Menu
Menu

Dalam proses penciptaan di Rantai Bunyi, unsur kolektif amat kuat dan menjadi pijakan.


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Penggiat di Komunitas KAHE.


Dengan pendekatan dokumenter, tulisan ini membahas program seni Residensi dan Konser Ceramah ‘Musik Kampung Pesta Flores’. Program ini adalah bagian dari kuratorial Rantai Bunyi, salah satu kuratorial-program dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Berlangsung di Maumere, Flores, program ini mengundang lima belas seniman musik (musisi) di Flores dan sekitarnya untuk melakukan residensi, bertukar gagasan mengenai musik serta merancang dua repertoar yang dipresentasikan juga direkam untuk bisa dipublikasi serta diakses secara luas.

Pertanyaan penting yang berusaha digali lebih jauh dari catatan ini, yang sedikit banyak merekam proses dari residensi tersebut adalah 1) bagaimana metodologi proses dikembangkan dalam keseluruhan program? 2) apakah ada estetika tertentu, berkaitan dengan model forum dan karya yang bisa dicatat dari proyek ini dan diaplikasikan kembali oleh para partisipan dalam kerja-kerja mereka selanjutnya?

Kuratorial Rantai Bunyi

Kuratorial Rantai Bunyi diinisiasi oleh Nyak Ina Raseuki atau yang lebih dikenal dengan sapaan Ubiet, bersama dengan dua asisten kurator yaitu Halida Bunga Fisandra dan Yasmina Zulkarnain. Rantai Bunyi digagas sebagai model penelusuran bunyi Nusantara, meliputi penjajakan atas sejarah bunyi dalam kebudayaan di masa lalu, pertukaran pengetahuan musik terkini, dan kemungkinan eksplorasi yang dapat dikembangkan dan dipertukarkan di masa depan. Rantai diibaratkan sebagai relasi dan keterikatan antara berbagai pengalaman, praktik, dan pengetahuan lintas bunyi yang ada dan berlangsung di berbagai konteks sosial budaya tertentu. Model penelusuran yang dirancang dalam program Rantai Bunyi berupaya agar bunyi, musik, derau, suara dapat dipersepsi ulang oleh para pelaku seni, pendengar, dan publik luas. Keragaman bunyi dipertukarkan, diapresiasi dan dirayakan bersama-sama.

Rantai Bunyi juga merupakan kerja seni berbasis riset, workshop, kajian, yang selanjutnya diarahkan pada penciptaan dan pendokumentasian musik. Spektrumnya sangat luas, mulai dari khazanah tradisional, modern, kontemporer, tak terkecuali skena populer yang sedang berlangsung. Ini didasari oleh keyakinan bahwa tradisi bunyi dan musikal bisa ditelusuri dari unit terkecil yaitu ranah personal, lalu meluas ke keluarga, komunitas warga hingga negara, bangsa, dan lintas geokultural serta geopolitik. Praktik, instrumen, sistem musikal tertentu yang ada di satu wilayah bisa saja similar dengan yang ada di wilayah lainnya dengan kontekstualisasi yang relevan.

Kuratorial Rantai Bunyi pada Pekan Kebudayaan Nasional 2023 berfokus pada tradisi dawai sebagai kategori musikal dan empat wilayah di Nusantara sebagai lanskap geokultural, yaitu Tanjung Pandan (Bangka Belitung), Pontianak (Kalimantan Barat), Baubau (Sulawesi Tenggara), Maumere (Nusa Tenggara Timur), dan Jayapura (Papua). Ada lima program dari kuratorial ini, antara lain “Residensi dan Konser Ceramah”, “Rombong Dangdut”, “Rombong Dawai”, “Instalasi Dialek Nusantara”, serta “Dawai Nyanyian: Penerbitan CD Album dan Bunga Rampai Rantai Bunyi”. Dalam penyelenggaraannya, kuratorial Rantai Bunyi dikerjakan bersama dengan komunitas-komunitas lokal, seperti Komunitas Seni Sarong Budaye (Tanjung Pandan), Balaan Tumaan (Pontianak), Komunitas Katutura (Baubau), Komunitas KAHE (Maumere), dan Komunitas Action (Jayapura).

Musik Kampung Pesta Flores sebagai Titik Berangkat

Dalam konteks program Residensi dan Konser Ceramah di Maumere, 15 seniman dari Maumere, Labuan Bajo, Ende, Ruteng, dan Sumba berkumpul di Maumere selama tujuh hari penuh. Kelima belas seniman tersebut yakni Ade Awaludin Firman (Labuan Bajo), Alfarez Steven Juniarta Samputra (Maumere), Alfonsa Anastasia Noning (Maumere), Barnabas Aksel (Maumere), Bonifasius Heribertus Rado (Ende), Laurensius Jan Nois (Maumere), Maria Gracia Prili Da Cunha (Maumere), Marianus Simon (Maumere), Markus Maryolys Verrystanto (Maumere), Mathilda Elisa Christabel Agustino (Maumere), Redra Ramadan (Labuan Bajo), Rikardus Alvino (Maumere), Welhelmus Pere Padi (Maumere), Yosef Smithson Kapitan (Wairasa), dan Yohanes Heppyson Patung (Ruteng).

Kelima belas seniman ini tak semuanya memainkan alat musik dawai. Ada pemain piano, violin, saxophone, alat musik tradisional (gong, waning, teren bas), drum, hingga yang menggunakan piranti perangkat lunak seperti sequencer dan FL Studio. Para pemain alat musik dawai pun punya spektrum praktik yang luas, mulai dari instrumen elektronik seperti bas, lead gitar, ritem, hingga gitar akustik, ukulele, juk, sato (alat musik tradisional suku Krowe di Maumere), dan flora—instrumen dawai yang diciptakan dan diberi nama sendiri oleh musisinya. Preferensi musik dan genre tiap-tiap musisi pun berbeda-beda. Ada yang dikenal sebagai ‘anak rege’, ada organis gereja, ada pemain keyboard tunggal, rapper, musisi folk, dan macam-macam lainnya. Beberapa musisi boleh dibilang senior, sementara yang termuda masih duduk di kelas VIII SMA.

Pemilihan ‘Musik Kampung Pesta Flores’ dengan kasus-kasus di Maumere sebagai referensi dan titik berangkat adalah proyeksi yang menarik. Ada dua variabel yang penting di sini. Pertama, musik kampung yang merujuk pada instrumen dan keluasan tradisi musikal di masa lampau. Kedua, pesta sebagai sebuah praktik tradisional-sosial yang berkaitan dengan perayaan, yang berkembang dari zaman ke zaman dengan aneka modifikasi terhadap isi dan bentuk.

Dalam konteks Flores, perayaan amat dekat dengan kehidupan warga. Orang Flores, khususnya Maumere kerap dipandang sebagai masyarakat yang selalu merayakan. Di Maumere, ada keyakinan tradisional bahwa hidup adalah perayaan-perayaan. Sebagai contoh, di kampung-kampung bagian selatan, ada ritus bernama togo pare. Togo pare punya banyak bentuk. Ada yang dilakukan sebelum pembukaan lahan tanam, ada yang dilakukan sebagai bagian dari upacara syukur panen. Di dalam praktik ini, musik dan tarian jadi unsur yang amat penting. Pada praktik sako seng yang dilakukan suku-suku di daerah utara, para petani mencangkul kebun sambil bernyanyi, diiringi oleh ketukan korak (tempurung kelapa). Pada acara kematian, ada banyak praktik lamentasi, ketika mama-mama meriwayatkan lagi perjalanan hidup yang berpulang, dengan syair yang menyayat hati. Demikianlah, di Maumere, betapa kehidupan sehari-hari tak jauh dari perayaan, dari lagu dan tarian. Praktik ini, tentu juga tersebar dalam ragam bentuk dan penghayatan di etnis lain di Flores.

Pesta adalah bentuk paling mutakhir dari perayaan-perayaan, situs dan ‘event’ paling publik dan sering dianggap profan dari aneka ritus tradisional di baliknya. Pesta tanpa disadari menjadi medan bagi tradisi musikal di Flores untuk terus-menerus bertransformasi dalam aneka bentuk dan pendekatan dari zaman ke zaman. Pesta juga jadi tempat aneka tradisi musikal bertemu. Spektrum musikal yang luas dan beragam bisa bertaut di tenda-tenda pesta di Maumere dan Flores umumnya. Lagu ja’i dari Bajawa, lagu-lagu Minang, dangdut, ska, reggae dan disko, dinikmati di tenda-tenda pesta. Lagu-lagu tradisional digubah ulang dengan ragam pendekatan, organ tunggal, band, disc jockey dengan beragam genre: disko, pop daerah, dangdut, dan banyak lagi. Pesta jadi panggung, etalase, sekaligus pasar yang kontekstual bagi praktik musikal maupun ‘industri kreatif’ di Flores. Sayangnya, dalam banyak sudut pandang, tradisi ini kerap dianggap ‘kelas dua’ bukan musik intelek, bahkan bukan bentuk kesenian. Anggapan ini tentu berakar pada perasaan inferior dan kesadaran yang kerap irasional, bahwa bentuk atau skena musik ‘yang tinggi’ adalah yang skalanya ‘nasional’ atau ‘global’ dengan ukuran-ukuran ‘industrial’ di Jawa atau ‘Barat’, lengkap dengan segala kemajuan infrastrukturnya.

Pemilihan ‘Musik Kampung Pesta Flores’ sebagai titik berangkat tentu berasal dari kesadaran yang lokal dan sekali lagi kontekstual atas tradisi dan praktik musikal yang dekat dengan masyarakat Maumere, dan Flores umumnya. Di Maumere, hampir setiap hari ada pesta. Hampir setiap malam ada suara musik yang diputar kencang-kencang lewat sound system berkekuatan minimal 5000 watt. Hingar-bingar pesta adalah soundscape yang akrab dan lekat dengan telinga orang Flores. Pada kenyataannya,’yang dekat’ itu, kerap terlalu lazim dan jarang direfleksikan sebagai sesuatu yang penting serta bernilai.

Dengan demikian, residensi rantai bunyi sebenarnya jadi ruang yang menarik bagi para musisi dan seniman bunyi untuk melihat dan merefleksikan kembali gagasan juga praktik masing-masing beserta seluruh fenomena musikal yang ada serta berlangsung dari hari ke hari di lingkungan paling dekat, tempat mereka hidup dan berkarya. Ini segendang sepenarian dengan salah satu ide kuratorial Rantai Bunyi, ‘panggung yang menghadap ke dalam’, kepada interaksi dan dialog para musisi yang terlibat serta mengarahkan perjalanan selama residensi ke konteks sosial-kultural tempat masing-masing dari mereka berkarya.

Berbagi dan Bertukar sebagai Titik Pijak Metodologi

Di Maumere, kelima belas seniman partisipan terlibat dalam workshop, penciptaan, rekaman, dan presentasi repertoar secara kolaboratif. Keseluruhan proses difasilitasi oleh Kartika Solapung, seorang seniman dan vokalis dari Komunitas KAHE (Maumere) serta Febriyan Stevanus, musisi dan akademisi dari Tulungagung. Proses workshop terbagi dalam beberapa bagian penting. Ada perkenalan antar partisipan lewat musik yang dimainkan, sharing dengan narasumber, diskusi di kelompok kecil dan penciptaan di kelompok yang lebih besar.

Sesi sharing menghadirkan tiga narasumber utama, Leopoldus Maring, Darno Desno, dan Kahi Ata Ratu. Leo Poldus Maring bercerita tentang praktik-praktik musikal tradisional yang berlangsung di kampung Kloangpopot dan suku-suku di daerah selatan Maumere. Bapa Leo banyak menerangkan sejarah dan filosofi dari tradisi bunyi dan musik dari Maumere. Yang paling penting dicatat dari presentasi Bapa Leo adalah musik di Maumere selalu memanfaatkan material yang paling dekat baik dari segi instrumen maupun cerita dalam lagu-lagu yang dihasilkan, serta punya karakter kebersamaan juga kegembiraan. Ia menyebut korak (tempurung kelapa) dalam upacara togo apur. Korak punya fungsi signifikan untuk memanggil seluruh warga berkumpul dan kemudian mengiring lantunan adat dan tarian.

Darno Desno yang adalah seorang pelaku seni, guru musik, dan vendor sound system berbagi cerita tentang amatannya mengenai fenomena musik pesta di Maumere. Bagi Desno, ada tiga hal penting yang berlangsung: 1) pesta tanpa disadari jadi arena untuk melestarikan budaya dan unsur tradisi musik di Maumere, 2) pesta jadi ruang yang demokratis bagi persebaran musik lokal di Maumere dan Flores umumnya, sebab di pesta lagu dalam genre apapun mendapat tempat untuk diputar, 3) pesta adalah pasar dan industri penting, sebagai salah satu ‘hulu’ yang menunjang kreasi-kreasi baru aneka ragam musik di Maumere, dan Flores pada tingkat hilir.

Kahi Ata Ratu dari Sumba berbagi tradisi jungga, instrumen dan musik dawai yang ia mainkan. Kahi Ata Ratu memainkan beberapa repertoar yang ia ciptakan dan para peserta mendengarkannya dengan saksama. Kahi Ata Ratu juga bercerita tentang bagaimana tradisi patriarki di Sumba menjadi tantangannya bahkan hanya dalam memainkan alat musik jungga, apalagi mengembangkannya. Bagi Kahi Ata Ratu musik adalah cara hidup dan perjuangannya. Lewat jungga, ia ingin menunjukkan kreativitas dan kemandirian perempuan yang kerap diabaikan oleh tradisi yang bercorak patriarki.

Proses yang menarik dalam workshop ini adalah diskusi musikal dalam kelompok-kelompok kecil dan besar yang dilakukan selama proses penciptaan.

Pertama-tama, kelima belas peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Di sana, mereka berkenalan lebih dalam, terutama perihal praktik dan preferensi musikal masing-masing, lewat jamming bebas. Jamming untuk saya adalah metode berkenalan yang baik. Kemampuan dan kreativitas tidak diwakilkan lewat kata tetapi secara langsung lewat kehadiran dan performativitas masing-masing. Selanjutnya, lewat jamming pula, gagasan musikal saling dipertukarkan dalam bentuk yang paling praktis ketika proses mulai memasuki tahap penciptaan.

Di dua kelompok kecil, para musisi menciptakan masing-masing satu repertoar, berangkat dari inspirasi yang didapat selama sesi berbagi dengan narasumber, dan tentu saja spektrum keahlian mereka masing-masing. Diskusi dilakukan menggunakan bebunyian dan juga obrolan verbal. Pertukaran berlangsung menarik, karena proses tersebut mengakomodasi baik pertemuan/kesepakatan maupun perselisihan/ketidaksepakatan atas unsur-unsur musikal maupun gagasan tertentu.

Silang kultur, praktik dan preferensi estetika berlangsung. Redra Ramadhan dari Labuan Bajo amat sulit memainkan gitar dengan tempo yang cukup cepat dan rancak dengan permainan gong serta gendang Maumere. Kultur musik Bajo yang melodis, mengalun, dan pelan menubuh dalam pilihan-pilihan improvisasi Redra. Hal lain, preferensi permainan Redra juga amat diwarnai oleh kesehariannya sebagai pemain musik di cafe-cafe di Labuan Bajo. Ia cukup berjarak dengan khazanah tradisi lain, dalam hal ini Maumere dan Ende.

Kasus yang lain dialami oleh Barnabas Axel asal Ende tetapi berdomisili di Maumere. Pilihan-pilihan improvisasinya berkisar antara suara-suara string dan organ. Tidak bisa dipungkiri bahwa preferensinya amat dipengaruhi oleh tugas yang ia emban sebagai organis gereja. Di satu sisi ia amat mudah menyesuaikan dengan ragam unsur tradisi karena banyak lagu gereja juga bercorak inkulturatif. Namun, di lain sisi, ia kesulitan harus menyesuaikan dengan corak dan preferensi lain seperti reggae dan musik-musik hiburan lainnya.

Dalam beberapa kasus pertengkaran terjadi ketika masing-masing musisi punya istilah dan pemahaman yang berbeda soal unsur musikal tertentu. Di kasus penciptaan ini, istilah-istilah musik konvensional dipinggirkan dahulu. Para fasilitator harus mencari bahkan membuat istilah dan cara pencatatan struktur repertoar dengan bahasa yang dipahami, disepakati, dan paling dekat dengan gagasan yang diusung dari masing-masing kelompok. Bagi Elisabeth Christabel atau Abel, basis yang baru duduk di kelas dua SMA, proses ini amat membantunya memahami soal komposisi. Istilah-istilah yang berat dan asing berusaha diturunkan dalam tataran praktis, sehingga pemahaman di kepala masing-masing seniman bergerak dari tindakan yang dilakukan ke kesadaran soal fungsi dan maknanya.

Benturan-benturan musikal yang lain terjadi di antara ragam musik tradisi dan modern. Perdebatan soal tempo dan tuning gong waning yang ‘agak kurang harmonis’ ketika bersanding dengan ritme dan dan sistem akor modern. Pertengkaran ini misalnya berlangsung antara Fonza yang belajar musik secara akademis dan om Erik Bagus yang lebih banyak mengalami musik tradisional sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di kampung. Meski keduanya sama-sama berasal dari Maumere, cara keduanya memasuki musik berbeda. Kebiasaan di keluarga, ruang sosial, dan tentu saja latar belakang pendidikan jadi parameter lain yang menentukan preferensi dan keahlian masing-masing.

Setelah dalam diskusi di kelompok kecil, masing-masing kelompok mempresentasikan repertoarnya kepada kelompok besar. Repertoar tersebut kemudian dilatih untuk dimainkan bersama-sama oleh lima belas musisi dengan lima belas instrumen. Penambahan instrumen dan kemungkinan improvisasi dijelajahi lebih jauh.

Perbedaan-perbedaan yang ada coba diakomodasi lewat beragam cara, mulai dari menyediakan ruang bagi perubahan tempo dan suasana, memberi porsi individual pada instrumen-instrumen tertentu sebagai leader baik dalam melodi maupun penentu irama, hingga membangun jembatan-jembatan dengan isian-isian tertentu dari berbagai instrumen yang spektrum karakternya luar biasa beragam.

Dua Konteks Presentasi, di Maumere dan Jakarta

Workshop menghasilkan dua nomor repertoar. Masing-masing berjudul Tana Waikanena dan Sa Bhoka Sa Ate. Dua lagu tersebut direkam dengan pendekatan field recording oleh Rekam Bergerak. Selanjutnya, repertoar-repertoar ini dimainkan dalam dua kali konser ceramah, yaitu di Maumere dan di Jakarta pada penutupan Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Satu nomor lain yang turut dimainkan berjudul Sili Abar/Jong Bura, sebuah lagu tradisional yang secara formulaik tersebar di berbagai daerah di Flores. Dalam konteks pertunjukan ini lagu tersebut dinyanyikan sesuai dengan yang berkembang di Manggarai dan Maumere.

Di Maumere, konser berlangsung di aula rumah jabatan Bupati Sikka. Hadir pada malam itu Bapak Restu Gunawan, mewakili Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Alit Ambara selaku Direktur Artistik Pekan Kebudayaan Nasional, perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi NTT dan Kabupaten Sikka, serta utusan dari Balai Pelestarian Kebudayaan XVI NTT.

Konser ceramah berlangsung selama dua jam. Diawali oleh sambutan-sambutan para pejabat yang hadir, keseluruhan presentasi karya dibuka dengan lagu Sili Abar/Jong Bura. Dimainkan dengan format musik kampung, lagu ini menghentak penonton. Keragaman alat musik dan dialek mulai terlihat di sana. Konser berlanjut dengan cerita mengenai proses kreatif yang dipandu oleh kedua fasilitator. Tana Waikanena menjadi repertoar kedua yang dimainkan, dilanjutkan dengan Sa Bhoka Sa Ate sebagai penutup. Di antara dua repertoar tersebut ada tanya jawab antara musisi dan fasilitator.

Respons penonton di Maumere amat positif. Aula rumah jabatan penuh sesak. Para penonton merespons bagian-bagian yang menarik bagi mereka, dengan tepuk tangan atau teriakan, khas orang Maumere. Beberapa yang lain merespons repertoar yang mengentak dengan ikut berjoget dan bergoyang. Pada repertoar terakhir, semua penonton tumpah ruah ke area depan panggung yang tak terisi tempat duduk. Febrian, fasilitator dari Tulungagung, lari memeluk Kartika Solapung karena haru dan tak menyangka presentasi musikal menjadi perayaan bersama seluruh audiens. Semua penonton dengan penuh perhatian dan juga antusiasme mendengar cerita dan refleksi soal pengalaman musikal yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari disajikan secara elegan dalam diskusi dan konser yang disusun dengan rapi. Acara diakhiri dengan jamming bersama, memainkan lagu-lagu folk dan pesta yang berlangsung hingga larut malam. Moke, teriakan, dan joget jadi niscaya. Konser ceramah yang bicara soal musik kampung pesta Flores benar-benar menjelma menjadi pesta.

Meski disajikan dalam bentuk prosenium, jarak panggung yang agak berbentuk setengah lingkaran dan tak jauh dari penonton memungkinkan interaksi yang intensif antara pertunjukan dan pengunjung. Selain itu, dialog yang cair, yang dibangun selama percakapan, serta ekspresi yang bebas dan riang dari penampil selama menghadirkan repertoar-repertoar yang riang dan gembira turut membangun kedekatan antara penampil dan penonton. Dari pada sebuah konser formal-modern, penonton seperti melihat sebuah jamming, sebuah perayaan bersama, seperti togo atau gawi, yang dilakukan di halaman kampung, yang mempersilakan siapa pun bisa masuk dan keluar secara bebas sebagai bagian dari pertunjukan. Meski kondisi ini tak sepenuhnya terjadi, suasana yang tercipta dari respons penonton bisa cukup mengindikasikan keluwesan interaksi selama pertunjukan berlangsung.

Di Jakarta, tepatnya di pelataran depan Galeri Nasional, tiga nomor repertoar ini dipresentasikan sebagai bagian dari penutupan Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Keseluruhan acara dibuka dengan rilis digital CD dan album rekaman dari seluruh repertoar yang diproduksi oleh Rekam Bergerak dan Bahasa Ibu Record (BIR). Acara peluncuran ini dilakukan oleh kurator Ubiet dan Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia.

Struktur presentasi di Jakarta maupun di Maumere tak berbeda. Urutan lagu tak berbuah berikut model presentasinya. Penonton makin beragam, dihadiri banyak sekali seniman dari berbagai daerah yang turut terlibat dalam PKN 2023. Meski begitu, sebagian besar penonton yang ada bisa dipastikan berasal dari diaspora Maumere dan Flores umumnya. Banyak sekali.

Sebagaimana di Maumere, respons penonton di Jakarta juga apresiatif. Meski begitu, awalnya, respons penonton cukup malu-malu. Struktur ruang dan mungkin kultur menonton yang berbeda, ditambah lagi kehadiran penjabat membuat dialog antara penonton dan pertunjukan kurang luwes. Percakapan memang berlangsung santai dan cair. Di satu dua kesempatan, penonton turut merespons hal-hal menarik dari panggung. Namun, jarak tak bisa dimungkiri. Jarak itu bisa jadi jarak kultural. Konteks kepenontonan di Flores yang dekat dan akrab tak bisa serta merta tercipta di Galeri Nasional yang punya logika ruangnya sendiri, ditambah kehadiran penonton yang juga kebanyakan adalah pejabat dan pelaku seni kontemporer.

Panggung baru benar-benar bocor dan pecah ketika Hilmar Farid disuguhi moke oleh fasilitator dan lantas tak lama berselang, beliau berdiri dan merespons hentakan musik Sa Bhoka Sa Ate dengan mengajak penonton menari bersama. Masa tak bisa dibendung. Rakat (sebutan untuk orang-orang ‘timur’ di Jawa) tumpah ruah, merespons musik pesta dengan berjoget mengitari panggung yang dirancang dengan konsep prosenium meski tak ketat. Selanjutnya, presentasi berbuah jamming dan pesta, sebagaimana yang terjadi di Maumere. Semua berjoget, berpesta, melepas lelah dan kesibukan selama sepekan yang padat dan hampir tak ada jeda. Asap rokok, aroma moke, lagu yang menghentak dengan volume yang kencang, lampu yang berwarna-warni tak ubahnya pesta-pesta di Flores hadir di Galeri Nasional malam itu. Mungkin, demikianlah kebudayaan, demikian pun festival sudah semestinya terjadi.

Soal Estetika dan Catatan-catatan Partisipan

Dua repertoar yang diciptakan oleh para musisi residensi Rantai Bunyi punya corak yang menarik.

Tana Waikanena secara harfiah berarti tanah yang berlimpah susu dan madu. Repertoar ini dibuka dengan petikan dawai dengan syair dan teriakan khas daerah Sumba. Selanjutnya irama musik ditentukan oleh pukulan gong waning Maumere, dengan nada yang sama (resitatif) sepanjang lagu. Lirik yang menjadi refrain pada repertoar ini menggunakan bahasa Indonesia dan sangat mudah diserap lantas diulang oleh audiens: mari sama-sama baku jaga, baku sayang/ tanahku indah, tanahku kaya, tanah leluhur, anugerah yang terindah.

Di tengah lagu ada tiupan suling dan lantunan melodi serta syair bercorak Manggarai yang mengalun pelan, memberi kontras bagi irama sebelumnya. Bagian ini diinterjeksi oleh sequencer bersama dengan permainan melodi berulang oleh gong dan ukulele yang melatari improvisasi violin, gitar, dan saxophone, menghantar pada bagian solo perkusi (waning, dodor, dan jimbe). Sisa repertoar mengulang pola refrain dengan beberapa irama pukulan tambahan dan tempo yang lebih cepat. Satu hal menarik, sebagaimana yang juga terjadi di repertoar kedua adalah pola pembagian suara yang sangat khas, yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi menyanyi di Flores.

Repertoar kedua, Sa Bhoka Sa Ate lebih kuat menampilkan corak tradisi Ende Lio. Sebagaimana repertoar yang lain, repertoar ini diawali dengan derau tiupan seruling, string dan melodi gitar benggong bercorak Manggarai. Selanjutnya, sebuah syair Ende Lio dilantunkan, diikuti syair berbahasa Sumba dan kahe—pekikan yang menyatakan identitas khas orang Maumere. Setelah bagian pembuka ini, hentakan irama drum dengan tempo yang lebih cepat membuka ruang bagi satu melodi pendek bercorak Maumere. Setelahnya, lagu mulai bergulir. Motif wanda pau dari Ende diiringi dengan pukulan drum membentuk musik disco. Jadilah repertoar ini tampil sebagai sebuah musik disco dengan motif utama wanda pau dan aksen-aksen tradisional Flores lainnya.

Ada beberapa hal penting dari dua repertoar ini, yang juga terkait dengan keseluruhan metodologi dan proses yang berlangsung selama workshop hingga presentasi.

Pertama, kedua repertoar ini menampilkan dengan sangat jelas upaya-upaya menautkan langgam-langgam tradisi beberapa daerah di Flores. Saling silang dan pertukaran derau, motif melodi, karakter sound, dan unsur-unsur musikal lain yang membentang dari Manggarai hingga Lamaholot. Pertemuan, selisih, dan tabrakan tak berusaha dihindari, tetapi diakomodasi dalam banyak bentuk dan ruang. Estetika yang dihasilkan bisa dibilang sejalan dengan proyeksi kuratorial, yakni repertoar dawai hibrida yang sungguh-sungguh menampilkan rantai tradisi musikal tiap-tiap konteks. Proses diskusi dan penciptaan yang menekankan berbagi dan bertukar tentu memiliki peran penting di sini.

Kedua, dari dua repertoar ini terbaca bahwa ada upaya mengelola kembali langgam tradisional dengan menggunakan unsur-unsur musik modern. Di satu sisi ada model preservasi unsur musik tradisi yang bisa didokumentasikan dan diarsipkan sehingga bisa dikunjungi kembali sebagai sebuah kekayaan peradaban. Di sisi yang lain ada upaya inovatif yang ingin kedua repertoar ini menampilkan kebaruan supaya bisa kontekstual. Dua hal ini tentu jadi modal yang besar, baik sebagai material karya maupun paradigma yang bisa dipakai untuk penciptaan selanjutnya.

Sebagai sebuah paradigma, menyajikan corak tradisi Flores dalam bentuk-bentuk musik modern mungkin sudah dimulai oleh Ivan Nestorman dengan perspektif ‘neo-tradisi’ yang ia pegang sebagai prinsip bermusik. Bedanya, dalam proses penciptaan di Rantai Bunyi, unsur kolektif amat kuat dan menjadi pijakan. Unsur kolektif ini memungkinkan semua yang terlibat berperan sebagai subjek yang berkontribusi membangun struktur karya dengan segala unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya.

Ketiga, jika pertautan musikal dan upaya kebaruan sudah jadi modal yang kuat dari segi intrinsik, penting untuk membayangkan unsur ekstrinsiknya, yaitu gagasan soal ekosistem kreatif yang menopang proses belajar, proses penciptaan, presentasi, distribusi, apresiasi dan konsumsi karya. Gagasan ‘rantai bunyi’ haruslah juga jadi paradigma yang menarik untuk mengupayakan sharing sumber daya di antara para pelaku musik di Flores untuk menjawab sekian besar kebutuhan dan serba keterbatasan yang berlangsung. Rantai bunyi dengan demikian tidak hanya mempertemukan tradisi musikal di Flores tetapi juga membuka jejaring dan kontak interpersonal dan lintas komunitas yang bisa dikelola sebagai modal pengkaryaan di masa yang akan datang.

Beberapa catatan lain dari partisipan juga penting digulirkan.

Pertama, pertemuan yang berlangsung akhirnya tak terbatas pada obrolan mengenai musik tetapi juga kesadaran dan ideologi yang lebih berakar, misalnya persoalan gender. Prily da Cunha dan Fonza dari Maumere misalnya melihat pertemuan dengan Kahi Ata Ratu sebagai sebuah dorongan untuk menggerakan seniman-seniman perempuan untuk berkarya dan mendobrak dominasi patriarki yang bekerja dalam alam bawah sadar di skena musik lokal. Hal ini beralasan sebab pada kenyataannya, panitia sulit sekali menemukan perempuan musisi/komposer di Maumere, bahkan sebatas menemukan perempuan yang bisa main alat musik. Alat musik dan praktik bermusik di Maumere serta Flores umumnya, sungguh-sungguh jadi dominasi laki-laki. Butuh gerakan yang masif dan bersama untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam praktik dan disiplin bermusik di Flores.

Kedua, Laurensius Jan Nois menyadari bahwa model workshop seperti ini bisa jadi praktik yang menarik untuk diupayakan sebagai model pembelajaran, baik formal maupun informal. Ia melihat model pembelajaran kesenian, khususnya musik di pendidikan formal terlalu mengutamakan sisi kognitif dari pada keterampilan dan afeksi. Padahal, kreativitas dan afeksi itu sebenarnya sasaran utama dari pendidikan seni, termasuk musik di dalamnya. Model workshop ini juga bisa diupayakan untuk dilakukan di ruang-ruang pendidikan informal dengan proyeksi keterlibatan yang inklusif. Untuknya, hanya jiwa yang bebas yang bisa menciptakan karya seni yang membebaskan.

Ketiga, dengan bahasa yang berbeda-beda, sebagian besar peserta meyakini bahwa titik berangkat yang kontekstual, dari musik kampung dan pesta adalah model epistemologi yang penting untuk menandai bagaimana pengetahuan-pengetahuan lokal yang menubuh (embodied) dan tersituasi (situated) beroperasi dan direproduksi terus-menerus dalam konteks sosial budayanya. Refleksi atas pijakan tersebut melalui proses penciptaan yang dilakukan dan guliran yang dibukanya kemudian adalah upaya dialektis untuk memaknai dan merawat dinamika jejaring pengetahuan yang sudah dan akan terus diproduksi dari praktik-praktik personal maupun pertemuan-pertemuan di masa yang akan datang.


Catatan: Field recording Rantai Bunyi Musik Kampung Pesta Flores bisa didengarkan di sini.


Baca juga:
KAHE Exhibition: Pameran dan Diskusi Tematik Dua Pekan
Yang Terlibat di Flores Writers Festival 3 “Sadang Bui”, Maumere 2023


Komentar Anda?