Menu
Menu

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam akan mudah disukai karena pembabakan yang singkat; menimbulkan pengalaman seperti membaca laporan/reportase.


Oleh: Nadya Tanja |

Anggota Klub Buku Petra.


Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo menjadi buku ke-43 yang dibincangkan pada program Bincang Buku Klub Buku Petra. Kegiatan ini berlangsung di Perpustakaan Perpustakaan Klub Buku Petra pada hari Sabtu, 29 Juli 2022 dan dihadiri oleh 11 peserta: Armin Bell sebagai pemantik diskusi, Febri Djenadut, Etak Janu, Lolik Apung, Grace, Arsy Juwandi, Beato Lanjong, dr. Ronald Susilo, Maria Pankratia, Marcelus Ungkang, dan saya sendiri sebagai notulis.

Armin Bell mengawali perbincangan malam itu dengan pantikan yang serius yang memanen beragam reaksi dari para peserta. Menurutnya, pembaca bisa menyukai buku ini karena pembabakan yang singkat sehingga menimbulkan pengalaman seperti membaca laporan/reportase—karya ini merupakan hasil dari proses residensi penulis. Meski demikian, buku ini tidak memenuhi harapannya sebagai karya sastra yang hebat. Terdapat beberapa hal yang membuat pengalaman membaca novel ini menjadi kurang berkesan: Dian Purnomo mengambil peran penting sebagai tokoh aku tetapi justru tidak banyak membantu kedalaman cerita. Hanya memperkenalkan diri, merekam kejadian, menuliskannya, dan tidak terlibat secara emosi. Akibatnya, pembaca pun tidak merasakan kedalaman cerita dan merasa sulit untuk terlibat secara emosi dengan penderitaan Magi sang tokoh utama.

Selanjutnya, Armin menyoroti penokohan dan perkembangan karakter yang dinilai tidak maksimal dan mubazir. Contohnya pada hal 208, tentang kebiasaan tokoh Rato Lango yang suka memberikan julukan pada tokoh lain, seperti Lena Elizabeth untuk tokoh Lena hanya karena gerak-geriknya yang anggun. Menurut Armin, secara cerita, pemberian julukan itu konteksnya tidak jelas, tidak berkaitan, sehingga dirasa tidak perlu. Penulis memang memiliki kuasa untuk menciptakan tokoh dan penokohan untuk mendukung jalannya cerita dan perkembangan tokoh utama. Namun beberapa tokoh dihadirkan dengan beberapa sifat dan ciri yang dirasa tidak memberikan pengaruh apa-apa pada cerita, bahkan tidak mempengaruhi apa pun bila dihilangkan. “Seharusnya pengambilan metafora diikuti dengan penjelasan atau hal lain yang fungsional dengan cerita,” ungkap Armin.

Perkembangan karakter juga dirasa tidak terjadi pada Magi yang adalah tokoh utama. Sejak awal, Magi sudah diaminkan sebagai perempuan berwatak nekat, dan berani memperjuangkan dirinya sendiri, bahkan tanpa hadirnya Gema Perempuan. Armin menilai, tidak ada hal yang dilakukan oleh Gema Perempuan, yang berhubungan langsung dengan perubahan karakter Magi. Peran sebuah lembaga aktivis perempuan tidak tampak signifikan, selain dari pemberian nasihat-nasihat dalam perjalanan Magi mencari keadilan. Cerita ini perlahan membosankan karena menyajikan pentas ‘tell, not show’.

Menurut Armin, karya sastra yang baik tidak perlu terlalu gamblang menuliskan nasihat, tapi harus tampak secara tersirat. Armin mencontohkan kisah perjuangan pria tua menangkap ikan marlin raksasa dalam The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Tanpa nasihat langsung pun, kita dapat menemukan sendiri nasihat kehidupan dalam cerita. Dirinya juga melihat buku ini sebagai mimpi aktivis perempuan yang dikemas dalam cerita/karya sastra, sesuatu yang jika dilakukan dengan saksama (melalui pemilihan tokoh untuk menitipkan perjuangan) akan sangat berhasil. Dalam Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, perjuangan demikian akan lebih berdaya guna jika dititipkan melalui ayah Magi, Ama Bobo; dengan perkembangan karakter dan cerita yang berbeda. Dengan Ama Bobo sebagai penyetir cerita, akan timbul harapan besar bahwa pembaca laki-laki akan bersimpati pada isu ini dan akhirnya terjun dalam percakapan perlindungan perempuan.

Perasaan berbeda diungkapkan oleh Febry Djenadut. Membaca kisah dan surat Magi kepada ayahnya membuat Febry ikut sedih dan menitikkan air mata. Febry juga merasa kesal dengan keputusan Magi yang memilih pulang hanya untuk situasi yang semakin buruk saat ayahnya sakit. Namun Febry juga mengaku mengalami penurunan semangat dalam proses pembacaannya karena tidak menemukan makna yang mendalam.

Retha Janu tidak memiliki banyak hal untuk diceritakan. Hal ini terjadi karena Retha merasa jauh dan tidak terlampau bersimpati dengan keseluruhan cerita maupun Magi. Perhatian Retha lebih banyak ke aspek visual buku yang membuatnya terkecoh. Gambar sampul Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ini menjanjikan. Menurut Retha, peringatan ‘trigger warning’ di sampul buku ini tidak cukup membuatnya bertahan menyelesaikan pembacaan buku ini.

Saya sendiri menjadi peserta keempat yang menyampaikan hasil pembacaan. Saya melihat ada tiga hal yang disampaikan oleh Dian Purnomo melalui kisah Magi, yakni budaya, penindasan pada perempuan, dan hubungan antara ayah dan anak perempuan. Saya melihat budaya kawin tangkap pada masyarakat Sumba memang sepaket dengan penindasan pada perempuan. Isu yang besar ini tidak dijawab dengan baik oleh penulis, karena ceritanya yang tidak terlampau dalam dan tidak mampu meninggalkan kesan berarti. Sedangkan hubungan ayah dan anak perempuannya dalam hal ini adalah Ama Bobo dan Magi seharusnya bisa menjadi ide cerita yang penting. Saya pikir, jika ide ini dikembangkan lebih fokus, cerita akan menjadi lebih menarik.

Lolik Apung mencoba melihat cerita ini dari sisi yang berbeda. Menurutnya, penulis terlena dengan setting Sumba yang luas dengan budaya dan isu yang beragam, kemudian mencoba menuangkan semuanya pada buku ini. Tetapi ternyata hal itu tidak mudah dilakukan, sehingga isu yang penting menjadi tidak dalam dan terasa hambar. “Keinginan penulis untuk menceritakan semua hal menyebabkan ceritanya tidak memiliki kedalaman,” ujarnya. Lolik juga melihat jika ending cerita terkesan dipaksakan. Menurutnya, bila ingin aktivisme perempuan lebih kuat secara tematik, Magi harus mati agar ia tetap hidup. Hal ini sejalan dengan ucapan Magi pada Dangu, “Kalau sa tidak selamat, mungkin orang lain baru berjuang dengan sa punya mayat.” Lolik menyukai surat-surat Magi. Menurutnya perempuan memang harus menulis dan sejarah sudah mengatakannya jika tulisan-tulisan perempuan tak kalah dahsyat dibandingkan laki-laki. Seperti Kartini, Nawal El Shadawi, dan lain-lain.

Peserta keenam, Grace mengaku diguncang oleh pantikan Armin Bell di awal. Beberapa hal ingin dia gugat, salah satunya tentang pendapat Armin terkait peran Gema Perempuan. Menurut Grace, Gema Perempuan tidak semata-mata memberi nasihat, tapi juga sangat berperan dalam mempersiapkan diri Magi untuk membalaskan dendamnya terhadap Leba Ali, sang tokoh antagonis dalam cerita. Gema Perempuan dinilainya tidak bisa terlalu dominan karena kondisi yang membuat mereka harus bertindak hati-hati dan ‘halus’. Cerita ini ingin menyampaikan realita yang ada, seperti peringatan mantan istri Leba Ali yang dikutip Grace “Dong terlalu gila untuk ko lawan” (hal 248).

Lain halnya dengan Arsy yang merasa banyak hal yang tidak masuk akal dan kurang kuat dalam mendukung logika cerita. Misalnya saja, penokohan Leba Ali yang sangat sering disebut sebagai orang yang berpengaruh, kaya raya, dan banyak backing-an oleh orang-orang berkuasa, dirasa kurang didukung dengan cerita latar belakangnya. Sehingga skenario penculikan dan pemerkosaan yang tidak ditindak oleh polisi dirasa sangat janggal. Juga dengan cara penulis menceritakan obsesi Leba Ali untuk membalaskan penolakan dan pemberontakan Magi yang mengecewakan pembaca. Sedari awal pembaca sudah berekspetasi akan disuguhkan bentuk pembalasan yang sadis atau minimal licik. Contohnya mengancam Magi yang sedang dalam pelarian dengan meneror keluarganya, atau menyiksa Magi sesampainya di kampung Leba Ali. Namun pembaca harus puas dengan Leba Ali yang hanya ingin ‘tidur’ dengan Magi.

Peserta berikutnya, Beato Lanjong menjadi pembaca kesekian yang menyoroti kedalaman cerita dan cara kerja LSM dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Menurutnya, novel ini menjanjikan banyak hal tetapi malah berakhir sebagai amatan-amatan dari jauh. Penulis ingin dekat dengan tokoh aku, tetapi tidak berhasil. Sebagai pria, Beato merasa hatinya tidak tergerak untuk mendalami isu perlindungan perempuan, karena buku ini seolah-olah mengajak perempuan untuk membela kaumnya dengan membenci laki-laki. Walaupun Leba Ali dipenjara, tujuan Gema Perempuan yang sesungguhnya tetap tidak tercapai.

Ronald Susilo melihat gagalnya buku ini menyentuh emosi pembaca salah satunya karena banyak adegan yang penggambarannya kurang merangsang indra. Terutama penggambaran visual tokoh dan latarnya. Ronald merasa sulit membayangkan secara visual adegan kekerasan atau pedihnya luka dan bau anyir kamar pengantin karena darah Magi. Menurut Ronald, kesempatan penulis membuat Magi menjadi visual yang nyata adalah saat Leba Ali selalu berusaha menyentuh Magi saat kecil, sehingga motif Leba Ali terobsesi kepada Magi bisa semakin jelas. Ronald juga mencatat beberapa kelalaian dalam penyuntingan naskah. “Plot yang dibuat juga tidak memampukan tokoh untuk berkembang,” tukasnya. Ronald mengapresiasi penulis yang telah menyajikan bentuk dialog khas Sumba yang dirasanya pas dan sesuai dengan bayangannya. Juga untuk beberapa istilah yang menambah pengetahuannya tentang Sumba, seperti yappa mawine, wulla poddu, dan tamo.

Maria Pankratia justru melihat dirinya sendiri melalui sebuah bagian dari cerita ini. Lewat sebuah kutipan di halaman 130, ‘Magi pernah mengatakan kepada Dangu, betapa anehnya hidup. Semakin dekat seseorang tinggal dengan kita, justru sering kali semakin jauh hatinya’. Menurut Maria seringkali kita baru bisa menjadi diri sendiri saat di luar rumah, dan menjadi orang lain di dalam rumah. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat mencari perlindungan, malah menghakimi dan menjadi sumber rasa tidak aman, seperti Magi yang berjarak dengan ayahnya.

Peserta terakhir yang menyampaikan hasil pembacaannya adalah Marcelus Ungkang. Celus, sapaan akrabnya, mencoba menjelaskan beberapa hal yang banyak menjadi catatan peserta lain, yakni tidak tersampaikannya emosi dalam cerita yang menyebabkan pembaca merasakan adanya jarak dengan isi buku. Hal ini disebabkan oleh posisi penulis yang ingin merepresentasikan realitas melalui kisah fiksi. Pengetahuan mengolah realita ini dikarakterisasi oleh siapa yang menyusunnya, dipengaruhi oleh latar belakang penulis yang tidak datang dari situasi (kelas sosial, pengetahuan, lingkungan hidup, dsb) yang sama. Dalam kerangka posisionalitas, tentu terbuka kemungkinan untuk menuliskan cerita tanpa pengalaman langsung, tetapi penulis sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu dirinya sendiri, sehingga pembaca dapat ikut memproyesikan dirinya.

Menurut Celus, secara teknik buku ini menyajikan sudut pandang narator yang lebih tahu dari tokoh. Pembaca kesulitan mengidentifikasikan dirinya dan merasa adanya jarak dengan cerita sehingga sulit bersimpati dengan tokoh dan cerita yang dihadirkan. Akan lebih baik bila posisi narator tidak serba tahu atau tidak lebih tahu dari karakter dalam cerita. Sedikit catatan untuk pemilihan diksi yang dirasa kurang tepat pada halaman 68, ‘air mata Magi meleleh bagai penyesalan tak bertepi’. Menurut Celus, bila menggunakan parameter linguistik seharusnya penulis memilih bahasa yang sesuai dengan kondisi budaya dan bahasa setempat. Celus mencontohkan pemilihan diksi ‘buih lontar’ untuk mengganti ‘sperma’ dalam buku Orang-Orang Oetimu karya Felix Nesi. Pemilihan diksi lontar sangat sesuai dengan latar tempat dan bahasa orang Timur di buku Felix.

Mendekati akhir perbincangan, semua peserta sepakat menyematkan bintang tiga pada buku Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Mereka membawa pulang hal baru tentang siapa dan apa sebenarnya bulan hitam dalam perjuangan perlindungan perempuan.


Baca juga:
Puisi-Puisi Grace Celine – Perempuan Buta dan Matahari
Gadis Pantai: Sebuah Metafora untuk Manusia Indonesia


Komentar Anda?