Menu
Menu

Sebelum menulis novel Tutur Dedes: Doa dan Kutukan, Amalia Yunus sudah memegang catatan-catatan dari beberapa literatur tentang kisah Dedes.


Oleh: Yuan Jonta |

Tinggal di Ruteng. Anggota Klub Buku Petra.


Bincang Buku Petra yang ke-44 membahas novel karya Amalia Yunus, Tutur Dedes: Doa dan Kutukan. Novel ini bercerita tentang Ken Dedes, dia yang menurunkan raja-raja besar Jawa. Amalia yang turut hadir dalam bincang buku malam itu menuturkan alasannya menulis kisah tentang Dedes: “… awalnya saya ingin menceritakan ulang cerita lokal Indonesia. Ketemulah Pararathon, ada nama Dedes di sini, dia terlihat sangat berpengaruh, tetapi motivasinya tidak jelas, suaranya tidak terdengar, perannya seperti apa? Padahal dijelaskan dia anak pendeta dan berpendidikan.”

Pemantik kami pada Bincang Buku Petra yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 27 Agustus 2022 itu adalah Lolik Apung. Lolik membuka percakapan dengan kesannya akan beberapa kesamaan Tutur Dedes: Doa dan Kutukan dengan Raden Mandasia: Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom: gaya bahasa, struktur, siasat struktur, plot, sub-plot, dan penyuntingan. Sementara itu sebagian besar peserta sepakat bahwa kisah yang diceritakan dalam novel ini dituturkan dengan sangat baik, terdapat beberapa hal yang mempermudah pembaca mengikuti cerita yang ditulis, linimasa, silsilah wangsa rajasa, daftar tokoh utama, hingga glosarium. Fasilitas-fasilitas ini merupakan tanda bahwa penulis mempertimbangkan dengan serius pengalaman membaca penikmatnya.

Retha Janu jatuh cinta sejak bab pertama, karena pengambilan posisi narator orang pertama serba tahu, serta deskripsi yang detail dan terasa begitu nyata. Menurutnya, Amalia menggunakan pencitraan pancaindera dengan saksama. Reta mengaku ikut merasakan peristiwa kelahiran Dedes: “Saya merasa ada di ruangan itu.”

Kristian, salah satu peserta baru Bincang Buku Petra, menemukan satu hal menarik. Menurutnya secara umum motif umum yang menggerakkan kisah ini adalah kecemburuan dan iri-dengki.

Dongeng dan Sejarah

Sebelum menulis novel ini, Amalia sudah memegang catatan-catatan dari beberapa literatur tentang kisah Dedes. Melalui proses kreatif, dirinya kemudian menciptakan dongeng, yang di sisi lain, tetap patuh memegang catatan-catatan aslinya sebagai fakta-fakta.

Lolik Apung menyampaikan bahwa terdapat dua hal yang dapat membuat dongeng menjadi menarik. Pertama, dongeng tersebut dibuat sedekat mungkin dengan situasi keseharian kita (realita kita), hal yang membuat Arsy Juwandi (peserta lain malam itu), mengingat dan membandingkan adegan penguburan ari-ari dalam novel dengan kebiasaan orang Manggarai yang juga melakukan hal yang sama, misalnya mengubur ari-ari bersamaan dengan buku, pena (sebagai ungkapan doa agar anak menjadi pribadi berpendidikan). Kedua, ucap Lolik, dongeng ini juga mengandung beberapa kejadian luar biasa, namun selalu berjalan dengan logika internal cerita.

Pepi Susilo salah satu peserta baru kami menyampaikan bahwa dongeng ini juga diperkaya dengan kutipan/kata-kata puitis, yang membuat sejarah yang ditulis terasa begitu menyenangkan ketika dibaca. Ronald Susilo, menyampaikan hal yang sama, bahwa sejarah akan menjadi sangat menarik untuk dipelajari apabila dapat dituturkan dengan menarik sebagaimana novel ini dibuat. Dirinya bahkan berencana menggunakan novel ini sebagai bahan untuk mendongeng bagi anaknya.

Di sisi lain, Armin Bell menegaskan bahwa penerimaan pembaca (khususnya yang tidak memahami benar sejarah Dedes) terhadap novel ini akan berbahaya. Sebagaimana sebuah tulisan yang mengandung banyak hipogram, kecenderungan mencampuradukan cerita karangan dengan catatan asli (yang diakui sebagai fakta) akan berbahaya bagi kejernihan pengetahuan. “Saya khawatir kita menganggapnya sebagai sejarah. Padahal penulisnya sudah menyampaikan bahwa Ken Dedes hanya muncul satu dua kali dalam prasasti atau catatan sejarah.” Karena itu, dirinya menganjurkan para pembaca novel ini juga membaca sumber-sumber yang dijadikan Amalia Yunus sebagai rujukan agar dapat memilah sejarah dan karangan.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai dongeng, bercampur baur dengan legenda, mitologi, dan cerita rakyat. Namun demikian, sebisa mungkin saya berusaha setia pada fakta-fakta sejarah atau detail-detail yang menjadi latar belakang kehidupan masyarakat pada masa itu. – Catatan Penulis, hal. 337.

Hero Perempuan

Melalui Tutur Dedes, Amalia Yunus menyerukan semangat Women Empowering. Kecenderungan ini dapat dilihat pada penonjolan hero-hero perempuan, kisah-kisah yang tidak diceritakan panjang lebar dalam literatur-literatur sebelumnya. Dalam bincang buku kami, ada tiga hero perempuan yang disebut-sebut dalam percakapan: Anjani, Ken Umang, dan tentu saja Dedes.

“Ingat itu, Adik kecil, setiap kali kamu harus membela diri atau melawan laki-laki, jangan pernah terpancing untuk menggunakan kekuatan letusan gunung berapi karena kamu tidak punya. Gunakan kekuatan air.” – Anjani kepada Dedes (hal. 51).

Pertemuan dengan Anjani menjadi salah satu plot kunci dalam kisah Dedes (meeting with mentor). Anjani digambarkan sebagai seorang pemanah tangguh, yang tidak hanya mengajarkan Dedes perihal keterampilan memanah tetapi juga mengajarkan kepadanya nilai-nilai perjuangan yang perlu dipegang Dedes dalam menjalani hidup yang didominasi oleh para lelaki.

Retha dan Febri dalam bincang buku kali ini mengakui bahwa mereka lebih memfavoritkan Anjani dibanding Dedes. Alasan Retha adalah karena ketangguhan Anjani menjalani untuk hidup dengan luka-lukanya. Sementara Febri menyukai sosok Anjani karena ia memiliki tekad yang kuat: “and she goes for it!” tegasnya.

Sementara satu sosok menarik lainnya adalah Ken Umang. Dia adalah kekasih Angrok. Sekalipun dirinya merupakan kekasih seorang Akuwu, Umang tetap tampil apa adanya, bahkan ia lebih memilih tinggal di Sanja daripada Tumapel. Ia lebih memilih menjadi orang bebas, alasan yang membuat Retha menyukainya.

Saya sendiri merasa bahwa melalui tokoh Umang, Amalia Yunus juga hendak mengangkat isu transgender. “Dari seratus hal lain yang bisa Umang minta dari sang Dewa, Umang memohon kepada Baruna agar mengubahnya menjadi laki-laki. Karena keinginan Umang menjadi sakti begitu besarnya, hanya dengan tubuh laki-lakilah dia akan berhasil meraihnya….” (hal. 201-202).

Penulis novel juga pada beberapa kesempatan ingin menunjukan sisi rentan Dedes. Dalam perang Ganter, Dedes menyuarakan perasaan pedihnya terhadap korban-korban perang. Namun, pemikiran Dedes terhanyut oleh penjelasan Angrok, sehingga ia menyingkirkan pikirannya itu dan melanjutkan perang. Retha tertarik dengan adegan penjelasan ini (hal. 266) karena narasi ini melanjutkan gerak cerita (menyelesaikan perang). Melalui bagian ini, selain ingin menunjukkan dampak buruk peperangan, penulis ingin menonjolkan sisi empati Dedes. Strategi ini dapat dibaca sebagai upaya membuat pembaca merasa terhubung dengan Dedes, akan tetapi untuk melanjutkan cerita penulis memasukkan narasi Angrok yang menghanyutkan yang karena tidak dielaborasikan, terasa lemah.

Dalam temuan Marcelus Ungkang terdapat upaya-upaya menampilkan sosok hero (Dedes) tetapi tidak berhasil, ini terkait dengan aksi pasif dan aksi aktif tokoh Dedes. Sekalipun begitu, penulis selalu berupaya menampilkan aksi-aksi aktif dari hero. Tetapi penulis dapat pula memiliki pembenaran akan aksi-aksi pasif Dedes sebagai manifestasi dari ungkapan menggunakan kekuatan air, sebagaimana nasihat yang disampaikan Anjani pada Dedes.

Doa dan Kutukan dan Paradoks

Dua peserta Bincang Buku Petra malam itu, Nadya dan Ronald menemukan satu hal menarik yakni semua judul bab dalam novel ini diawali dengan kata semoga, dan di setiap bab terdapat sebuah kutipan langsung dari salah seorang tokoh yang menyebutkan judul bab yang sedang dibaca. Nadya mengatakan bahwa judul-judul tiap bab menggambarkan sebuah doa yang didaraskan Dedes. Sementara itu, tentang bab awal dan akhir memiliki judul yang sama, Marselus Ungkang mengatakan bahwa dari segi bentuk pemilihan ini menarik: “kembali ke awal yang artinya ramalan tergenapi.”

“Apakah kamu sudah memilih sendiri namamu? Kamu ingin dipanggil apa, Anak?” – Mpu Purwa kepada Dedes, hal. 29).

Salah satu hal yang menarik yang ditemukan Marselus Ungkang adalah penggunaan karakter sekaligus sebagai narator. Dari pengambilan posisi ini, penulis mau menunjukkan bahwa tokoh utama memiliki otoritas dalam kisah hidupnya. Selain itu, strategi lain yang digunakan untuk menonjolkan posisi otoritas ini adalah dengan memberi ruang bagi narator/karakter untuk menerobos dinding keempat (berbicara langsung dengan pembaca): dalam teks, narator menggunakan kata kalian kepada pembaca, menunjukkan bahwa dirinya menyampaikan kisah ini tanpa perantara. Penekanan lainnya adalah ketika narator/karakter meralat ceritanya sendiri. Misalnya pada bagian kisah yang diceritakan dengan Anjani belum sepenuhnya, masih ada cerita lain menunjukkan kuasa narator/karakter terhadap kisahnya.

Retha dan Nadya menuturkan bahwa, bab pertama cerita dimulai dengan ramalan/kutukan untuk Dedes, hal yang membuat bayi Dedes menangis “memikirkan” beban yang akan ia tanggung dalam hidupnya. Situasi inilah yang menarik ditinjau, jelas Marselus Ungkang: terdapat kontradiksi/paradox, yang mana pada suatu sisi cerita ini menunjukkan otoritas Dedes pada kisah hidupnya, tetapi pada sisi lain, sudah ada ramalan/kutukan yang akan dibawa tokoh Dedes; atau pada bagian lain, keris yang awalnya untuk menyelamatkan hidup Dedes kemudian menjadi sumber masalah dalam kehidupannya. “Suatu sisi mau menunjukan otoritas, pada suatu sisi ia berhadapan dengan ramalan; mengambil kontrol akan kisah hidup, pada saat yang bersamaan cerita itu sudah dituliskan,” ucap Selus.

Mungkin saja dengan maksud itu pula penulis memilih Doa dan Kutukan, karena dengan cara apa lagi seorang manusia dapat “melawan” suratan, hanya melalui doa: mengharapkan dan memasrahkan.

Perangkat-perangkat Cerita yang Fungsional

Lolik dan Nadya dalam percakapan malam itu, menceritakan bahwa salah satu hal menarik yang mereka temukan dalam novel ini adalah efektivitas penulis dalam memanfaatkan perangkat-perangkat cerita. Nadya melihat tidak ada tokoh yang disia-siakan dalam novel ini. Semua tokoh memiliki fungsi tertentu bagi jalannya cerita. Salah satu karakter yang menjadi perhatiannya adalah Kakek Guru yang selalu hadir dalam setiap peristiwa penting dalam hidup Dedes, tutur Nadya, Kakek Guru adalah perwujudan manusia dari doa dalam Tutur Dedes.

Di sisi lain, Lolik menyampaikan bahwa efektivitas ini dapat pula dilihat dari kesetiaan penulis menggunakan barang-barang yang sering dikaitkan dengan tokoh ke dalam bagian-bagian cerita, misalnya Anjani dengan panahnya (notulis: ia membunuh Prabu Dandang Gendis dengan tiga anak panah, 2 untuk percobaan pembunuhan yang gagal) atau pun Dedes dengan cermin. Selus Ungkang, menyoroti pemanfaatan cermin sebagai media menyadari dirinya secara utuh, pada adegan turning point hidup Dedes (dinikahkan dengan Tunggul Ametung), Dedes untuk pertama kalinya melihat dirinya secara utuh melalui cermin. Dan pada turning point berikutnya, saat ia diracun oleh anaknya sendiri (dari Tunggul Ametung) cermin yang sama pecah.

Adegan lain yang menunjukkan kepiawaian Amalia Yunus dalam memanfaatkan barang-barang adalah ketika Dedes menanggalkan pakaiannya satu per satu. Bagi Selus melepas pakaian satu per satu juga dapat dimaknai sebagai simbol menanggalkan masa lalu. Artinya proyeksi bagian-bagian eksternal itu padu dengan perubahan internal tokoh. Sementara pemanfaatan barang yang bagi Selus begitu puitis adalah ketika saat moksa, daluwang ditanggalkan yang kemudian menutup Keris Mpu Gandring. Daluwang di satu sisi adalah bahan pakaian para biksu, tetapi di sisi lain dijadikan sebagai bahan tulis (pengganti lontar dan nipah), “karena secara diskursus, itu menjadi cerita yang tertulis.”

“Kita tidak mungkin menghindari takdir. Heh.. heh.. Bagian kita hanya menjalankan peran masing-masing yang sudah ditetapkan jauh di awal Waktu. Cepat atau lambat, takdir akan menemui kita, di mana pun kita bersembunyi. Menurutku, yang terbaik itu jika kita mempersiapkan diri sepenuh-penuhnya untuk menyambutnya.” –Kakek Guru (hal. 36).

Peserta bincang buku yang hadir malam itu adalah: Maria Pankratia, Pepi Susilo, Febri Djenadut, Retha Janu, Nadya Tanja, Maria Chionia, Selus Ungkang, Kristian Mbui, Arsy Juwandi, Ronald Susilo, Armin Bell, Lolik Apung, dan saya sendiri. Dari hasil pengalaman pembaca masing-masing peserta kami menyepakati Bintang 4,5 untuk novel Tutur Dedes: Doa dan Kutukan.

Turut hadir secara virtual: Amalia Yunus, Windy Ariestanty (patjarmerah), dan Yusi Avianto Pareanom. Yusi, editor Tutur Dedes; Doa dan Kutukan melemparkan sebuah pertanyaan yang menimbulkan kerepotan-kerepotan baru dalam kepala kami: “Dari Ruteng sendiri, teman-teman tidak ada yang tertarik menggarap legenda?” [*]


Baca juga:
Apa yang Lebih Senyap dari Bisikan?
Kita Pergi Hari Ini: Abadilah Anak-Anak dalam Diriku


Komentar Anda?