Menu
Menu

“Aku menjadi pekerja bawah dan menderita. Lalu bertemu pintu perubahan,” katanya, nyaris sebuah keluhan.


Oleh: Aveus Har |

Tinggal di Pekalongan. Novel terbarunya berjudul Forgulos.


“Di sebuah tempat yang tak pernah jelas di mana, ada sebuah pintu perubahan. Ini adalah pintu ajaib di mana jika kau masuk ke dalam pintu itu, kau akan keluar menjadi orang yang berbeda,” kata seorang perempuan kepada suaminya.

“Itu pasti karangan fiksi,” sahut sang suami dengan nada skeptis. Mereka sedang makan di restoran dengan menu yang sama.

“Kau pikir begitu?”

“Tentu saja. Coba pikir, jika kau menjadi orang lain, bagaimana aku mengenalimu sebagai istriku?”

“Jika aku menjadi orang lain, maka aku tidak menjadi istrimu.”

“Jadi, kau mau begitu?”

Seekor kucing masuk secara tiba-tiba lewat jendela yang terbuka. Dia tampak kacau—gelisah, ketakutan, kebingungan. Bulu-bulunya berdiri. Barangkali dia sedang dikejar-kejar anjing atau berkelahi dengan sesama kucing.

“Tenanglah, kau aman,” kata laki-laki tokoh cerita kita ini kepada si kucing yang beringsut di pojok, dekat kaki kursi laki-laki itu.

“Ya, semua kucing liar akan aman bersamanya,” sahut si perempuan, ketus.

“Apa maksudmu?”

“Bukan apa-apa. Kau penyayang kucing kan?”

“Nadamu seperti cemooh.”

“Kau saja yang menganggap begitu.”

Pelayan mengusir kucing yang ketakutan itu kemudian meminta maaf kepada pengunjung restorannya.

“Apakah sebaiknya jendela itu ditutup? Belakangan ini banyak kucing liar di sini, entah dari mana mereka,” kata pelayan itu.

“Tidak, tidak usah. Kami suka udara malam,” sahut laki-laki tokoh kita.

“Dia yang suka. Aku lebih suka meringkuk di kamar—kalau saja bisa,” kata sang perempuan, menimpali.

“Jangan hiraukan dia, kembalilah bekerja. Maafkan istri saya.”

Pelayan itu mengangguk, lalu pergi.

“Kenapa tadi kau tiba-tiba bicara soal pintu ajaib?” tanya laki-laki itu.

“Bukan apa-apa,” sahut istrinya, kali ini dia yang skeptis.

“Kau tahu dari siapa?”

“Tak perlu kubilang. Kau, toh, tak percaya.”

“Baiklah, aku percaya. Sekarang, siapa yang memberitahumu soal itu?”

“Aku tak bertanya siapa namanya.”

“Laki-laki?”

“Perempuan.”

“Kau tak ingat namanya berarti dia bukan temanmu.”

“Aku baru bertemu sekali dengannya.”

“Dan kau percaya?”

“Ya.”

“Kau sudah berkali-kali bertemu denganku, tapi tak pernah mempercayaiku.”

“Itu beda.”

“Apa bedanya?”

“Dia perempuan.”

“Itu bukan jawaban. Tak ada penelitian yang bilang perempuan bisa dipercaya dalam satu kali pertemuan dan laki-laki tidak bisa dipercaya meskipun telah menjadi suamimu.”

“Anggap saja aku sedang menelitinya.”

Makanan si perempuan telah habis. Makanan si laki-laki masih separuh. Minuman si perempuan telah tandas. Minuman si laki-laki baru berkurang seperdelapan.

“Aku mau kembali bekerja,” kata si perempuan.

“Aku habiskan makananku,” sahut suaminya.

Mereka berpisah. Si perempuan menaiki trem menuju Osiba, lima menit dari tempat itu. Di sana dia bekerja di sebuah toko yang menjual dan membeli barang-barang bekas, yang selalu ramai. Orang-orang gemar menjual barang-barangnya untuk membeli barang-barang bekas lainnya. Bahkan terkadang mereka membeli barang yang beberapa waktu lalu mereka sendiri yang menjualnya. Ini bukan sesuatu yang aneh. Setiap barang yang mereka miliki harus terkena pajak kepemilikan; lagi pula itu membutuhkan ruang untuk menyimpannya—menjualnya adalah cara efektif untuk mengurangi beban pajak dan meluangkan ruangan apartemen yang terlalu sempit.

Makan di restoran semacam suami-istri itu bukanlah sebuah kemewahan. Semua pekerja mempunyai kartu jaminan makan dan perusahaan yang membayar makan mereka di jam kerja. Maka setiap pekerja bawah akan memilih bekerja dari pagi sampai malam untuk mendapat makanan gratis tiga kali. Tak ada pekerja bawah yang mempunyai dapur di apartemen, karena, sebagaimana disebut di atas, memiliki sesuatu akan dikenai pajak dan menyita ruang yang sempit.

Beberapa menit kemudian laki-laki tokoh kita selesai dengan makannya dan dia berjalan kaki menuju tempat kerjanya—sebuah kantor jasa kebersihan. Tak ada orang yang sempat membersihkan apa pun di sini selain tubuh masing-masing. Pekerjaannya tak pernah ada habisnya dan waktu istirahat adalah kemewahan yang layak dinikmati sampai titik penghabisan.

Sepanjang perjalanan, setiap orang tampak sedang melakukan pekerjaan, kecuali gelandangan gila—mereka berleha-leha di sembarang tempat, memandang langit tak berbatas dan bernyanyi-tertawa-menangis kapan saja suka. Tak ada undang-undang untuk mereka—percuma.

Laki-laki itu sampai di tempat kerjanya dan mulai bekerja. Kali ini tugasnya membersihkan laci kantor pemerintahan. Ada semut, kecoak, dan tikus, tentu saja. Mereka harus dimusnahkan. Namun, terkadang beberapa berkas juga diminta untuk dimusnahkan, dan laki-laki ini akan menuruti.

Di kantor itu dia ditemani seorang penjaga malam yang sedang bercerita tentang pintu perubahan.

“Ini terdengar gila, tapi istriku telah memasukinya dan entah menjadi siapa,” kata penjaga malam itu dengan nada gusar. Laki-laki tokoh kita menertawai.

“Itu terdengar fiktif dan, yah, orang waras semacam kita tak akan bisa mempercayai,” kata si penjaga malam, “sampai kita sendiri menemukannya.”

“Semacam apa pintu perubahan itu?”

“Aku tak tahu. Hanya saja, kabarnya, jika kau masuk ke dalam pintu itu, kau akan keluar menjadi orang yang berbeda. Tergantung kau ingin menjadi siapa ketika melintasinya.”

“Kedengarannya menarik.”

“Jika saja kau menemukannya.”

“Aku akan menjadi presiden dan tidur-tiduran sementara kalian kerja-kerja-kerja.”

Mereka tertawa.

***

Pukul satu dini hari, laki-laki tokoh kita memasuki apartemen tempat tinggalnya. Istrinya sudah berada di kamar, tengkurap di atas ranjang dengan seprei berwarna kuning tanpa motif sehingga tubuh perempuan itu, yang hanya mengenakan pakaian dalam berwarna krem, tampak seperti hiasan tempat tidur. Si laki-laki melepas sepatu dan pakaiannya, lalu mandi air hangat. Ketika kembali ke tempat tidur, istrinya telah mengenakan piama dan duduk di tepi ranjang.

“Aku pikir kau akan tidur di kantor lagi,” kata istrinya.

“Tidak. Kali ini tidak. Aku tidur di rumah,” sahut laki-laki itu.

“Apa kita akan bercinta malam ini?”

“Malam ini? Apa kau gila? Ini sudah dini hari, bukan malam lagi.”

“Kita sudah berabad-abad tak melakukan itu.”

“Begitu matahari terbit aku sudah harus membersihkan seluruh jendela kantor pemerintahan yang selalu kotor.”

“Mampus saja, kau.”

“Oh, terima kasih. Kuharap begitu.”

“Kuharap aku lekas bertemu pintu perubahan.”

“Amin.”

“Kau tak takut kehilangan aku?”

“Tidak. Apa bedanya? Hidup kita, toh, hanya kerja-kerja-kerja. Kita sudah bukan lagi manusia.”

Si perempuan telah kembali berbaring dan memejamkan mata ketika suaminya teringat sesuatu.

“Hai, di mana bisa menemukan pintu perubahan?”

“Tak ada yang tahu, ia bisa di mana saja secara tiba-tiba.”

“Jika aku bertemu pintu perubahan, aku akan berubah jadi orang yang tak perlu bekerja-bekerja-bekerja.”

“Jadilah gelandangan.”

“Ide brilian. Terima kasih, Nyonya. Saya mau tidur.”

Laki-laki tokoh kita menelan obat tidur dan menutup matanya dengan penutup mata. Tak ada mimpi, tak pernah ada mimpi dalam tidurnya. Jika ada, mungkin mimpi pun akan terkena pajak kepemilikan.

Keesokan harinya laki-laki tokoh kita bertemu pintu perubahan dalam perjalanan ke tempat kerja. Dia menghendaki menjadi presiden.

***

Laki-laki tokoh kita yang sekarang menjadi presiden di negaranya—negara dunia ketiga yang dikuasai pemodal asing—sedang berkas-berkas yang bertumpuk-tumpuk. Seorang perempuan masuk dan menanggalkan piamanya.

“Kau sudah berhari-hari tak tidur,” kata perempuan itu.

“Aku tak bisa tidur dengan dikejar-kejar beban pikiran,” sahut laki-laki tokoh kita.

“Biarkan saja staf-stafmu yang bekerja. Kau, kan, presiden.”

“Mana bisa? Oposisi seperti sekumpulan binatang buas. Mereka selalu membuat cerita buruk dari apa pun untuk mencabik-cabikku. Brengsek!”

“Sial! Aku pikir menjadi istri presiden bisa banyak waktu untuk bercinta, nyatanya lebih mengerikan daripada pekerja bawah.”

Laki-laki tokoh kita mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu kecil—lampu besar dibiayai oleh negara dan hanya untuk penerangan pekerjaan; urusan pribadi tidak diperkenankan. Dia mematikan perangkat komputernya, tetapi semua saluran pelaporan terus menyala—jam kerja seorang presiden 24 jam 7 hari; tak ada libur.

“Aku menjadi pekerja bawah dan menderita. Lalu bertemu pintu perubahan,” katanya, nyaris sebuah keluhan.

“Pintu perubahan, katamu?” sahut perempuan itu.

“Ya; semacam pintu ajaib di mana jika kau masuk ke dalam pintu itu, kau akan keluar menjadi orang yang berbeda.”

“Dan kau menjadi presiden?”

“Yah, ini memang terdengar seperti fiksi—kecuali bagi yang pernah melewati.”

“Dan kau tak tahu istrimu juga melewati pintu perubahan?”

“Persetan dengan dia.”

“Sial,” perempuan itu mengenakan kembali piama yang telah dilepasnya, lalu beranjak keluar, “bahkan setelah melewati pintu perubahan pun suamiku tetap saja kau.”

“Apa maksudmu?”

“Kita berdua sial berganda.”

Perempuan itu pergi dan laki-laki tokoh kita berpikir seharusnya dia menjadi gelandangan saja.[*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Menjadi Tentara
Teror Kematian di Rinjani


4 thoughts on “Pintu Perubahan”

  1. Anisa berkata:

    Bagus banget cerpennya

  2. Yose Bataona berkata:

    Baru-baru ini saya membaca cerpen Aves Haur di basabasi. Cerpen tersebut dan cerpen ini memiliki kesamaan pada dua tokohnya, sepasang suami istri. Jadi rasanya ini suatu tema yang menarik sekali.

    Selain itu, pada cerpen ini saya menemukan kepiawaian penulis membangun latar cerita. Ia menarasikannya secara detail dan rapi. Kita yang membaca pun dihantar pelan-pelan untuk membayangkan suana waktu dan tempat tersebut. Tak sabar ingin membaca karya Aveus Har selanjutnya.

  3. kudalaut13 berkata:

    bagus banget

    1. Ecik berkata:

      Suka sekali dengan tulisan ini.

Komentar Anda?