Menu
Menu

Orang Manggarai memiliki tradisi lisan yang sangat kuat. Hal tersebut disampaikan pemateri pada kegiatan Revitalisasi Bahasa Manggarai.


Oleh: Erik Jumpar |

Tinggal di Manggarai Timur. Turut mengurus Tabeite.com bersama anak muda Manggarai Timur yang memiliki semangat yang sama.


Saat tiba di penginapan milik Kevikepan Borong peserta Pelatihan Guru Utama Bahasa Manggarai disambut senyum sumringah staf Kantor Bahasa NTT. Ada 50 orang guru SD dan SMP di Kabupaten Manggarai Timur dilibatkan dalam kerja kebudayaan: Revitalisasi Bahasa Manggarai. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT ini diadakan sejak 23 Mei sampai 27 Mei 2023 kali lalu.

Kerja kebudayaan ini digarap oleh tiga maestro yakni Felix Edon, Kanisius Teobald Deki, dan Armin Bell. Felix Edon dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Manggarai, lagu-lagunya menemani perjalanan orang Manggarai. Armin Bell dikenal sebagai penulis, karya fiksinya tersebar di berbagai media lokal dan nasional. Sementara Kanisius Teobald Deki, biasa disapa Nick Deki, dikenal sebagai budayawan melakukan riset-riset budaya Manggarai, bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Orang Manggarai jadi salah satu rujukan bagi orang yang ingin belajar budaya Manggarai.

Perjumpaan pada hari pertama dimulai dengan acara pembukaan. Sore harinya dibuka dengan resmi oleh Bupati Manggarai Timur Andreas Agas. Dalam sambutannya, ia mengajak seluruh peserta untuk antusias dalam kegiatan tersebut.

“Kita semua punya tanggung jawab untuk melestarikan bahasa Manggarai. Pemerintah terus mendorong untuk mengajarkan bahasa daerah di jenjang SD dan SMP dalam mata pelajaran Muatan Lokal,” jelasnya.

Saat berkunjung ke berbagai sekolah di Kabupaten Manggarai Timur, ia mengaku amat bangga ketika peserta didik bertugas sebagai pembawa kepok, penyambutan secara lisan untuk tamu penting dalam bahasa Manggarai.

“Rasanya senang sekali ketika melihat anak-anak membawakan kepok dengan baik. Mereka memang menghafal isi kepok, tetapi ada kebanggaan saat mereka mau belajar budaya Manggarai,” tutupnya.

Perjumpaan dilanjutkan dengan pengenalan materi pengantar: Revitalisasi Bahasa Ibu di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ancaman kepunahan bahasa ibu, menurut Kantor Bahasa NTT, kian nyata di tengah keseharian masyarakat Nusa Tenggara Timur. Di dalam hidup orang Manggarai misalnya, sudah semakin banyak kata-kata lokal yang asing di telinga; ancaman kepunahan diksi lokal ini perlu dipercakapan dengan serius oleh pemangku kebijakan.

Ferdinandus Pangkul, Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Pelindungan dan Pemodernan Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa NTT, saat memaparkan materinya menyampaikan bahwa selama ini mereka telah melakukan kerja revitalisasi berbagai bahasa ibu di Nusa Tenggara Timur. Di NTT ada 72 bahasa ibu, sebagian besar usaha revitalisasi bahasa ibu telah mereka lakukan.

“Kami percaya bila kerja-kerja kebudayaan ini akan memperpanjang keberadaan bahasa ibu. Tugas kita semua untuk melestarikan bahasa ibu agar terus dipakai dalam keseharian orang Manggarai,” ajaknya.

Ia juga mengajak peserta agar dalam pengabdiannya sebagai guru di kelas turut mendorong anak didiknya untuk lebih intens memakai bahasa ibu dalam percakapan di luar kelas. Guru, menurutnya, memiliki peran yang signifikan dalam mengampanyekan pentingnya penggunaan bahasa daerah, tanpa menyampingkan bahasa persatuan dan bahasa pergaulan internasional.

“Pakai bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, dan lestarikan bahasa ibu,” tutupnya.

Malam pertama isi kepala dari peserta disusupi dengan agenda penting untuk merawat budaya yang cukup tua dalam peradaban manusia; merawat bahasa ibu.

Selanjutnya catatan ini dibagi dalam tiga babak waktu, sesuai dengan konten dan karakteristik kegiatan yang berbeda-beda setiap harinya.

Rabu, 24 Mei 2023

Pada hari kedua, perjumpaan dibuka dengan materi: Kebudayaan dan Tradisi Lisan Orang Manggarai. Materi ini dibawakan oleh Nick Deki. Di dalam presentasinya, Nick Deki kerap mengarahkan peserta menuju inti materi dengan berpijak dari etimologi. Dengan gaya khas sebagai akademisi, ia menyampaikan bila perjumpaan dengan guru harus berangkat dari pemahaman akan akar kata.

“Setiap saya memaparkan materi di depan guru, saya harus lebih dulu menjelaskan kata kunci yang jadi topik utama dari pembicaraan tersebut,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa orang Manggarai memiliki tradisi lisan yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari perjumpaan orang Manggarai yang sampai lupa waktu hanya untuk bercerita dengan cara bertutur.

“Orang Manggarai kemudian dikenal sebagai tukang omong, leluhur kita mewariskan tradisi lisan yang kuat. Kita memiliki budaya tutur yang cukup kuat, hampir semua orang Manggarai suka berkumpul dan bercerita panjang lebar,” lanjutnya.

Tradisi lisan yang kuat ini berdampak pada berbagai jenis sastra lisan dari orang Manggarai dengan segala macam karakteristiknya. Sastra lisan ini pada akhirnya berkembang di setiap ritual adat yang dilaksanakan oleh orang Manggarai dan terekam secara turun-temurun.

Sastra lisan orang Manggarai menurutnya terdiri dari berbagai bentuk. Pertama, prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat (tombo nunduk, tombo turuk). Kedua, puisi lirik yang diekspresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil (go’ét), syair-syair doa (torok) dan syair-syair lagu rakyat (déré, nénggo). Ketiga, tombo nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku (klan yang disebut wa’u) yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Keempat, tombo turuk sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dan lain-lain. Kelima, go’ét-go’ét adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengritik, dan menghibur.

Studi tentang bahasa Manggarai, dalam presentasinya, diperkirakan baru dimulai akhir abad 19 dan lebih intens pada abad 20. Studi bahasa Manggarai yang amat berpengaruh dilakukan oleh J. A. J. Verheijen. Ia adalah misionaris Katolik asal Belanda yang memiliki latar belakang pendidikan antropologi.

“Kehadiran Verheijen memberi dampak yang luar biasa dalam menulis tentang budaya orang Manggarai,” lanjutnya.

Hasil dari kerja kebudayaan Verheijen yang masih dipakai sampai hari ini yakni Kamus Manggarai I yang diterbitkan tahun 1967 dan Kamus Manggarai II yang diterbitkan tahun 1970. Kedua kamus ini belakangan lebih dikenal sebagai kamus Verheijen, merujuk namanya sebagai penulis kamus.

Pemaparan materi selanjutnya dibawakan oleh Armin Bell. Direktur Flores Writers Festival 2023 ini membawakan materi: Mengenal Karya Sastra. Ia membuka percakapannya tentang pentingnya membaca karya sastra. Guru, menurutnya, sebaiknya menyukai bacaan fiksi agar hasil pembacaannya dapat diceritakan di depan peserta didik.

“Karya sastra akan membantu teman-teman Guru untuk memperkaya proses pembelajaran di kelas. Berbagai cerita fiksi mampu membangkitkan imajinasi peserta didik,” jelasnya.

Karya sastra menurutnya sebagai sarana atau petunjuk yang mengarahkan penulis atau pembaca dan memiliki seni estetik. Karya sastra dapat dijadikan sebagai gambaran proses kehidupan yang terjadi pada masa itu, yang dapat dipelajari oleh orang-orang di masa yang akan datang.

“Kalau Pramoedya tidak menulis tetralogi Pulau Buru, mungkin hari ini kita tidak dapat mengenal bacaan lain tentang bangsa ini di masa lampau,” lanjutnya.

Di sela pemaparan materinya, ia meminta peserta agar membagi pengalaman membaca buku fiksi dan non-fiksi. Ada 4 orang peserta yang diberi kesempatan. Mereka menceritakan gambaran umum dari buku yang terakhir kali dibaca.

Sulviadriana Amaria, Guru SMPN Satap Helung, membagi pengalaman membaca buku berjudul Chicken Soup for the Couple’s Soul. Buku terjemahan yang dikerjakan oleh Penerbit Gramedia ini memuat 71 kisah inspirasi tentang cinta dan kebersamaan. Di dalam buku tersebut salah satu artikel yang menarik menurutnya adalah saat penulisnya menceritakan tentang seorang anak dari keluarga yang berantakan. Suatu hari ayah dan anaknya plesir ke kebun binatang. Di sana mereka melihat berbagai jenis binatang. Ayahnya meminta anaknya untuk memotret salah satu jenis binatang yang disukainya. Bukan binatang yang dijepret oleh anaknya, ia malah memotret pasangan suami istri yang tengah masuk usia senja. Di foto itu kedua pasangan renta itu tengah berpelukan sembari menatap kamera. Ayahnya baru sadar bila hari itu usia pernikahan mereka menginjak angka 51 dan mereka masih saling mencintai.

“Perpisahan bukan berarti tidak saling mencintai. Cerita ini menyadarkan kita semua bila perpisahan bukanlah pilihan yang patut dijadikan bahan fitnah, apalagi bahan untuk gosip. Karena tidak mudah juga bagi orang-orang yang mengalami perpisahan menjalankan hari-harinya,” jelasnya.

Armin Bell kemudian mengarahkan peserta untuk melanjutkan kegiatan dengan menulis dongeng. Ia memancing peserta untuk kembali mengingat cerita masa kecil. Dongeng menurutnya telah ada dalam kepala peserta pelatihan, tinggal ingatannya berputar ke belakang untuk mengingat dan mulai menulisnya kembali.

“Kita memikirkan gambaran baru dari cerita yang sudah ada, apa yang belum diceritakan sebelumnya. Kita juga harus mendekatkan cerita lama, memikirkan perkembangan informasi sasaran,” jelasnya.

Perdebatan saat pembagian kelompok sempat terjadi. Ada yang memberikan usulan agar setiap peserta berbaur dengan peserta dari kecamatan lain. Tetapi ada pertimbangan lain bila cerita dongeng berbasis konteks; orang dari Kecamatan Rana Mese tidak mungkin dapat menulis dengan gamblang dongeng dari Kecamatan Elar Selatan.

“Cerita itu biasanya punya rasa. Teksnya diolah dari konteks,” komentar Guru Yanto Gantung.

Peserta kemudian dibagi ke dalam 6 kelompok sesuai dengan kecamatannya. Proses untuk menulis dongeng dipercakapan lebih jauh di dalam kelompok. Pemateri hanya mengarahkan kelompok untuk memikirkan konsep tentang plot progresif, dengan strukturnya: eksposisi, konflik, rising action, komplikasi, klimaks, dan resolusi.

“Tidak perlu memaksakan klimaksnya happy ending, kerjakan tanpa memikirkan posisi kita sebagai tokoh dalam cerita,” jelas Armin Bell.

Kegiatan untuk menulis dongeng diadakan sampai malam hari. Ada 6 cerita dongeng yang dihasilkan. Di antaranya ada dongeng dengan judul Tombo Cedi Lé Golo Cedi dari kelompok Rana Mese, Kazu Ndingar dari kelompok Kota Komba, Tura Longka Manina dari kelompok Lamba Leda Raya, Mbo Eté dari kelompok Elar Selatan dan Kota Komba Utara, Endé Ema Guru dari kelompok Borong 1 dan Darap Tana Kolang Leso dari kelompok Borong 2.

Teks dongeng yang telah ditulis dikirim di grup WhatsApp untuk dikurasi struktur penulisannya oleh Armin Bell. Dongeng yang telah ditulis kemudian akan diolah ke dalam drama. Selebihnya kelompok mulai memikirkan model pementasan drama yang akan ditampilkan pada festival di malam terakhir.

Kamis, 25 Mei 2023

Perjumpaan pada hari ketiga dibuka dengan menyanyikan lagu “Déré Sunding” karya Felix Edon. Hari itu Felix Edon menjadi pemateri. Ia memaparkan materi: Go’ét dan Dere Manggarai.

Saat memaparkan materi tentang go’ét, ia menceritakan bila setiap kata di dalam go’ét harus ditata dengan selaras. Bunyi kata yang ditulis harus seimbang dengan mempertimbangkan kesesuaian antarkata.

“Keindahan go’ét itu ada dalam kesesuaian bunyi, tidak serampangan menempatkan kata,” jelasnya.

Ungkapan-ungkapan dalam go’ét mengandung pesan. Ada permainan diksi untuk memberikan nasihat bagi manusia Manggarai. Nilai-nilainya memberi pelajaran tentang saling menghargai sesama dan alam semesta.

“Kalau kita mendengar lagu Manggarai sarat dengan go’ét-go’ét, itu untuk mengakrabkan go’ét ke telinga orang Manggarai dan memberikan pesan akan kehidupan,” lanjutnya.

Lagu-lagu Manggarai menurutnya harus kaya dengan go’ét. Lagu Manggarai tidak sekadar diciptakan, ia harus dipoles dengan keindahan diksi yang sarat makna. Di dalam lagu Manggarai harus termaktub pesan-pesan akan kebaikan bersama.

Dari materi ini peserta kemudian diarahkan untuk menghasilkan karya berupa go’ét. Ia mengingatkan peserta untuk mencoba memainkan diksi dalam menyusun go’ét dengan tetap mempertimbangkan kesesuaian bunyi.

“Hari ini kita tidak ada salahnya untuk memulai, lebih baik melangkah daripada tidak melangkah sama sekali,” jelasnya.

Setiap peserta saat menyusun go’ét diarahkan untuk berkreasi secara mandiri. Go’ét yang telah disusun harus dengan narasinya, lalu digubah dalam bentuk lagu dengan nadanya dirancang pentatonik.

“Lagu Manggarai memiliki kekhasan nada yang pentatonik. Usahakan untuk membuat nada dengan gaya tersebut,” ingatnya.

Di bagian akhir dari proses penyusunan lagu, masing-masing kelompok harus menyepakati satu lagu untuk direkam. Felix Edon menginformasikan pada peserta kegiatan Revitalisasi Bahasa Manggarai bahwa sore harinya setiap kelompok akan masuk studio untuk proses perekaman lagu.

Menariknya sepanjang presentasi Felix Edon menggunakan bahasa Manggarai. Sampai siang hari peserta menyusun go’ét yang diolah ke lagu daerah. Selanjutnya peserta mengikuti pemaparan dari Nick Deki: Torok dan Ritus Adat Orang Manggarai.

Ritus adat dalam dimensi kehidupan orang Manggarai menurutnya terbagi dalam tiga babak kehidupan: pertama berkaitan dengan proses awal kehidupan manusia (kehamilan, masa nifas, dan menopause), kedua berkaitan dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial (mata pencaharian, perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial), dan ketiga berkaitan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat yaitu kematian.

“Ketiga ritus ini saling berhubungan, mengambarkan relasi manusia dengan sesama, alam semesta, dan Tuhan sebagai Maha Pencipta,” jelasnya.

Setiap ritus adat orang Manggarai di dalamnya ada torok, ungkapan doa orang Manggarai yang ditujukan kepada Tuhan dan pencipta, roh leluhur, roh dari kampung, dan semua yang telah meninggal dunia. Torok diungkapkan dalam dua bentuk. Pertama, tudak yakni penyampaian doa untuk upacara sederhana yang hewan kurbannya berkaki dua (ayam) dan bahan lainnya berupa telur ayam. Kedua, réngé yaitu penyampaian doa untuk hewan yang berkaki empat. Misalnya saat mendoakan hewan kurban pada saat pesta kenduri.

Torok dipimpin orang terpilih yang biasanya memiliki kemampuan dengan ungkapan-ungkapan (go’ét) penuh makna dalam barisan puitik, dengan paralelisme keseimbangan,” lanjutnya.

Buah dari materi ini kemudian kelompok diminta untuk membuat torok. Torok sebagai salah satu mata acara yang dipentaskan dalam festival mini di keesokan malamnya. Hasil penyusunan torok dikirim di grup WhatsApp. Sampai sore hari peserta menyusun torok, sebagian kelompok tengah mengolah cerita dongengnya untuk digubah dalam bentuk drama berbahasa Manggarai.

Tepat sebelum mentari kembali ke peraduan, Felix Edon menginformasikan di grup WhatsApp agar masing-masing kelompok bersiap untuk masuk dapur rekaman. Kamar miliknya disulap jadi studio dadakan. Di kamar tersebut proses perekaman dibimbing dengan tekun oleh musisi legendaris Manggarai ini, bermula dengan kelompok Elar Selatan dan Kota Komba Utara yang masuk studio rekaman, kemudian ditutup oleh kelompok Rana Mese, tepat sebelum hari berganti.

“Mungkin ini pertama dan terakhir kalinya kita masuk studio rekaman,” tutur Guru Ano Aquino, sesaat setelah kelompok Rana Mese melakukan perekaman.

Jumat, 26 Mei 2023

Armin Bell dalam perjumpaan pada hari keempat membuka kegiatan dengan mengkurasi dongeng dari kelompok. Ia melihat sebagian besar kelompok telah memahami struktur plot progresif, sebuah pencapaian kepenulisan yang luar biasa.

“Gaya kepenulisan setiap kelompok sudah final, hanya kelompok Rana Mese yang perlu dipoles lagi,” jelasnya.

Ia kemudian mengarahkan kelompok Rana Mese untuk melihat keterkaitan setiap struktur cerita. Catatan kritisnya untuk dongeng Tombo Cedi Lé Golo Cedi amat membantu kelompok dalam menggarap teks dongeng dengan baik.

Sesaat setelah mengkurasi dongeng, ia mengarahkan kelompok untuk menyiapkan diri. Masing-masing kelompok melanjutkan aktivitasnya dengan melatih drama. Sebagiannya tengah menyiap torok, ada juga kelompok yang tengah menyiapkan properti untuk pementasan.

Sore hari pementasan dimulai saat jarum jam bertengger di pukul 16.00 WITA. Festival mini ini dibuka dengan pengundian nomor urut pementasan, kemudian dibuka oleh Armin Bell sebagai pembawa acara. Sementara Felix Edon sebagai pengatur musik dan Nick Deki mendokumentasi.

Perjumpaan ini ditutup dengan festival puncak yang mengagumkan. Masing-masing kelompok menampilkan torok, drama, dan menyanyikan lagu daerah. Pementasan festivalnya dimulai dengan torok. Sepanjang torok dari setiap kelompok menampilkan aksi yang mengagumkan dengan karakter bahasa dan logat yang berbeda-beda.

Setelah torok, festival berlanjut dengan pementasan drama. Sepanjang drama berjalan proses pementasannya menggunakan bahasa Manggarai, bahasa Rajong, bahasa Mbaen dan bahasa Rongga. Bahasa yang terdengar saat pementasan menggambarkan kekayaan bahasa ibu di Kabupaten Manggarai Timur.

“Logat dan bahasa yang berbeda-beda ini salah satu ciri khas Manggarai Timur yang kaya,” tutur Guru Eky Adsen.

Festival mini ditutup dengan pementasan lagu-lagu dari kelompok yang semalam sudah direkam. Struktur musik dari lagu-lagu yang dipentaskan juga menggambarkan kekayaan musik daerah di Manggarai Timur. Ada perbedaan gaya musik dari masing-masing kelompok, semacam kekhasan yang barangkali dipengaruhi oleh musik yang berkembang di setiap kecamatan.

Acara berlanjut dengan rekreasi bersama. Keesokan harinya panitia, maestro, dan peserta kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Perjumpaan tersebut ditutup dengan acara penutupan yang banyak meninggalkan kesan positif untuk keabadian bahasa ibu.

Peserta pelatihan yang telah menjadi Guru Utama Bahasa Manggarai diharapkan dapat melakukan pengimbasan di tempatnya masing-masing, apalagi ancaman kepunahan bahasa ibu kian nyata di depan mata. Misalnya kita lebih bangga mengajarkan bahasa Indonesia kepada buah hati, walau kita sadar bila kita punya bahasa ibu.[*]


Baca juga:
Kupang sebagai “Yang Lain”: …
MIWF 2022: Festival Rendah Karbon dan Hal-Hal Lainnya


2 thoughts on “Revitalisasi Bahasa Manggarai untuk Keabadian Bahasa Ibu”

  1. Antonius Gatung berkata:

    Tugas yang barang kali tidak berhenti pada tangga jaman sekarang. Adalah sebuah tantangan sekaligus tanggung jawab setiap generasi untuk terus merawat dan melestarikan bahas ibu. Kepunahan akan terjadi hanya jika pengguna bahasa mulai bisu terhadap bahasa ibu. Salam hangat untuk para maestro dan mari imbaskan untuk kita guru utama yang telah lahir di Matim tercinta ini.

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Semoga terus bisa dilakukan.

Komentar Anda?