Menu
Menu

Sia-sia kugapai, susah-payah kukait/ Tapi gema suaranya selalu sampai/ ke liang-liang rasa sakit/ di semesta halaman belakang/ yang mengombak jauh/ ke luar pagar semesta hidupku//


Oleh: Raudal Tanjung Banua |

Tinggal di Bantul, Yogyakarta. Buku mutakhirnya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).


Senja di Rumah Tan Malaka

Adakah senja dan rumah
bagi Ibrahim Tan Malaka?

Waktu dan tempat tidak mengikat
jiwa bebas merdeka. Ke mana pun pergi
tak beda malam dan pagi. Matahari,
bulan dan bintang-bintang
sama jadi penerang
jalan-jalan gelap
di bumi.

Tapi rumah lahir siapa bisa menolak?
Rumah tua kian condong
lapuk bersemak. Di larut senja,

jendela-jendela masih terbuka, tirai-tirai melambai
serupa selendang gadis-gadis Pandam Gadang
Atau kain sarung anak-anak surau tinggal. Pintu tertutup

tak dikunci. Lampu satu-satunya
nyala di pinutu. Laron dan hujan
memintas azan dan malam. Senja hari,
begitulah aku tiba di rumah kelahiranmu
yang mestinya bernama pagi.

Tapi ini telah menjadi rumah masa tua
menerimamu dalam wujud sebungkus tanah
Selopanggung. Seperti senja merah
menerima ziarahku
dalam sepi derita tidak tertanggung.

2022

.

Jalan ke Pandam Gadang

Lurus jalan ke Suliki
Jalan panjang yang diberi nama
dengan gelar namamu ini
Bagai galah panjang
menyasar lambung gunung
penyimpan emas
dan cemas kepulangan

Dari Fort de Kock ke Haarlem
Dari Sanembah ke Moscwa
Dari Guangzhou ke Manila
Jakarta, Yogya, terus ke Kediri
Tiada ragu pada yang pergi
Mengapa sedih pada yang pulang?

Dari Selopanggung ke Pandam Gadang
Lewati Limbanang dan Suliki
Dibawa bingkisan si anak dagang
Isinya dirinya sendiri: segenggam tanah
kampung-halaman
dari seratus tahun kesunyian.

2022

.

Limbanang

Bukit-bukit bundar Limbanang
Seperti cambung-cambung besar
Terhidang di tengah hijau
los lambung hari pasar.

Atau seperti atap gazebo rumah makan
dengan gemerincing kaleng
pantun-pantun rombeng
tukang saluang

Sekali waktu tampak olehku
seperti kepala oto datsun
Antri penumpang
Di simpang jalan Baruah Gunuang
Sebelum bis menderu
Membawa sebagian mereka
menjauh ke Kelok Sembilan
dan Lubang Kalam.

Tergeragap, sekian kali lewat,
Kulihat kini bukit-bukit Limbanang
Sediam tudung saji
di rumah-rumah sepi dinihari. Kosong tak berisi
Mencipta nestapa dan dendang panjang
Palayaran.

2022

Catatan:
Palayaran: salah satu judul lagu dalam dendang saluang.

.

Lapis Usia

Bertemu anak-anak muda di kampung, ada berlapis-lapis
usia, tegak berbaris. Tiap angkatan kenal nama
lupa wajah. Atau kenal wajah, tapi lupa nama.

Aku dulu berteman dengan kakak dan kakaknya
karena seusia. Bermain sejak kecil
hingga kami berpisah, membawa nasib masing-masing
atau tidak ke mana-mana.

Bertahun-tahun kemudian saat pulang
Bertemulah aku dengan wajah-wajah baru
yang tak asing. “Aku adik si anu,”
seseorang segera mengingatkan
Dia yang kutinggal masih bocah
Main layangan dan masuk selokan
“Aku si Al, itu si Hen, itu Si’un dan itu Adil…”
Semua dikenalkannya padaku.

Aku tersenyum. Menatap satu-persatu
Dan mengingat lapis generasi
Seperti bukit, berlapis-lapis bukit
yang didaki, terus kudaki.

2022

.

Puti Tatsana

Anakku Puti Tatsana
Namamu mengandung tiga nama kakak lelakimu:
Tahya Tsabit Nahya
Pada mereka akan kaulahirkan
Kasih sayang seorang perempuan
Seperti bundamu melahirkan
Kalian berempat di ranjang rumah sakit
dan ayah yang tak dapat merasakan
sebenar-benarnya sakit.

Kau bungsu di rumah, anakku
Rambutmu kriting ikal kecil-kecil
Bibirmu tipis, gigi-gigimu seperti gigi kelinci
Tapi suaramu lantang nyaring
Seperti burung pipit lincah berkelit
Dari elang pemburu.

Tatsana, namamu memanggul
Empat patah kata: Puti Tatsana Nuraizzi Banua
Setiap kata mengandung jagad makna
Dan setiap makna terhubung doa-doa
yang akan mempertemukan kita
Lebih dari tatapan enam pasang mata.

2022

.

Lagu Rumah yang Ditinggalkan

Satu ponakan lagi kudapati
Sudah dapat berlari dari dalam rumah
ke serambi. Lincah sekali.
Tiga ponakan sudah besar; satu sekolah menengah
dua masuk kuliah

Itu semua anak-anak adik perempuanku;
dia yang tidak ke mana-mana
karena tinggal menunggu rumah.
Beruntung punya adik perempuan di kampung
Karena berarti ada yang menjaga dan merawat ibu
di masa tua.

Tapi kini ibu telah tiada—sebelum terlalu tua
Dan tak butuh perawatan lama. Adikku tetap akan di sini
dengan hati perempuannya. Anak-anaknyalah,
ponakan-ponakanku ini yang bakal pergi
seperti aku, dekat atau jauh, belum tentu

Adik perempuanku adalah dia yang menunggu
seperti ibu. Tempatku pulang sehabis lelah
bertualang.

2022

.

Pemandangan
di Belakang Rumah Orang Tuaku

—dari sebuah sketsa Henk Ngantung, 1937

Rumput hijau mengombak jauh
ke luar pagar. Jalan setapak melingkar
lewati kubangan kerbau. Telabah kecil
menampung air buangan sumur
geretan timba ibuku. Tumbuh keladi,
belukar kangkung. Anak-anak itik berenangan
petang dan pagi

Dua kubur leluhur membujur berdamping
di bawah pohon nyiur
tua jangkung. Melambai-lambai ke gunung
dan bukit-bukit biru
tempat orang-orang berladang gambir
di puncak dan jurang-jurang tubir
ikut irama toke India.

Aku memandang semua dari jendela
yang terbuka. Seolah kulihat kembali
separoh waktu dalam diriku
Berlari di rumput hijau mengombak,
main bola sabut kelapa, membuat gerbang
dari lengkungan dahan. Sambil bersiul naik
punggung kerbau
menampak sawah-sawah berubah danau
karena hujan semalam. Lalu diriku menyusup pergi

ke bawah pagar kawat berduri
yang menggores punggungku perih,
dan kini terasa manis teraih.
Hingga datang masa remaja
kulewati jalan setapak rawa-rawa
sekarang mengeras seperti punggung kura-kura
di mana rumah-rumah tegak di atasnya
dalam gerak lamban siklus purba

Tapi putaran waktu bola dunia
mempercepatnya berkali lipat
meloloskan diriku dari kawat pagar belakang
lewat jalan aspal di depan rumah
di bis yang membawaku ke kota.

Kujelang kembali lanskap
belakang rumah orang tuaku
yang tak lagi berasap
Tungku-tungku telah berganti
Kasau-kasau terbebas dari jelaga
Tapi coretan masa kecilku tampak
masih tergores. Ah, halaman belakang
tak lagi selengang dulu!

Hanya kakiku masih terasa basah
tercelup air jernih tergenang
di pecahan semen sumur ibuku
Separoh usiaku terkaca di situ.

Tengadah, terbayang roh leluhur bersemayam
di pelepah nyiur, di pucuk-pucuk mayang
Seekor tupai melompat memperkatakan isyarat
Nyaris abai kutangkap. Hingga ada yang bergedebum
gugur,

bagai kelapa jatuh, tali timba ibuku putus,
terlepas
ke dasar sumur!

Sia-sia kugapai, susah-payah kukait
Tapi gema suaranya selalu sampai
ke liang-liang rasa sakit
di semesta halaman belakang
yang mengombak jauh
ke luar pagar semesta hidupku.

2022-2023

Catatan:
Pemandangan di Belakang Rumah Orang Tuaku, sebuah sketsa Henk Ngantung periode remaja di Tomohon, Sulawesi Utara, cat air 24,5 x 31,5 cm (1981: 6).


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Widya Mareta – Terjebak Pesta
Puisi-Puisi Alexander Robert Nainggolan – Persiapan-Persiapan Menjelang Musim Hujan


Komentar Anda?