Menu
Menu

Kalian diam-diam bertemu dan mendaki Gunung Marwah dengan maksud ingin menghitung bintang di langit.


Oleh: Baron Yudo Negoro |

Seorang buruh di Semarang. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba “Menulis Dongeng Batik Nusantara”, diselenggarakan oleh Museum Batik Indonesia dan Kemdikbud pada Oktober 2021.


Kau mengatakan bahwa tiga hari lalu, kau menuruni Gunung Marwah dengan bantuan tongkat bambu, melintasi tanah licin berlumpur akibat hujan dua hari. Begitu tiba di desa, kau terbengong karena jalan telah rata dan beraspal, jumlah rumah bertambah dan tidak lagi dibangun dengan kayu atau bata merah, melainkan batako. Kau melihat deretan villa dan kafe, lalu memutuskan mampir ke kafe itu sehingga orang-orang tampak bingung dengan dirimu yang tua renta, compang-camping.

“Seperti restoran, tetapi di kaki gunung!” katamu.

Di sudut-sudut kafe, katamu, pasangan muda-mudi saling bercanda dan tertawa, saling menyentuh dan mencubit, dan kau mengucapkan istighfar karena menurutmu itu tak pantas. Seorang pria muda bersiul-siul melewatimu, mengenakan kaos kuning dan celana ketat serupa banci. Seorang gadis, dengan rok sepaha, berlalu dan meninggalkan wangi yang membuat hidungmu gatal.

“Semua telah berubah!” katamu, sambil mengerang pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

***
Kemarin, setelah berpuluh-puluh tahun menghilang, kau muncul dengan cara tak terduga dan mencari orang-orang yang telah lama tiada; kau mencari ibumu dan saudara lelakimu; itu sama artinya kau mencari nenek dan ayahku. Ketika melihatmu, aku diam di tengah kerumunan orang; aku sama bingungnya dengan mereka.

“Ini rumah mereka!” katamu, dengan serak seperti dicekik sesuatu.

“Tapi yang Mbah cari sampun sedo sedoyo!” kata seorang warga.

Rumah itu telah lama terjual. Kau tentu tak tahu itu. Karena tak tahan, aku pun keluar dari kerumunan, “Om Lawang?”

Kau tak mengenalku, aku tak mengenalmu, tetapi almarhum Ayah sering bercerita tentangmu saat aku masih 10 tahun dan kami masih serumah dengan nenek. Aku tidak membencimu, tetapi aku benci cerita itu karena mengganggu waktu nonton TV ku. Mula-mula, Ayah akan muncul dari balik lemari, kemudian duduk di sofa, sementara aku terbaring di tikar menonton Saint Saiya. Fotomu tegak di atas TV, diapit keramik-keramik angsa dan gelas hias. Sambil memandanginya, Ayah mulai bercerita tentang dirimu—cerita itu telah kudengar puluhan kali.

Aku selalu menemukan luka dan rindu dari sorot mata Ayah saat bercerita tentangmu, dan dari batang rokok yang dibiarkan tandas karena tiupan angin. Kata Ayah, kau bukan hanya tegap dan tinggi, tetapi juga memiliki rahang keras dan senyum segar. Gadis-gadis desa suka keluar rumah di pagi hari hanya untuk melihatmu lewat dengan mobil pikap, mengirim sayur ke pasar kota.

Ketika aku masih dalam perut Ibu, kata Ayah, kamarmu tiba-tiba kosong. Kau menghilang begitu saja, entah ditelan bumi, atau disedot oleh langit. Lalu, warga desa tetangga mengabarkan bahwa Kinarsih, calon istrimu, menghilang juga. Orang-orang menduga bahwa kalian kawin lari. Dugaan itu tersebar dari desa ke desa, tetapi Ayah menutup telinga dan mengutuk gosip murahan itu.

“Itu tak masuk akal. Hanya pasangan tanpa restu yang kawin lari!” kata Ayah, dengan mulut gemetaran.

Ayah lalu pamit ke kamar dan tak keluar lagi, membiarkan cerita tentangmu mengambang di kepalaku. Kata Ibu, Ayah di dalam kamar menatap keluar jendela sambil sesekali menyeka pelupuk mata.

Kau kini berjalan dengan batang-batang kaki ringkih yang dibungkus celana rombeng. Flanel-mu terkoyak di beberapa bagian, rambut putihmu berantakan terjuntai kian kemari. Aku di sampingmu, membawamu ke TPU. Dengan muka linglung, kau memandang rumah-rumah di sekeliling ketika kita menyusuri jalanan Waru, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Marwah.

Kabut tipis telah turun, disertai udara yang membuat gigi bergemeretak. Seorang lelaki mengayuh sepeda, mengenakan penutup kepala dan syal, sarung tangan dan jaket tebal.

Begitu tiba di TPU, kau berlutut. Seperti orang buta, kau meraba-raba deretan batu nisan yang terdiri dari nama kakek dan nenekku, kedua orang tuaku, dan beberapa kerabat. Di tengah desir angin, kau menangis terisak sambil meremas-remas tanah merah di samping lututmu. Kau lalu berkata dengan tersendat-sendat, bahwa kali terakhir ke TPU itu yang kau temukan hanyalah batu nisan ayahmu—kakekku.

Dengan sekujur badan tampak lemas, kau duduk di tanah dan menyandarkan punggung pada batang pohon kamboja, tak peduli bahwa itu akan mengotori flanel dan celana rombengmu. Sambil menengadah, kau melontarkan pertanyaan membingungkan. Asap tipis menyembur dari mulutmu. “Ini tahun berapa?”

“Sekarang 2012,” kataku.

Lalu, aku bercerita betapa sedihnya Ayah ketika kau menghilang.

“Om pergi ke mana?” tanyaku. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Kau lalu memulai ceritamu:

Peristiwa itu terjadi ketika umurmu 18 tahun. Kala itu, kau seorang sopir pikap, pengantar sayur-mayur dari kebun ke pasar kota, sementara Kinarsih, calon istrimu, adalah perempuan yang akan menggelar tikar pada pagi hari di halaman pasar desa untuk menjual bumbu dapur. Pernikahan kalian dua hari lagi saat itu, dan calon pengantin, sesuai tradisi yang diyakini kebanyakan orang, dilarang bertemu. Namun, kalian diam-diam bertemu dan mendaki Gunung Marwah dengan maksud ingin menghitung bintang di langit.

Di mulut goa, kalian duduk beralaskan sarung dan menunjuk-nunjuk bintang di langit. Dinginnya udara membuat kalian bergeser dari mulut ke dalam rahang goa, dan kalian melakukan sesuatu yang semestinya jangan.

“Toh kami akan menikah,” katamu.

Ketika tengah malam, lirih tawa membangunkanmu dari tidur. Kau lalu keluar dari goa dan melihat puluhan anak kecil, dengan tampilan aneh, berkerumun sambil cekikikan. Katamu, mereka tak punya tumit kaki, tak punya lekuk di antara bibir dan hidung, dan tak punya kelopak mata, sehingga mata mereka tampak merah karena tak pernah berkedip. Masing-masing dari mereka membawa obor yang berkobar. Dalam sepuhan sinar api, wajah mereka tampak seperti hantu-hantu kuno di sebuah hutan terlarang.

Kau marah ketika bising tawa mereka membangunkan Kinarsih, dan membikin perempuan itu menjerit, menciptakan gema panjang yang menggetarkan atap goa. Sambil membentak, kau merebut satu obor dan berulang-ulang mengibaskannya. “Pergi!”

Setelah mereka bubar, barulah kau menyadari bahwa kalian masih di tempat yang sama, tetapi terdapat sebuah pasar dalam kepungan kabut tipis, diterangi sinar lembut purnama dan api obor-obor yang menggantung di dinding kayu tiap warung. Pasar itu dimeriahkan oleh pertunjukkan gamelan, dengan penari-penari di panggung kayu rendah. Orang-orang berkeliaran di sana, dengan keanehan serupa anak-anak yang kau lihat di mulut goa.

Kau menggandeng Kinarsih, mencengkeram tangannya dengan kuat. Kalian lalu berjalan di semak-semak, melewati pohon-pohon, dan perasaan ngeri merayapi tengkukmu.

Seorang lelaki muncul tiba-tiba dari balik batu besar seukuran tandon, menawarkan seikat buah rambutan. Kinarsih menjerit ketakutan. Lengking jeritannya serupa dentang lonceng yang membangunkan rombongan hantu dari lelap mereka; orang-orang pasar menoleh, lalu berbondong-bondong menghampiri kalian.

Seikat mangga, seikat ubi, dan beragam jajanan pasar di nampan bambu, mereka tawarkan dengan bahasa Krama Alus. Tanpa kelopak mata dan lekukan di atas bibir, mereka seperti makhluk di dalam mimpi buruk setiap orang, katamu.

“Mboten, matur nuwun,” katamu, sementara Kinarsih matanya menyipit, napasnya terengah-engah.

Di muka-muka warung, orang-orang pasar meringis, memperlihatkan gigi hitam keropos yang berliur seperti anjing. Beberapa mereka menduduki sebongkah batu, mengangguk-angguk di depan dagangan yang ditaruh di tanah dan beralaskan daun pisang. Gamelan bergemuruh, ditabuh oleh orang-orang mengenakan blangkon, bekap, dan sarung batik.

Matamu lalu berkunang-kunang, jantungmu berdegup cepat, dan kepalamu pusing tidak karuan seakan mau meletus. Kau lalu mendorong mereka dengan pelan, membawa Kinarsih melangkah perlahan-lahan; kau ingin mereka menyingkir tanpa merasa tersinggung. Betapa kau terkejut ketika tangan Kinarsih lolos darimu.

“Lawang!” teriak Kinarsih yang semakin jauh darimu karena ditarik oleh orang pasar.

Kinarsih digiring ke panggung dan ditinggalkan di tengah para penari bermuka rata. Seorang penari melingkarkan selendang ke lehernya, seolah-olah memintanya untuk ikut menari. Sambil berjongkok, Kinarsih membenamkan muka ke lutut dan menangis dan berteriak, tetapi teriakannya tenggelam dalam riuh tawa orang-orang pasar, bunyi gamelan, dan derap langkah di panggung kayu, dari penari-penari bermuka rata yang mengelilinginya, yang menari dengan lentur seperti dahan pohon kelapa tertiup angin.

“Maafkan aku,” katamu, sambil sesenggukan dan menatap Kinarsih dari kejauhan.

Kau lalu merebut satu obor, mengibaskannya sehingga orang-orang pasar melangkah mundur. Kemudian, kau terbirit-birit menembus kabut pekat, melewati batang-batang pohon sambil terengah-engah. Tanpa sadar, kau telah keluar dari kegelapan, dari kabut tebal, dan menemukan langit begitu terang benderang, disambut angin segar yang sempat kau rindukan.

Kau lalu berlari, terus berlari, dengan batang-batang kaki ringkih dan perut keroncongan. Kau merasa tubuhmu berat, sangat berat, seperti telah melalui ribuan malam tanpa tidur. Kau lalu menuruni tanah landai setelah menemukan aliran sungai. Di sungai itu, kau membasuh muka dan terkaget-kaget seperti tersambar halilintar, ketika melihat pantulan dirimu di permukaan air.

“Tak mungkin,” katamu, dengan mulut gemetaran. Wajah, leher, dan tanganmu telah mengeriput. Tubuhmu loyo dan menua.

Catatan:
1. Sampun sedo sedoyo: sudah meninggal dunia semua.
2. Krama Alus: ragam Bahasa Jawa yang halus, biasa dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.
3. Mboten, matur nuwun: tidak, terima kasih.


Ilustrasi dari Wikiart.org. / Orang-Orang Pasar di Gunung Marwah.

Baca juga:
Ruang Negatif
Terpidana Nomor 19394


Komentar Anda?