Menu
Menu

Di sepanjang jalan Sulhan bercerita kalau sejak pandemi hidupnya susah. Sejak dirumahkan tahun lalu, dia menyambung hidup dengan menjual segalanya.


Oleh: Aliurridha |

Pengajar di Universitas Terbuka. Cerpennya berjudul “Metamorfosa Rosa” masuk antologi cerpen pilihan Kompas 2021. Emerging Writers Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023. Dia tinggal di Lombok barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.


Saya menengok keluar jendela begitu mendengar suaranya. Dia datang ke rumah saya, bertanya perihal sepupu saya yang tinggal di depan rumah. Dia menggunakan peci dan baju koko berwarna merah marun dengan motif kotak-kotak. Tas selempang berwarna coklat menggantung di pinggang. Istri saya menjelaskan bahwa Miftah sudah lama pindah. Seharusnya saya tidak keluar, seharusnya saya biarkan saja dia menyelesaikan sendiri masalahnya. Tetapi saya penasaran, mengapa dia, yang katanya teman Miftah, bisa tidak tahu kalau Miftah sudah lama pindah rumah.

“Cari Miftah, Mas?” tanya saya. Dia menghentikan langkahnya tepat di pintu gerbang. Dia menoleh ke arah saya dengan wajah penuh pengharapan. “Miftah sudah lama tidak tinggal di sini. Dia pindah ke Rembiga. Mas tahu show room mobil di Rembiga itu? (dia mengangguk). Nah, di sebelah show room itu dia tinggal. Tidak terlalu jauh dari sini.”

Sinar matahari sore menerpa wajahnya, dan saya menangkap sebentuk rasa kecewa di sana. Dari apa yang saya dengar tadi, dia mencari Miftah untuk meminta tolong akan suatu hal. “Apa perlu saya antar ke rumah Miftah?” Wajahnya langsung berubah cerah. “Sebentar, ya, saya matikan laptop dulu. Maaf, dengan Mas siapa?”

“Sulhan.” Dia terdengar ragu-ragu menyebut namanya sendiri.

.

Untuk mengisi waktu sampai ke rumah Miftah, kami mengobrol sekenanya. Sekenanya itu tidak sedikit, tetapi tidak banyak juga. Saya agak paranoid ketika memperhatikan mulutnya yang tidak bermasker. Setiap dia berkata, dia harus mendekatkan mulutnya ke telinga saya. Dia duduk di belakang saya yang sedang menyetir motor, jika tidak mendekat, angin membuat kata-katanya terbang menjauh. Kemudian karena penasaran, saya bertanya bagaimana dia bisa mengenal Miftah? Setahu saya Miftah orangnya tidak banyak bergaul.

Sulhan menjelaskan bahwa dia sebenarnya tidak terlalu mengenal Miftah. Dia hanya bertemu beberapa kali saat solat di masjid. Dan itu pun sudah lama, sekitaran satu setengah tahun lalu. Ketika itu dia baru saja dirumahkan dari tempatnya bekerja. Setelah dirumahkan, dia sering ikut acara pengajian dengan teman-teman mondoknya dulu. Mereka berkeliling dari masjid-ke-masjid.

Ketika sudah dekat rumah Miftah, baru saya ingat bahwa jam segini Miftah belum pulang kerja. Saya katakan itu ke Sulhan. “Kalau mau, nanti Mas Sulhan tunggu saja dia pulang. Saya akan ngomong ke bapaknya.”

Sulhan tidak merespons. Dari kaca spion saya lihat wajahnya menimbang-nimbang. “Mas, kalau boleh jujur, saya mau minta Miftah antar saya ke BTN Kopri. Saya ada panggilan kerja jadi marbot. Bisa tidak Mas saja yang antar saya ke sana?”

Sebenarnya saya ingin menolak, saya punya pekerjaan yang sedang menunggu untuk diselesaikan. Tenggat waktunya mencekik leher saya. Tapi ketika saya mengingat betapa susahnya mendapatkan pekerjaan akhir-akhir ini, saya jadi tidak tega.

“Baiklah. Saya ambil helm dulu,” kata saya.

“Kalau bisa sama masker, Mas. Saya tidak punya masker,” kata Sulhan.

Suaranya terdengar sedih. Dari tadi saya menahan diri untuk bertanya kenapa dia tidak menggunakan masker. Saya sempat berpikir Sulhan golongan orang yang tidak percaya Covid. Ternyata bukan.

“Mau ke mana, Bang?” tanya istri saya melihat saya ganti baju dan memakai jaket.

“Oh, ini. Abang mau antar temannya Miftah ke Kopri.”

“Loh tidak jadi diantar ke rumah Miftah.”

Kemudian saya menjelaskan situasinya. “Hati-hati, Bang. Orang itu mencurigakan. Jangan-jangan dia …”

“Tidak,” potong saya, “dia bukan penjahat, hanya orang susah saja.”

“Orang susah kalau kepepet juga akan berbuat jahat.”

.

Di jalan, kata-kata istri saya kembali terngiang. Saya bengkokkan kaca spion untuk melihat wajahnya. Sialan, dia tidak mengenakan helm yang saya berikan. Peci berwarna merah marun itu seperti mahkota raja yang tidak mau lepas dari kepalanya. Helm itu hanya dipegangnya, dan masker yang saya berikan pun sekadar dia tempelkan ke bibir. Padahal, saya repot-repot kembali hanya untuk mengambil kedua benda itu. Saya tidak mau tertangkap razia yang kini tidak hanya menagih SIM, tetapi juga kartu vaksin.

Di sepanjang jalan Sulhan bercerita kalau sejak pandemi hidupnya susah. Sejak dirumahkan tahun lalu, dia menyambung hidup dengan menjual segalanya. Dia benar-benar berkata menjual segalanya. Kemudian tanpa saya tanya dia bercerita kalau sudah lama dia mencari kerja. Tapi karena tidak punya kendaraan, pergerakannya jadi terbatas, dan karenanya, dia susah dapat kerja.

“Di mana-mana sama saja, Mas. Semua orang sama susahnya,” kata saya.

“Tapi Mas punya motor. Bisalah cari kerja,” balasnya.

Agak tersinggung saya mendengarnya. “Saya kerja kok. Tapi di rumah.”

“Masnya kerja apa?”

“Saya penerjemah.”

“Oh yang nerjemahin kitab-kitab itu.”

Agak kaget saya mendengarnya. Memangnya saya terlihat seperti orang yang pandai bahasa Arab? Saya geser sedikit kaca spion untuk menengok wajah saya di sana. Melihat bayangan wajah saya di kaca spion, saya jadi mengerti mengapa dia berpikir seperti itu. Sudah lima bulan saya tidak mencukur jenggot dan kumis.

“Tidak, Mas. Saya nerjemahin naskah-naskah publikasi penelitian. Tapi sejak pandemi, hampir tidak ada pekerjaan datang. Baru kali ini ada kerjaan datang dan sekarang ….” Belum sempat saya menyelesaikan perkataan saya, dia memotong. “Mas boleh jujur tidak?” tanyanya. Dan tanpa menunggu jawaban saya, dia melanjutkan, “Sebenarnya saya bukan mau ke Kopri…”

Langsung tidak enak perasaan saya, jangan-jangan apa yang dikatakan istri saya itu benar. Dan benar saja, begitu gerbang BTN Kopri terlihat, tiba-tiba dia meminta saya untuk terus lanjut. Saya menghentikan motor dan memintanya turun.

“Sebenarnya Mas ini mau ke mana?” Saya sedikit membentaknya.

“Maaf, Mas. Sebenarnya tujuan saya bukan Kopri, tapi ke Pagutan. Kopri itu tempat teman saya, dia jadi marbot di sana. Dia perantau asal NTT. Saya mau minta dia antar saya ke Pagutan. Berhubung Masnya baik, bisa tidak saya minta tolong sama Masnya untuk antar saya ke Pagutan, langsung ke rumah ketua Takmirnya?”

“Jadi kalau nanti sudah sampai di rumah Takmirnya, saya tinggal tidak apa-apa, kan?”

“Iya, Mas. Tinggal saja.”

“Mas tahu jalannya?”

“Iya nanti saya tunjukkan.”

Kemudian dengan perasaan sedikit dongkol saya turuti keinginannya. Di jalan, saya tidak lagi mau bicara seperti tadi. Kali ini saya pacu motor saya sedikit lebih cepat, berharap bisa meninggalkannya dan melanjutkan pekerjaan saya yang tertunda. Tapi dia tidak berhenti mengajak saya berbicara, dan saya terus saja mengacuhkannya. Saat saya pikir dia sudah akan diam, mendadak dia bertanya ketika melihat para pekerja sedang mengaspal sebagian jalan yang kami lewati.

“Kenapa, ya, jalan yang tidak rusak ini diperbaiki?” Pertanyaannya kali ini sukses menyita perhatian saya. Setelah saya perhatikan jalan itu memang tidak rusak. “Padahal jalan di rumah saya jauh lebih rusak,” katanya melanjutkan. Ketika saya hendak menjawab, saya melihat gerbang BTN Pagutan, dan saya tidak jadi menjawab pertanyaannya.

“Loh yang mana rumahnya, Mas?” tanya saya heran. Dia tidak membawa saya ke rumah orang yang dimaksud, dan kami malah berhenti di depan sebuah masjid. Masjid ini memiliki kubah yang begitu megah. Menaranya juga kelihatan tinggi. Leher saya sampai sakit ketika mendongak menatap puncaknya. Lalu pada tembok yang menghadap ke arah kami, saya lihat ada empat kipas AC.

“Anu, Mas … sebenarnya tadi sudah kita lewat depan rumahnya. Tapi sepertinya tidak ada orang.”

“Oh, kalau begitu saya tinggalin di sini, ya?”

Sulhan menatap seutas rantai yang melilit pada pintu gerbang masjid. “Anu, Mas, kalau saya boleh jujur, sebenarnya saya belum ada panggilan. Sudah hampir dua bulan ketua Takmirnya bilang akan menghubungi saya, tapi sampai sekarang belum juga ada kabarnya. Jadi saya inisiatif datang ke sini. Saya mau minta kejelasan.”

“Loh jadi kamu belum pasti diterima kerja?” Nada bicara saya meninggi.

“Iya. Jadi saya mau tunggu di sini. Magrib nanti dia pasti datang solat. Saya mau tanya langsung.”

“Terus bagaimana kalau ternyata tidak jadi kerja?”

“Nah itu dia, Mas. Makanya saya mau minta tolong sekali lagi. Temani saya tunggu dia sampai selesai solat magrib.”

“Aduh, Mas. Maaf saya harus balik. Saya punya kerjaan yang harus segera diselesaikan.”

“Kalau begitu antar sudah saya ke rumah Takmirnya?”

“Kan dari tadi saya mau antar kamu ke sana.”

“Maaf, ya, Mas.” Wajahnya kembali terlihat sedih.

“Tidak masalah,” kata saya selembut mungkin. Saya merasa bersalah sudah membuatnya merasa tidak enak.

.

Sepuluh menit lamanya kami menunggu di depan rumah ketua Takmir masjid itu. Berkali-kali saya dan Sulhan bergantian mengucap salam, namun tidak ada jawaban. “Sepertinya benar orangnya sedang keluar,” kata saya, “coba dihubungi saja.”

“Nah itu dia, Mas. Saya tidak punya HP.”
“Waduh. Pantas saja kamu tidak dihubungi,” kata saya kesal. Orang ini bodoh atau bagaimana. “Kamu ingat nomornya?”

“Saya tidak hafal.”

“Aduh, terus bagaimana ini?”

Dia tidak menjawab. Wajahnya kelihatan bingung.

“Apa saya antar kamu pulang saja?”

“Antar saya ke Kopri saja, Mas, bisa kan?”

Saya mengangguk. Dalam hati saya memaki diri saya berkali-kali.

Di perjalanan ke BTN Kopri, Sulhan melanjutkan ceritanya. Dia bercerita kalau sebenarnya dia juga tidak mau menjadi marbot masjid. Tapi dia tidak punya pilihan. Dia tidak punya kendaraan untuk bekerja atau mencari kerja. Sebelumnya dia sempat bekerja menjadi marbot di masjid BTN Taman Baru. Tapi dia mengundurkan diri tiga bulan lalu. Tepat sebelum lebaran. Uang yang diterimanya tidak seperti yang dijanjikan. Untuk makan sehari-hari saja kadang kurang, apalagi untuk ditabung dan disisihkan buat orang tuanya yang sudah tidak kuat bekerja. Lalu ketika Takmir masjid BTN Pagutan mengatakan kalau masjid di sana butuh marbot, dia tidak berpikir dua kali. Dia bahkan tidak berpikir sama sekali.

Ketika tiba di masjid BTN Kopri, saya langsung mohon diri.

“Terima kasih ya, Mas. Eh, tidak mampir dulu?”

“Tidak usah.”

“Oh iya, saya lupa, nama Mas tadi siapa?”

Astaga, saya baru sadar bahwa saya sama sekali belum sempat memperkenalkan diri saya. [*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Warisan Bajak Laut Teluk Tomini
Tujuh Hari Tujuh Malam


Komentar Anda?