Menu
Menu

Jumat keempat, langit sempat mendung di pagi hari.


Oleh: Aura Asmaradana | Peristiwa Empat Jumat

Pengurus media kebudayaan daring Lau Ne, bergiat di kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan.


Jumat Pertama

Pada hari Jumat di pertengahan bulan Juli, aku bangun pukul lima pagi. Lingkungan masih sepi. Gonggong anjing terdengar di kejauhan. Aku memanggang roti dan telur di dapur, menenggak beberapa pil yang diresepkan dokter padaku.

Sebelum para tetangga ramai di jalan depan rumah, aku mandi dan segera mengenakan kemeja, celana pendek warna khaki, dan sepatu paling nyaman. Aku membuka lebar pintu utama rumah, mengganjalnya dengan patung lumba-lumba kayu yang dibeli Sara di pasar seni di Same. Hanya pintu kasa anti nyamuk yang tersisa.

Sejak awal meninggali rumah di kota ini, aku tidak bisa menghilangkan nikmatnya berjalan kaki dari rumah hingga ke lorong-lorong pasar. Ruas jalannya lebih teduh dari jalan kebanyakan. Jalannya berbatu, lubang di beberapa bagian. Aku mengamati kerusakannya hingga tak menyadari suara menggeram di sampingku. Di balik pagar rumah berpagar hijau, wajah anjing Labrador hitam terlihat sebesar wajah harimau. Aku terkejut, kemudian berlari kecil untuk mencapai rindang bayang pohon asam terbesar di ruas jalan itu. Aku perlu berteduh kurang lebih dua menit supaya keringatku menguap sedikit.

Pantai kemudian terlihat. Kadang aku sudah bisa mencium aroma bakaran batok kelapa yang disiapkan para pedagang sarapan di pertigaan jalan besar. Aku berjalan terus hingga tiba di teras sebuah rumah tipe dua puluh empat yang bertumpuk kursi dan meja kayu.

Bom dia, Maun.”

Bom dia.

“Saya mau beli yang seperti itu. Tapi kaki-kakinya buat empat puluh senti saja.”

“Bisa cepat kalau mau, saya bisa potong saja bagian kakinya, lalu poles dengan pelitur.”

“Dua, ada?”

“Ada.”

Transaksi pun berlangsung. Aku memberikannya uang, dan sang tukang kayu berjanji akan mengantarkannya ke rumah pada sore hari. Ia bersikeras akan mengantarkannya lengkap dengan sebuah bonus asbak bambu sederhana meski sudah kujelaskan bahwa aku sudah tidak pernah merokok lagi.

Langit sudah terang ketika aku melanjutkan perjalanan menuju pasar. Aku menyambangi sebuah toko yang baru saja buka untuk membeli sebuah celana pendek warna khaki lembut untuk kukenakan pekan depan. Sang pedagang memasukkan celana ke dalam kantung plastik hitam yang kujinjing sepanjang perjalanan pulang.

Aku memilih jalan pulang melalui gang kecil yang muncul di sebelah barat rumah supaya tak dikagetkan anjing rumah pagar hijau lagi.

Sore hari, tukang kayu memarkir mobil bak terbuka di depan rumah dan mengangkut dua meja kecil ke teras.

Obrigado, Maun.

“Meja?” Begitu saja respons Sara.

Aku hanya menanggapi Sara dengan senyuman. Aku begitu yakin rumah kami membutuhkan dua meja pendek di rumah dan aku membutuhkan celana pendek. Apalagi tentu ia ingat bahwa sebentar lagi aku berulang tahun.

Peristiwa Empat Jumat

Jumat Kedua

Jumat kedua, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Pakaian lengkap kusiapkan di tepi ranjang. Aku berjalan mengendap-endap menuju dapur. Ketika aku menyelesaikan kewajiban sarapan dan minum obat, aku mandi buru-buru. Sara masih nyenyak karena tampaknya ia baru menyelesaikan pekerjaannya pada dini hari. Ayam jantan berkokok bersahutan, menyambutku duduk memakai sepatu di teras.

Dengan sudah bersetelan kemeja merah, celana pendek khaki, dan sepatu, aku membuka lebar pintu utama rumah. Pandanganku langsung tertuju pada patung lumba-lumba kayu yang sangat disayangi Sara. Lumba-lumba selalu membuat Sara riang. Binatang itu membuat Sara ingat rumah masa kecilnya di Morphetville, Adelaide. Beberapa kali ia bercerita padaku tentang orang-orang yang berbondong datang ke marina pada awal September. Mereka bersiap-siap di Glenelg untuk berenang bersama kawanan lumba-lumba hidung botol di teluk St. Vincent.

“Ada riuh dan aroma khas tentang rumah yang sama sekali tidak bisa dijelaskan,” ujar Sara.

Aku mengganjal pintu dengan patung lumba-lumba dan berangkat. Kupikir jalan kecil berbatu yang banyak lubang di depan rumah sudah harus diperbaiki, tapi aku belum terpikir harus memberi saran ke mana, mengkritik siapa. Ketika sedang menimbang-nimbang, aku terkejut digonggong anjing di rumah berpagar hijau. Aku berlari kecil sampai di bawah pohon asam dan berteduh.

Aku melihat arakan asap menuju ke langit pantai. Aroma bakaran batok kelapa yang disiapkan para pedagang sarapan di pertigaan jalan besar tipis mampir di lubang hidungku. Selain menjual sea food bakar, mereka juga menjual ketupat. Aromanya mengingatkan aku pada dapur ketika lebaran. Aku sengaja berjalan pelan, sesekali menendang kerakal hingga tiba di teras rumah tukang kayu.

Bom dia, Maun.”

Bom dia.

“Saya mau beli yang seperti itu. Tapi kaki-kakinya buat empat puluh senti saja.”

“Sudah ada, tinggal dipelitur.”

“Dua, ada?”

“Ada.”

Aku mengeluarkan selembar lima puluh dollar dari dalam saku. Sang tukang kayu berjanji akan mengantarkannya ke rumah pada siang hari. Ia memberiku sebuah asbak bambu sebagai bonus.

Ketika aku berjalan menuju pasar barang bekas, matahari sudah cukup tinggi. Pintu geser toko pakaian baru terbuka separuh ketika aku datang. Kubeli sebuah celana pendek warna khaki untuk kukenakan pekan depan. Sang pedagang agak kebingungan mencari kantung plastik di meja kasir. Aku menunggu cukup lama hingga ia memasukkan celana pilihanku ke dalamnya.

Aku memilih jalan pulang melalui gang kecil yang terhubung dengan jalan di sebelah barat rumah supaya terhindar dari gonggongan beberapa anjing peliharaan yang nyaring.

“Aku buatkan kamu nasi kuning dan tempe orek. Maaf, tadi pagi aku terlambat bangun.” Sara mencium bibirku, meraih kantung plastik di tanganku.

“Celana?”

“Iya. Ini tanggal 29.”

“Iya, makanya nasi kuning di dapur itu untukmu.” Helaan nafas Sara lebih panjang dari biasanya. Namun tetap tak sepanjang ketika ia mendapati tukang kayu mengangkut dua meja kecil ke teras.

“Meja lagi?”

Aku sangat yakin Sara butuh dua meja kecil. Perkara celana, ia tentu senang aku mendapatkan hadiah istimewa untuk hari ulang tahunku.

Peristiwa Empat Jumat

Jumat Ketiga

Ketika baru saja bangun tidur pada pagi hari, hal pertama yang aku ingat adalah memberikan diriku sendiri sebuah hadiah untuk merayakan hari istimewaku di tahun ini. Sebuah hadiah yang benar-benar kubutuhkan, sebuah celana pendek untuk berjalan-jalan santai. Dengan semangat menggebu, aku mandi dan berpatut diri mengenakan kemeja lengan pendek, celana pendek, dan sepatu Nike yang berwarna seperti bendera Spanyol.

Sepagi itu sepertinya Sara sedang berada di ruang kerja, jika tak sedang mengurus kompos di halaman belakang. Aku keluar rumah melalui pintu depan yang sudah terbuka lebar. Sara mengganjalnya dengan patung lumba-lumba kayu. Kututup pelan pintu kasa anti nyamuk di bagian luar.

Nikmat sekali berjalan di kota ini pada pagi hari. Terlambat sebentar, aku akan menemui udara panas khas pesisir meski jarak antara rumah dan pasar kurang dari satu kilometer. Ada beberapa lubang di jalan yang berbatu. Anjing di balik pagar rumah berpagar hijau mengeluarkan jungurnya sambil menggonggong. Aku terkejut, kemudian memutuskan berlari kecil supaya segera bisa berteduh di bawah pohon asam besar di ujung ruas jalan. Harusnya, paling tidak rumah itu memasang penutup di pagar jerujinya. Meski gonggongan si anjing mengagetkan, tetapi paling tidak ia tidak menakutkan secara visual.

Di atas langit pantai, semburat awan tipis anteng-anteng saja melihatku mulai berkeringat. Ada aroma sabut kelapa bakar di udara.

Aku berjalan terus hingga tiba di teras sebuah rumah tipe dua puluh empat yang di situ bertumpuk kursi dan meja kayu.

Bom dia, Maun.”

Bom dia.

“Meja?”

“Dua buah. Kaki-kakinya empat puluh senti, bisa?”

“Sudah ada. Sebentar lagi saya antar.”

“Oh, nanti siang saja. Saya mau ke pasar dulu. Beli celana.”

“Baik.”

Aku memberinya selembar dollar, lalu sang tukang kayu mengangkat sebuah asbak bambu ke udara sambil menyeringai.

“Bonus.” Ujarnya. Kukatakan bahwa aku sudah bukan perokok, dia lalu menggeleng.

“Untuk tamu, suatu hari nanti.” Aku hanya mengiyakan.

Aku pulang dengan menjinjing kantung plastik hitam berisi celana pendek. Kupilih jalan agak memutar yang tembus di sebelah barat rumah supaya tak bertemu anjing di rumah pagar hijau lagi.

Sara tidak ada di rumah sore itu ketika tukang kayu menumpuk dua meja kecil baru di atas dua meja kecil lain, di samping dua meja lain yang serupa.

Peristiwa Empat Jumat

Jumat Keempat

Jumat keempat, langit sempat mendung di pagi hari. Setelah mengenakan kemeja, celana pendek, dan sepatu, aku duduk di kursi teras meyakinkan diri apakah hujan benar-benar akan turun atau awan gelap hanya bercanda.

Aku menunggu Sara menyapaku dari balik pintu kasa anti nyamuk, tetapi kuduga ia sudah sibuk di kamar kerja. Aku menutup pintu kasa anti nyamuk buru-buru karena ingat bahwa pagi itu aku dibangunkan oleh gigitan nyamuk di paha kanan. Nyamuk menjadi sangat mengerikan bagiku.

Sepanjang jalan kecil berbatu yang banyak lubang, aku berusaha mengingat-ingat nama chefe de suco atau chefe de aldeia. Siapa yang seharusnya menangani lubang-lubang itu? Aku kesal pada diri sendiri karena tidak dapat mengingat meski cuma nama belakangnya. Aku bertambah kesal karena bisa-bisanya aku dikejutkan gonggongan Labrador di rumah berpagar hijau. Aku terkejut sampai sedikit melompat dan berjalan sangat cepat. Di bawah pohon asam rindang di jalan utama, aku menghindar sebentar dari matahari yang pelan-pelan naik ke angkasa.

Aku memperhatikan kios-kios pedagang sarapan di pertigaan jalan besar. Kubayangkan nikmatnya makan ikan bakar dengan sambal. Sudah beberapa bulan ini aku tidak bisa merasakan bumbu-bumbu menggigit lidahku.

Aku berjalan pelan menuju rumah tukang kayu di sebelah kiri jalan yang menghadap ke muara.

Bom dia, Maun.”

Bom dia.

“Meja?”

“Iya, dua.”

“Kaki pendek ya? Sudah ada. Nanti sore saya antar, sekalian dengan asbak.”

“Asbak?”

“Bonus.”

Aku mengucapkan terima kasih sambil menyerahkan selembar dollar.
Ketika aku berjalan menuju pasar, matahari sudah cukup tinggi. Rolling door toko pakaian baru terbuka separuh ketika aku datang. Kubeli sebuah celana pendek warna khaki untuk kukenakan pekan depan. Sang pedagang agak kebingungan mencari kantung plastik di meja kasir. Aku menunggu cukup lama hingga ia memasukkan celana pilihanku ke dalamnya.

Aku memilih jalan pulang melalui gang kecil yang terhubung dengan jalan di sebelah barat rumah.

Sara menyambutku di samping rumah sembari berkacak pinggang.

“Kamu dari mana? Beli celana lagi?”

“Bukan. Beli meja.”

“Itu apa?”

“Oh, ini celana.” Aku mengayunkan kantung plastik ke arahnya. Sara mengusap poni pirangnya ke belakang sambil menghela nafas.

*** Peristiwa Empat Jumat

Sejak Seno mendapatkan demam pertama di rangkaian serangan malaria, ia kelimpungan menghadapi imajinasinya sendiri. Kubayangkan mereka datang tidak terkendali dan mengobok-obok kewarasannya. Jenis imaji-imaji itu tentu bukan yang biasa didambakan oleh para penyair untuk modal menulis sajak, melainkan imajinasi yang membuatnya percaya bahwa keberadaannya bukanlah apa-apa, tidak ada yang ia cari, dan pada akhirnya ia akan mati dengan cara menyakitkan. Seno sering menangis di pelukanku.

Sudah lima tahun aku dan Seno tinggal di kota ini, beradaptasi dengan udaranya, mengirup aroma-aroma khasnya, berkawan dengan serangga-serangganya. Sebelum malaria menyerangnya, tidak pernah kami berdua begitu tidak tenang dan ingin melarikan diri ke tempat yang jauh, yang hawanya lebih sejuk supaya kepalaku lebih dingin dan ringan. Aku cukup lelah menemani keseharian Seno yang berada di batas antara sadar dan tidak sadar. Namun sudah sepekan terakhir, keadaan menjadi lebih baik. Ia sudah lebih fokus dan sering tertawa setelah sebuah kejadian ketika terakhir kali kami menemui dokter.

Waktu itu, aku tergopoh-gopoh menghampiri Seno sembari membenahi tas kanvas di pundak dan kantung kertas berisi obat-obatan.

“Seno, kamu kenapa?”

Ia menggelengkan kepala, mengacak rambut, dan memicingkan matanya sebelah. Keringat jagung menggelinding di pelipis.

“Aduh, Sar. Aku enggak mau masuk lagi.”

“Iya, sudah. Enggak apa-apa.” Aku segera menelepon dokter yang tentu masih menerka-nerka apakah kami akan kembali masuk ke ruangan observasi atau tidak.

Sepulang dari rumah sakit, aku mengendarai mobil dengan ketidaktenangan. Ada apa lagi di depan yang akan menghadang? Kapan kami bisa kembali hidup normal?

“Maaf, Sara, tapi tadi itu jelas sekali. Kipas angin itu berputar semakin cepat dan semakin dekat. Ukurannya semakin besar seperti UFO mau mendarat. Aku merasa benda itu akan mencabik-cabik otakku.”

“Iya, iya, sudah. Tiba di rumah kamu harus segera minum obat.”

“Mual banget aku.” Seno duduk bersandar, memejamkan mata.

Aku turun dari mobil dan mendorong gerbang depan rumah. Seno menegakkan duduk, terlihat tak enak bahwa ia tak membantu. Aku tersenyum saja, tahu bahwa tangannya masih bergetar gara-gara kipas angin di ruang observasi. Ada Ibu berdiri di ambang pintu, di pundaknya tersampir kain lap yang mungkin bertengger di situ sejak dari dapur.

Awalnya, aku keberatan Ibu datang ke sini. Usia Ibu tahun ini enam puluh tujuh tahun. Ia sangat jarang bepergian menggunakan pesawat, sedangkan perjalanan dari Jawa ke Timor butuh waktu lama. Belum lagi transit di bandara internasional yang luas dan buggy car-nya sering tidak berfungsi itu. Namun lepas dari alasan kesehatan, alasanku selalu sama sejak lima belas tahun lalu, ketika kami baru saja menikah.

“Setua apa pun seseorang, ia akan selalu jadi anak jika berada satu atap dengan orang tuanya.” Aku khawatir jika Seno malah tidak terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri sepeninggalan Ibu.

“Pulih juga harus dilatih.” Aku mengatakan padanya. Namun toh akhirnya aku sendiri yang kebingungan pada masa-masa pemulihan Seno.

“Kalau mengurusmu, aku masih bisa. Aku bisa sabar, tapi setelah itu, aku merasa rumah ini jadi tidak ada kehidupan.” Jujurku pada Seno. Kecuali Minggu pagi ketika mengikuti kelas yoga di pantai, hari-hariku hanya berkutat di rumah dan kantor. Selama Seno sakit, aku bekerja dari rumah. Lepas dari pihak kantor yang sefleksibel itu pada para pekerjanya, tak sulit menjamin tanggung jawabku pada atasan. Kalau ada keberatan, kugadaikan saja nama dua perusahaan besar dan satu kantor pemerintahan di pusat kota yang sudah menawariku pekerjaan dengan gaji lebih tinggi.

Ibu menjadi orang nomor satu dalam daftar orang-yang-harus-datang karena pertama, kalau soal sakit, tak ada yang mengenal Seno lebih baik dari padanya. Kedua, aku tak merasa berkewajiban untuk melayaninya seperti ketika teman atau kerabat lain datang. Aku bisa mengajaknya berbincang ketika aku ingin dan sempat, tapi tak terlalu tertuntut untuk selalu mengontrol keberadaannya. Ibu selalu bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik di mana pun. Ia tegas dan tidak suka basa-basi. Sebetulnya aku agak menyesal karena tidak mengundangnya lebih cepat supaya bisa menertawai bersama kekonyolan Seno ketika sedang parah-parahnya, setelah memenuhi rumah dengan meja-meja yang hingga kini tak terpakai.

Seluruh meja yang sudah dibelinya hanya kami tumpuk di dalam gudang bawah tangga. Pada beberapa masa, kami sama-sama lupa tentang keberadaan meja-meja itu. Sampai kemudian ibu beberapa kali mengingatkan aku.

Nduk, meja-meja di gudang itu apa ndak sebaiknya kasihkan saja ke orang lain? Aku baru bereskan gudang, sudah tidak ada ruang kosong di dalamnya.” Tanya Ibu. Ketika itu kami bertiga sedang duduk santai di teras, tepat di hadapan kipas angin yang putaran lehernya tersendat-sendat.

“Sudah ada teman-teman dari klub sepeda yang mau ambil, tapi belum ada yang sempat.” Seno menenangkan.

“Oh, bagus deh.”

“Kalian ndak keberatan ya, kalau aku mau di sini sampai kamu sembuh betul.”

“Iya, Bu, nanti kita cari orang untuk antar Ibu ke batas untuk cap ulang paspor.”

Aku berusaha mengingat siapa kawan yang bisa kami mintai pertolongan, atau mungkin sebetulnya aku bisa saja menyempatkan untuk mengantarnya.

“Aku ingat Bapak dan adikmu, Le. Sudah hampir dua puluh delapan tahun.”

Ketika itu, pandangan Ibu menerawang melampaui bahu anaknya.

“Iya. Mereka istirahat dengan tenang, Bu.”

“Harusnya Sara lebih cepat memberitahu aku. Kok baru bilang belakangan?”

Kunyatakan maafku melalui tatapan padanya.

“Aku hanya takut dia jadi laki-laki ketiga dalam hidupku yang mati karena nyamuk.” Begitu Ibu menjawab maafku. Di bola mata Ibu, aku seperti melihat mendiang Bapak dan Risman, adik kandung Seno yang meninggal dunia tertular demam berdarah dengue tahun 1988. Meski hanya mengenalnya lewat album foto, aku tak bisa membayangkan menjadi ibu yang kehilangan mereka berdua sekaligus ketika usianya baru beranjak kepala empat.

“Seno tidak mati, Bu. Dia hanya sedikit gila,” ujarku sembari meringis. Harusnya suasana bisa mencair.

“Badan besar begini, janggut dan brewok gagah. Aku ndak akan kalah oleh nyamuk.” Seno terkekeh-kekeh sebelum suasana jadi sangat hening untuk beberapa saat. Sandaran punggung Ibu di tembok semakin merosot.

“Bu, terima kasih sudah mau datang.” Seno memecah kesunyian. Decak pelan datang dari mulut Ibu. Pandangan mereka beradu. Ibu menuangkan es teh manis dari teko ke dalam sebuah mug, memberikannya pada Seno. Aku mengangkat botol apple cider, meneguknya perlahan. Suara gemericik air dan gesekan daun kamboja ditiup angin tiba-tiba terdengar sungguh lamban dan muram.[*]


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Bejo Menanti
Yang Kita Miliki dan yang Tak Kita Miliki


Komentar Anda?