Menu
Menu

Sebagaimana karya-karya Jokpin yang lain, buku cerita Tak Ada Asu di Antara Kita juga memotret kejadian-kejadian yang mudah ditemui di sekitar kita.


Oleh: Launa Rissadia |

Anggota dan editor ulasan di Komunitas Pecandu Buku. Selain di blog bukunya (launar.wordpress.com), resensinya juga tersebar di situs web Koran Jakarta, Magrib.id.


Tanpa perlu ikhtiar berlebih, buku kumpulan cerita dari Joko Pinurbo (Jokpin) ini berhasil membikin saya kembali terjatuh dalam akal-akalannya. Jelas Jokpin menang. Saya, lagi dan lagi mesti menyambut kekalahan pahit dengan lapang hati. Tidak apa, sebab akal-akalannya belum pernah menyisakan luka. Malahan membikin kian gembira dan candu. Selama bercengkerama bersama para tokoh di buku cerita Tak Ada Asu di Antara Kita, dengan hati terbuka saya mencari-cari kehadiran asu. Niatnya adalah ingin menuntaskan rasa penasaran yang menghantui sejak melihat sampul buku ini.

Apa bakal ada asu-asu lain yang lebih asu? Apa Subagus, yang biasa dipanggil Su oleh Mas Penyair, bakal memeriahkan ceritanya lagi? Apa nanti di buku cerita barunya Jokpin bakal mengungkap siapa eltece yang gentayangan di Srimenanti? Apa anjing hitam dalam video bakal jadi satu dari banyak asu dalam ceritanya? Empat pertanyaan ini timbul pada November lalu selepas menamatkan Srimenanti dan dalam penantian Tak Ada Asu di Antara Kita terbit. Rasanya, saya seperti bisa membaca pikiran Jokpin. Sepertinya Jokpin menjawab pertanyaan-pertanyaan pra-membaca buku ini melalui lima belas cerita dalam buku ini.

Kontras dengan judul pada sampul, keberadaan asu-asu lain dapat ditemukan dalam beberapa ceritanya meskipun tidak lebih asu daripada asu-asu di Srimenanti. Boleh dibilang asu—yang dalam bahasa Jawa berarti anjing—merupakan ikon sekaligus sorotan utama buku ini. Buktinya, gambar anjing hitam yang menyelang dua wajah duduk manis di pembatas buku. Lucunya, gambar ini serupa tes psikologi yang menguji kecermatan kita menemukan beberapa wajah tersembunyi dalam gambar. Sebelum itu, si anjing hitam muncul pula dalam video penggoda yang diunggah Gramedia Pustaka Utama pada Oktober 2022. Ia sama sekali tidak turut mengambil bagian dalam semua cerita. Anehnya, ia berhasil mengikat hati saya.

Dalam novel perdananya, Srimenanti, Jokpin menghadirkan satu sosok lelaki bergentayangan yang disebut eltece. Di kumcer ini, eltece memang tidak muncul, tetapi Jokpin tampak menyamarkannya sebagai tokoh Subagus yang muncul secara mendadak dan kemudian melenyapkan diri tanpa permisi. Karakterisasi ini persis seperti eltece di Srimenanti. Jokpin menyembunyikan identitas eltece dan hal ini membuat saya gemas. Saya menduga, eltece menjelma anjing hitam yang kejelasan asalnya tak diketahui. Yang mana yang benar, cuma Jokpin yang tahu. Jokpin senang betul mengoyak-ngoyak pikiran dan hati saya.

Bukan Jokpin namanya kalau tidak bermain-main. Bagi yang sudah membaca beberapa karyanya pasti akrab dan mafhum jika senjata utama Jokpin adalah permainan kata yang menyihir, jenaka, puitis, nakal, dan tak tertebak. Tak Ada Asu di Antara Kita menjadi ruang bermain baru Jokpin dalam menunjukkan kepiawaiannya meramu cerita dan bermain kata. Tak perlu penasaran dengan asal muasal kalimat yang dijadikan judul dan memancing tanya. Cukup sambut permainannya dengan ketabahan, niscaya menyenangkan, membahagiakan, dan tidak mengecewakan, sebab Jokpin akan mengungkap rahasianya melalui beberapa cerita yang unik.

Judul serta keberadaan Subagus dalam cerita, dan anjing hitam di pembatas buku hanya dua dari banyak akal-akalan dan kenakalan Jokpin. Akal-akalan dan kenakalan lainnya tampak pula dalam pemilihan ilustrasi yang dijadikan sampul buku, anjing hitam yang mejeng di sampul, serta cerita-cerita yang dekat dengan kita dan sarat makna. Ilustrasi sampul yang nyatanya tidak bersesuaian dengan judul dan anjing hitam di sampul yang hilang keberadaannya dalam buku sungguh membikin termangu.

Di sisi lain, kalau ditilik lebih dalam, matahari pada sampul bersesuaian dengan anjing hitam di pembatas buku; sama-sama mengantarai ciptaan Tuhan: gunung dan manusia. Kepala anjing hitam yang menengadah pun seolah-olah memberi isyarat bahwa ia sedang menanti seseorang. Selama membaca, kita diajak bermain-main dengan kata, imajinasi, maupun pikiran, entah itu lewat cerita-ceritanya, ataupun ilustrasi-ilustrasi berwarna yang menggemaskan dan tokoh-tokoh mirip kita. Tidak mengherankan, asu, baik disebut secara harfiah maupun tidak, selalu memeriahkan karya-karyanya dan kerap mencuri hati pembaca. Tidak asu, tidak Jokpin, seperti halnya puisi, asu dan Jokpin adalah satu.

Cerita-Cerita Kita

Sebagaimana karya-karya Jokpin yang lain, buku cerita Tak Ada Asu di Antara Kita juga memotret kejadian-kejadian yang sangat relate dengan kita, dan pasti mudah ditemui di sekitar, atau bahkan pernah kita alami sendiri. Keseluruhan ceritanya adalah cerita-cerita kita serta bukan cerita-cerita mewah yang berjarak dan sukar dicerna. Tidaklah salah menganggap kumpulan cerita ini sebagai buku permenungan diri. Tak jarang kita akan merasa disindir, tergelitik, tercenung, tersenyum, hingga tertawa. Kekonyolan, kenakalan, kekeliruan, kealpaan, kebiasaan para tokohnya mengajak kita untuk becermin. Jokpin amat cekatan dalam menyulap cerita biasa menjadi terasa begitu personal. Setiap cerita memuat kejutan-kejutan dengan beragam rasa yang khas Jokpin.

Dalam cerpen “Ini Ibu Budi”, Jokpin mengajak kita bermain kata dengan ibu budi yang mencari-cari budi. “Di mana-mana ibu budi bertemu budi, tapi tidak bertemu budi yang ibu budi cari” (64). Saya rasa kalimat ini adalah inti dan kunci dari pencarian Budi. Budi yang dicari Ibu Budi bisa saja tidak ada, sebab Budi yang Ibu Budi cari sebenarnya ada dalam dirinya; budi bahasa, budi bicara, maupun budi pekerti. Pencarian budi menyiratkan pencarian diri sekaligus menyuruh kita belajar mengenal diri. Cerpen ini dan ilustrasinya membuka kembali kenangan sewaktu belajar membaca dan mengeja, serta menulis dan menggambar. Cerita ibu budi paling pendek di antara cerita yang lain tetapi membuat otak bekerja keras.

Lain lagi dengan cerita “Siraman Rohani”, Jokpin mengajak kita mengingat kembali perasaan ketika menaksir teman satu sekolah dan kenakalan semasa remaja lewat tokoh Kasbulah—yang suka misuh, membolos, memalak teman-temannya, dan mencoreti tembok rumah orang. Ceritanya mengangkat isu perundungan, perihal karma, dan orang tua yang menganggap kenakalan anak bisa diatasi dengan siraman rohani. Jokpin menyelipkan sebaris sajak Sapardi Djoko Damono dalam cerita ini dan di cerita yang lain pun nama Sapardi muncul kembali. Rupanya Jokpin sengaja tidak membolehkan kita menghapus Sapardi dari ingatan. Di sisi lain, hal ini tampak menandakan perasaan dan bentuk penghargaannya pada Sapardi—sama seperti yang ia lakukan di buku Srimenanti.

Kelima belas cerita dalam Tak Ada Asu di Antara Kita memang kelihatan sederhana dan biasa. Namun, memuat isu-isu yang boleh jadi luput dari perhatian. Satu adegan di lorong sempit dan remang dalam cerita “Pak RT” mengingatkan saya pada kejadian lelaki yang senang memamerkan kelaminnya (ekshibisionisme). Isu lain yang paling dekat dengan kita dapat dilihat dalam cerita “Perjamuan Petang bersama Keluarga Khong Guan”. Dalam perjamuan itu, Nyonya Khong Guan curhat perihal ponsel yang membikin keintiman antaranggota keluarga berkurang. “Semua tamu undangan merasa bahwa apa yang dialami Keluarga Khong Guan adalah pengalaman keluarga mereka juga. Memang begitulah keadaan keluarga-keluarga masa kini sejak ponsel menguasai kehidupan dunia yang fana ini” (21).

Cerita paling menghibur jatuh pada cerita “Duel”. Jokpin menghadirkan dua pujangga tua yang memperdebatkan penulisan yang benar antara awalan di- dan kata depan di. Cerita ini mempertontonkan dua orang yang bersikeras sama-sama benar dan mempertahankan pandangannya, serta orang yang enggan mengakui kesalahan meski terbukti salah. Satu puisi baru yang disisipkan dalam cerita “Guru Bahagia” turut memeriahkan lahirnya buku Tak Ada Asu di Antara Kita. Puisinya melukiskan kesedihan dan kegetiran yang diwarnai usikan dan usilan monyet yang asu sekali. Akhirnya cerita-cerita Jokpin dalam buku ini membuat mulut saya mengeluarkan asu karena merasa kena tipu.(*)


Baca juga:
Hari-Hari yang Mencurigakan di Penghujung 2022
Membicarakan Orang-Orang Biasa


1 thought on “Akal-akalan dan Kenakalan Joko Pinurbo dalam Tak Ada Asu di Antara Kita”

  1. Launa berkata:

    Terima kasih banyak, Bacapetra ❤️

Komentar Anda?