Menu
Menu

Sebagai metafora, Sadang Bui menjadi penanda akan kosmopolitanisme yang membentuk habitat orang Flores.


Oleh: Lolik Apung |

Sekretaris Redaksi Bacapetra.co.


Flores Writers Festival memilih tema Sadang Bui pada pagelarannya yang ketiga, di Maumere, 8-10 November 2023. Klub Buku Petra, Ruteng dan Komunitas Kahe, Maumere selaku penyelenggara memaknai tema ini sebagai memori sekaligus metafora. Sebagai memori, Sadang Bui adalah nama yang berasal dari bahasa Krowe yang berarti bersandar dan menanti, dipakai sebagai nama sebuah pelabuhan di pesisir utara kota Maumere hingga berganti nama menjadi Pelabuhan Lorens Say pada 2010. Sebagai metafora, tema ini dipakai untuk memasuki beberapa isu krusial lokal Flores seperti perantauan, perdagangan manusia, dan invasi serta investasi kapitalisme yang menginjak budaya bahari masyarakat Flores.

Highlight Festival

Seperti dua edisi sebelumnya, Flores Writers Festival tahun ini dibuka dengan Seminar Budaya yang mengangkat tema Jejak Keterhubungan serta Interaksi Translokalitas di Flores, Indonesia, dan Dunia. Tema ini dibahas dari berbagai perspektif oleh Dr. Otto Gusti Madung-Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Valentino Luis-Kurator FWF, Anitha Silvia-Peneliti Independen dan Aktivis di C20 Library, dan Fernando Ximenes dari Komite Esperansa Timor Leste.

Setelah seminar budaya, para peserta langsung mengikuti dua sesi bincang tematik yang dibuat secara paralel. Bincang tematik 1 berbicara tentang Artificial Intelligence dalam Proses Kreatif, yang menghadirkan Rachmat Hidayat Mustamin, Erlyn Lasar, Tia Ragat, dan Afrizal Malna. Bincang tematik 2 tentang Menulis yang Lain: Fiksi di Antara Kebebasan Kreatif dan Apropriasi Budaya menghadirkan Dian Purnomo, Mahfud Ikhwan, dan Armin Bell.

Dua bincang tematik paralel ini diikuti dengan 2 FGD pada pukul 17.00 Wita, yaitu Buku dan Spectrum Penciptaan Karya Kreatif, yang menghadirkan Eka Putra Nggalu, Kaka Dea, Erich Langobelen, dan Rachmat Hidayat Mustamin. Sedangkan sesi yang lain yaitu Berlabuh di Sadang Bui mendudukkan bersama para penulis sayembara Saya dan Buku di Flores Writers Festival, yaitu Yohan Mataubana, Hening Bayati, dan Pius Kraeng. Setelah sesi-sesi padat di siang hari, para peserta memasuki halaman Kapela Agung St. Paulus Ledalero yang terjadi pada malam hari untuk menyambut pembukaan Flores Writers Festival 3 dengan puisi, tari, dan musik. Tampil Band Knife & The Sunflower, Rocket Queen, Rockatenda, Moodbreaker dan Ama Gaspar, Tia Ragat, Mariati Atkah, Rio Nuwa, Rinto Djaga, Erich Langobelen, dan Ramhadiyah Tria Gayathri yang tampil membacakan puisi. Acara ini dipandu oleh Qikan Nong Goa.

Pada hari kedua, semua kegiatan berfokus di Universitas Nusa Nipa Maumere. Empat bincang tematik paralel terjadi di dalam ruangan-ruangan kelas milik kampus. Pada sesi sore dan malam, kegiatan dilangsungkan di halaman kampus.

Bincang tematik 3 berjudul Rantau: Ulid Mengisi Peluru Tanah, yang menghadirkan Mahfud Ikhwan, Julia F. Gerhani Arungan, dan Jemmy Piran. Pada saat bersamaan di ruangan lain berlangsung bincang tematik 4 berjudul Zona Kontak: Perjalanan, Tempat, dan Sejarah Alternatif yang menghadirkan Fatris MF, Mariati Atkah, Carlin Karmadina, dan Fernando Ximenes. Dua bincang tematik ini berlangsung dari pukul 10.00-12.00 Wita.

Pada pukul 14.00-16.00, sesi bincang tematik 5 dan 6 berlangsung. Bincang tematik 5 berbicara tentang Pengarsipan; Melabuhkan Jejak Kisah Masa Lalu, yang menghadirkan Arif Furqan, Fatris MF, Kartika Solapung, dan Nyong Franco. Sedangkan Tematik 6 membicarakan Proses Kreatif: Akurat/Sengkarut Riset Penulisan Karya Fiksi, yang menghadirkan Dian Purnomo, Jemmy Piran, Mahfud Ikhwan, dan Afizal Malna. Dua sesi ini dilanjutkan dengan bincang tematik 7 yaitu Berlabuh ke Timur via Tutur Puan yang menghadirkan Ama Gaspar, Tia Ragat, Mariati Atkah, dan Julia F. Gerhani Arungan. Sesi ini berlangsung dari pukul 16.30-18.00 Wita. Pada malam hari, para peserta festival menonton dan berdiskusi tentang dua film dokumenter dalam Maumere Cinema: Dari Sopi Hingga Wisisi, Nikmat Apa Lagi yang Kau Dustakan. Film yang pertama adalah Sailum yang dikreasi oleh Felix K. Nesi dan Moses Parlindungan Ompusunggu. Film yang kedua adalah Wisisi Nit Meke yang dikreasi oleh Arief Budiman, Harun Rambarar, dan Bony Lany. Kedua film ini diproduksi oleh Project Multatuli. Pembicara pada sesi ini adalah H. Y. Ferdi dan Rahmadiyah Tria Gayathri. Sesi ini dipandu oleh Rini Kartini.

Pada hari ketiga atau hari terakhir festival, para peserta dibagi ke dalam beberapa sesi. Sesi pertama mendudukkan bersama para pegiat komunitas dan para penggerak festival di wilayah Indonesia bagian timur. Sesi ini diberi judul Suar Suara Sejawat: Festival Sastra/Seni sebagai Platform Pertukaran Pengetahuan Berwawasan Kawasan, menghadirkan Ama Gaspar dan Fatwa Pratiwi Djalal dari Festival Sastra Banggai, Maria Pankratia dan Retha Janu dari Flores Writers Festival, Rachmat Hidayat Mustamin dari Makassar International Writers Festival, Tia Ragat dan AN Wibisana dari Festival Sastra Santarang, Aden Firman dari Videoge, Marianus Nuwa dan Eka Putra Nggalu dari Komunitas Kahe, Afryanto Keyn dari Rumpi Nuhalolon, Mario Gesiradja dari Forum Giat Literasi Ende, Fernando Ximenes dari Komite Esperansa Timor Leste, dan Rahmadiyah Tria Gayathri dari Forum Sudut Pandang Palu.

Sedangkan sesi lain pada jam yang sama diberi judul Penyuntingan dan Penerjemahan di Penerbit Ledalero. Sesi ini menghadirkan Yoseph Maria Florisan dan Afrizal Malna. Dua sesi ini dilanjutkan dengan tour ke Kampung Sikka, Lepo Lorun, Pelabuhan Sadang Bui, dan Kampung Wuring. Lalu ditutup dengan gegap gempita dari sejumlah band milik kota Maumere: Who’s that Girl, Cru Father Said, Postman, dan Leisplang, dan pembacaan puisi oleh sejumlah penulis: Rachmat Hidayat Mustamin, Afrizal Malna, Rizal Huku Lejab, Ama Gaspar, dan Julia Arungan. Penampilan band dan sejumlah sastrawan di sesi ini menutup pagelaran Flores Writers Festival 3 dengan meriah dan keinginan untuk menyelenggarakan festival ini sekali lagi di tahun 2024 dan di tahun-tahun yang akan datang.

Memori dan Metafora

Seperti yang sudah tertulis pada paragraf pembuka, Flores Writers Festival (FWF) memaknai Sadang Bui sebagai memori sekaligus metafora.

Sebagai memori, tema ini meneruskan kecendrungan tematik FWF yang terinspirasi dari ruang-ruang privat masyarakat. Dua tema festival sebelumnya adalah tanah (Ruteng, 2021) dan halaman (Ende, 2022). Sadang Bui menegaskan lagi tema privat ini, bahwa sebagai sebuah memori, Sadang Bui adalah ingatan kolektif warga tentang pelabuhan besar di kota Maumere, yang pada masa lampau dipakai tidak saja sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal dagang, tetapi juga sebagai tempat berjumpanya beragam manusia, ide, budaya, sistem nilai, dan rasa-merasa. Freddy Numberi datang pada tahun 2010 ke Maumere, dan mengganti nama pelabuhan itu menjadi Lorens Say. Logika tentang pelabuhan ini ikut berubah menjadi semata-mata komersial. Sadang Bui kini tertinggal sebagai memori bagi sejumlah generasi tua dan tidak membekas pada generasi milenial yang mengenalnya sebagai Lorens Say.

Pun demikian beberapa musisi asal Maumere mencoba mengabadikan ingatan ini melalui lirik lagu, seperti yang dilakukan oleh Black Finit, seorang musisi reggae. Ia menulis lagu dengan judul yang sama di tahun 2018. Lagu ini lantas menjadi soundtrack utama selama festival berlangsung dan diputar hampir di setiap sesi festival.

Dengan cara yang mungkin sama seperti yang pernah dipikirkan Finit saat menulis lagu itulah FWF bekerja tentang ingatan akan Sadang Bui yang mulai terkikis di ingatan warga setempat. Bahwa laju pembangunan datang dengan mulai merampas ruang-ruang fisik milik warga seperti tanah dan halaman. Pada waktunya ia akan menginvasi ruang-ruang privat warga. Jika ingatan, mengutip Goenawan Mohamad, adalah tradisi maka lenyapnya sebuah ingatan kolektif berarti juga lenyapnya sebuah tradisi. FWF 2023 bekerja agar harta terakhir yang dimiliki manusia tersebut tidak ikut terampas oleh logika perubahan yang terselip di balik setiap rezim pembangunan.

Sedangkan sebagai metafora, Sadang Bui menjadi penanda akan kosmopolitanisme yang membentuk habitat orang Flores. Pergaulan intern masyarakat Flores dan pertemuannya dengan peradaban-peradaban dari luar yang dibawa oleh bangsa-bangsa Eropa dan Asia adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian, watak dasar manusia Flores adalah keterbukaan. Kesadaran ini setidaknya bisa dipakai untuk mendengungkan dan merayakan keberagaman melampaui sekat-sekat identitas yang akhir-akhir ini menguat dan menjadi sangat sensitif.

Metafora kedua adalah tentang kenyataan keterhubungan antar lokalitas tiap-tiap daerah di Flores. Sadang Bui hendak menegaskan lagi kenyataan terberi itu. Terdapat kesamaan ras, karakter, fisik, ide, kultur, sejarah, bahasa dan agama di dalam masyarakat Flores yang membuat solidaritas mudah terbentuk. Tidak untuk dikomodifikasi. Isu perdagangan manusia seperti yang disampaikan Pastor Otto Gusti Madung dalam makalahnya, marak karena rekrutmen yang dilakukan melalui identifikasi persamaan ini. Misalnya melalui budaya. Orang dengan mudah terbujuk setelah calo tenaga kerja datang memberi sirih pinang yang melambangkan hubungan atau maksud baik dari perekrut.

Sadang Bui membicarakan hal ini pada metafora yang ketiga. Jika tema FWF 3 ini dikaitkan dengan tema FWF 1 dan 2 maka bisa dikatakan jika praktik jual beli tanah dan praktik pembangunan yang merampas halaman bermain masyarakat, mendorong masyarakat Flores merantau. Merantau beserta padanannya yang lain seperti mengembara, melarat, migrasi adalah kecendrungan purba yang sudah ada sejak 150.000 tahun lalu di Afrika.

Di Flores kolonialisasi bangsa Eropa, perubahan sistem ekonomi dan politik sejak kemerdekaan, dan Flores sebagai tempat bertemunya suku bangsa Austronesia dan Melanesia menjadi beberapa faktor eksternal yang menginisiasi perantauan. Sementara tergiur dengan tawaran dari luar dan ketidakmampuan mengolah tanah Flores yang subur menjadi faktor intern, apa yang dibawa pulang oleh para perantau? Banyak cerita dan berita baik tetapi tidak sedikit yang membawa pulang cerita dan berita duka. Nasib buruk dan impian bagai dua sisi mata uang.

Percakapan tentang ‘yang liyan’

Flores Writers Festival 3 menjadi laboratorium yang baik bagi sejumlah penulis, khususnya para penulis dari Flores dan Indonesia Timur umumnya. Hadirnya penulis-penulis besar seperti Afrizal Malna, Mahfud Ikhwan, dan Dian Purnomo menjadi daya tarik festival. FWF tidak asal mengundang para penulis. Mereka dihadirkan karena posisi penting mereka dalam tema yang akan dibicarakan. Tiga penulis yang sudah disebutkan itu memiliki sejarah ‘menulis yang liyan’ dalam karya-karya mereka. Percakapan-percakapan selama festival pun berpusar pada ‘menulis yang liyan’: bagaimana sastra menulis orang lain tanpa mengambil jarak sekaligus tidak menjadi sok tahu; tanpa dicurigai manipulatif.

Di FWF, sastra diyakini sebagai pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu keluar-masuk untuk mengenal beragam peristiwa dan cerita dari berbagai latar belakang bidang. Pembaca memakai sastra sebagai medium untuk mengalami identitas yang lain. Meski demikian, di beberapa sesi, para penulis mengakui tantangan yang besar dalam proses kreatifnya ketika menulis di luar atribut gender, budaya, kultur, ras, kelas, pola, teknik, kreativitas dan atribut-atribut lain yang melekat padanya. Tetapi jika penulis hanya menulis di lingkaran atributnya, siapakah yang akan menulis identitas orang lain. Jika pun ia menulis identitas orang lain, sejauh mana kecakapan teknis dan posisi yang diambilnya membuat karya yang ditulisnya mampu diterima pembaca, khususnya pembaca yang menjadi sumber inspirasi karya tersebut?

Dian Purnomo misalnya ketika menulis tentang Sumba dan Sangihe mendasari ceritanya pada empati: membayangkan menjadi korban kawin tangkap, atau orang yang rumahnya akan dirubuhkan, tanahnya akan dilubangi, dan ruang hidupnya dibinasakan. Mendudukkan diri di kursi mereka menurut Dian adalah fondasi pertama dari cerita-ceritanya.

Strategi yang sering dibuat selama ini adalah mengirim penulis melakukan residensi di suatu wilayah yang menjadi lokus tulisannya. Pada momen residensi ini penulis melakukan riset dengan menjadi orang dalam dan merasakan identitas daerah setempat sebelum mulai menuangkannya dalam tulisan. Sejauh ini, pendekatan ini cukup berhasil, meskipun beberapa novel kerap terjebak pada ketidakseimbangan antara cerita dan hasil riset. Riset yang berlebihan membuat cerita menjadi berat dan ilmiah, sedangkan tanpa riset cerita sering dianggap omong kosong belaka. Dan ditemukan, seimbangnya dua hal ini beriringan dengan jam terbang yang dimiliki penulis. Semakin banyak karya yang dihasilkan penulis, semakin mudah pula ia menempatkan diri dan mengatur strategi ketika menulis tentang ‘yang liyan’.

Bagi para peserta festival, khususnya yang berasal dari Flores, menulis ‘yang liyan’ mungkin akan menjadi pekerjaan yang kesekian. Tugas yang mungkin harus dilakukan terlebih dahulu adalah menulis cerita tentang Flores beserta beragam atribut yang melekat pada kata Flores itu. Sastra yang menulis tentang Flores mungkin akan menjadi alternatif sejarah, budaya, atau pun politik ketika ruang-ruang privat masyarakat seperti tanah, halaman, atau memori terdesak oleh himpitan pembangunan.[*]


Baca juga:
Memaknai Ulang Kerja Kolaborasi
Luwuk: Mencari Penanda pada Jejak Ketiga Festival Sastra Banggai


Komentar Anda?