Menu
Menu

Dalam novel Lauk Daun ada kisah-kisah lucu, ada perempuan-perempuan tak bernama yang berkuasa, ada cerita yang terputus begitu saja.


Oleh: Grace Katarina |

Admin Kedai Buku Petra.


“Maaf izin tanya bu ibu. Biar mudah bagaimana pengucapan lockdown? #seriustanya.”

Muji tiba-tiba menulis pertanyaan di sela obrolan Yayuk, Tutik dan Bu As. Entah pertanyaan candaan atau pertanyaan serius. Melihat emotikon yang disertakan, sepertinya hanya candaan. Dia ingin menguji salah satu di antara ketiganya. Tidak jelas kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Tapi, sepertinya itu untuk Bu As. Urusan akan semakin panjang hanya gara-gara penulisan dan pengucapan. Tiga jam berlalu. Sebelum azan zuhur berkumandang, sebuah komentar muncul. Bu As menulis:“Lauk Daun”

Seperti biasa Klub Buku Petra kembali menjalankan tradisi bulanannya: Bincang Buku Petra. Lauk Daun karya Hartari terbitan BaNANA menjadi buku yang dipilih untuk dibahas kali ini. Dijadwalkan untuk bulan Februari, kegiatan ini terpaksa diundur ke hari Sabtu, 18 Maret 2023, bertempat di Perpustakaan Klub Buku Petra, Ruteng.

Perbincangan dibuka oleh moderator yang memberi kesempatan kepada pemantik untuk membagikan hasil bacaannya. Memulai pantikannya, Armin Bell selaku pemantik malam itu, mengakui bahwa bagian awal buku ini mengingatkannya pada salah satu tokoh yang dibuatnya di laman Facebook: Om Rafael. Kebiasaan lidah terselit atau salah kata serta suka menasihati yang ditampilkan para tokoh menjadi begitu akrab sebab begitulah Om Rafael digambarkan.

Armin mendapati penulis tidak membawanya ke tempat-tempat atau situasi-situasi yang jauh. Penulis memunculkan fragmen-fragmen dengan menghadirkan banyak tokoh lalu menjabarkannya dengan peran, sifat, serta tugas yang berbeda-beda. Gaya penceritaan seperti ini dapat ditemukan dalam kisah-kisah tradisional seperti Pondik (Manggarai), Kabayan (Sunda), atau Abu Nawas.

Akan tetapi, gaya ini juga dapat membuat penulis kesulitan untuk menentukan tokoh mana yang mau ia mainkan dengan sungguh-sungguh. Hartari memasukkan begitu banyak tokoh yang tidak bisa ia pertahankan sampai akhir, tokoh-tokoh yang tidak bisa diingat oleh pembaca, begitu pula dengan peran dari masing-masing tokoh tersebut. Beberapa tokoh bahkan hadir secara tiba-tiba dan kemudian hilang begitu saja. Ini menjadi risiko dari membuat banyak fragmen atau lapisan pada cerita. Namun, disisi lain, penulis berhasil membuat fragmen atau cuplikan-cuplikan tersebut menjadi menyenangkan.

Selanjutnya, Armin memberi kesan bahwa novel ini memiliki humor yang baik. Ia menyajikan begitu banyak lelucon yang sederhana juga sarkas. Tetapi entah kenapa, sebagian besar lelucon tersebut tidak bisa melekat di benak pembaca—seperti lelucon tongkrongan, yang dibicarakan lalu hilang dan dilupakan begitu tongkrongan itu bubar. Akan tetapi, ada satu bagian lucu yang berhasil mendapat perhatiannya, yakni pada saat beberapa tokoh ibu-ibu berdebat perihal menanam lombok (hal. 69). Dalam debat itu, tokoh Bu As selalu punya cara untuk menjawab semua pertanyaan berbau penolakan yang diajukan oleh tokoh Tutik. Menurut Armin, tokoh seperti Bu As ini sangat diperlukan di masa-masa seperti sekarang ini; tokoh yang ‘bu-as’.

Selain itu, cara penulis menggambarkan tokoh perempuan dalam novel ini ikut menjadi perhatian pemantik. Pada beberapa bagian, ia menemukan bahwa novel ini melanggengkan apa yang laki-laki atau orang kebanyakan pikirkan tentang perempuan; mereka yang cerewet, mereka yang menguasai percakapan (dalam grup WhatsApp), dan mereka yang hanya istri seseorang tapi menguasai jabatan sang suami. Tak hanya itu, ia juga mengaku sedih dengan adanya beberapa tokoh perempuan yang tidak diberi nama.

“Sebagai kumpulan fragmen buku ini menyenangkan. Membuat pembaca terhibur. Secara lelucon buku ini juga berhasil. Tetapi, mengapa penulis tidak memberi nama pada tokoh-tokoh perempuan itu? Mengapa dia melanggengkan pandangan umum (laki-laki) tentang perempuan?”

Armin menutup pantikannya dengan meminta tanggapan peserta lainnya mengenai apa yang menjadikan buku ini menarik perhatian juri dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2021. Pantikan yang kemudian mendapatkan beragam reaksi dari peserta bincang buku lainnya.

Perempuan-Perempuan Tak Bernama

Beberapa tokoh perempuan dalam novel ini tidak diketahui namanya. Ada Bu As yang merupakan istri Pak As, ada Bu Ambar yang merupakan istri Pak Ambar, ada Bu Aripin yang merupakan istri Pak Aripin, juga ada Bu Amar yang merupakan istri Pak Amar. Tokoh-tokoh perempuan ini tidak diberi nama. Mereka hanya dikenal sebagai istri seseorang. (Notulis).

Usai mendengar pantikan dari Armin Bell, moderator memberi kesempatan kepada peserta lainnya untuk mulai memberikan tanggapannya. Tanggapan pertama diberikan oleh Febhy Irene yang rupanya ikut menyoroti bagaimana penulis menggambarkan tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini.

“Saya kira, perempuan-perempuan zaman sekarang bukanlah perempuan-perempuan yang ingin hidup tanpa nama. Bukan perempuan yang hanya ingin menjadi ibu rumah tangga, bertindak seperti perspektif-perspektif kuno khalayak umum tentang bagaimana seharusnya perempuan itu berprilaku. Perempuan yang saya kenal sekarang lebih berkeinginan untuk menjadi independent woman atau wanita yang mandiri,” jelasnya.

Hal ini ikut disetujui oleh Febry Djenadut, peserta lainnya yang mengaku melihat karakter dan peran perempuan dalam buku ini yang lebih mencerminkan masyarakat dulu yang masih terikat dengan pandangan-pandangan umum mengenai posisi perempuan yang seharusnya tidak setara dengan laki-laki. Penggambaran tokoh perempuan dalam buku ini dirasanya bertolak belakang dengan yang dialaminya dalam kehidupan sekarang, di mana saat ini perempuan memiliki dedikasi serta mendapat apresiasi yang tinggi dalam macam-macam bidang, seperti menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi, mendapat posisi di pemerintahan, serta perempuan yang berusaha untuk menghindari kegiatan yang digambarkan oleh ibu-ibu dalam buku ini: bergosip dan lain-lain.

Arsy Juwandi, salah seorang peserta lain ikut berkomentar dengan membagikan sebuah kutipan dari pelajaran Sosiologi yang didapatnya saat kelas XII dulu, bahwanya seorang istri akan lebih dikenal lewat suaminya, apalagi jika suaminya tersebut memiliki jabatan di pemerintahan atau lainnya. Menanggapi kutipan tersebut, peserta lain yang juga menjadi tamu bincang buku malam itu ikut nimbrung, Shidiv, merasa bahwa penamaan perempuan dalam novel ini sebenarnya merupakan sebuah kritik dari penulis mengenai bagaimana penamaan seorang istri itu tergantung dari jabatan suaminya.

Dalam novel ini, dapat ditemukan beberapa tokoh perempuan yang juga sudah bersuami tetapi tetap menyandang namanya sendiri (yang setelah ditelusuri suaminya bukanlah seseorang yang memegang ‘jabatan’). Selain itu, Shidiv juga menyukai cara penulis menempatkan tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya di mana mereka tetap diberikan agensi yang besar dengan digambarkan sebagai sosok yang teliti, cekatan, pandai, serta ‘buas’. Mereka bisa mengurus banyak hal mulai dari hal-hal yang besar hingga yang terkecil, hal-hal sepele yang tidak dibicarakan di group bapak-bapak dan tidak dianggap penting. Begitulah perempuan pada umumnya: pribadi yang teliti.

Lolik Apung ikut membagikan tanggapannya perihal perempuan dalam novel ini. Sebelum itu, ia menyebutkan bahwa cerita-cerita yang lahir dari pandemi, dari personalitas serta cerita-cerita yang berangkat dari rumah memang wajar jika dikaitkan dengan perempuan. Dalam istilah atau bahasa Yunani, rumah atau keluarga disebut dengan istilah oikos yang mengacu pada tiga konsep yakni keluarga, harta benda keluarga, serta rumah. Dalam tradisinya disebutkan bahwa oikos tersebut merupakan ranah perempuan, sedangkan laki-laki lebih mengarah pada hal-hal umum atau besar di luar itu.

Menurut Lolik, novel ini berhasil menunjukkan kepararelannya, mulai dari tema pandemi yang diangkat, jumlah serta peran tokoh perempuan yang ada, juga anggapan juri yang mengatakan bahwa novel ini mendasarkan konstruksi cerita pada gaya penuturan ringan dan sederhana yang membuatnya memiliki kualitas sebagai satir yang tajam dan cerdas; anggapan ini merujuk pada tokoh-tokoh perempuan tersebut. Sebab sama seperti Shidiv, Lolik menemukan perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya memiliki sifat yang cerdas serta ‘buas’ persis tokoh-tokoh di dalam novel ini.

Masih membahas karakter serta peran perempuan yang ditampilkan dalam novel ini, beberapa tokoh ikut menjadi perhatian para peserta Bincang Buku Petra. Yang pertama ada tokoh bernama Yayuk. Menurut Febry, Yayuk bukanlah tokoh yang kuat untuk menjadi penutup dari keseluruhan cerita ini.

Penggambaran karakternya juga ikut menarik perhatian Ajin yang menganggap Yayuk yang ada dalam novel ini memiliki perbedaan yang cukup besar. Tokoh Yayuk digambarkan sebagai gadis yang memiliki profil buruk di mata masyarakat, yakni suka gonta ganti pasangan. Yayuk seolah tidak peduli dengan pandangan masyarakat tentang dirinya. Malah dia menjadi lebih berapi-api jika perilakunya tersebut disentil oleh tokoh lain. Sementara karakter lainnya adalah Yayuk yang akan cenderung menutup diri dan memilih menghindari publik agar perilakunya tersebut tidak tercium atau diketahui oleh orang lain.

Tokoh kedua yang ikut disorot adalah Bu Asikin atau yang biasa disapa Bu As. Ia merupakan istri dari Pak Asikin, ketua RT yang periode jabatannya ikut dibicarakan dari awal hingga pertengahan novel. Bu As digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat membangun, memiliki dedikasi untuk maju, serta semangat yang berapi-api tetapi juga memiliki keinginan untuk selalu mendominasi yang kerap membuat warga kesal dan marah. Frasa ‘lauk daun’ yang kemudian menjadi judul novel ini juga merupakan plesetan Bu As saat akan menjawab pertanyaan salah seorang warga Kampung Merdeka perihal cara menyebutkan kata lock down. Tokoh Bu As ini, rupanya mengingatkan Ajin dengan tokoh Bu Tejo yang ada dalam salah satu film pendek berjudul Tilik. Karakter serta peran Bu As dalam novel ini dirasa sangat mirip dengan Bu Tejo.

Selain dua tokoh tersebut, tokoh Tutik malah menjadi tokoh favorit saya dan Febry. Tutik digambarkan sebagai wanita yang pintar, tegas, dan kritis. Dengan kepribadian seperti ini kami berharap, dialah yang akan membawa Kampung Merdeka ke arah yang lebih baik serta dapat mengimbangi tokoh Bu As yang memiliki sifat tidak mau mengakui kesalahan dan bersifat seperti ingin menguasai semuanya. Namun sayang, tokoh Tutik tidak dipertahankan hingga akhir. Dia menghilang begitu saja ketika novel ini mencapai klimaks dari konfliknya.

Selanjutnya, semua peserta setuju jika salah satu alasan buku ini bisa menarik perhatian juri adalah karena humornya yang baik. Ajin misalnya, mendapati lelucon-lelucon ringan dalam novel ini membuatnya tidak merasa bosan sehingga bisa bertahan membaca buku ini sampai akhir. “Leluconnya sangat lucu dan menggelitik,” katanya. Hal ini mendapat persetujuan dari Dokter Ronald yang merasa sedang bernostalgia dengan seri buku Lupus karya Hilman Hariwijaya.
“Ketebalan buku dan humor dalam seri Lupus sama persis dengan yang ada di dalam novel ini,” ungkapnya.

Berbeda dari Dokter Ronald, peserta lain, Beato, selama membaca novel ini, rupanya teringat pada serial Si Entong. Serial klasik tersebut juga mengangkat kisah kehidupan urban pinggiran kota yang ramai oleh masalah remeh-temeh warga kampung. “Leluconnya asik, lucu, receh, dan menyenangkan,” jelasnya. Di samping humornya yang hanya seperti lelucon tongkrongan, Maria Pankratia juga mendapat kesan penggambaran ceritanya yang seperti anekdot. “Kita perlu membacanya beberapa kali untuk tidak hanya merasa lucu tetapi juga mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis,” terang Maria.

Lauk Daun/Lock Down

Tema pandemi yang diangkat oleh penulis, rupanya dianggap sebagai hal menarik lainnya dari novel terbitan BaNANA ini. Ajin berkomentar, Dewan Juri sepertinya hendak mengingatkan pembaca akan peristiwa yang pernah menggoncang seluruh dunia di awal 2019 silam, yang bahkan masih dapat dirasakan hingga saat ini.

Akan tetapi, Ajin malah menemukan bahwa isi novel Lauk Daun ini tidak sepenuhnya menceritakan apa yang tertera pada judulnya. Hanya terdapat satu bagian yang menurutnya berhubungan dengan judul buku, yakni pada saat Yayuk melancarkan balas dendamnya pada Bu Ambar dan keluarganya yang membuat mereka dijemput paksa oleh petugas medis dikarenakan adanya laporan bahwa mereka terjangkit Covid-19. Ajin beranggapan bahwa seandainya masalah ini diangkat lebih intens, maka buku ini akan menjawab isu yang diangkat pada judulnya, Lauk Daun, yang merupakan pelesetan dari kata lock down.

Sependapat dengan Ajin, Dokter Ronald Susilo menyayangkan bahwa novel ini berakhir begitu saja. Padahal konflik pandemi di bagian akhir mulai terasa menarik dan menyentuh isu sebagaimana judul novel. Hal ini juga disetujui oleh Febry yang malah merasa bahwa isu pandemi yang diangkat dalam novel ini tidak relevan dengan yang terjadi di dunia nyata saat pandemi menyerang. Dalam novel ini diceritakan bahwa saat akan membuat portal, masih banyak warga yang melakukan protes dengan alasan ekonomi, realitanya pada masa pandemi, orang-orang tidak sempat memikirkan ekonomi, keselamatan nyawa adalah yang utama dan lock down merupakan salah satu solusi terbaik.

Selain hal-hal di atas, pertanyaan mengenai peran Ketua RT di tempat para peserta bincang buku sempat diajukan oleh Ajin, sebab jika dilihat, peran RT yang digambarkan dalam novel ini dirasa sangat besar dan kompleks, begitu berbanding terbalik dengan yang dia alami dalam lingkungannya, yang mana peran tersebut lebih dipegang oleh Ketua KBG/KUB (Komunitas Basis Gerejani/Komunitas Umat Basis). Menanggapi pertanyaan Ajin ini, beberapa peserta yang dominan berasal dari lingkungan berbasis KBG/KUB rupanya mengalami hal yang sama.

Berbeda pendapat, Shidiv justru melihat cerita di dalam novel ini sangat Jawa, mulai dari sistem RT-nya sampai pada bagaimana cara ibu-ibu berinteraksi dengan satu sama lain, benar-benar khas Jawa. Shidiv kemudian paham apabila peserta lainnya (yang non-Jawa) merasa asing dengan isu tersebut. Ia menjelaskan bahwa di Jawa, jabatan Ketua RT menjadi jabatan yang paling dekat dengan masyarakat. Untuk daerah-daerah yang berbasis agama Katolik yang membagikan umatnya dalam himpunan KBG/KUB atau Hindu yang membagikan penganutnya dalam rumpun Banjar, peran RT memang tidak begitu terasa. KBG/KUB serta Banjar dianggap menjadi bagian atau tingkat di bawah RT sebab warga lebih dekat dan terikat dengannya. Namun, untuk daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, RT menjadi salah satu tingkat yang paling berperan di bawah lurah. Maka peran dan fungsinya pun akan sangat besar dan efektif.

Membahas latar belakang masyarakat urban dalam novel Lauk Daun ini, Arsy ikut menambahkan bahwa cerita ini akan sangat dirasakan oleh mereka yang pernah menetap di kompleks sebagai pendatang. Ia membagikan pengalamannya saat menjadi pendatang di salah satu daerah. Sama seperti yang digambarkan dalam cerita ini, penghuni kampung itu memiliki profesi yang beragam, dari tingkat pemerintahan hingga petani, terdapat juga beberapa penduduk asli yang berusaha menunjukkan bahwa mereka menempati posisi superior sehingga memiliki kewenangan untuk mengatur seluruh penghuni kampung dalam mengikuti kegiatan bersama yang telah mereka tentukan. Untuk ibu-ibu pendatang, yang tidak bekerja, mereka akan menghabiskan waktu persis seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu di dalam novel ini; apa itu?

Kesan

“Buku ini memiliki bahasa yang ringan dan sangat menghibur, sehingga dapat dijadikan sebagai pilihan di antara novel-novel yang berat”_Shidiv.

“Saya sempat terdiktrasi oleh perbedaan penulisan nama tokoh Pak Aripin di bagian awal buku yang kemudian berubah menjadi Pak Arifin di bagian pertengahan. Saya bingung apakah ini bagian dari typo Bu As atau kesalahan penulisan dari penulis.” _Yasinta Ajin.

“Membaca buku ini membuat saya sadar bahwa budaya lisan orang Indonesia sangatlah kacau. Terdapat salah satu kutipan yang mengatakan bahwa alasan tingginya penyebaran berita hoax di Indonesia adalah tingkat budaya lisan yang lebih tinggi ketimbang budaya bacanya. Valid tidaknya sebuah berita akan lebih bergantung dari seberapa besar tingkat penyebarannya dalam perbincangan ketimbang mencari tahu sendiri melalui membaca.”_Beato Lanjong.

“Saya masih bingung mengapa penulis memberi judul ‘Lauk Daun’ untuk buku ini, padahal konflik yang diangkat hanyalah seputar Bu As dan ibu-ibu yang lain. Selain itu, penulis menghadirkan terlalu banyak kejadian sehingga membuat saya kesulitan menemukan pesan dari buku ini.”_Arsy Juwandi.

“Mudah dicerna, bacaan yang dekat dengan pembaca, tema yang ringan, buku yang menghibur memiliki pasar pembacanya sendiri. Buku seperti ini menjadi buku yang laris di pasaran karena hal-hal itu.” _Maria Pankratia.

Dan, begitulah Bincang Buku Petra yang ke-50 pada malam itu, yang dihadiri oleh 11 peserta antara lain; Armin Bell selaku pemantik, Lolik Apung sebagai moderator, Dokter Ronald, Maria Pankratia, Arsy Juwandi, Febry Djenadut, Febhy Irene, Yasinta Ajin, Beato Lanjong, Shidiv, dan saya sendiri sebagai notulen. Bintang 3 kemudian disematkan untuk novel ini.[*]


Baca juga:
Tiga Hari Bermain di Halaman Flores Writers Festival 2022
Membaca Novel Gemulung Seperti Membaca Skrip Film


Komentar Anda?