Menu
Menu

Kenapa ada lima lembar kertas di logo Klub Buku Petra? Saya dan Daeng Irman membicarakannya empat tahun lalu. Saya ceritakan sekarang sebagai bagian dari perayaan empat tahun Bacapetra.co.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi Bacapetra.co. Tinggal di Ruteng. Mengelola blog pribadi, Ranalino.co.


Empat tahun silam, Daeng Irman, desainer grafis kami mengajukan rancangannya. Sebelumnya kami berdiskusi. Klub buku yang kami mulai tahun 2013 silam harus segera menjadi satu kelompok berakta, resmi diakui negara—kira-kira begitu, agar bisa jadi payung kegiatan-kegiatan literasi yang sudah kami rencanakan. Supaya berkegiatan jadi lebih mudah. Kami memikirkan itu sebagai alasan utama; kerjasama antarlembaga, pengajuan permohonan fasilitas dan dana, kejelasan identitas, dan lain-lain. Bentuk yayasan kami pilih sebab kemungkinan-kemungkinan di dalamnya sangat luas—kami bermimpi sebesar itu, dan menciptakan logo yang tepat harus segera dilakukan.

“Ini, Kela. Saya buat begini logonya,” kata Daeng sambil menunjukkan rancangannya. Ada buku dengan empat lembar kertas putih, terbuka, di atas latar hijau. Saya tidak paham kode warna tetapi hijau adalah warna yang baik. Kehidupan, kesuburan, harapan, keberuntungan. Begitu arti warna itu dan saya kira dipilih Daeng dari hasil percakapan kami sebelumnya; yayasan ini harus berumur panjang, berkembang dengan baik, menjawab keinginan-keinginan, menciptakan suasana yang menyenangkan. Untuk kita dulu. Dampaknya bagi orang-orang di sekitar, atau bangsa dan negara ini, kita pikirkan sambil jalan. Lalu apakah semua tentang hijau adalah hal-hal baik tadi? Tentu tidak. Dalam arti negatif, hijau itu kegagalan, kemalangan, dengki, kecemburuan, dan iri hati. Tetapi, siapakah yang memikirkan hal-hal buruk ketika sedang membangun mimpi bersama?

“Bisa bikin jadi lima lembar kertas?” Saya tanyakan itu dengan ragu-ragu sebab desain empat lembar itu tampak manis sekali, tepat secara komposisi, dan saya tidak tahu cara mendesain. Yang saya bayangkan, jika ditambah selembar lagi gambar itu akan rusak, tidak simetris dengan tulisan KLUB BUKU PETRA di bawahnya, tetapi saya perlu lima lembar. Apakah Daeng bisa? Bukan. Pertanyaan yang tepat adalah apakah Daeng mau melakukannya?

Pengurusan Akta Notaris sudah dimulai, rumah ini akan bernama Yayasan Klub Buku Petra. Di dalamnya telah kami siapkan kamar-kamar: Bincang Buku Petra, Website Bacapetra.co, Perpustakaan, dan beberapa lagi dalam rencana. Kelak ada Flores Writers Festival dan Kedai Buku Petra. Sudah lima. Apakah lima lembar yang saya minta di desain logo kami berhubungan dengan kamar-kamar itu? Tidak begitu.

Yayasan Klub Buku Petra ada di Ruteng, Manggarai. Manggarai sendiri adalah satu entitas kebudayaan di pulau Flores, membentang antara Wae Mokel di timur hingga Selat Sape di bagian barat dan laut Flores di utara hingga selat Sumba/laut Sawu di Selatan. Manggarai kini terbagi ke tiga wilayah administrasi pemerintahan, yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur.

Meski demikian, Manggarai tetap satu. Makarius Paskalis Baut, pentolan grup musik Lalong Liba melukiskan pembagian wilayah itu dengan sangat baik dan menenangkan: tegi pati lingko toé kut behas weta nara/ landing le beka buar lawa é/ tegi gendang dio toé kut biké ite ca iné landing le beka buar lawa é//; pembagian wilayah terjadi karena jumlah kita (penduduk) telah bertamah, tidak untuk memisahkan ikatan kekerabatan sebab kita berasal dari satu ibu, kira-kira begitu. Artinya?

Setiap kali bicara tentang apa yang akan Klub Buku Petra lakukan di Manggarai, yang kami pikirkan adalah Manggarai yang ada di tengah Wae Mokel, Nanga Lili, Nanga Ramut, Nanga Banda, Selat Sape, Tacik Sawu, Tacik Flores—orang-orang di dalamnya. Bahwa pada perjalanan berikutnya lebih banyak orang yang kami pikirkan—Bacapetra.co dan Flores Writers Festival meluaskan jangkauan kami, hal itu datang kemudian. Nah, tentang Manggarai, empat lembar kertas rasanya tidak cukup. Masih kurang satu. Saya pikir kami perlu lima.

“Kenapa lima lembar, Kela?” tanya Daeng sambil melihat lagi desain yang sudah dia buat sebelumnya, barangkali sedang memikirkan posisi kertas baru yang saya minta itu sementara saya menunggu dengan rileks seperti anak-anak saya ketika meminta uang jajan lebih sebelum ke sekolah; dapat tambahan senang, tidak dapat juga tidak apa-apa, toh yang ada sudah pas. Saya hanya sedang mencoba peruntungan: agar logo itu dapat dipertanggungjawabkan lebih. Maksudnya, dengan mengabaikan jumlah, lembar-lembar kertas di rancangan Daeng itu sudah menggambarkan kegiatan kami. Berhubungan dengan buku. Membaca dan menulis dan sesekali berhitung. Lalu, kenapa lima?

Ada lima ruang penting dalam hidup masyarakat Manggarai, dari rumah sampai ke huma; gendang’n oné, lingko’n pé’ang. Mbaru baté ka’éng, natas baté labar, compang baté takung (biasa juga disebut compang tara dari), waé baté téku, uma baté duat. Rumah tempat kita tinggal, halaman bermain, mezbah persembahan/tempat berdoa kepada para leluhur, sumber air, dan ladang tempat bekerja/mencari hidup. Hidup kami berputar di lima ruang itu. Perlakuan yang hormat terhadap kelimanya adalah hal utama agar hidup dapat berjalan sebagaimana mestinya sepanjang hayat dikandung badan, kudut cébo agu léwé mosé oné lino.

Saya menjawab pertanyaan Daeng dengan penjelasan tadi, menambahkan satu dan lain hal di sana dan di sini, bercerita tentang kedekatan Manggarai dengan tanah (warna hijau pada rancangan logo itu adalah hal-hal baik yang tumbuh dan hidup darinya)—karena itu rencana eksploitasi lingkungan hidup selalu dirasa tidak cocok di tempat ini dan karenanya ditolak meski sebagian besar pada suatu waktu akhirnya menyerah—dan rumah dan mata air dan halaman dan Tuhan. “Lima juga angka penting dalam peristiwa kelahiran di Manggarai. Sejak lahir kami sudah dekat dengan angka itu.” Saya bilang begitu agar permintaan tambahan lembaran itu tampak memiliki fondasi yang meyakinkan.

“Lima juga kan kita punya dasar negara to? Pancasila,” kata Daeng yang dengan santai menyanggupi merancang lagi logo Yayasan Klub Buku Petra, menambah selembar agar jadi lima lembar kertas. Situasi yang menjengkelkan sebab saya akhirnya sadar bahwa seharusnya mulai saja dari Pancasila agar permohonan menambah lembaran itu tidak harus berpanjang-panjang percakapan. Toh, kami juga memikirkan Indonesia dan derajat literasinya ketika memulai ini semua. Kita di Ruteng, bagian dari Indonesia juga. “Gampang, Kela. Nanti saya tambah,” ujarnya santai membuat pekerjaan desain baginya tampak semudah saya melambaikan tangan ketika anak-anak saya masuk ke gerbang sekolah.

Tetapi saya sudah telanjur bicara tentang peristiwa kelahiran dan angka lima. Maka saya jelaskan saja meski permintaan telah disanggupi.

Sebelum persalinan wajib ditolong para bidan (dan sekarang harus dilakukan di fasilitas-fasilitas kesehatan), dukun bersalin adalah yang pertama mengucapkan selamat datang pada bayi yang baru lahir. Dia jugalah yang memotong tali pusat (poro putes) dengan lampék, pemotong tali pusat dari bilah bambu yang dibuat menyerupai pisau. Tetapi, tali pusat tidak boleh diputus pada pemotongan kali pertama. Dia baru boleh putus pada pemotongan kelima. Untuk apa? Menceritakan padanya bahwa ada lima tahap hidup yang akan dia lalui: merayakan kehidupan di rumah (yang baru) setelah rahim, mulai bermain bersama teman-teman sebaya serta mengenal/mendapat perlindungan dari para leluhur yang rohnya tinggal di compang, menumbuhkan cinta pada mata air sumber hidup, mulai bekerja/mencari nafkah untuk dirinya dan orang-orang yang hadir berikut dalam hidupnya, berjalan ke seberang (dunia orang mati). Dahulu, begitu. Kami menyebutnya lampék lima. Sebelum dunia kesehatan maju pesat dan alat poro putes yang tidak steril tidak lagi dipakai.

“Karena itu tadi saya minta tambah lagi. Lima lembar kertas,” jelas saya dengan nada meyakinkan, menutup rasa bersalah karena tidak menceritakan ini di awal agar Daeng tidak harus dua kali bekerja. Rasa bersalah yang sia-sia sebab Daeng kemudian melakukannya dengan sukacita sebagaimana umumnya para desainer percaya bahwa sekali revisi adalah hal yang biasa.

“Tetapi bagaimana Kela menjelaskan lembar-lembar buku ini yang dibuka dari kanan ke kiri?” tanyanya beberapa jam kemudian. Lima lembar kertas sudah terpasang sesuai permintaan—logo yang kami pakai saat ini. Kami tertawa ketika menjawabnya dengan lelucon antaragama: “Daeng baca dari kanan ke kiri to?” “Nah, itu dia. Karena saya yang rancang, saya sesuaikan dengan saya punya cara baca doa.” Kami tertawa. Sungguh-sungguh tertawa ketika membayangkan nasib lelucon seperti ini jika muncul di ruang publik tempat orang-orang senang berdebat tentang cara berdoa yang benar. Tetapi saya kira kami berdoa dengan benar setelahnya untuk klub ini. Masing-masing kami. Dokter Ronald, Maria, Celus, Daeng, dan saya. Juga teman-teman yang datang setelahnya, yang bersama kami membangun Klub Buku Petra di tahun-tahun kemudian.

Lalu saya ingat lagi pertanyaan itu. Kenapa tidak terbuka dari kiri ke kanan agar cara membaca kami tampak berjalan maju? Dan oleh karena ‘tidak ada yang benar-benar selesai di bawah kolong langit ini’ saya kira saya masih boleh menjawabnya agar kompatibel dengan Manggarai sebagai tempat kami lahir. Saya ingat cerita Aan Mansyur tentang konsep waktu di tanah kelahirannya. Juga pertanyaan Retha pada saya. Semuanya terjadi pada Flores Writers Festival yang pertama di Ruteng, dan jawabannya sama. Perjalanan kami, dalam aturan waktu, sesungguhnya adalah perjalanan pulang.

Tahun depan (next year) dalam bahasa Manggarai adalah ntaung musi. Secara harafiah ntaung berarti tahun dan musi berarti (di) belakang. Tahun lalu (last year) dalam bahasa Manggarai adalah ntaung olo. Olo berarti (di) depan. Tahun depan kami sesungguhnya berada di belakang; akan kami jumpai dalam perjalanan pulang. Bagaimana kalau lembar-lembar yang terbuka dari kanan ke kiri dijelaskan sebagai perwakilan dari konsep ini saja? Fix! Perjalanan pulang. Bukan berjalan mundur. Sebab, seperti setiap anak yang kembali dari sekolah dan membawa pengetahuan baru ke rumah, perjalanan pulang selalu lebih berisi; kau tidak boleh kembali ke rumahmu dalam keadaan yang lebih buruk dari saat kau pergi. Lalong bakok du lako’m, lalong rombéng koe du kolé’m; kau yang (seumpama ayam jantan) putih/polos ketika pergi, pulanglah dengan penuh warna (dalam arti yang baik).

Bacapetra.co, salah satu kamar di yayasan kami akan tiba di tahun keempat tanggal 20 Maret mendatang. Lalu berjalan menuju tahun kelima ntaung musi. Kami sedang memikirkan cara merayakannya. Barangkali akan bermain di wilayah ‘perjalanan pulang’ ini. Atau di wilayah yang lain. Tetapi memikirkan bahwa langkah maju sesungguhnya langkah-langkah menuju pulang adalah sesuatu yang menyenangkan. Kami mungkin akan memikirkan dengan sungguh-sungguh apa yang pernah kami bicarakan tentang yayasan ini beberapa tahun silam, tahun-tahun yang sudah berlalu di depan kami. Apakah kami akan dapat pulang ke tahun depan dengan lebih baik? Kami memerlukan semua orang, terima kasih telah setia bersama kami selama empat tahun terakhir ini, banyak salam dari Manggarai.

“Untuk logo Bacapetra bagaimana, Kela?”

Daeng dan beberapa teman memanggil saya ‘Kela’. Kela adalah sapaan akrab untuk teman sebaya di kampung kami. Saya orang Kolang yang tumbuh besar di Rego, dua-duanya di Manggarai Barat. Kela (kerap digabungkan dengan Keha, menjadi keha-kela/kesa-kela, juga melambangkan ikatan kekerabatan karena perkawinan; panggilan untuk ipar laki-laki). Dalam pergaulan saat ini di Ruteng, disapa ‘Kela’ adalah penjelasan bahwa dia lelaki yang berasal dari wilayah Manggarai Barat.

“Desainnya sama saja e. Nanti tinggal ganti tulisan di bawahnya. Ganti dengan Bacapetra dan tagline-nya.”

“Menjadi baik dengan membaca?”

“Iya. Menjadi baik dengan membaca. Jangan dulu tanya maksudnya. Eh, ini logo ini, kalau dilihat-lihat, mirip bunga mekar im?”

Dan, percakapan empat tahun lalu itu membawa kami ke saat ini. Saat kami siap memasuki usia Bacapetra.co yang keempat.

Salam!


Foto: Dokumentasi kegiatan peluncuran website Bacapetra.co di LG Corner, Ruteng.

Baca juga:
Masa-Masa Emas
Semua Orang Mau Berbuat Baik, Hanya Saja …


Komentar Anda?