Menu
Menu

Salah satu kekaguman saya membaca cerpen-cerpen dalam Kode Etik Laki-Laki Simpanan ialah kepiawaian penulis bermain satire dan sarkas.


Oleh: Indarka P.P |

Lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Saat ini bermukim di Mamuju (Sulawesi Barat). Menulis buku Penumpasan (Sirus Media, 2021), dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.


“Pertama kali bertemu dengan orang-orang yang menulis untuk menjadi penulis, kepala saya serasa akan meledak. Mereka berbicara tentang teori menulis, perkembangan kesusastraan, kondisi kebangsaan, dan hal-hal lain yang membuat kegiatan menulis tiba-tiba serumit usaha memerdekakan Papua Barat.” (hal. 10).

Asu! Saya lupa kapan terakhir kali mengumpat saat membaca buku sebelum akhirnya secara tidak sengaja diingatkan Robertus Aldo Nishauf lewat Kode Etik Laki-Laki Simpanan (Marjin Kiri, 2022). Narasi di atas saya nukil dari cerpen “Para Penulis”, berkisah tentang kepiluan hati ‘saya’ setelah mendapati Rini Amelia, pacarnya, main serong. Ketika ‘saya’ mendatangi rumah Rini Amelia, ia melihat pacarnya itu bermesraan di beranda bersama laki-laki lain. Mula-mula hubungan cinta beda agama itu berjalan semulus jalan tol, bokong sapi limousin, atau pipi Wulan Guritno. Namun setelah Rini Amelia bergabung dengan sebuah LSM dan pergi ke Bandung demi menjalankan program pemberdayaan masyarakat miskin, hubungan mereka perlahan memburuk. “Lima hari pertama di Bandung ia selalu memberi kabar. Pagi, siang, dan malam ia selalu menelepon dan mengingatkan saya untuk menjahui narkoba. Memasuki minggu kedua ia mulai jarang menelepon. Minggu ketiga dan keempat ia sama sekali tidak menelepon, hanya mengirimkan sms. Ia mulai sibuk. Bulan kedua ia sama sekali tidak memberi kabar.” (hal. 14).

Kekuatan cinta—omong kosong—bagi seorang memanglah magis. Hidup di zaman begini nyatanya lebih mudah mempertopengi diri. Pagi berlagak Puntadewa, sore berparas Dursasana. Dari “Para Penulis” saya beroleh ingat bahwa dunia sering jahat sebagaimana sikap manusia terhadapnya.

Di tengah rasa keputusasaan mendalam, maka tokoh ‘saya’ menulis puisi ketika mandek di trotoar. Puisi itu diunggahnya ke Facebook. Tak lama, puisinya mendadak viral. Banyak orang berkomentar; mulai dari teman, temannya teman, seorang dosen sastra Indonesia, sampai kritikus sastra. Oleh kritikus itu puisi karya ‘saya’ disebut lebih ilahi dan hakiki daripada puisi-puisi Chairil. Maka kian melambung nama ‘saya’ di jagat kepenyairan Tanah Air. Itulah muasal ia bertemu dengan para penulis. Adapun klaim yang saya katakan bahwa dunia sering jahat, tak lain berhubungan dengan kisah berikutnya. Di pertemuan itu, ‘saya’ banyak ditanggap oleh para penulis. ‘Saya’ memperoleh nasihat perihal apa yang harus ia lakukan demi mempertajam bakat kepenyairannya. Akan tetapi apa-apa yang didengarnya itu lewat begitu saja dari telinganya yang lain. Saat merasa suntuknya tak kunjung surut, ‘saya’ menghatur pamit. Tetapi niat itu tertahan. Seorang di antara para penulis itu berkata kalau mereka semua sedang menunggu Rini. “… “Tunggu siapa, Kak?” “Rini,” ia mengulang sambil memasukkan kentang ke mulutnya. Apakah ia sedang bercanda? “Rini siapa, Kak?” Saya menahan napas. “Rini Amelia,” ia menjawab tenang”…” (hal. 19). Cerita terpaksa terhenti karena tokoh kita tiba-tiba pingsan.

Salah satu kekaguman saya membaca cerpen-cerpen dalam Kode Etik Laki-Laki Simpanan ialah kepiawaian penulis bermain satire dan sarkas. Pertama-tama saya ucapkan rasa syukur karena bisa menamatkan buku ini dalam kondisi sendirian sehingga tidak ada satu pun orang protes setiap kali saya tertawa dan kerap kali mengumpat. Penggunaan kata ‘saya’ (bukan ‘aku’) membikin atmosfer narasi yang formalistis, dan saya pikir itu menambah kekuatan pada ungkapan satire yang penulis gunakan. Misalnya pada cerpen “Endah Galuh Dalimah”. Penulis yang merupakan orang timur (kembali) mengingatkan kita pada naluri sukuisme orang-orang Jawa: “Teman-teman yang berkenalan dengan saya sering tanpa sungkan bertanya mengapa kulit saya terlalu hitam, mengapa rambut saya terlalu keriting, mengapa rahang dan hidung saya terlalu sangat besar. Teman-teman yang lain akan tertawa sedikit jijik, tetapi yang berbicara berkata bahwa ia hanya bercanda.” (hal. 3).

Setidaknya bagi saya, gaya bahasa satire adalah puncak dari intelektualitas. Alegori-alegori itu merupakan metode paling santun untuk menyentil sesuatu yang rusak dan jarang disentuh. Bagi pengarang andal, mudah saja memilih fenomena apa yang hendak di-satire-kan. Ketika teriakan tak lagi digubris, maka menertawakannya ialah pilihan paling masuk akal. Dan tawa yang menguar karena ungkapan satire adalah tawa paling semu. Seperti pada cerpen “Memoar Penyair Aldo”, untuk sekian kalinya saya misuh tepat ketika membaca narasi ini: “…Setelah menerima empat ratus ribu dari saya, perempuan tua itu menyediakan teh sambil bercerita tentang anak perempuannya yang kuliah di Jerman, dan anak laki-lakinya yang bersekolah di sebuah sekolah bertaraf internasional di Jakarta. Tak lupa ia menyebutkan rincian biaya sekolah dan uang saku anak-anaknya, agar saya yang miskin ini bisa mengangguk-angguk dengan wajah terperangah, dan ia yang kaya raya bisa lebih mensyukuri hidupnya…. Saya memuji ia dan anaknya dan semua orang kaya di atas bumi…” (hal. 56).

Imajinasi penulis saya bilang di makam khayali. Bayangkan ketika ‘saya’ pada cerpen “Hidung” menjadi pahlawan karena dianggap mengharumkan nama Kupang, Nusa Tenggara Timur, berkat popularitasnya menjadi penyair di kancah nasional dan internasional. Selanjutnya, oleh pemerintah setempat, ‘saya’ akan dibuatkan patung dan dipajang di bandara. Mula-mula ‘saya’ menolak mentah-mentah tawaran inisiatif itu, dan dengan mantap menyebut dirinya sebagai orang yang rendah hati. ‘Saya’ meminta agar anggaran pembangunan patung dialihkan untuk orang-orang miskin. “Namun mereka mendebat. Katanya: Sudah tidak ada lagi orang miskin di NTT. Program-program pemerintah telah memakmurkan provinsi ini. Lihat, tidak ada satu pun pengemis di seluruh NTT.” (hal. 61).

Aldo—begitu sajalah saya akan menyebut penulis ini—tak hanya menyuguhkan cerita-cerita segar, tetapi juga cermat dalam membaca kondisi hidup, membikin kompleksitas unsur dalam setiap ceritanya mengandung komposisi terukur. Karakter tokoh ‘saya’ diberi ruh oleh Aldo melalui watak yang terlampau naif untuk tidak dikatakan jalang. ‘Saya’ doyan bercinta dengan pasangannya. Lebih dari itu, pikiran banal menciptakan persona menonjol sehingga melekat di otak para pembaca. Selain daripada jalang, ‘saya’ adalah pribadi ceroboh. Saya, ya saya sendiri, seperti bercermin tatkala membaca cerpen “Siapa yang Menyuruhmu Masturbasi?”, bagaimana rencana yang telah dirancang-siapkan baik-baik, hancur oleh perilaku konyol.

Kegagalan ‘saya’ untuk bangun pukul delapan pagi menyebabkan ia telat sidang skripsi. Padahal sebelum hari sidang tiba, ia sudah mengerahkan seluruh niat dan dedikasi yang tinggi merampungkan skripsi, sebab perkuliahannya sudah jatuh di semester 14. Celaka, satu malam menjelang sidang, ia malah menuruti naluri hewaninya. “…Ia melipat tangan di atas lututnya, membenamkan kepala di celah kakinya, dan menggeleng-geleng untuk menghalau segala teriakan itu. Teriakan-teriakan itu berkurang tetapi ia bisa mendengar dirinya meneriaki dirinya sendiri: Kenapa terlambat? Kenapa terlambat? Anak tidak berguna! Tidak becus! Anak tidak disiplin! Kau tidak akan menjadi apa-apa! Pecundang! Seumur hidup kau hanya akan gagal! Kau bukan siapa-siapa! Kau hanya akan menjadi sampah! Tidak tahu diuntung! Apakah kau begitu bodoh? Siapa yang menyuruhmu masturbasi?” (hal. 80).

Kekhawatiran terhadap runtuhnya moralitas pribadi seakan masih menjadi jeruji banyak penulis, tak terkecuali saya. Namun lain dengan Aldo, Kode Etik Laki-Laki Simpanan sungguh tidak memperlihatkan rasa takut. Aldo sudah rampung soal menguras citra baik dari pembaca. Kejujuran yang dimilikinya secara matang terejawantah melalui tokoh pada masing-masing cerpen. Maka untuk Aldo, ya Robertus Aldo Nishauf, saya bersaksi bahwa buku ini sudah kelewatan bagusnya, dan saya setuju pula dengan pendapat Prof. Agustinus Wawor kalau Kode Etik Laki-Laki Simpanan, cepat atau lambat, akan ‘dibenci’ banyak pembaca karya sastra.[*]


Baca juga:
Mendengarkan Bisikan Tanah Penari Karya Rissa Churria
Death of a Salesman: Konflik Keluarga dalam Ilusi Modernisme


Komentar Anda?