melekat darah kental masa lalu

kupercayakan air mataku pada kota ini
kupertaruhkan benar segalanya di sini
siapa pun! tolong bawa aku ke hari esok
ke esok yang bukan kemarin

Pauh, 2022.

.

Kampung Rantau

Mita Handayani

hari-hariku patah tampuk
demamku tak berkesudahan
sakitku tak terbahasakan

di sini pagi adalah serakan kabel listrik
bekas orgen tunggal semalam penuh
atau barangkali juga dandanan luntur
yang melekat pada bungkus bantal lintuh

kubakar tubuh sendiri
sekedar menghangatkan badan
tapi dingin nasib terasa benar di dadaku
seakan-akan aku bakal mati beku

hari-hariku berjalan lambat
dan setiap derik jam adalah
pertanda maut merapat

kumakan bagian tubuhku sendiri
untuk sedikit mengurangi lapar
tapi lambungku terus saja luka
seakan-akan aku bakal mati muda

pada akhirnya
akan begini juga seterusnya
pagiku adalah sisa mimpi semalam
atau barangkali juga khayal tentang
hari depan yang tak kunjung datang

Pauh, 2022

.

Elegi Sebuah Kota

untuk Alizar Tanjung

di kota ini nasib adalah matahari
yang ditelan laut demam berulang
sedangkan lipatan angin garam
berbau jengat nelayan terpanggang

pada sela-sempit bukit rapat kota ini
sekafilah pedagang emas dari dataran
tinggi pernah terjebak mati

dibiarkan segala yang mereka ingat
tentang jalan menuju pulang
menjadi dinding batu:
sebongkah ngarai bisu

di sini setiap orang tak pernah
benar-benar tumbuh tua
sebab setengah dari usia
mereka genapkan bilangannya
di jantung-jantung jawa

karena memang begitulah amsal ini kota
cuma sebaris tubuh
tanpa ingatan
tanpa jiwa

Padang, 2022

.

Jalur Sempit Tanah Abang

: Andre Septiawan

riwayat
kota ini
jauh dari
penglihatan
orang dukuh
paling dusun
di rimba
sumatera sana
menyuruh
anak mereka
mengubah nasib
ke jantung-
jantung jawa

coba kaulihat
gedung tinggi
menjulang itu
kau tau,
gedung itu
dibangun
dari seribu
keributan berdarah
di timur negeri ini

padahal di sana
tiada gedung tinggi
hanya ada jejak
melumut kaki
orang berburu pala
dan sisa bunyi
meletup cengkeh
dibakar tuan-
tuan belanda

apakah kau pikir
orang-orang
yang mengantri
di swalayan itu
sedang berebut
keadilan?
atau bunyi
trem mendecit
di jalur sempit
adalah pertanda
hari baik
bakal datang?

tidak, tidak

riwayat
kota ini
hanyalah
mimpi buruk
dan hari depan
yang remuk

Pauh, 2022.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited (diolah dari sini).

Baca juga:
Puisi-Puisi Saddam HP – Rahim
Puisi-Puisi Mutia Sukma – Pasar Gede
Puisi-Puisi Halim Bahriz – Terapi Membaca


Komentar Anda?