Menu
Menu

Kita menyusuri jembatan yang tidak/ ada di Google Map./ Kita bukan tersesat setelah lupa/ mau ke mana, katamu.//


Oleh: Husni Nasution |

Lahir di Putri Hijau, Bengkulu Utara, 01 Oktober 1998. Menyelesaikan studi di Jurusan Akidah Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo.


Muslihat Ketakutan

Jam pulang kerja ialah undian malang
yang menelan penumpangnya hidup-hidup.
Seperti tumbal kapal Yunus.
Andai kata, di cemas jalan, penyelamat
menjerat ikan nun dari langit, mestilah ia
sopir angkutan online yang melintasi angkasa
mengantarkan ke alamat paling sesat.

Kita tersesat. Membuka kaca mobil lebar-lebar
—atau helm—agar malu jatuh menangis.
Sesekali melirik spion, teringat mimpi mustahil.
Napas kalah menghirup sisa bensin
seakan membakar dendam kemacetan.

Tatkala doa-petang menadah hari,
kita bentang lagi meja judi
diam-diam—tak akan kita maafkan, mengapa
kasino diharamkan dada kota?

Kairo, 2022

.

Jembatan ketika Malam

: Qasr El Nil

Meski bukan seperti kematian,
selalu ingin aku tangkal
laju kapal wisata yang merasukiku
jadi pucuk bangunan tenggelam.

Kuakali bumi sejenak berhenti
dengan mengupah lampu kilat
juru foto. Tapi ia justru bertanya,
ingatan macam apa yang berharap
aku tangkap di sana?

*

Kehilangan, yang keras kepala,
selalu mampu menyisakan celah
yang kokoh membangun seolah
batas adalah jembatan.

Ketika malam belum menepikan
kapal, ingatanku mencari tahu apa
yang tersisa di tengahnya. Di antara
mencintai dalam selagi belum
belajar berenang;
mencintai hitam ketika mati lampu,
ketakutan terbesar masa kecilku;
mencintaimu bahkan setelah tahu
arti menyerah.

Ada yang selalu waspada di ujung
seolah tahu ada musibah di seberang
—atau sebaliknya. Seperti pencuri
dan yang mencari. Tanpa tahu siapa
yang lebih kehilangan:
Di mata kamera aku merekam
wajahku yang ketakutan.

Kairo, 2022

.

Sepotret Luka Rahasia

Hitam putih codet
yang melintangi dadanya
ialah lembar dokumen rahasia
—kami jadi buronan siapa.
Tetangga, rumah, dan pertempuran
membayang metafora pelarian
yang paksa ia berhenti suatu hari.
Di mana kemudian kami lahir
seperti berkas fotokopi.

Lanang ini, telah kami warisi
tinta macet dan jarak menganga
yang dulu membocor ranselnya,
senti demi senti, lalu ia koyak
sekalian biar kenangan
tak lagi menetes.

Di sisa tangannya bekas senjata
mengalir, kami bendung jadi pintu.
Ketika paket memencet
bel di rumah ibu, kami timba
sisa tubuh sendiri jadi kunci.
Syukurlah. Tiba selamat
bingkai bunga beserta album foto,
perangkat doa, dan batu nisan.

Kairo, 2022

.

Jendela

Kau hanya menoleh pada jalanan
ketika bisa melaju dan jendela
menangkapku lagi mencuri lirik matamu
yang mencari cinta juga gelagat ketakutan
di bibirmu yang melafal Ayat Kursi.

Kepalaku rebah di bahumu yang sebelah.
Kemesraan ini, seorang sopir menyangka
kita saudara satu bapak. Menanggung murka
pada dua perempuan berbeda.
Senyum cemooh kita teruntuk yang curiga,
bulan madu sepasang kekasih ke pantai terkunci?

Sudah kukunci rapat obituari Amjad Nasser
di saku jaket bersama sebotol air mineral.
Tidak akan kuceritakan kepadamu, aku benci
penyair laki-laki. Persis mata maut
di tengah topi lorengmu. Segala yang pahit
buatku, sekedar pereda sakit kepala.

Kita sama sekali tidak bicara.
Kita lama sekali tinggal di satu kota
yang sinis. Hantu bekas senapan.
Umpan yang kausimpan di dalam keril.

Sesampainya di terminal, kita sama bergegas
melarikan diri tanpa tahu kehilangan siapa.

Kairo, 2022

.

Kerusuhan Kecil

Debu cahaya yang mengilhami
Syair Jahili makin terang membakar
gairahku. Saat tak mampu lagi
dibendung, kusulut tembakau
untuk menghembuskan asapnya
menghabisi mereka.

Bau kata tua berhamburan.
Menghujan getir mengisi ganjil
perasaan yang terbaca
di bibirku. Seolah lagi berciuman
dengan seorang asing
yang juga tahu kalau kami
saling membohongi.

Kami tergesa karena identitas palsu
di dalam saku ialah patroli
siang yang ajaib. Selagi menyuruk
di jendela, yang asing menyumpali
buku—juga batu—kering ke bantalku.
Sambil berbaring kurencanakan
kerusuhan kecil serupa kesetiaan simpel
dari kisah yang paling muluk:

Kucintai seseorang seperti api
ujung tembakau nyaris ke bibirku.

Kairo, 2022

.

“Kau Lupa Menyulam Keranjang.”

Kukunci pintu kamar mandi agar sunyi
sekalian menghadapkan muka
kepada kaca dan mencakar bekas cium
di kening.

Waktu kulit kering mengelupas
di wastafel dan jerawat muda
pecah di kukuku, aku makin yakin
sama sekali tidaklah perlu mengoleksi
jenis-jenis kesedihan seakan
filatelis—pulsa maupun hal-hal
yang digital juga telah menyulih
percakapan kita.

Jika nanti pun masih aku isi ulang
nyawa kemeja yang menyisa
parfummu dan bau tubuhku,
bayangkanlah serupa cara terburuk
menulis puisi.

Di kaca, ada satu perjalanan
bersamamu ketika kukira kedua
tangkai rahangku justru lebih mirip
sikat gigi ketimbang dahan kering.
Pada gagangnya yang kupatahi,
menggantung sesuatu yang lebih
bahaya ketimbang kesepianku: Kita
menuju masjid yang jauh dan aku lupa
memakai kopiah—bagaimana
aku sering kehilangan hal-hal
yang telah lama aku siapkan.

Aku pikir duniaku sudah mau berakhir.
Tapi kau malah menghadiahiku
sikat gigi baru seperti tiket bulan madu.
Kugelar puasa mengantisipasi
yang paling buruk terjadi.
Tapi kaugulung siang dengan camilan.
Udara memuntal di rambut kita
maka kocar-kacir isi kepala.
Kau tenang ketika terpaksa aku buka
segel hadiahmu semata demi
menyisir imajinasi yang mulai repot
aku jinakkan.

Kau tersenyum padaku. Seperti gadis
mungil yang kupangku. Lambat laun
tumbuh dan makin pipih aku
menampung tubuh. Mirip balon gas.
Sebelum akan pecah, getir aku
menari di jemari masa kecilmu.

*

Kita menyusuri jembatan yang tidak
ada di Google Map.
Kita bukan tersesat setelah lupa
mau ke mana, katamu.

*

Sejak pandai membaca, aku mengira
tubuhku ialah batang berdaun kata;
satu per satu akan gugur juga.
Walaupun nanti bersemi satu lagi,
sudah kukatakan ulang kepadamu,
usai perceraian cuma keterasingan.

Maka kutanam delima
di belakang rumah seperti ringkih
batang tubuhku. Rindang
ketakutanku.
Semata setelah tidak pulang
aku punya cara mencintai ingatan
yang mengutuk diri sendiri.
Jika hendak ke mana, sudah
kusedia bekal kekhawatiran
di dalam ingatan buah:
“Kau lupa menyulam keranjang.”

Begitu aku mencintai
kata-katamu yang sambung
mengulur tali dari atas kepalaku.
Kau serupa menarik timba.
Semakin aku naik menuju langit,
tanggal tiap helai kata-kataku
dan aku kerontang jadi udara.

Kairo 2022—Bengkulu, 2023


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Sunlie Thomas Alexander – Tahun-Tahun yang Menguning seperti Labu
Puisi-Puisi Derry Saba – Beginilah Kotamu Tertulis dalam Kata-Kata Sepiku
Puisi-Puisi Prima Yulia Nugraha – Malam Berbintang


Komentar Anda?