Menu
Menu

Di Puncak Rinjani, kami duduk-duduk bersandar pada sebongkah batu raksasa seukuran dua mobil jeep. Samudera awan bergulung-gulung di bawah kami.


Oleh: Eko Darmoko |

Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (Basabasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Buku kumpulan cerpen lainnya berjudul Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015). Anak Gunung adalah novel pertamanya (Pelangi Sastra, 2022). Instagram dan Twitter @ekodarmoko.


Adegan gadis bunuh diri mengendap di kepalaku. Bayang-bayang kematiannya lahir dari ocehan porter Gunung Rinjani. Gadis itu berkelindan di tiap jengkal pandanganku. Padahal, aku belum pernah melihatnya di dunia nyata, apalagi mengenalnya. Harus diakui, si porter memang mahir dalam seni bercerita, seperti cerpenis. Ceritanya hidup!

Dua kawan sudah berjalan jauh meninggalkan aku di antara Plawangan Senaru dan Pos 4. Langkah kaki sudah sempoyongan. Dengkul dan pundak serasa mau rontok menahan beban keril 80 liter. Jika ditimbang, berat keril setara dengan 17 kilogram. Tapi bukan lelah dan beban yang membuat langkahku terseok-seok. Adegan gantung diri itulah biang kerok semua kepayahan ini.

“Ingat, Mas, selelah apa pun jangan sampai berhenti di Pos 3! Angker! Seorang gadis gantung diri di sana. Sudah lama,” kata si porter terngiang terus.

Jalur turun gunung ke arah Desa Senaru bukannya enteng, tapi malah berat. Sisa tenaga setelah berhari-hari dihajar tanjakan angkuh, turunan curam, dan merayapi tebing membuat akhir pendakian menjadi sengsara.

Di hari pertama, tubuh kami dipanggang matahari saat melintasi padang rumput jahanam. Hari kedua, kami disiksa tanjakan Bukit Penyesalan dan Penderitaan. Ada belasan bukit yang harus kami iris. Hari ketiga, dari Plawangan Sembalun kami menanjak ke Puncak Rinjani 3726 MDPL. Hari keempat, kami turun merayapi dinding tebing seperti cicak menuju Kaldera Segara Anak; oleng sedikit tubuh kami bisa jatuh menjadi bangkai. Hari kelima, setelah bermalam di tenda yang menghadap Gunung Barujari (anak Rinjani) di timur Kaldera Segara Anak, kami langsung tancap gas turun gunung. Total, kami mendirikan tenda tiga kali di tempat berbeda.

***

Pagi hari, ketika kami mengemasi peralatan pendakian sebelum turun gunung, si porter datang menawarkan bantuan dan berbasa-basi. Tentu saja dengan mengumbar cerita-cerita aneh.

“Masih ada stok rokok, kan?” tanyanya.

“Masih, Bang! Rokok yang Abang beri semalam masih ada. Cukuplah untuk perjalanan pulang,” jawab kawanku.

“Abang sendiri, sudah beres mengemasi barang-barang pendaki Amerika itu?” kawanku yang lain ikut nimbrung.

“Beres, Mas!”

“Harusnya dua hari kemah di sini, di kaldera. Tapi mau gimana lagi, pekerjaan di Surabaya sudah menunggu,” aku menimpali sambil melipat tenda dan matras lalu memasukkannya ke dalam keril.

Cerita-cerita aneh yang baru saja kudengar, tanpa henti menggempur kepalaku. Termasuk kisah gadis gantung diri di Pos 3 jalur Senaru. Tiap langkah, membawaku lebih dekat pada adegan gantung diri itu.

Pos 4 sudah kulalui. Sepi. Aku istirahat sejenak. Tak ada dua kawanku. Apalagi si porter dan rombongan pendaki Amerika. Tentunya mereka ngacir tanpa rem. Maklum, tenaga mereka seperti Hulk.

Ah, apa boleh buat, aku paksa keberanian melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Sinar matahari pukul setengah dua siang tak sanggup menyentuh tanah. Rimba sangat lebat. Pohon-pohon setinggi tiang listrik mengapit jalur setapak. Suasana suram. Mencekam. Ingin mengisap rokok, tapi terbawa oleh dua kawanku. Cilaka nomor tujuh!

***

Gema suara si porter terus menikam gendang telingaku. Sejak bertemu di Bukit Penyesalan dan Penderitaan, ia menjadi teror melalui kisah-kisah janggal yang diceritakan kepadaku dan dua kawanku.

“Bosan jadi porter pendaki asing,” kata si porter padaku saat bertemu di Bukit Penyesalan dan Penderitaan.

“Mengapa?”

“Mereka tidak minat dengan ceritaku, terlebih tentang asal usul nama Bukit Penyesalan dan Penderitaan,” jawabnya sambil membetulkan posisi pikulan di pundaknya.

Aku tak menggubrisnya. Dengkul masih gemetar selepas menuntaskan Bukit Penyesalan dan Penderitaan. Secuil cokelat dalam saku kusikat demi membungkam cacing dalam perut. Dua kawanku juga terlihat menggerogoti rotinya masing-masing.

Di pendakian ini kami mengawalinya dari Sembalun, Lombok Timur. Kami tidak balik kucing saat turun gunung. Jadinya, kami memilih turun memotong gunung menuju Senaru, Lombok Utara.

“Terbit di timur dan tenggelam di utara,” kata si porter sambil ngakak.

***

Senja di Kaldera Segara Anak. Kami tidak memasak lauk. Hanya memasak nasi. Si porter sok akrab itu menawari kami ikan nila bakar hasil memancing di perairan kaldera.

“Tenang, kami dapat ikan banyak. Semua kebagian, termasuk rombongan pendaki Amerika, aku, dan ketiga rekanku,” urai si porter.

Langit oranye perlahan punah. Disusul gulita. Lampu digital kupasang di atas tenda, menggantung pada sebuah frame tenda. Nila bakar dengan bumbu ala kadarnya melengkapi nasi hangat menjadi menu makan malam yang aduhai.

“Cilaka nomor lima!” pekik kawanku. “Rokok tinggal sebungkus, basah kena tumpahan spiritus dan ceceran parafin.”

“Tenang. Kalau cuma rokok, aku punya lebih,” si porter mengulurkan sebungkus rokok.

“Wah, terima kasih, Bang!” kawanku yang lain langsung meraih dan menyulutnya.

“Besok langsung ke Senaru?” tanya si porter.

“Iya, Bang!” jawabku sambil mulutku mengunyah nila dan nasi.

“Ada empat pos menuju Senaru. Jangan berhenti di Pos 3. Lewati saja. Langsung bergegas menuju Pos 2.” Si porter selalu mengulang bagian ini, bikin kami kesal.

“Mengapa?” aku pura-pura peduli dengan ocehannya.

“Ada perempuan di sana.”

“Hah?”

“Dia sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Gantung diri.”

“Cilaka…” dua kawanku kompak menggerutu, “nomor tiga belas!”

***

Belantara lebat agak sedikit terbuka. Di depan kulihat lahan datar. Plakat kayu menggantung miring pada reruntuhan bangunan kecil bercat hijau. Pada plakat kayu itu ada tulisan bercat hitam yang sedikit pudar: Pos 3. Napasku megap-megap. Kaki serasa terkunci. Keril 80 liter bergedibak jatuh dari gendongan. Kidung serapah bersuaka di kerongkongan. Susah untuk melontarkannya.
Mataku menggerayangi reruntuhan bangunan kecil itu. Tanpa semauku, kaki melangkah masuk. Bau kapur barus menusuk hidung. Sehelai kain jarik membentang di pojokan. Ada botol plastik, separo terisi air. Di atas plafon, pada rangka bangunan, tergantung seutas tali. Desir angin yang datang tiba-tiba membuat tali itu bergerak, menampar wajahku.

“Cilaka nomor sembilan,” kataku dalam hati.

Kupaksa tubuhku bergerak. Kulawan kejanggalan ini. Keril di tanah kugendong lagi sambil membelakangi bangunan itu. Kurogoh selempitan di sebelah kanan keril, kuambil botol, dan kutenggak habis air gula di dalamnya.

“Mas!” suara perempuan mendesis dari arah belakang.

“Cilaka entah nomor berapa,” sambatku.

“Temani aku, Mas!”

Aku mendadak teringat bacot motivator di media sosial; bahwa masalah harus dihadapi dan diselesaikan. Maka, kuberanikan diri menoleh ke belakang. Kulihat perempuan ayu berkulit marmer tersenyum ke arahku. Tubuhnya terbungkus bebatan kain jarik. Belahan dadanya terlihat mengembang dan mengempis beraturan.

“Kau pasti sudah tahu cerita tentangku.”

***

Di Puncak Rinjani, kami duduk-duduk bersandar pada sebongkah batu raksasa seukuran dua mobil jeep. Samudera awan bergulung-gulung di bawah kami. Telur rebus, garam, nasi dingin, dan kornet sapi menjadi menu makan siang di atap Pulau Lombok. Plat besi bertuliskan ‘Puncak Rinjani 3726 MDPL’ menjadi obyek foto Instagramable bagi kalangan pendaki.

“Kalian sudah foto-foto?” si porter muncul dari balik batu, sekonyong-konyong.

Kami kompak menganggukkan kepala.

“Sudah makan siang?”

Kami balas dengan anggukan kepala lagi. Capek masih menggerogoti raga kami.

“Tadi subuh sebelum summit, kalian sarapan apa?”

“Roti tawar selai nanas, Bang,” jawabku sekenanya.

“Kasihan!”

“Kasihan mengapa, Bang?” kawanku penasaran.

“Gadis itu… Dia gantung diri karena menanggung aib orang lain. Kasihan nasibnya.”

“Sudahlah, Bang! Kisah itu jangan diulang terus,” kawanku satunya terlihat jengkel. “Kami sudah hafal alurnya sejak Abang menceritakannya di Bukit Penyesalan dan Penderitaan. Lebih baik kisah itu ditulis menjadi cerpen atau novel. Pasti laku.”

***

Teriakan dari sebuah rumah mengagetkan warga kampung. Maklum, rapatnya jarak antar-rumah, membuat keributan kecil terdengar oleh tetangga. Apalagi teriakan ini terjadi pada pagi buta.

“Kamu harus mau, Sita!”

“Tidak!” Sita mengulangi teriakannya, tambah kencang.

Warga kampung mengerubung di depan rumah itu.

“Jika kamu menolaknya, bapak bisa digorok.”

“Biarlah bapak digorok.”

“Utang bapak sudah menggunung pada juragan.”

“Itu dosa bapak. Jangan bawa-bawa nama gunung. Rinjani terlalu suci untuk dijadikan perumpamaan atas utang-utang bapak… dosa-dosa bapak.”

“Tidak ada pilihan lain, Sita.”

“Selain licik, bandot tua itu sudah punya tiga istri. Sita tak ingin jadi yang keempat.”

“Tega kau, Sita, melihat bapak digorok?”

“Jika ibu masih hidup, pasti ibu memilih agar bapak segera digorok.”

“Sita!”

Jangan-jangan bapak sudah doyan main pelacur dan judi ketika ibu masih hidup.”

“Jangan ngelantur, Sita!”

“Tidak mungkin ibu meninggal karena tenggelam di sungai. Ibu pandai berenang. Pasti bapak sengaja menenggelamkan ibu. Iya, kan?”

“Pelankan suaramu!”

“Biar! Biar orang-orang kampung tahu.”

Merasa disinggung, kerumunan warga kampung di depan rumah itu perlahan berkurang. Lalu hilang. Matahari perlahan meringis-ringis di atas sana. Embun pagi perlahan lenyap. Pucuk Rinjani terlihat gagah menghunus langit biru. Parade awan terlihat seperti angsa.

“Apa untungnya menikah dengan porter itu? Batalkan! Upahnya tidak seberapa. Menikahlah dengan juragan! Hidupmu pasti terjamin. Tinggal di rumah gedong.”

“Lebih baik Sita mati menyusul ibu daripada menikah dengan si tua bangka itu.”

“Baiklah! Bapak akan menyeretmu. Memaksamu menikah dengan juragan.”

Tiba-tiba, ide mengerjap di benak Sita. Sebuah rencana tersusun secara rapi.

“Sita mau. Kapan juragan menikahi Sita?”

“Benar kau mau, nak?” Sita mengangguk. “Baiklah, bapak akan ke rumah juragan, mengabari hal ini.”

Setelah menenggak air kendi, si bapak memancal sepedanya. Melaju ke sebuah arah.

Sita juga bergegas meninggalkan rumah. Ia pergi mendatangi rumah kekasih pujaan hatinya yang berjarak 10 menit jalan kaki. Sita ingin mengajak kekasihnya kawin lari. Hidup dan mencari kerja di kota.

Sesampainya di rumah sang kekasih, Sita dikagetkan oleh sebuah adegan. Di halaman samping rumah, kekasihnya duduk memeluk seorang gadis. Sita mengendap mendekati mereka. Membuka kupingnya lebar-lebar dari sebuah jarak aman supaya bisa mendengar obrolan tanpa ketahuan.

“Aku hamil, Mas.”

“Iya. Aku pasti menikahimu.”

Mendengar obrolan itu, Sita hancur berkeping-keping. Dunia runtuh di hadapannya. Sita diterjang lindu. Ia lari terbirit-birit. Bingung. Langkah kakinya menembus hutan. Tanpa disadari, ia telah memotong kompas, bertemu jalur pendakian yang biasa dilalui para pendaki. Di sebuah semak, ia menemukan seutas tali, mungkin milik pendaki yang tertinggal atau terjatuh.

Hampir genap dua hari Sita menghilang misterius. Si bapak yang bingung dan cemas, datang melabrak kekasih Sita dengan menyemburkan aneka rupa kalimat caci maki. Tangannya menggenggam belati karatan.

“Heh porter sialan, kau sembunyikan di mana anakku?”

“Sumpah! Demi Dewi Anjani, saya tidak tahu.”(*)


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Heronimus dan Pohon Kenangan
Menjelang Sang Nabi Lenyap ke Langit


Komentar Anda?