Menu
Menu

Kakak menjentikkan abu rokok keluar jendela. “Dan jika arwah jatuh ke mayat, maka terjadilah ….”


Oleh: Surya Gemilang |

Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015),Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), dan Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019).


Aku teringat kisah mayat yang bangkit kembali, setelah aku tanpa sengaja membuat Anna tak lagi bergerak. Kakak yang memberitahuku cerita seram itu di ruang makan, pada Jumat sore ketika Mama terlambat pulang.

“Sebenarnya aku tak mau menceritakan ini,” kata Kakak, membuka jendela yang menghadap halaman belakang, lalu mengeluarkan kotak rokok yang selalu ia sembunyikan dari Mama. “Aku sudah berjanji pada Mama untuk tidak membuatmu takut.” Kakak menyulut rokoknya. Asap yang ia tiupkan ke luar jendela ditiup balik oleh angin sehingga kembali ke ruang makan: asap menyusup di antara barisan piring di rak dan tulip-tulip yang dipajang di meja makan, seperti sepasukan tentara hantu yang hendak meringkusku. “Tapi, cerita kali ini benar-benar penting. Jika kau ingin mendengarnya, berjanjilah, kau harus tidur sendiri malam ini.”

Ragu-ragu, aku mengangguk. Dan aku tak menyesal karena telah mengangguk, telah menghadapi malam panjang dan mimpi buruk: kini cerita itu mestinya berguna buatku, untuk mencegah Anna-yang-hidup-lagi memakan lidahku.

***

Aku menganggap Anna sebagai sahabat, sampai ia mulai menjilati lidahku.

Suatu hari di tengah jam pelajaran, aku ingin kencing dan meminta izin pada Bu Guru untuk ke toilet di halaman belakang sekolah. Begitu aku sampai di ujung koridor tempat pintu-pintu toilet berbaris dan menguarkan bau pesing, aku memergoki dua orang kakak kelas sedang menjilati lidah satu sama lain. Dari tinggi badan, kutebak mereka kelas lima atau enam. Lelaki pertama, yang dihimpit ke dinding, beramput cepak; lelaki kedua, yang menghimpit lelaki pertama, berambut keriting—mereka sontak menoleh padaku. Aku refleks berbalik dan hendak kabur, namun tersandung kaki sendiri dan daguku menghajar lantai. Tahu-tahu kakiku diseret hingga aku semakin dalam memasuki koridor—di permukaan lantai ada sesuatu yang kasar dan menggores daguku—dan mereka menendangiku sampai aku tak bisa menjerit atau menangis atau berbuat apa pun. Kemudian terlihat kaki orang ketiga datang dan terdengarlah pukulan: lelaki pertama terjatuh, wajahnya yang kabur tepat menghadap wajahku di lantai. Dan menyusul suara pukulan kedua: lelaki kedua terjatuh, kepalanya menimpa bokongku. Aku sudah bersiap mendengar suara pukulan ketiga, pukulan pada wajahku. Namun tak ada pukulan ketiga; kedua kakak kelas itu bangkit dan kabur. Seseorang yang baru datang itu berjongkok di hadapanku. Ia membawa sepotong kayu; mungkin ia mengambilnya dari bagian sekolah yang direnovasi. Ujung roknya terayun perlahan.

“Aku Anna,” kata gadis itu—entah kenapa ia datang ke koridor toilet lelaki. Ia teman sekelasku; beberapa hari lalu ia memperkenalkan diri di depan kelas, sembari memelintir kedua ujung rambutnya yang dikuncir. “Mau es krim?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Perut dan dada dan lenganku berdenyut-denyut akibat ditendang. Lantai mulai membuatku kedinginan dan meruapkan samar-samar bau lumpur kering. Dan Anna membantuku berdiri; dari tubuhnya samar-samar aku mengendus parfum khas pria dewasa—mungkin parfum ayahnya.

“Kupikir kau lucu,” lanjut Anna. “Itu kenapa aku mengikutimu ke sini.”

Di jam istirahat, Anna menghampiriku di kantin dan memberiku semangkuk es krim, dan aku membayarnya dengan bekal makan siangku. Kami makan berhadap-hadapan; ia begitu lahap seolah lupa bahwa ada aku dan murid-murid lain di dekatnya. Sementara itu aku, sembari menyuap es krim secara lambat, memerhatikan setiap murid yang melintas di dekat meja kami, memastikan kedua kakak kelas tadi tak datang kembali. Sejak hari itu, kami jadi sering bertukar bekal makan siang, bertukar lelucon, dan berkunjung ke rumah satu sama lain setiap Sabtu atau Minggu—lalu aku tanpa sengaja membunuhnya pada Sabtu sore, dan hujan datang tiba-tiba.

***

“Ketika seseorang baru mati,” kata Kakak, duduk di birai jendela, “hujan akan membuatnya hidup kembali. Aku serius.”

Aku bertanya apa hubungan antara hujan dengan mayat yang hidup kembali. Kakak meniupkan asap rokok lurus ke arah meja makan, ke arah tempat dudukku yang terletak dua belas langkah darinya, dan membalas, “Karena … arwah-arwah yang terbang ke langit jadi jatuh ke bumi gara-gara hujan.” Kakak menjentikkan abu rokok keluar jendela. “Dan jika arwah jatuh ke mayat, maka terjadilah ….”

***

“Boleh aku menjilat lidahmu?” tanya Anna, saat kami bermain monopoli di kasur, terlalu banyak rumah dan hotel di kota-kota miliknya. “Papa sering menjilati lidahku—dan ia bilang ini rahasia. Tapi kau orang baik, aku ingin berbagi rahasia denganmu.”

Aku mendadak teringat Kakak yang berbicara dalam jarak dekat denganku, dan aroma mie kuah dari mulutnya membuat muntahan menyodok pangkal lidahku. Pasti lebih memualkan lagi jika lidahku dijilat.

“Sebenarnya, aku tidak paham apa yang menyenangkan dari menjilat lidah,” sambung Anna. “Tapi kedua kakak kelas yang menghajarmu waktu itu sering saling menjilati lidah satu sama lain. Kau tahu, aku sudah lebih dari sekali melihat mereka begitu. Dan aku bohong waktu bilang aku sengaja mengikutimu ke toilet karena kau lucu. Aku hanya ingin melihat kedua kakak kelas itu saling menjilati lidah lagi—tapi aku tidak bohong bahwa kau memang lucu.”

Aku tidak ingin lidahku dijilat. Tapi aku mengizinkannya, sekali saja, dan aku mulai menjulurkan lidah. Anna pun ikut menjulurkan lidah.

***

Apa yang terjadi setelah mayat hidup kembali?

“Pertanyaan bagus.” Kakak menjejalkan bara rokok ke bak cuci piring, dan melempar puntungnya keluar jendela. “Mereka akan memakan lidahmu. Sesederhana itu.”

“Kau bohong.” Aku tak bisa menyembunyikan getaran dalam suaraku.

“Waktu Momo mati,” Kakak menarik kursi di sampingku, gesekan kaki-kaki kursi dengan lantai menusuk telingaku, “malamnya aku harus memukul ia memakai sekop. Mungkin kau sudah tidur dalam pelukan Mama—jadi kau tak tahu bahwa malam itu hujan, dan kucing kita bangkit dari kuburnya.” Kakak duduk di kursi itu, satu kaki ia naikkan. “Kau harus berterima kasih padaku. Tidak ada lidah siapa pun yang dimakan.”

“Momo kucing baik ….” balasku, sembari mengingat bagaimana Momo sering menjilati jari-jari kakiku sampai aku memekik geli.

“Momo bukan kucing baik setelah ia bangkit dari kuburnya.”

***

Anna menjilat permukaan lidahku, dan aku refleks menarik diri darinya. Muntahan tertahan di pangkal lidahku. Lidahnya rasa mentega dan saus tomat yang tercampur air kloset.

“Rasanya aneh, bukan …?” kata Anna. “Tapi lama-kelamaan tidak akan aneh. Ayo coba lagi.”

Aku menelan muntahan dan menggeleng. Anna merangkak mendekat, ranjang berderit, dan ia menjilat bibirku yang tertutup rapat. Muntahan pun terlontar lagi, sampai menyentuh gigi depanku. Mulutku pahit. Dan kepalaku tak bisa mundur: tangan Anna menahan belakang kepalaku, dan ia menyedot bibirku—muntahanku tersedot ke mulutnya—aku mendorongnya keras hingga belakang kepalanya menghantam bantal, dan muntahanku jatuh ke perutnya.

Anna tersenyum gemas. “Hei, tenang!”

Aku merapatkan bibir, mencegah lebih banyak muntahan terjatuh.

Anna bangkit dan kembali menyedot bibirku. Aku menekan kedua sisi pipinya dengan telapak tangan dan mendorong wajahnya menjauh, tapi ia terus bertahan, dan aku terus mendorong sampai kulit wajahnya tertarik dan matanya menyipit, hingga akhirnya wajah Anna mundur sejengkal dari wajahku. Dan perempuan itu tetap gigih: ia menjulurkan lidah untuk menggapai bibirku. Wajahnya jadi tengik sekali. Dan liur menetes dari ujung lidahnya, jatuh ke lututku—semakin banyak muntahan terlontar ke mulutku, dan aku mengayunkan kepala Anna ke samping: ia terjatuh dari kasur, kepalanya membentur nakas, dan … ia tak lagi bergerak.

Turunlah hujan deras ….

***

Aku menuruni anak-anak tangga dengan tungkai selemas lidah. Telapak tanganku jadi dingin dan berdebu karena menyentuh pembatas tangga. Mama meletakkan mangkuk besar beruap di tengah meja makan, dan Kakak meletakkan nasi ke empat piring. Aroma masakan Mama membuatku mual—tapi aku sadar, dalam situasi biasa, harusnya aroma ini membuatku lapar.

“Ajaklah Anna makan siang,” kata Mama.

Aku tak menjawab. Aku bergabung bersama Kakak dan Mama di meja makan, membantu meletakkan sendok-garpu di samping piring, lalu menyeka sendok-garpu dengan tisu, lalu merapikan letak sendok-garpu yang seharusnya sudah cukup rapi. Masakan Mama, lidah sapi lada hitam, membuatku refleks berpaling ke jendela; bunyi ketukan air hujan pada jendela seperti ratusan anak berlari serempak menuruni tangga.

“Kau akan lebih membantu,” kata Kakak, “dengan memanggil Anna kemari.”

Apa yang terjadi pada Anna di kamarku? Apa kini ia hidup kembali, dan akan turun, dan akan memakan lidah kami? Aku harus membisikkan hal ini pada Kakak. Mungkin ia akan menghajar Anna dengan sekop. Atau entahlah ….

Aku harus membisikkan hal ini.

“Anna!” Panggil Mama. “Ayo, makan siang sudah siap!”

“Anna sedang tidak lapar ….” balasku, parau.

Mama tak peduli; ia melempar isyarat pada Kakak agar menjemput Anna ke kamarku, dan dengan malas Kakak menurut. Semakin jauh Kakak menaiki anak-anak tangga, kepalanya seolah tertelan ke lantai dua, dan begitupun lehernya, dan dadanya, hingga ujung kakinya—tubuh Kakak tertelan sepenuhnya, dan Mama hanya sibuk membagikan potongan-potongan lidah sapi ke keempat piring.

Tak lama, terdengar Kakak menjerit.

Aku dan Mama langsung berlari ke atas.

Kami sampai di depan kamarku bersamaan dengan Kakak yang baru keluar. Tatapannya nyalang. Kedua tangannya menutup mulut sendiri. Dari sela-sela jarinya meneteslah darah.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Jalan Bercabang
Lubang Besar di Hutan Tebu


Komentar Anda?