Menu
Menu

Judul Gemulung pada novel ini bukan saja ombak yang ada di lautan, tetapi juga sesuatu yang bergejolak dalam hati ketiga tokoh dalam cerita.


Oleh: Beato Lanjong |

Pustakawan Klub Buku Petra.


Bincang Buku edisi September dimulai sedikit terlambat. Hujan deras. Listrik padam. Para peserta mesti menunggu di ruang tunggu apotek, hingga listrik kembali stabil. Bincang buku yang ke-45 ini memilih novel Gemulung karya Tary Lestari. Malam itu, Jumat, 9 September 2022, pada meja persegi panjang berukuran 180×90 cm, kesan-kesan terhadap buku ini dibagikan oleh para peserta yang berjumlah 12 orang: Retha Janu, Armin Bell, Arsy Juwandi, Afin Gagu, dr. Ronald Susilo, Grace Janu, Lolik Apung, Maria Pankratia, Marto Lesit, Ucique Jehaun, Yasinta Ajin, dan saya sendiri.

Skrip Film

Kesan pembacaan yang variatif dari setiap anggota bincang buku membuat pengalaman pembacaan yang dibagikan terasa menarik. Namun, bagaimana jadinya bila terdapat hal yang sama atas kesan pembacaan tersebut?

Anggota Bincang Buku Petra merasa novel Gemulung adalah skrip untuk sebuah FTV. Ekspektasi yang muncul di benak pembaca setelah membaca review di cover belakang dan setelah menyelesaikan halaman awal yang ditulis begitu sinematik dan mengesankan oleh Tary, tidak banyak bertemu kenyataan. Terdapat jarak antara apa yang diharapkan pembaca dan sesuatu yang ditemukan dalam pembabakan cerita selanjutnya. Meski demikian, terdapat hal-hal menarik termasuk fakta bahwa tokoh-tokoh dalam novel itu berhasil membuat pembaca terlibat secara emosi.

Dengan nada bicara yang bersemangat, Retha Janu selaku pemantik malam itu membagikan kesan pembacaannya. Menurutnya novel terbitan Indonesia Tera ini berhasil membangkitkan perasaan jengkelnya pada tokoh Yuda, sehingga pilihan kematian tokoh ini di mulut ikan hiu dirasa sangat cocok. Sementara kematian istrinya, Marlin, yang sebenarnya dicintai tokoh Ridho tidak disetujuinya. Ia melihat kematian ini sebagai simbol kemerdekaan atas penderitaan tetapi belum adanya perlawanan dari tokoh Marlin membuat Retha tidak cukup puas dengan tokoh tersebut. Dirinya berharap Marlin tidak menjadi pihak yang lemah, sekaligus membayangkan akan ada kisah atau bagian lain yang menjelaskan perjuangan Marlin sebelum ia mati. Tetapi tidak ditemukannya bagian seperti itu hingga novel ini berakhir.

Retha sebagai pembaca berharap banyak di awal alur cerita ini. Ada harapan bahwa konflik dalam cerita mengenai kehamilan Marlin akan bisa membuat cerita ini lebih menarik tetapi pembaca justru dibawa ke sebuah pulau asing tempat Yuda, Marlin, dan Ridho terdampar. Bagian ini, menurutnya terlalu lebar. Pendapat Retha ini disetujui Marto Lesit. Marto mengatakan bahwa cerita ini akan cukup menarik bila ada bagian lain dalam cerita yang menjelaskan kehamilan Marlin.

Menurut Armin Bell, banyaknya bagian yang dirasa kabur atau tanpa penjelasan yang lebih rinci pada cerita itu menyerupai adegan yang terputus-putus dalam sinetron. Lolik Apung sependapat dengan hal ini. Menurutnya cerita ini dimulai dengan awalan yang mengesankan tapi kemudian menjadi datar, sehingga ia menduga novel ini disusun sebagai naskah FTV yang berkembang dari satu skrip ke skrip lain. Lolik mengungkapkan, apabila penulis bisa mempertahankan bagian awal cerita sampai akhir, buku ini berpotensi untuk menjadi buku yang bagus.

Kurangnya detail pada beberapa bagian cerita membuat sebagian konflik dalam Gemulung terasa kurang dalam. Sebagian peserta Bincang Buku Petra malam itu melihat kondisi itu terjadi sebagai pengaruh dari kebiasaan penulis menulis skrip film untuk cerita-cerita FTV. Penulis mencoba membuat cerita emosional dengan gambaran yang mendayu-dayu, tetapi justru dirasa tidak mempengaruhi para pembaca.

Ucique Jehaun melihat penulis belum cukup baik dalam mengarahkan emosi pembaca. Dirinya melihat usaha penulis agar pembaca bersimpati kepada tokoh Ridho akan jauh lebih berhasil jika adegan tersebut dimainkan (di film/sinetron). Sebab saat membagikan pengalaman membaca mereka, beberapa peserta Bincang Buku Petra malah merasa jengkel; misalnya peristiwa Marlin meninggal dan Ridho yang langsung membayangkan bahwa Marlin sudah bahagia di surga, tanpa ada jeda untuk bersedih (hal. 87). Menurut Ajin, Ridho adalah laki-laki pengecut yang tunduk di bawah ego menyayangi perempuan. Ketika berada dalam posisi sama-sama sulit di tengah laut, kenangan masa lalunya bersama Marlin membuatnya sering tidak berdaya. Bentuk kekecewaan Ajin atas tokoh ini adalah pertanyaan yang bernada kecewa: “Ridho, kenapa kamu begini?”

Pembabakan adegan seperti ini, menurut Arsy Juwandi, membuat cerita beralih dengan cepat dari satu latar ke latar yang lain. Arsy juga mengungkapkan jika kesamaan buku ini dengan FTV adalah tatkala tema yang diangkat seputar romantisme: cinta yang bertepuk sebelah tangan, kisah cinta segitiga, ada pria pengecut, ada laki-laki baik hati, dan lain-lain.

Saya sendiri teringat akan perilaku pengemar FTV yang mudah terbawa suasana cerita. Mereka akan memaki protagonis yang sering jadi korban perundungan tokoh antagonis yang menggoda perempuan yang menyukai dirinya. Mereka akan bersorak ketika laki-laki baik hati itu akhirnya mendaratkan pukulan ke tokoh antagonis dalam sebuah pertarungan merebut seorang perempuan yang sama-sama mereka cintai.

Meski dianggap kurang berhasil pada tokoh Ridho, penggambaran penulis tentang tokoh Yuda rasanya berhasil baik. Banyak peserta Bincang Buku Petra malam itu yang akhirnya merasa jengkel dengan Yuda. Sebab mengambil pola sinetron dalam penentuan karakter protagonis-antagonis yang hitam putih, dan Ridho ada tokoh yang harus dikasihani atau mendapat simpati (tetapi kurang berhasil dikembangkan dalam novel ini) sedangkan Yuda adalah tokoh antagonis, kekesalan pembaca terhadap tokoh Yuda adalah bukti bahwa Tary Lestari berhasil pada bagian ini.

Yuda adalah gambaran laki-laki yang dibesarkan dalam lingkungan yang manja. Akibatnya, ia sering mengeluh. Ia sibuk memaki Bang Tuki ketika mereka lari dari Malaysia, ia memakan habis perbekalan di kapal pompong milik Bang Tuki, ia tidur-tiduran saja saat Marlin istrinya sakit TBC dan batuk keras, ia bahkan menampar Marlin. Baik Retha maupun Greis sepakat atas ketidaksukaan mereka terhadap Yuda. Berbeda dengan mereka, Marto malah melihat tokoh Yuda sebenarnya yang paling berpotensi dapat menyelamatkan Marlin istrinya. Bila cerita ini bisa digambarkan secara lengkap dan tidak sepotong-potong, mungkin ada bagian yang bisa mendukung perubahan karakter dari Yuda.

Dokter Ronald kemudian hadir sebagai pebincang yang 12. Sebagai seorang tenaga kesehatan, ia berkomentar mengenai BHD (Bantuan Hidup Dasar) seperti nafas buatan yang diberikan Yuda kepada Marlin. Menurut dr. Ronal setelah Covid-19 merebak di seluruh dunia, nafas buatan tidak dianjurkan lagi bagi orang pingsan. Dirinya juga berbicara tentang penyakit TBC yang diidap oleh tokoh Marlin, yang kemudian menjadi penyebab kematiannya di atas kapal. Ide tentang penyakit TBC ini tidak disebutkan dalam pelarian tiga tokoh ini dari Malaysia, hal yang menurut dr. Ronald terasa aneh. Seharusnya ada cerita tentang gejala penyakit-penyakit ini selama pelarian mereka.

Terlepas dari beberapa hal yang olehnya dianggap agak mengganggu Dokter Ronald mengapresiasi Tary Lestari sebagai penulis skrip film. “Kita perlu berguru dengan para penulis skrip yang tetap produktif meski dikejar deadline.Tary telah membuat pekerjaan menjadi penulis itu terlihat begitu mudah padahal tentu saja tidak mudah,” tutupnya.

Gemulung Mengantar Ingatan pada Buku dan Film

Ada satu atau beberapa alasan seseorang memilih buku untuk dibaca. Memilih buku untuk dibincangkan dalam kelompok bincang buku Klub Buku Petra tentu juga melalui beberapa pertimbangan yang dirasa perlu.

Bagi Maria Pankratia selaku Manajer Program Klub Buku Petra, novel ini dipilih dengan harapan memiliki cerita yang menarik, seperti novel-novel lain yang pernah dibincangkan sebelumnya, yaitu Tutur Dedes dari Amalia Yunus dan Cara Terbaik Menulis Kitab Suci dari Yudhi Herwibowo. Gemulung, sama seperti dua novel ini, adalah beberapa karya terpilih dalam ajang Kelompok Penerbit Renjana Indonesia Mencari Naskah 2020.

Sebelum Maria menyampaikan perihal alasannya memilih novel Gemulung, Afin Gagu menyampaikan beberapa ingatan lain yang menyertai pembacaan novel ini. Menurutnya, tema tentang TKI yang disinggung dalam Gemulung mengingatkannya pada novel Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemmy Piran. Keduanya membahas faktor kemiskinan yang mendorong orang merantau.

Menambah ingatan Afin, Maria menjelaskan bahwa kemiskinan adalah pemicu cerita novel ini. “Tary Lestari mempunyai banyak teman yang selepas SMA langsung menjadi TKI di negeri lain. Dalam hal ini, cerita yang diangkat dalam novel Gemulung ini juga sebenarnya terinspirasi dari teman-temannya,” tutur Maria.

Kecendrungan mengangkat tema-tema besar seperti ini oleh Lolik Apung tidak lain adalah usaha untuk mendokumentasikan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. “Bahayanya adalah fungsi sastra semakin kabur” ujar Lolik.

Gagasan atau ide juga tergambar pada sampul buku. Afin melihat gelombang yang terdapat pada cover novel ini seperti tiga wajah yang dianggapnya sebagai representasi dari ketiga tokoh utama dalam cerita. Juga, pemberian judul Gemulung pada novel yang dibincangkan kali ini baginya bukan saja ombak yang ada di lautan, tetapi juga sesuatu yang bergejolak dalam hati ketiga tokoh yang diangkat dalam cerita.

Sementara itu, tentang ide berjuang untuk hidup di tengah laut, Armin Bell menduga novel ini mungkin ditulis dengan mengambil inspirasi dari The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Marlin, nama tokoh perempuan dalam novel ini sama dengan nama ikan Marlin dalam novel karya Ernest Hemingway, meski dalam cara mengeksekusinya tampak sangat berbeda. Sedangkan bagi Ucique, tokoh Ridho dalam Gemulung yang digambarkan sebagai pembaca To Kill A Mockingbird dari Harper Lee dan banyak buku sastra lain justru tidak membuat karakternya berkembang dengan baik.

Komentar lain tentang hubungan novel Gemulung dengan buku-buku yang dibaca juga datang dari Dokter Ronald. Menurutnya, ketika Tary Lestari menyebut Ridho membawa novel To Kill A Mockingbird, ia teringat akan pengalamannya saat membaca novel Lord of the Flies karya William Golding. Pada bagian cerita yang menggambarkan ketiga tokoh yang terdampar di pulau antah berantah, ia membayangkan Ridho, Yuda, dan Marlin. Namun konflik yang coba dibangun kedua penulis ini amat berbeda. Kisah terdamparnya Ridho, Yuda, dan Marlin tidak mampu menyentuh hatinya seperti yang dilakukan Golding. Dr. Ronald juga teringat akan novel Lembata karya F. Rahardi dan akan The Old Man and the Sea. Meski sama-sama menggerakan laut sebagai bingkai cerita, Gemulung menurutnya tidak cukup menarik. Tidak kuatnya gagasan dalam mengangkat satu soal dalam cerita ini membuat novel ini sepertinya ditulis dengan tujuan-tujuan yang bukan dari dalam dirinya sendiri.

Mungkin ada baiknya pembaca sendiri membaca (bagi yang belum membaca novel ini) dan menentukan sendiri apakah novel ini berpola sebuah skrip film atau apakah novel ini adalah novel yang bagus atau tidak. Para peserta Bincang Buku Petra pada malam itu sepakat menyematkan bintang 3 pada novel ini. Sampai jumpa di bincang buku ke-46.[*]


Komentar Anda?