Menu
Menu

Suasana kantor semakin sibuk, pekerjaan datang silih berganti. Semua pegawai kadang-kadang melirik ke arah Kucing Abu-abu, tapi bibir mereka tertutup rapat. Kantor Para Kucing.


Oleh: Wahyu Widyaningrum | Kantor Para Kucing

Sesekali menerjemahkan cerpen dan esai dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Dapat dihubungi melalui akunTwitter @wahyudhea. Kantor Para Kucing.


Di dekat sebuah depo kereta, berdirilah Kantor Keenam milik para kucing. Aktivitas utama di tempat ini adalah penggalian informasi tentang sejarah kucing dan ilmu bumi.

Semua pegawainya mengenakan baju pendek berwarna hitam berbahan satin. Seragam itu membuat mereka disegani oleh semua kucing, sehingga apabila ada satu pegawai yang berhenti bekerja karena suatu alasan, maka kucing-kucing muda di dekat sini berebutan ingin masuk menggantikan si pegawai tadi.

Namun, ada ketentuan bahwa jumlah pegawai di kantor ini hanya empat. Sebab itulah, dari sekian banyak peminat, hanya satu yang terpilih, yaitu ia yang tulisan tangannya indah dan tidak buta huruf.

Manajer di sini adalah seekor kucing hitam besar. Penglihatannya sedikit bermasalah, tetapi ia memiliki dua garis sewarna perunggu di matanya yang membuatnya tampak berwibawa.

Dan inilah pegawai-pegawainya, bawahan si manajer: Sekretaris Satu adalah Kucing Putih, Sekretaris Dua adalah Kucing Loreng, Sekretaris Tiga adalah Kucing Belang, dan Sekretaris Empat adalah Kucing Abu-abu.

Kucing Abu-abu tidak berwarna abu-abu sejak lahir. Tidak penting apa warnanya ketika lahir, tetapi ia terbiasa tidur di tungku perapian saat malam sehingga tubuhnya kotor oleh jelaga, bahkan hidung dan kupingnya menghitam sebab itu. Ia adalah seekor kucing yang lebih mirip rakun. Itulah sebabnya Kucing Abu-abu tidak disukai oleh kucing-kucing lain.

Tetapi karena manajer di sini adalah seekor kucing hitam, Kucing Abu-abu tetap dipilih di antara empat puluh kucing peminat lainnya, meskipun ia normalnya tak akan pernah bisa menjadi sekretaris sekeras apa pun ia belajar.

Di tengah-tengah ruangan kantor itu terdapat sebuah meja yang dilapisi kain felt berwarna merah terang. Kucing Hitam, Sang Manajer, duduk dengan gagah di situ, yang memang disediakan untuknya. Di sebelah kanannya adalah Kucing Putih dan Kucing Belang, sementara di sebelah kirinya ada Kucing Loreng dan Kucing Abu-abu. Mereka duduk di kursi masing-masing yang di depannya terdapat sebuah meja kecil.

Kalau Anda bertanya-tanya apa manfaat ilmu bumi atau sejarah bagi para kucing, kira-kira seperti ini:

Suara ketukan terdengar di pintu kantor.

“Masuk!” Kucing Hitam, Sang Manajer, menyahut kencang. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, duduknya petentengan.

Keempat sekretaris menunduk, tampak sibuk membolak-balik buku catatan.
Masuklah seekor kucing berpenampilan glamor.

“Ada perlu apa?” tanya Manajer.

“Saya ingin pergi ke arah Laut Bering untuk makan tikus es. Di mana tempat yang paling baik?”

“Hmm. Sekretaris Satu, beri tahu lokasi yang banyak terdapat tikus es.”

Sekretaris Satu membuka buku catatan besar bersampul biru.

“Ada di wilayah Ustragomena, Novaskaya, dan Aliran Sungai Fusa.”

Manajer berkata pada kucing glamor, “Ustragonema, Nova… apa tadi namanya?”

“Novaskaya.” Sekretaris Satu dan Kucing Glamor menjawab bersamaan.

“Ya. Novaskaya. Apa lagi satunya?”

“Sungai Fusa.” Lagi-lagi Kucing Glamor menjawab berbarengan dengan Sekretaris Satu. Manajer sedikit terlihat tidak berkenan.

“Ya, ya. Sungai Fusa. Daerah di sekitar sana sepertinya cukup bagus.”

“Lalu apa yang perlu saya persiapkan untuk perjalanan saya?”

“Ya. Sekretaris Dua, ceritakan apa saja yang perlu diperhatikan saat melancong ke sekitar Laut Bering.”

“Baik.” Sekretaris Dua membuka buku catatannya. “Wilayah itu sangat tidak tepat sebagai tempat wisata bagi kucing musim panas.” Entah kenapa, tepat saat itu seluruh kucing menatap Kucing Abu-abu.

“Kucing musim dingin juga perlu waspada. Di Hakodate dan sekitarnya, ada bahaya yaitu diberi umpan berupa daging kuda. Terutama bagi kucing hitam. Meskipun ia sudah menampakkan dirinya sebagai seekor kucing, kadangkala ia salah disangka rubah hitam, lalu akhirnya diburu.”

“Ya, seperti itu. Anda bukan kucing hitam sepertiku, jadi tak perlu khawatir berlebihan. Anda hanya perlu ekstra waspada dengan umpan berupa daging kuda di Hakodate.”

“Oh, begitu. Lalu, siapa penguasa di sana?”

“Sekretaris Tiga, beri tahu siapa nama penguasa di wilayah Laut Bering.”

“Baik. Hm…. Di wilayah Laut Bering ada, ya, ada Tovasky, Genzosky. Ya, ada dua nama itu.”

“Tovasky dan Genzosky. Seperti apa karakter mereka?”

“Sekretaris Empat, tunjukkan keterangan umum tentang Tovasky dan Genzosky.”

“Baik.” Sekretaris Empat, si Kucing Abu, membawa buku catatan dengan menyelipkan jari-jarinya yang pendek di halaman-halaman yang memuat tentang Tovasky dan Genzosky. Manajer dan Kucing Glamor nampaknya sangat terkesan dengan hal itu.

Ketiga sekretaris lainnya tertawa dengan pandangan meremehkan. Kucing Abu-abu sekuat tenaga membacakan isi buku catatannya.

“Tovasky, kepala suku. Karakter khasnya adalah matanya berkilat-kilat dan bicaranya sedikit lambat. Genzosky adalah konglomerat, bicaranya sedikit lambat tetapi matanya berkilat-kilat.”

“Baik, saya mengerti. Terima kasih.”

Kucing Glamor pergi berlalu.

Begitulah situasinya, kucing-kucing merasa sangat terbantu.

Namun demikian, tepat setengah tahun setelah kisah itu terjadi, Kantor Keenam dibubarkan. Alasannya—tentu Anda sekalian sudah paham—adalah karena ketiga sekretaris sungguh iri pada Sekretaris Empat, si Kucing Abu-abu. Terutama Sekretaris Tiga, si Kucing Belang, yang selalu ingin menggantikan pekerjaan Kucing Abu-abu. Kucing Abu-abu sedapat mungkin ingin agar anggapan ketiga kucing lain terhadapnya berubah sehingga ia mencoba berbagai cara, tetapi upayanya nampaknya sia-sia. Tak ada yang berubah.

Misalnya saja, suatu hari Kucing Loreng yang ada di sebelahnya hendak makan siang. Kucing Loreng mengeluarkan kotak bekal makan siangnya dan menaruhnya di atas meja. Ia hampir mulai menyantap makanannya, tetapi tiba-tiba saja ia menguap.

Saat itu, Kucing Loreng meregangkan kedua lengannya yang pendek dan menguap lebar sekali. Tindak-tanduk itu sama sekali bukan suatu masalah besar di antara kucing-kucing lainnya, juga bukanlah suatu perbuatan yang kurang ajar bagi kucing senior. Andaikan hal itu terjadi di depan manusia, barangkali ia hanya akan menerima pelintiran di kumisnya. Masalahnya, injakan kakinya menyebabkan meja jadi sedikit miring, lalu kotak bekal makannya perlahan-lahan meluncur hingga akhirnya jatuh ke lantai tepat di depan Sang Manajer. Isinya berantakan, tetapi kotaknya sendiri tidak boncel karena terbuat dari aluminium. Saat itulah Kucing Loreng berhenti menguap, lalu menjulurkan tangannya ke atas meja, berusaha menggapai kotak bekalnya. Ketika tangannya hampir menjangkau kotak bekal, benda itu justru bergeser-geser ke sana ke mari, membuat Kucing Loreng tak mampu meraihnya.

“Sudah, hentikan. Tanganmu jelas tak sampai,” Kucing Hitam, Sang Manajer, terkekeh sembari mengunyah roti. Ketika itu Sekretaris Empat, si Kucing Abu-abu, tengah membuka tutup kotak bekalnya, tetapi setelah melihat seluruh adegan tadi, ia seketika memungut makanan yang terjatuh, dan bermaksud memberikannya kepada Kucing Loreng. Namun, Kucing Loreng justru marah besar. Ia tidak mau menerima makanan yang diserahkan Kucing Abu-abu. Ia menyembunyikan tangannya ke belakang, lalu berbalik badan sembari berteriak lantang.

“Apa ini? Kau menyuruhku menyantap makanan ini? Kau suruh aku makan makanan yang sudah jatuh dari atas meja ke lantai, hah?”

“Tidak. Kamu tadi terlihat hendak mengambilnya, jadi aku bantu mengambilkan. Hanya itu.”

“Kapan aku terlihat mau mengambilnya? Aku hanya merasa tidak pantas kotak bekalku jatuh di depan Manajer, jadi aku mau menyodoknya agar mengarah ke sisi mejaku.”

“Oh, begitu. Tapi tadi aku juga melihat kotak bekalnya bergerak ke sana ke mari.”

“Lancang sekali. Kau menantangku?”

“Jreng jreng jreng jrengg…” Manajer mendadak bersuara lantang. Nampaknya ia sengaja melakukannya, seolah-olah mencegah kedua pihak dari perkelahian.

“Sudah, jangan berkelahi. Toh Kucing Abu-abu tidak memungut makanan itu dengan niatan memaksa Kucing Loreng untuk memakannya. Selain itu, pagi tadi aku lupa mengabarkan bahwa upah bulanan Kucing Loreng naik sepuluh sen.”

Kucing Loreng, yang tadinya tampak takut-takut dan hanya mendengarkan sembari menundukkan kepala, akhirnya menampakkan senyum bahagianya.
“Maaf telah menimbulkan kegaduhan,” ucapnya. Ia melirik Kucing Abu-abu di sebelahnya, lalu duduk.

Para pembaca sekalian, saya merasa iba pada Kucing Abu-abu.

Lima atau enam hari setelah kejadian tersebut, terjadi peristiwa yang mirip. Hal-hal seperti itu berulang kali terjadi karena alasan, (1) kucing adalah makhluk pemalas, (2) karena kaki depan atau tangan mereka pendek. Kejadian bermula pagi hari sebelum jam kerja. Kala itu, pena milik Sekretaris Tiga, si Kucing Belang, menggelinding lalu terjatuh ke lantai. Ia mestinya sigap berdiri, tapi ia justru dengan malas langsung meniru apa yang dulu pernah dilakukan Kucing Loreng, yaitu menjulurkan kedua tangannya hingga ke seberang meja dan berusaha meraih pena tersebut. Sesuai dugaan, tangannya tak sampai. Badannya yang pendek membuatnya perlahan-lahan semakin maju, juga kakinya semakin menjauh dari sandaran kursi. Kucing Abu-abu ragu hendak mengambilkan atau tidak, selain itu ia juga berkaca pada kejadian sebelumnya, jadi ia hanya termenung sembari mengerjapkan matanya. Setelah terus-menerus memandangi, ia akhirnya berdiri.

Tepat pada saat itulah Kucing Belang yang tubuhnya terjulur terlalu maju tadi seketika oleng, kepalanya terantuk, tubuhnya terbalik, lalu jatuh dari meja. Bunyi yang ditimbulkan begitu keras sampai membuat Kucing Hitam, Sang Manajer, berdiri terkejut, lalu mengambil botol berisi larutan amonia yang tersedia di rak di belakangnya. Kucing Belang segera bangkit, sembari tertatih ia mendadak berteriak marah, “Hei Kucing Abu-abu, rupanya kau yang mendorongku!”

Namun kali ini, Sang Manajer segera menenangkan Kucing Belang.

“Bukan begitu, Kucing Belang. Kau salah. Kucing Abu-abu bermaksud baik, ia pun hanya berdiri saja, tidak menyentuh atau mencelakaimu. Ini bukan perkara besar. Sudah, sudah. Nah, perihal surat pindah atas nama Santontan….” Manajer dengan sigap langsung menugaskan pekerjaan. Kucing Belang pasrah. Ini adalah kali pertamanya sebagai penanggung jawab pekerjaan, tapi ia beberapa kali melirik ke arah Kucing Abu-abu.

Hal tersebut membuat Kucing Abu-abu merasa tidak enak hati.

Kucing Abu-abu kemudian berusaha untuk menjadi kucing yang biasa-biasa saja. Berkali-kali ia mencoba tidur di luar jendela, tetapi udara malam membuatnya kedinginan sampai bersin-bersin. Ketika sudah tidak tahan lagi, akhirnya ia menyerah dan masuk ke dalam perapian.

Anda mungkin menerka-nerka kenapa ia mudah kedinginan. Itu sebab kulitnya tipis. Kulitnya tipis sebab ia lahir di puncak musim panas. Memang akulah yang bersalah, mau bagaimana lagi, pikir Kucing Abu-abu, air matanya menggenang memenuhi matanya yang bulat.

Tetapi Manajer sungguh baik kepadaku, belum lagi kawan-kawanku sesama kucing abu-abu yang merasa begitu bangga dan gembira karena aku bekerja di kantor. Seberat apa pun aku tak akan berhenti. Aku pasti bisa melewati tantangan ini! Kucing Abu-abu mengepalkan tangannya sembari mengucurkan air mata.

Sementara itu, Sang Manajer ternyata tidak selalu bisa diandalkan. Ia terlihat cerdas, padahal sebenarnya bodoh, seperti kucing pada umumnya. Pernah suatu kali, Kucing Abu-abu sedang tertimpa kemalangan. Ia masuk angin, tulang sendi kakinya radang hingga benjol sebesar mangkuk, menyebabkan ia tak mampu untuk berjalan selangkah pun sehingga ia akhirnya beristirahat selama sehari. Kucing Abu-abu sungguh menderita. Ia menangis tersedu-sedu. Sambil memandangi sinar matahari kekuningan yang menerobos masuk dari jendela kecil di lumbung, ia terus menerus mengucek matanya dan menangis sepanjang hari.

Pada waktu itu, beginilah suasana kantor:

“Hari ini Kucing Abu-abu belum terlihat batang hidungnya. Lama sekali dia terlambat,” ujar Manajer di sela-sela pekerjaannya.

“Ah, paling juga ia sedang main-main ke pantai,” timpal Kucing Putih.

“Bukan begitu. Ia pasti diundang ke suatu pesta,” ucap Kucing Loreng.

“Memangnya hari ini ada pesta?” tanya Manajer terkejut, sebab ia berpikir seharusnya tak mungkin ada sebuah pesta yang digelar tanpa mengundang dirinya.

“Aku dengar ada pesta peresmian sebuah sekolah di daerah utara.”

“Begitu rupanya.” Kucing Hitam terdiam merenung.

“Ya. Memang Si Kucing Abu-abu itu,” Kucing Belang mulai berbicara, “ia akhir-akhir ini diundang ke banyak tempat. Sepertinya ia juga sesumbar menyatakan kalau ia akan menjadi manajer selanjutnya. Makanya kucing-kucing bodoh lainnya menjadi takut, sehingga mereka berusaha menyenangkan Kucing Abu-abu sebisa mungkin.”

“Benarkah itu?” Suara Kucing Hitam melengking tinggi.

“Benar. Silakan mengecek sendiri,” Kucing Belang menjawab, mulutnya memberengut.

“Lancang sekali. Apa dia tidak ingat betapa aku bersikap baik padanya? Baiklah kalau begitu, aku punya rencana.”

Setelah itu, suasana kantor berubah mencekam selama beberapa saat.

Keesokan harinya, bengkak di kaki Kucing Abu-abu akhirnya mengempis. Dengan sukacita ia pergi ke kantor di tengah kencangnya embusan angin. Sesampai di kantor, ia melihat buku catatannya di atas meja—ia begitu menyukainya, sesampainya di kantor ia pasti langsung mengelus sampul buku catatan itu—telah raib. Buku catatan itu justru telah terbagi menjadi tiga, ada di atas meja kucing lainnya.

“Oh, tentu kemarin sibuk sekali,” Kucing Abu-abu berbicara sendiri. Suaranya tercekat, jantungnya berdebar kencang.

Brak. Pintu terbuka, Kucing Belang masuk.

“Selamat pagi,” Kucing Abu-abu berdiri dan menguluk salam, tetapi Kucing Belang malah duduk dengan mulut terkunci, kemudian seperti nampak sibuk membolak-balik buku catatannya.

Brak. Krek. Kucing Loreng datang.

“Selamat pagi.” Kucing Abu-abu kembali berdiri dan mengulur salam, tetapi Kucing Loreng sama sekali tidak menoleh ke arahnya.

“Selamat pagi,” kata Kucing Belang.

“Pagi. Anginnya tadi kencang sekali, ya.” Kucing Loreng juga seketika mulai membolak-balik buku catatannya.

Kucing Abu-abu berdiri dengan lunglai. Ia lalu membungkuk memberi salam, tetapi Kucing Putih berpura-pura tidak melihatnya.

Brak. Krek.

“Huh, anginnya dahsyat juga tadi,” Kucing Hitam, Sang Manajer memasuki ruangan.

“Selamat pagi.” Tiga kucing bergegas berdiri lalu membungkukkan badan. Kucing Abu-abu ikut berdiri dengan lesu dan bersalam, tetapi pandangannya tetap mengarah ke bawah.

“Tadi itu seperti angin topan, ya,” lanjut Kucing Hitam tidak mengindahkan Kucing Abu-abu, lalu ia bersegera memulai kerjanya.

“Baik, hari ini kita lanjutkan pekerjaan kemarin tentang Ammonjak Bersaudara. Kita harus mencari tahu lalu menyusun jawaban. Sekretaris Dua, siapa di antara Ammonjak Bersaudara yang pergi ke Kutub Selatan?” Pekerjaan dimulai. Kucing Abu-abu terus diam, kepalanya tertunduk. Buku catatannya tidak ada. Ingin rasanya ia berkomentar tentang hal itu, tetapi suaranya tersendat.

“Ada Pan dan Polaris,” jawab Kucing Loreng.

“Baik. Gali info detail tentang Pan dan Polaris,” perintah Kucing Hitam. Ah, ini ‘kan pekerjaanku. Semua ada di buku catatanku. Kucing Abu-abu membatin, nyaris menangis.

“Pan dan Polaris tewas di Pulau Yap dalam perjalanan sekembali dari eksplorasi di Kutub Selatan, kemudian jenazah keduanya ditenggelamkan di laut.”

Sekretaris Satu, si Kucing Putih, membaca buku catatan milik Kucing Abu-abu. Kucing Abu-abu merasa sedih, sungguh sedih sampai mulutnya terasa asam dan berdenging, ia menahan emosinya sembari terus menunduk.

Suasana kantor semakin sibuk, pekerjaan datang silih berganti. Semua pegawai kadang-kadang melirik ke arah Kucing Abu-abu, tapi bibir mereka tertutup rapat.
Hari beranjak siang. Kucing Abu tidak menyantap bekal yang ia bawa. Ia hanya meletakkan tangannya di atas pahanya, sementara kepalanya tetap layu.

Lepas tengah hari sekitar pukul satu, Kucing Abu-abu mulai terisak-isak. Hingga beranjak sore ia terus menangis, kadang berhenti, lalu menangis lagi, begitu terus sampai sekitar tiga jam. Di kantor para kucing.

Namun, teman-temannya seakan tidak peduli, mereka terus saja bekerja dengan asyik.

Tepat pada saat itulah di balik jendela di belakang Manajer terlihat kepala singa berwajah seram berwarna keemasan. Kucing-kucing lainnya tidak ada yang menyadari hal tersebut.

Singa itu mengawasi ruangan selama beberapa waktu, setelah itu sekonyong-konyong mengetuk pintu dan dengan cepat merangsek masuk. Tak ayal hal itu membuat semua kucing terperanjat. Singa itu kemudian mondar-mandir di ruangan.

Hanya Kucing Abu-abulah yang segera menyeka air matanya, kemudian sigap berdiri.

Singa berkata dengan suara yang tegas dan lantang, “Apa yang kalian lakukan? Ilmu bumi dan sejarah tidak diperlukan untuk hal-hal seperti itu. Hentikan semuanya! Aku perintahkan kalian untuk bubar!”

Demikianlah, kantor para kucing ini berhenti beroperasi.

Saya agak sepakat dengan pernyataan Sang Singa.

*** Kantor Para Kucing

Tentang Kenji Miyazawa

Kenji Miyazawa (1896—1933) adalah novelis dan penulis cerita anak-anak. Karya-karyanya baru dikenal publik setelah kematiannya. Tulisannya yang populer di antaranya adalah “Ginga tetsudou no yoru (Night on the Galactic Railroad)” dan “Kaze no matasaburou (Matasaburo of the Wind)”. “Ginga tetsudou no yoru” juga diadaptasi menjadi anime pada tahun 1985.

Cerpen “Kantor Para Kucing” diterjemahkan dari versi bahasa Jepang berjudul “Neko no jimusho, Aru chiisana kan-ga ni kansuru gensou” yang pertama kali dimuat dalam Kumpulan Karya Kenji Miyazawa Volume 13 terbitan Chikuma Shobou tahun 1980.


Ilustrasi dari Wikiart.org. Kantor Para Kucing

Baca juga:
Kisah tentang Topiku – Cerpen Takeo Arishima
Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o


1 thought on “Kantor Para Kucing – Cerpen Kenji Miyazawa”

  1. Ayu W berkata:

    Wah, menarik menemukan cerpen karya sastrawan Jepang yang juga membahas tentang kucing. Banyak sekali cerpen-cerpen, puisi, dan novelet karya sastrawan Jepang yang menjadikan kucing sebagai tokoh utama. Dan beberapa di antara “cerita kucing” yang saya suka adalah karya-karya Sakutaro Hagiwara. Semoga kapan-kapan bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia, soalnya terakhir baca campuran bahasa Inggris plus ada yang kanji, jadi nggak paham (cuma koleksi aja karena masih belajar kanjinya). Huhu.

Komentar Anda?