Menu
Menu

Dalam tegangan antara Kupang sebagai kota dan Kupang sebagai kampung, lahirlah ruang antara, ruang yang mungkin, guna melihat Kupang dengan kacamata yang beragam.


Oleh: Dunstan Obe |

Lahir di Dili, 19 Mei 1998. Menulis puisi, esai, dan kritik sastra. Karya-karyanya telah disiarkan di sejumlah media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang. Ia terpilih sebagai salah satu pemenang Sayembara Membaca Flores Writers Festival (2021). Alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira ini dapat dihubungi via akun Instagram (dunstan_obe).


Dalam buku antologi cerpen sastrawan NTT, Cerita dari Selat Gonsalu (2015), terdapat dua cerpen yang menjadikan Kupang sebagai latar tempat cerita, yaitu cerpen “Kupang Waktu Hujan” karya Djho Izmail dan cerpen “Gua Bakunase” karya Nur Maimunah. Kedua cerpen tersebut menarik untuk dibandingkan karena, meskipun memiliki pokok cerita dan karakteristik latar tempat yang berbeda, keduanya merupakan contoh yang cocok untuk melihat keterkaitan antara posisi para tokoh dan pola representasi atas latar tempat dalam cerita.

Cerpen Djho mengisahkan tokoh aku, seorang pendatang dari kampung, yang usai melapor diri untuk kegiatan pelatihan, dipalak hujan ketika hendak pulang ke tempat penginapannya. Di halte, tokoh aku berteduh. Di halte, tokoh aku memotret Kota Kupang. Di halte, tokoh aku saling mencuri pandang dengan seorang perempuan. Hujan yang mulanya menjadi sebuah halangan berubah menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Melewati beberapa konflik mini, mereka menumpangi sebuah mikrolet, bertukar nomor ponsel sesaat sebelum berpisah. Pada cerpen ini, halte menjadi lokasi sentral yang disorot Djho. Halte, salah satu elemen infrastruktur ruang publik kota, menjadi semacam jendela bagi tokoh aku untuk menyaksikan aktualitas Kota Kupang.

Sementara itu, cerpen “Gua Bakunase” karya Nur Maimunah mengambil latar alam. Gua Bakunase bukan elemen infrastruktur ruang publik kota, tetapi keberadaannya merupakan salah satu penanda lintasan sejarah kota. Cerpen “Gua Bakunase” mengisahkan Endang, si tokoh aku, yang bersama keempat kawannya—berasal dari NTT—sedang berlibur di Kupang. Mengisi waktu liburan, mereka bersepakat mengunjungi Gua Bakunase. Gua Bakunase, menurut cerita, merupakan tempat bunuh diri banyak orang sehingga terkenal angker. Dalam kunjungan tersebut hal aneh terjadi: Endang terpisah dari keempat temannya dan berjumpa dengan seorang lelaki tampan yang menjadi teman wisatanya di Gua Bakunase. Di akhir cerita dituturkan bahwa Endang sebenarnya menghilang saat ia merasa menjumpai si pria tampan. Ketika mereka meninggalkan Kupang—saat membaca koran di dalam pesawat—Endang menemukan kenyataan bahwa foto korban gantung diri terakhir di Gua Bakunase mirip dengan pria tampan yang ia jumpai di sana.

Tulisan ini akan menelisik bagaimana siasat kedua cerpenis dalam menggambarkan Kota Kupang dalam cerita mereka, termasuk telaah mengenai bagaimana pola representasi Kupang yang disajikan pada kedua cerpen tersebut. Pertama-tama, kita perlu melacak fokalisasi yang digunakan dalam kedua cerpen tersebut. Secara sederhana, fokalisasi adalah pemfilteran atau seleksi atas kejadian yang disajikan dalam cerita oleh pemandang tertentu. Fokalisasi dapat dan kerap dipertukarkan dengan sudut pandang (point of view). Namun, apabila dihadap-hadapkan dengan sudut pandang yang cenderung tidak membedakan pertanyaan siapa yang melihat dan siapa yang bicara, fokalisasi sesungguhnya lebih kompleks. Fokalisasi bertalian pula dengan aspek kognitif, emosional, dan ideologi dari pemandang dalam cerita.

Dalam buku Narrative Discourse: An Essay in Method (1980), Gerard Gannete menyatakan bahwa fokalisasi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: Pertama, cerita berfokal nol (tidak berfokal) yaitu fokalisasi dengan pemandang secara mutlak berada di luar cerita, atau jika dirumuskan, narator > karakter. Kedua, cerita berfokal internal, yaitu fokalisasi dengan pemandang berada dalam cerita atau menjadi salah satu tokoh dalam cerita. Jika dirumuskan, narator = karakter. Fokalisasi ini dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu fokalisasi internal fixed atau tetap (seluruh cerita dipandang melalui sudut pandang satu tokoh saja), fokalisasi internal variable atau berubah (di dalam cerita terdapat pemandang dari satu tokoh ke tokoh lain), dan fokalisasi internal multiple atau jamak (kejadian dalam cerita dipandang melalui sudut pandang banyak tokoh). Ketiga, cerita berfokal eksternal, yaitu fokalisasi dengan pemandang sama dengan posisi pemandang pada cerita berfokal internal. Bedanya, di dalam cerita berfokal eksternal, pembaca tidak dapat mengetahui apa yang dirasakan dan dipikirkan tokoh. Jika dirumuskan, narator < karakter. Dengan mengidentifikasi jenis fokalisasi yang digunakan dalam sebuah cerita, kita bisa membongkar posisi ideologis si pemandang dan, untuk keperluan tulisan ini, menelusuri bagaimana kaitan antara posisi relatif pemandang dan pola representasi atas latar tempat yang disajikan dalam cerita.

Subjek Terbelenggu dalam Cerpen “Kupang Waktu Hujan”

Cerpen “Kupang Waktu Hujan” menggunakan fokalisasi internal, segala sesuatu dipandang melalui tokoh aku. Tokoh aku dalam cerita ini digambarkan sebagai orang baru dari kampung yang datang ke Kupang guna mengikuti kegiatan pelatihan. Pengalamannya tentang Kupang merupakan pengalaman yang tidak berangkat dari nol. Hal itu terjadi karena tokoh aku menilai Kupang bukan atas penjelajahannya sendiri tetapi dicekoki dengan cerita kawannya yang pernah berkuliah di Kupang.

Masih di halte itu. Aku menunggu mikrolet yang lewat. Teman sekantorku yang dulu pernah kuliah di kota ini telah berpesan. Menanti mikrolet sesuai dengan linenya. Lampu, bahasa Kupangnya. Kupang itu kota yang keren. Mikrolet berjalan sesuai dengan jalur dan warnanya (97-98).

Tokoh aku adalah subjek yang terbelenggu. Meskipun cerita tentang Kupang yang lebih teratur itu hanya didapat dari teman sekampung yang menyerap pengetahuan dari kota (bukan terinternalisasi), efek yang ditimbulkan cukup besar. Pengalaman geografis tokoh aku menjadi pengalaman yang dihantui suntikan pengetahuan orang lain. Keterbelengguan tokoh aku dinukilkan lewat kalimat-kalimat batinnya dalam mengomentari situasi yang ia saksikan di Kupang.
Akan tetapi, alih-alih melihat Kupang sebagai kota yang teratur, tokoh aku menemukan banyak paradoks di halte: orang mengumpat dengan logat kental Kupang, orang berkelahi, dan tiga gadis mengoceh dengan nada aneh yang tak sedap untuk didengar. Artinya, mula-mula melihat Kupang sebagai kota yang teratur dan modern, tokoh aku kemudian melihat ketidakberesan dalam orang-orang yang mendiami Kota Kupang. Terdapat kontradiksi antara Kupang yang teratur dan orang-orangnya yang tidak elok dalam bersosialisasi.

Orientalisme dan Kemungkinan-kemungkinan Realisme Magis dalam Cerpen “Gua Bakunase”

Cerita “Gua Bakunase” merupakan cerita yang menggunakan fokalisasi internal multiple atau jamak (kejadian dalam cerita dipandang melalui sudut pandang beberapa tokoh). Kupang mula-mula dicerap melalui sudut pandang Endang (orang Jakarta) sebagai tokoh utama, kemudian pemandang berpindah-pindah ke Louise, John, Endi, dan Mue: kawan-kawan Endang yang berasal dari NTT. Dalam cerpen ini, Kupang menurut kacamata Endang yang berasal dari pusat (Jakarta) adalah daerah yang nun jauh di sana, eksotik, sarat romansa dan kenangan.

Ternyata gambaran kota Kupang yang ada di benakku selama ini salah. Kupikir kota ini sangat gersang dan panas dengan batu-batu karang di mana-mana, berdasarkan gelar Kota Karang yang disandangnya. Tapi ternyata, sangat berbeda jauh. Terdapat pohon-pohon hijau dengan bunga-bunga merah di sepanjang jalan menuju rumah Louise. Yang terlebih nyaman lagi, kota ini jauh dari kemacetan lalu lintas. Tidak salah kalau aku menghabiskan liburanku kali ini di kota ini. (Hal.211).

Di sini, Kupang dalam bayang-bayang geografi imajiner berbenturan dengan Kupang sebagai geografi faktual. Kenyataannya, geografi imajiner kerap kali menjadi salah satu landasan bagi praktik orientalis untuk membedakan identitas Barat dan Timur beserta batas-batas teritorialnya yang tegas—dalam bentuknya yang paling ekstrem, Barat sebagai pusat yang beradab dan Timur sebagai pinggiran yang belum beradab. Lebih lanjut, penggunaan fokalisasi internal multiple merupakan ilustrasi tentang kondisi sosial masyarakat multiidentitas sebagai konsekuensi dari alam pascakolonial. Penekanannya terletak pada kompleksitas identitas manusia, bahwa individu merupakan jaringan ruwet yang diposisikan dalam sebuah jaringan yang lebih luas. Dalam hubungannya dengan budaya, sifat multifokal mencirikan karya realisme magis yang meluber sampai ke karakter-karakternya.

Dalam satu esainya di buku Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu (2020), Sunlie Thomas Alexander pernah mengutip Wendy B. Faris terkait lima karakteristik utama yang menjadi syarat suatu karya dapat digolongkan sebagai jenis realisme magis, yaitu unsur yang tak tereduksi (irreducible element), dunia yang fenomenal (the phenomenal world), keraguan yang menggoyahkan (unsettling doubts), dunia yang bercampur-aduk (merging realms), dan gangguan atas waktu, ruang, dan identitas (disruptions of time, space, and identity). Kelima unsur inilah yang coba kita gunakan untuk memeriksa kadar realisme magis dalam cerpen “Gua Bakunase”.

Irreducible element dapat terjadi apabila narator maupun tokoh-tokoh cerita menerima hal magis sebagai hal yang memang magis. Artinya, tidak boleh ada campur tangan logika realis terhadap unsur magis yang ada dalam cerita. Yang termasuk irreducible element adalah semua unsur magis, baik berupa objek magis, benda magis, tempat magis, maupun tokoh magis yang ditampilkan secara nyata dalam cerita. Dalam cerpen “Gua Bakunase”, Endang berjumpa dan bertemu dengan lelaki tampan, yang ternyata merupakan korban pembunuhan terakhir di Gua Bakunase. Peristiwa ini, jika hendak dipahami melalui logika empirisme, bakal menjadi sesuatu yang tak masuk akal, sehingga mau tak mau harus diterima sebagai sebuah keniscayaan; sesuatu yang tak kalah riilnya dengan kejadian riil lainnya.

Karakteristik phenomenal world ialah menciptakan sebuah dunia fiksi yang menyerupai dunia yang kita tempati. Di sini, phenomenal world adalah yang riil itu sendiri dan secara simultan dirembesi oleh hal yang magis. Sebagai referensialnya, dunia fenomenal berasal dari sejarah yang ditulis ulang sebagai alternatif dari sejarah resmi atau sejarah yang memuat unsur-unsur magis dan kearifan lokal. Dalam cerpen “Gua Bakunase”, pembongkaran kembali narasi tentang terowongan/gua yang dibuat oleh Jepang saat bersembunyi dari Sekutu seperti menghidupkan kembali ingatan kita tentang situasi perang dahulu. Tetapi yang terutama, terowongan-terowongan itu konon pernah digunakan untuk memusnahkan orang-orang PKI dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI. Di sini kombinasi dongeng dan sejarah mencerminkan esensi dari memori kolektif kita.

Unsur ketiga ialah unsettling doubts. Ciri khas dari unsur ini ialah hadirnya sebuah situasi di mana pembaca merasa ragu-ragu di antara dua pemahaman kontradiktif; apakah suatu peristiwa merupakan elemen dunia riil atau elemen dunia magis? Keraguan tersebut muncul dari tokoh Endang dalam cerpen “Gua Bakunase” yang merasa ragu apakah pertemuannya dengan pria tampan merupakan sebuah kejadian yang nyata atau hanya halusinasi/mimpinya. Keraguan tersebut agaknya ditentukan oleh latar belakang budaya Endang yang selama ini hidup di kota besar dan asing dari hal-hal magis. Tetapi narator kemudian menjawabi keraguan Endang tersebut di akhir cerita.

Dalam lanskap sejarah kultural, realisme magis menggabungkan dunia tradisional dan dunia modern, yang magis dan yang material. Implikasinya, batas dunia itu menjadi kabur sehingga memunculkan ruang antara (ineffable in-between) yang tak pasti. Hal inilah yang disebut sebagai interseksi persimpangan antara dua dunia. Karena itu, merging realism ialah dunia yang tercipta akibat irisan antara dunia riil dan dunia magis. Gua Bakunase dapat dikatakan sebagai persimpangan dua dunia, dan Endang adalah tokoh yang hidup di dunia tersebut. Ditemani pria tampan, Endang menyusuri terowongan Gua Bakunase. Malah, pria tampan itu menjadi tutor bagi Endang.

Alhasil, sebagai akibat interseksi antara dua dunia tersebut, realisme magis mengganggu gagasan kita tentang waktu, ruang, dan identitas yang sudah dilumrahkan oleh khalayak modern. Modernitas menghapus ruang dan waktu yang sakral dengan waktu rutin. Karena itu, realisme magis bertugas menolak hal itu dengan mengganggunya. Dalam cerpen “Gua Bakunase”, waktu yang modern dan magis berjalan bersamaan, saling rembes-merembesi ketika tokoh Endang (orang modern) hilang di Gua. Waktu ketika kawan-kawannya mencarinya bersamaan dengan waktu Endang bertukar cerita dengan si pria tampan. Di sini, sebagai bentuk kontrahegemoni, konsep waktu magis menafikkan konsep waktu “Barat” dan mengharmoniskan diri dengan plot cerita. Secara simultan ruang gua itu melebur. Gua sebagai bangun fisik melebur dengan gua sebagai ruang pertemuan antara Endang dan si pria tampan. Di samping gangguan terkait kebiasaan kita dalam memikirkan waktu dan ruang, realisme magis juga mengganggu konsep kita tentang identitas. Sifat multifokal—sebagaimana tampak pada penentuan fokalisasi di atas—menunjukkan adanya hibriditas kultural yang diwakilkan pada karakter masing-masing tokoh.

Tentu kelima unsur realisme magis di atas tidak berjalan atau terjalin begitu rapi dalam cerita, tetapi sebagai sebuah upaya penggambaran lokasi tempat yang digunakan, bacaan tersebut dapat dijadikan sebagai kemungkinan lain untuk menerabas siasat yang digunakan penulis dalam menggambarkan salah satu tempat di Kupang.

Kesimpulan

Dalam kedua cerpen yang dibahas, penilaian-penilaian terhadap Kupang dilatarbelakangi oleh posisi para tokoh sebagai orang baru di Kota Kupang. Karena itu, penilaian para tokoh terhadap Kupang bisa dilihat sebagai sebuah stereotipe yang meletup-letup. Yang muncul adalah bentuk afirmasi terhadap Kupang yang imajiner dan bukan Kupang yang faktual. Kenyataan ini mendudukkan Kupang sebagai “yang lain”. Pola representasi atas Kupang, setidaknya yang tampak pada dua cerpen yang dibahas, dapat diringkas dalam tiga kesimpulan: Pertama, oleh pendatang dari kampung, Kupang dilihat sebagai kota yang modern dan teratur. Di sini, si pendatang diposisikan sebagai subjek yang terbelenggu, yang tidak mengalami Kupang dengan bebas tetapi mencerapnya dari anggapan tokoh lain. Kedua, Kupang tampak sebagai sebentang kampung kecil di hadapan para pendatang dari Pusat (Jakarta). Kupang menjadi interupsi terhadap pembangunan, bahwa nyatanya modernisasi tidak sepenuhnya menjanjikan kebahagiaan. Karena itu, Kupang menjadi wilayah pinggiran yang nyaman, yang dapat menampung orang-orang yang tertekan oleh ekses pembangunan. Ketiga, dalam tegangan antara Kupang sebagai kota dan Kupang sebagai kampung, lahirlah ruang antara, ruang yang mungkin, guna melihat Kupang dengan kacamata yang beragam.[*]

Catatan: Sebagian tulisan ini pernah disampaikan pada sesi diskusi “Tilik Karya: Sastra dan Kota” dalam gelaran Pameran Mereka Kota: Visualisasi Kupang Sastrawi, 23 Oktober 2022 di Aula Immaculata, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.


Baca juga:
Minat Baca Kita di Mesin Pencari
Cara Terbaik Menulis Kitab Suci: Kisah Orang-Orang Istimewa


Komentar Anda?