Menu
Menu

Novel Hari-Hari yang Mencurigakan ditulis dengan baik dan wajar.


Oleh: Marto Rian Lesit |

Pegiat seni.


Tidak ada yang aneh, Ruteng masih seperti biasanya. Hujan dan dingin yang akrab di penghujung tahun. Meski demikian Bincang Buku Petra yang ke-47 tetap dihadiri para anggotanya. Hari Rabu, 30 November 2022, mereka membincangkan novel Hari-Hari yang Mencurigakan karya Dea Anugrah. Peserta yang hadir adalah Beato Lanjong, Arsy Juwandi, Grace, Retha Janu, Febry Djenadut, Maria Pankratia, Armin Bell, Lolik Apung, dan Marcelus Ungkang. Ada dua peserta lain yang sengaja datang menyimak bincang buku malam itu, Irna dan Wulan. Tentu saja mereka tak patut membikin malam dan hari-hari belakangan dicurigai, kan?

Hari-Hari yang Mencurigakan itu Lucu?

Beato Lanjong yang adalah pemantik bincang buku malam itu dibikin bingung dengan bab-bab awal buku ini. Bukan karena belakangan hari-hari tampak mencurigakan, melainkan setelah cukup dalam membaca, ia temukan kesan narsis yang amat kental a la Dea Anugrah. Kenarsisan pula yang membuatnya bisa menikmati cerita yang ditawarkan penulis. Dea misalnya, menggunakan nama-nama penulis sastra dalam bercerita, baik untuk dipuji maupun diolok-olok. Hal ini sebenarnya bertujuan menampilkan wawasannya yang luas tentang sastra. Selain itu, ia juga menawarkan variasi teknik bercerita yang dimaksudkan untuk menyenangkan dirinya sendiri. Ia tidak berusaha menarik pembaca dan hal ini (narsis) justru menjadi daya pikat Dea dalam karya ini.

Kesan narsis dipakainya juga dalam mendorong pembaca menyelesaikan buku ini. Beato menyadari hal ini sejak awal, bahwa Dea sudah menyiapkan kejutan bagi pembaca. Kejutan-kejutan di setiap lembar mendorong rasa ingin tahu pembaca. “Rahasia membutuhkan kata, dan kata membutuhkan makna (hal. 15), barangkali adalah quote yang bisa mendukung gaya dan teknik bercerita dari Dea ini,” ujar Beato.

Beato juga menyoroti pola pencarian kebenaran yang sangat khas filsafat. Cerita perjalanan Soda Api dan pencariannya terhadap Rudi Rodhom dalam Hari-Hari yang Mencurigakan menguatkan argumennya. Beato menyadari juga satu hal, jika karya-karya sastra lebih banyak memberikannya perbendaharaan kata baru yang lebih seenak jidat dibanding buku-buku filsafat yang berusaha menjaga kata-katanya tetap serius dan ‘sulit’, sehingga ia memutuskan untuk menyantap lebih banyak karya sastra di waktu-waktu yang akan datang.

Selain Beato, beberapa peserta bincang buku malam itu membuka hasil pembacaannya dengan mengungkapkan temuan mereka soal hal-hal yang lucu dari novel ini. Menurut Arsy, sejak awal buku ini ditulis untuk menghidangkan sekian banyak jokes. Misalnya: ‘saat kubaca lembar pertama, ada sesuatu yang terasa bergerak di dalam perutku, mungkin pankreas atau usus dua belas kilometer atau apalah’ (hal. 6). Atau ‘kuangkat tangan kanan melambai kepada temanku dan minta irigasi’ (hal. 12). Ketika Arsy membayangkan dua kalimat ini, ia merasa itu adalah hal yang lucu. Walaupun dalam ceritanya beberapa hal tampak kurang fungsional, kelucuan yang ditawarkan Dea membuat Arsy begitu menyukai buku ini. Setelah tandas membaca buku ini, Arsy menyoroti cara Dea membuka novel yang ternyata adalah bagian dari ending yang telah disiapkannya. Ia mendapatkan momentum kejut lain yang tidak terbayangkan.

Grace yang jadi pebincang ketiga tertawa sepanjang membagikan hasil pembacaannya, terutama ketika Soda Api melihat seorang sopir angkot yang sedang merokok dengan tangan terjulur keluar jendela angkot. Soda Api menyebutnya sebagai perokok aktif, bukan karena ia merokok, melainkan karena kepalanya yang selalu bergerak aktif (mendekat ke tangan) ketika merokok. Ia sama seperti Arsy, terjebak juga dalam ending yang tidak tertebak. Grace merasa buku ini sengaja diciptakan penulis untuk memasukan berbagai pandangan orang terhadap Dea. Pandangan-pandangan itu ada yang baik dan ada juga yang kasar. Soda Api mewakili anak-anak muda sekarang, yang ketika bercakap-cakap sering memakai kata anjing untuk sesuatu yang mengolok-olok maupun karena mengalami suatu peristiwa yang menakjubkan.

Apa yang dirasakan Grace, dirasakan juga oleh Febry. Febry menemukan banyak kata dan kalimat kasar dan kejam, tetapi kata dan kalimat-kalimat itu juga membuatnya tersenyum. Penggunaan banyak kata anjing meski penulis mempunyai banyak perbendaharaan kata menyentak kesadaran Febry. “Kita mempunyai banyak perbendaharaan kata, tetapi sering memilih anjing untuk mengungkapkan sesuatu,” ujarnya. Meski demikian ia tetap melihat buku ini sebagai buku yang realistis, lucu, sekaligus absurd. “Buku ini membantu kita untuk melihat kenyataan hari ini. Buku yang mind blowing. Ia tidak berusaha melucu, tetapi pernyataan-pernyatan yang disampaikan Dea membuat saya gembira ketika membacanya,” ungkap Febry.

Dea Anugrah Tidak Lucu

Berbeda dengan empat peserta bincang buku lainnya, Retha justru amat tidak menikmati buku ini. Menurutnya buku ini terlalu padat dan cukup lebay dengan menyisipkan banyak ide, latar, dan tokoh cerita. Penulis menyisipkan banyak hal. Jika dihubungkan dengan mood, membaca buku ini tidak memberikan perasaan berbeda.

Maria juga mengalami hal yang sama. Setelah mendengar hasil pembacaan beberapa peserta bincang buku malam itu, Maria mengungkapkan kebingungan sekaligus kekagumannya pada cara teman-teman lain mengalami buku ini. Ia mengaku pernah menyesal membaca buku ini dan ragu apakah buku ini dapat diterima oleh peserta Bincang Buku Petra, tetapi ia berjanji untuk membaca ulang buku ini. “Kalau teman-teman merasa ini lucu, saya barangkali yang terlalu serius,” kata Maria.

Observasi dan Metafiksi

Dua pembincang selanjutnya adalah Armin dan Lolik. Armin adalah penggemar Dea Anugrah dan Lolik mempunyai cerita dengan buku-buku Dea. Menurut Armin, buku ini adalah salah satu buku terbaik yang dibacanya tahun 2022. Hari-Hari yang Mencurigakan membuat Armin merasa seperti sedang melihat Dea menulis puisi atau esai. Di bagian awal misalnya, ia seperti sedang membaca esai Dea. “Ini buku yang gelap sebenarnya, tetapi Dea mampu menyajikannya dengan ringan. Ia mencandainya dan candaan itu dilakukan dengan baik,” ujar Armin. Fokus lain dari hasil pembacaannya adalah pada cara Dea menumpuk cerita. “Biasanya terjadi penumpukan cerita di bagian tengah saat orang Manggarai bertutur. Ketika dituturkan ia akan baik, tetapi ketika ditulis, kita butuh penulis yang matang seperti Dea untuk bisa melakukannya. Dea membuat banyak anak cerita, tetapi ia kemudian mampu mengembalikan pembaca ke jalur berikutnya dengan halus,” jelas Armin.

Hal lain yang disampaikan Armin adalah bahwa membaca mengajarinya untuk tidak menaruh harapan pada buku, sebab harapan-harapan tersebut justru membuat pembaca mudah menjustifikasi penulis, apalagi penulis yang karya-karyanya pernah dibaca.

Lolik mendapat giliran selanjutnya. Ia terlebih dahulu mengaku sering tidak selesai membaca karya-karya terjemahan. Ia menduga karena perbedaan budaya atau latar cerita yang jauh dari konteksnya. Namun, ia bertanya juga apakah cara bercerita yang baik itu justru seperti karya-karya yang sudah diterjemahkan itu? Yang sulit dimengerti. Membaca karya Dea Anugerah ini pun baginya seperti mengalami karya terjemahan. Lapisan-lapisan cerita atau cerita di dalam cerita sering membuat Lolik bingung. Walaupun cukup kesulitan, Lolik berpendapat Dea secara tepat menggambarkan sesuatu seperti yang seharusnya, sehingga di buku atau esai lain orang-orang kadang menyebutnya vulgar, liberal, bahkan kafir. Diksi yang kesannya jorok dipakainya dengan tepat, sehingga idenya tersampaikan dengan jelas. “Kita dapat menikmati novel ini karena analogi yang dipakai Dea membantu kita memahami apa yang ingin disampaikan meski hal itu bisa menjadi soal yang lain akibat konteks yang berpindah dengan cepat,” ujarnya.

Pembincang selanjutnya adalah Celus. Ia mengaku, membaca karya ini tidak seperti membaca novel karena konteks perilaku yang ditampilkan nyaris seperti saat ia tinggal di Denpasar beberapa tahun lalu. Tokoh-tokoh yang dibicarakan dan juga cara Dea mengomentari banyak hal persis seperti yang dilihat dan diamatinya, misalnya saja cara mencemooh orang yang sedang membaca puisi. Menanggapi apa yang disampaikan Lolik, Celus menyebut soal metafiksi, yaitu fiksi yang menyadari dirinya sebagai fiksi. Cala Ibi karya Nukila Amal adalah salah satu karya metafiksi yang baik. “Ia membuat kita harus membaca seperti angka delapan, tidak ada awal dan akhir, bagian mana saja bisa jadi awal dan akhir,” ujar Celus. Menurutnya hal serupa dapat juga ditemukan pada film, drama, atau karya sastra yang menggunakan sarana naratif di dalamnya. Lebih lanjut Celus menyebut jika belakangan terdapat gejala umum dalam sastra Indonesia yaitu segala sesuatu seperti datang dari banyak arah. Membaca bukan lagi seperti sedang bercerita tetapi berceloteh karena merujuk dalam kebiasaan mengomentari banyak hal. Melihat cara Dea bercerita, Celus merasa buku ini ditulis dengan baik dan wajar saja dari segi teknik.

Bincang Buku Petra malam itu selesai. Bintang empat disematkan pada karya ini meski hari-hari belakangan tidak mencurigakan.[*]


Baca juga:
Apa yang Lebih Senyap dari Bisikan?
Siapakah Puteri Itu?


Komentar Anda?