Menu
Menu

Ketujuh kisah dalam Cara Terbaik Menulis Kitab Suci sama seperti kumpulan cerpen tapi terhubung dengan baik.


Oleh: Yasinta Ajin |

Anggota Klub Buku Petra.


‘’Ah, coba kau pikirkan, andai semua orang yang diselamatkan seseorang lantas membalas perbuatan itu dengan kebaikan yang sama, dunia ini tentu akan baik-baik saja.‘’

15 Oktober 2022 telah berlangsung bincang buku ke-46 di Perpustakaan Klub Buku Petra yang dihadiri delapan peserta. Afin Gagu sebagai pemantik diskusi, Lolik Apung, Retha Janu, Arsy Juwandi, Maria Pankratia, Armin Bell, Ronald Susilo sebagai peserta, dan saya sendiri menjadi notulis. Buku berjudul Cara Terbaik Menulis Kitab Suci karya Yudhi Herwibowo mengais sisi romantis-melankolis dari para peserta Bincang Buku Petra.

Buku setebal 240 halaman ini menyajikan prolog teramat panjang yang tidak biasa. Bercerita tentang awal mula si bayi kembar Sinduralutta dan Kantarapajja ditemukan oleh Guru Arangkasadra. Keduanya dibesarkan oleh Guru Arang hingga cukup dewasa dan memulai kehidupan mereka sendiri. Kemudian disusul dengan 7 kisah tentang orang-orang istimewa yang ditemui Sinduralutta dalam perjalanannya menulis kitab pemberian Guru Arang. Epilog singkat di bagian penutup menimbulkan pelbagai tanda tanya yang menambah keseruan di sela-sela bincang buku.

Afin Gagu selaku pemantik diskusi memberikan kesan awalnya tentang kesulitan menangkap makna yang hendak disampaikan melalui sampul buku, tetapi pada akhirnya menemukan makna tersebut dalam keseluruhan isi buku. Baginya buku ini mirip dengan latar belakang cerita-cerita dari Timur Tengah tentang pencarian jati diri yang terlepas dari segala isu-isu sosial, politik, dan lain-lain. “Seperti dongeng saja, tetapi tetap menginspirasi,“ ujarnya.

Afin teringat akan buku berjudul Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupery ketika membaca kisah tentang bocah cahaya. Buku dengan potensi segudang ‘’quoteable’’ ini membawa pesan moral untuk mencintai apa pun yang sedang kita geluti. Afin merasa demikian.

Bagaimana dengan peserta Bincang Buku Petra lainnya? Penciptaan dari ketiadaan! Begitu Lolik Apung, peserta bincang buku yang kedua, melihat karya-karya yang dihasilkan oleh Yudhi Herwibowo. Baik dari gaya maupun isi cerita, baginya buku ini non-referensional. Lolik tidak dapat menghubungkannya dengan cerita mana pun.

Terlepas dari penerbit BaNANA yang selalu menyajikan kisah-kisah naratif, menurut Lolik, karya-karyanya dikurasi dengan baik. Dia melihat, kisah Sinduralutta melakukan perjalanan untuk menemukan kisah yang bisa ditulis dalam kitabnya, berbeda dengan penulis kitab suci yang berperan sebagai orang ketiga. Yudhi pun mahir menyembunyikan yang tersirat sehubungan dengan kenyataan bahwa ternyata tokoh Kantarapajja buta. Kedua tokoh ini sebenarnya adalah bagian dari satu tubuh, dualisme dalam pikiran roh dan jiwa.

Sementara itu, Retha Janu sebagai pembicara berikutnya sempat terkecoh dengan prolog yang menjenuhkan karena terdapat banyak pengulangan. Namun ketika sampai pada kisah “Telaga”, keinginannya untuk menuntaskan membaca buku ini menggebu-gebu. Meskipun nama-nama tokoh dalam cerita cukup sulit, baginya buku ini cocok diceritakan kepada anak-anak. “Kita kerapkali sulit untuk menuliskan kesedihan kita masing-masing, seperti Guru Arangkasadra yang memilih Sinduralutta untuk mengisi kitab kosong yang ia berikan ketimbang ia sendiri yang menulisnya. Si Kantarapajja dengan kehadirannya yang tidak banyak dalam cerita justru menjadi tokoh istimewa,“ ujarnya.

Retha menginginkan satu kisah lagi tentang tokoh ini dan juga tentang bocah yang menghilang (hal. 172). Akhir cerita menurut Retha begitu menyesakkan karena kedua bersaudara tidak bersatu kembali. Ia menyukai kisah “Perempuan yang Menaklukkan Batu-Batu” sebab kisah itu menjadi kisah paling menyentuh dari ketujuh kisah yang ditulis Sinduralutta dalam kitabnya.

Beralih ke peserta berikutnya, Arsy Juwandi, yang justru suka dengan cara Yudhi membangun cerita pada bagian prolog. Dikiranya dari judul bahwa ia akan digurui oleh ayat-ayat suci, akan tetapi Arsy terpukau dengan karya imajinasi penulis yang oleh Lolik disebutkan sebagai karya tanpa referensi. Ketujuh kisah dalam Cara Terbaik Menulis Kitab Suci sama seperti kumpulan cerpen tapi terhubung dengan baik. Sempat muncul satu ketakutan yang dirasakan Arsy tentang tokoh Sinduralutta, ketakutan yang sama juga dirasakannya ketika membaca tokoh Nio dalam cerpen “Nio” karya Putu Wijaya. Akankah Sinduralutta menulis tentang ibunya? Ternyata tidak sama sekali.

Berseberangan dengan Lolik dan Arsy, Maria Pankratia justru menganggap buku ini memiliki beberapa referensi yang sebenarnya sangat bergantung pada pengalaman membaca, menonton, dan lainnya. Film ‘‘Pay It Forward‘‘ terlintas dalam benaknya ketika membaca novel ini. Cara bertutur Yudhi yang begitu manis menjadikan buku ini sebagai dongeng pengantar tidur mujarab: halus, tidak dengan dialog, dengan cara yang sarkas, dan berpotensi untuk jadi kutipan.

Sepengetahuan Maria, Yudhi menaruh minat terhadap komik, kisah-kisah lama di Asia seperti Sun Go Kong dan buku-buku silat yang beberapa di antaranya pernah disumbangkan ke Perpustakaan Klub Buku Petra. Novel ini sendiri agak berbeda dengan dua cerpennya yang pernah tayang di bacapetra.co; yang ternyata lebih liar dan vulgar. Tentang akhir cerita yang sempat jadi bahan diskusi menarik di Bincang Buku Petra, Maria berkesimpulan bahwa kedua saudara kembar, Sinduralutta dan Kantarapajja, masih hidup dengan semua kerinduan akan kebersamaan di rumah. “Roh keduanya saja yang pulang ke rumah,“ ujarnya.

Saya sendiri merasa cukup dekat dengan kisah si kembar Sinduralutta dan Kantarapajja, tentang satu orang yang melakukan perjalanan dan yang lain tinggal, tidak ke mana-mana. Kisah kedua tokoh ini seperti saya dan pasangan saya saat ini. Buku ini membawa kesegaran lain setelah buku-buku sebelumnya yang mendokumentasikan tema politik, sosial, dan budaya. Sejalan dengan Lolik saya meyakini jikalau keduanya adalah sosok satu tubuh, yang mana terbelenggu dalam keinginan menjadi tubuh yang lain. Keseluruhan cerita tentang kebaikan dan tentang kebermanfaatan kita bagi orang banyak benar-benar menyentuh. Saya menyukai buku ini karena setelah membacanya saya penasaran dan berseliweran pertanyaan di kepala.

“Kepengarangan hanya bisa dilakukan jika kau berjalan.” Menurut Armin Bell, hal ini barangkali yang mau ditunjukkan Yudhi dalam Cara Terbaik Menulis Kitab Suci. “Lalu, harus bisa dirumuskan mana yang perlu ditulis dan mana yang tidak perlu,“ ujarnya. Sutradara Hollywood M. Night Shyamalan dalam filmnya ‘’The Village’’ dan Gde Aryantha Soethama cerpenis asal Bali adalah dua sosok yang diingat Armin saat sedang menyelami buku ini.

Armin juga melihat, kisah Mawar-Mawar Hitam yang Tumbuh di Tubuh” sebagai cerita di akhir membawa kita kembali dekat ke bagian awal. Sekadar pengingat bahwa hidup selalu berputar seperti itu. Armin sendiri menemukan diri sebagai tokoh Kantarapajja. Tentang akhir menyedihkan dari dua bersaudara ini, menurutnya telah menyelamatkan cerita. “Karena jika berakhir bahagia maka ceritanya akan menjadi biasa saja. Perjalanan seharusnya membuatmu menjadi sesuatu atau orang yang lain,” tutup Armin.

Peserta terakhir yang menyampaikan hasil pembacaannya adalah Ronald Susilo. Senada dengan Lolik, ia setuju bahwa ketujuh kisah yang disajikan tidak memiliki referensi. Kisah yang satu dengan lainnya berkelanjutan sehingga tidak tepat apabila disebut sebagai kumpulan cerpen. Jika memakai pola narator-kisah-mimpi maka epilognya adalah mimpi. Kisah-kisah tersebut menurutnya juga bisa diceritakan kembali tanpa perlu detail karena bisa dinikmati tak terkecuali oleh anak-anak.

Kisah-kisah dalam buku ini menginspirasi Ronald untuk membuat cerita-cerita tentang orang-orang Manggarai yang tinggal di Manggarai, seperti Cerita-cerita Jakarta karya penerbit Post Santa. Adapun kisah tentang tiga danau yang sangat fotografis mengingatkan Ronald pada film-film Cina zaman dulu. Setiap kisah diceritakan oleh tukang cerita atau orang-orang yang ditemui Sinduralutta dalam petualangannya. Sinduralutta adalah contoh tokoh yang pulang membawa cerita dan tujuan sebuah cerita dibawa pulang tidak lain adalah agar orang bisa tetap hidup.

Kedelapan peserta bincang buku sepakat beberapa penyuntingan yang buruk dalam buku ini cukup mengganggu meskipun tidak mengurangi kesan baik yang diperoleh setelah membaca. ‘’Mawar-Mawar Hitam yang Tumbuh di Tubuh’’ adalah kisah yang paling banyak disukai oleh para peserta.

Bintang empat disematkan untuk Cara Terbaik Menulis Kitab Suci karya Yudhi Herwibowo ini. Sampai jumpa di bincang buku ke-47.


Baca juga:
Kita adalah Tokoh dalam Cerita
Bila Sedih Agni Bernyanyi: Nyanyian Anak Gadis Seorang ODGJ


Komentar Anda?