Menu
Menu

Flores Writers Festival diprakarsai oleh Klub Buku Petra Ruteng.


Oleh: Maria Pankratia |

Koordinator Program di Klub Buku Petra, Ruteng. Manager Program Flores Writers Festival


Hari itu, Selasa, 2 Juni 2015, saya terbang dari Denpasar menuju Kupang. Pesawat mendarat mulus di Bandara El Tari. Kala itu, Kota Karang tengah merayakan kemarau yang luar biasa, panas sempurna!

Tiga puluh menit kemudian, kawan yang menjemput saya tiba dengan sepeda motor kesayangannya. Kami menuju Hotel Romytha, tempat diselenggarakannya pembukaan Festival Sastra Santarang. Ini festival sastra pertama yang diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur, jika saya tidak salah ingat. Festival ini dikerjakan oleh kawan-kawan baik di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dengan dukungan Komunitas Salihara Jakarta dan Hivos.

Selama tiga hari di Kupang, saya bertemu dengan teman-teman pegiat sastra dan literasi, juga seniman dari berbagai komunitas di Nusa Tenggara Timur. Saya bertemu AS Laksana, Hasif Amini, Ayu Utami dan suaminya, Mas Erik Prasetya, yang kala itu hadir sebagai undangan. Saya bertemu banyak orang hebat dan kami bersenang-senang melalui sastra dan seni. Setelah festival itu, saya kembali ke tempat rantau dengan banyak sekali harapan, juga mimpi. Mimpi untuk pulang dan bertemu lebih banyak orang, lalu bersama-sama kami melakukan hal-hal baik yang juga berguna serta membahagiakan banyak orang. Ideal sekali, bukan?

Ingatan ini terus saya pelihara. Enam tahun kemudian, kami yang pernah bertemu di Kupang; saya, Eka Putra Nggalu, Marto Ryan Lesit, dan Armin Bell, dipertemukan dengan orang-orang baik yang lain, yaitu Dokter Ronald Susilo, Kaka Valentino Luis, dan Om Marcelus Ungkang, yang kemudian bergerak bersama dan perlahan-lahan berusaha mewujudkan sesuatu yang kami sebut: Flores Writers Festival. Kami dibantu oleh rekan-rekan yang lain, ada Retha Janu, Gregorius Reynaldo, Andry Sola, Dixxie, Tika Solapung, dan kawan-kawan lainnya, yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

Apa itu Flores Writers Festival? Berikut beberapa informasi yang terdapat dalam buku program kegiatan yang akan digelar pertama kali di Ruteng:

Kerangka Kuratorial Flores Writers Festival

Jauh sebelum Mario F. Lawi, Felix K. Nesi, atau nama-nama-nama lain dikenal sebagai sastrawan Indonesia dari Nusa Tenggara Timur, Flores-NTT telah dikenal memiliki sastrawan, kritikus sastra, ahli tata bahasa, dan peneliti sosial-politik seperti Dami N. Toda, Ignas Kleden, Gerson Poyk, Gorys Keraf, Daniel Dhakidae, Jos Daniel Parera, John Dami Mukese, dan Maria Mathildis Banda.

Namun, jauhnya jarak antara generasi tersebut, di antara pelbagai faktor lainnya, posisi Flores-NTT dalam peta sastra Indonesia seperti samar. Daerah ini sering luput dari percakapan sebagai daerah yang juga memproduksi karya sastra Indonesia – dengan dinamika dan sejarahnya sendiri.

Hampir seabad lalu, 21 Juni 1926, Sende Au yang berarti ‘utuslah’, sebuah buku doa berbahasa Melayu pertama dicetak oleh Percetakan Arnoldus yang dimiliki Serikat Sabda Allah (SVD) di Ende. Peristiwa ini adalah salah satu tonggak penting dalam perkembangan literasi tulis di NTT. Dengan mesin yang didatangkan dari Jerman, pulau ini akhirnya bisa mencetak buku-bukunya sendiri. Di kemudian hari, tahun 1970, Percetakan Arnoldus melahirkan Penerbit Nusa Indah, salah satu penerbit yang pernah kondang di Indonesia. Tidak berhenti di situ, tahun 1973, di tahun yang sama berdirinya majalah Bobo, majalah bulanan anak-anak, Kunang-Kunang didirikan.

Dari penerbit Nusa Indah lahir buku-buku seperti Novel dan Film (1992) karya Pamusuk Erneste, Jejak Langkah Sastra Indonesia (1984) dan Aliran Jenis Cerita Pendek (1995) karya Korrie Rayun Lampan, kumpulan cerpen Pengalaman Pertama Seorang Guru (1984) karya Jiwa Atmaja, Cerita Rekaan dan Seluk-Beluknya (1994) karya Frans Mido, dan banyak buku sastra lainnya.

Surutnya produksi dan pamor Penerbit Nusa Indah di dunia perbukuan dan sastra Indonesia di masa kini berbanding terbalik dengan munculnya para penulis dari NTT. Saat ini, ada cukup banyak generasi baru pengarang dari NTT. Karya-karya mereka diterima dan dibaca publik sastra Indonesia.

Pemilihan tema Ludung Wa Mai Tanan ‘Bertunas dari Bawah Tanahnya’ adalah alegori perkembangan sastra di NTT. Tanah dapat dibaca dalam arti jamak: sebagai identitas, sumber, konteks, dan, bila perlu, menjadi hal yang diproblematisasikan dalam kerja kreatif sebagaimana tampak dalam karya-karya pengarang dari NTT belakangan ini.

Sebagai misal, dominannya citraan penglihatan dalam karya Mario F Lawi, dalam resepsi umum, barangkali dipandang terbatas sebagai gejala wajar dalam puisi Indonesia. Namun, jika dibaca dengan mengaitkannya sejarah dan tradisi gereja, citraan penglihatan itu berakar pada konsep “kesaksian” tradisi Kristiani. “Kesaksian” adalah wajah lain dari Alkitab. Karena, perhitungan mutu kerja kreatif citraan Mario F. Lawi itu perlu dinilai dari segi pragmatik (efek kepada audiens), yaitu sejauh mana citraan itu memunculkan gambar baru atas hal yang sudah familiar dalam benak pembaca Alkitab – sesuatu yang mungkin susah dalam konteks (sastra) Indonesia.

Contoh lain perlunya melihat pengaruh “tanah” (sebagai asal) dalam kerja kreatif juga bisa dilihat dalam Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Penyajian cerita yang cepat, 10 kejadian tidak biasa dalam satu bab novel, barangkali hal segar dalam tata bentuk novel Indonesia, tetapi hal biasa dalam tuturan atau kebiasaan orang NTT umumnya bercerita secara lisan.

Artinya, pengaruh lokalitas dalam karya sastra yang dihasilkan pengarang dari NTT juga berkontribusi pada sastra Indonesia bukan hanya pada level kosakata, tetapi pada pendayagunaan sarana sastra (literary device) lainnya, dengan cara yang tidak persis sama dengan tempat-tempat lain di Indonesia.

Flores Writers Festival diharapkan menjadi ruang bagi penulis-penulis NTT untuk membicarakan perkembangan sastra di NTT beserta siasat kreatif mereka berhadapan dengan soal “tanah” dan apa yang sudah, sedang, dan akan bertunas dari dalamnya.

Flores Writers Festival 2021: Ludung Wa Mai Tanan

Flores Writers Festival diprakarsai oleh Klub Buku Petra Ruteng dan pada perhelatan yang pertama ini mendapat dukungan penuh dari Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo, Flores. Tema Ludung Wa Mai Tanan, dipilih karena juga memiliki kaitan yang erat dengan go’et atau pepatah orang Manggarai, Rangkang Wa Mai Tanan, Ludung Wa Mai Pu’un. Ibarat sebuah pohon, untuk dapat hidup kita harus terus bertunas dan berakar dari dalam tanah dan tumbuh di atas tanah. Pepatah ini menggambarkan pentingnya hidup selaras dan serasi dengan alam. Melalui aktivitas-aktivitas kesusastraan dan literasi, kesenian, serta kebudayaan, festival ini diharapkan mampu menjadi ruang untuk berdialog, berbagi, dan berefleksi demi meningkatkan kecintaan serta kreativitas dalam kerja-kerja pemajuan literasi budaya, terutama membaca, menulis, berdiskusi, menerbitkan karya-karya, dan penciptaan kesenian.

Flores Writers Festival akan berlangsung selama tiga hari di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Festival ini akan menghadirkan para penulis, pembaca, dan seniman baik dari Nusa Tenggara Timur, maupun dari luar NTT. Festival ini akan diisi dengan berbagai program menarik, antara lain; Sayembara Pembaca NTT, Residensi Seniman, Seminar dan Bincang Tematik, serta berbagai Pertunjukan.(*)


Baca juga:
Menyerbu Perpustakaan – Esai Javier Marías
Kita Semua Perantau


Komentar Anda?