Menu
Menu

Festival Kampung Katong menyuarakan kiprah orang muda yang “pulang”. Ini adalah kisah para orang muda yang enggan begitu saja tunduk pada stigma.


Oleh: Konsorsium Kampung Katong |


Festival Kampung Katong telah berlangsung di Batu Cermin, Labuan Bajo, 5 – 7 Oktober 2023. Melibatkan UMKM dan komunitas setempat, para pemangku kepentingan, serta masyarakat umum, Konsorsium Kampung Katong yang terdiri dari RMI-Indonesian Institute for Forest and Environment, Kolektif Videoge (Labuan Bajo), Lakoat Kujawas (Mollo), dan SimpaSio Institute (Larantuka), mengajak kita semua untuk mulai memiliki kesadaran dalam mereproduksi pengetahuan lokal secara swadaya serta menanggapi permasalahan lokal di wilayah masing-masing dengan cara yang lebih serius namun tetap kreatif.

Lebih dari 1,4 juta orang muda tinggal di Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut laporan Statistik Pemuda Indonesia 2022. Angka tersebut, bagaimanapun, tidak mencerminkan jumlah yang sebenar-benarnya sebab NTT dikenal menghasilkan banyak perantau, baik untuk bersekolah atau bekerja ke pelbagai daerah di Indonesia, seperti Sulawesi, Jawa, Kalimantan hingga ke luar negeri untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia legal atau ilegal. Hal itu ditengarai karena dilabelinya NTT sebagai salah satu daerah miskin dan tertinggal menurut standar-standar diskriminatif pemerintah. Belum lagi predikat provinsi dengan rasio gizi buruk dan stunting tertinggi nasional yang disematkan pada Provinsi NTT. Di sisi lain NTT terkenal dengan kekayaan alam yang melimpah. Seandainya saja tolak ukur kesejahteraan bukan hanya kepemilikan material, melainkan hutan dan laut yang terjaga, mungkin NTT akan menjadi daerah yang kaya.

Seiring makin kencangnya arus migrasi tersebut, pertanyaan kritis yang kemudian muncul antara lain: Siapa yang akan mengelola kampung? Apakah akan dipimpin oleh generasi yang bukan berasal dari setempat? Bagaimana dengan keanekaragaman gunung dan laut serta kekayaan tradisi, apakah generasi nanti masih mengenalnya? Apakah kampung akan dipimpin oleh generasi yang memiliki visi sosial yang adil, lingkungan yang lestari, dan mengenal budaya dan kearifan lokal? Apakah komunalitas, kesetaraan, dan solidaritas akan terjaga di tengah ancaman hilangnya berbagai pengetahuan dan kearifan lokal yang membentuk identitas komunitas?

“Pulang” pada gilirannya menjadi pilihan yang diambil segelintir orang muda NTT untuk merespons keresahan-keresahan di atas. Pulang yang tidak disimplifikasi dengan kehadiran fisik belaka, akan tetapi dikerahkannya juga pikiran dan aksi swadaya orang muda untuk mengatasi persoalan di kampungnya dengan pengorganisasian warga aktif sebagai basis gerakan. Betapapun berkembangnya gerakan sosial-lingkungan orang muda di NTT dalam beberapa dekade terakhir, potensi untuk memperluas dampak praktik-praktik baik tersebut belumlah optimal. Keterbatasan ini utamanya hadir dari minimnya ruang peningkatan kapasitas, nihilnya akses ke sumber daya produktif (khususnya sumber daya modal), dan tegangan antara pelestarian tradisi dan modernisme yang senantiasa menuntut kefasihan orang muda—terutama dari Masyarakat Adat, Komunitas Lokal, dan Minoritas Etnis—dalam mengidentifikasi ulang dirinya. Untuk menjawab hambatan-hambatan yang merintangi itu, kolaborasi lintas organisasi dan komunitas lalu diupayakan hadir.

“Kami pung manekat, papada, kampong tanga.” Dialek Nusa Tenggara Timur ini artinya semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Konsorsium beranggotakan RMI-Indonesian Institute for Forest and Environment, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge membawa semangat ini dengan menyingkatnya ke dalam nama Kampung Katong–yang juga berarti Kampung Kami.

RMI-Indonesia Institute for Forest and Environment, selaku organisasi yang berfokus pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan, melihat bahwa komunitas seperti Lakoat.Kujawas di Mollo, SimpaSio Institute di Larantuka, dan Kolektif Videoge di Labuan Bajo, berada pada benang merah perjuangan yang sama. Perjuangan tersebut adalah mengupayakan dekolonialisasi melalui reproduksi pengetahuan lokal secara swadaya dan menanggapi permasalahan lokal di wilayah masing-masing.

Dekolonisasi yang diartikan sebagai proses melepaskan diri dari pelbagai pengaruh kolonialisme, berupaya memosisikan realita lokal sebagai acuan utama dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi komunitas sehari-hari. Dengan dekolonisasi, pengetahuan dan identitas lokal menjadi kompas dari penyelesaian pelbagai permasalahan sosial-lingkungan, budaya, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, hingga keberlanjutan ruang hidup dan penghidupan. Adapun proses ini berlangsung dengan menempatkan orang muda, perempuan, masyarakat adat dan minoritas etnis, dan warga lokal sebagai aktor kunci yang memampukan pembelajaran kontekstual lintas generasi terjadi.

Dalam hal ini Festival Kampung Katong menyuarakan kiprah orang muda yang “pulang”—bersolidaritas untuk “membangun dari kampung”. Ini adalah kisah para orang muda yang enggan begitu saja tunduk pada stigma. Stigma bahwa orang muda tidak cukup berpengetahuan, berpengalaman, dan berkeinginan untuk merawat tanah kelahirannya. Ini juga kisah mereka yang karena didorong oleh kecintaan atas kampung halamannya lalu berjibaku merebut dan mengembangkan ruang kreatifnya sendiri.

Pameran Festival Kampung Katong yang berlangsung di Batu Cermin, Labuan Bajo, pada tanggal 5 – 7 Oktober 2023 memamerkan produk pengetahuan yang terdiri atas narasi tradisi setempat (kampung, marga, dan prosesi adat/keagamaan); divisualisasikan dalam bentuk audio-visual dan keragaman kreasi pangan lokal. Hasil pengarsipan yang dilakukan orang muda secara swadaya juga ditampilkan dalam bentuk buku seperti Surat-Surat dari Mollo (Lakoat.Kujawas), Rekam Kampung Lama (Kolektif Videoge), dan Rupa Nagi (SimpaSio Institute) serta didiskusikan dalam forum pemangku kepentingan lintas pihak untuk menggalang dukungan atas inisiatif konsorsium. Kekayaan pangan lokal yang didalami pegiat komunitas juga disajikan selama festival guna mengenalkan pangan yang dikhawatirkan makin tidak dikenali generasi kini. Isu pangan lokal dan persoalan gizi buruk kronis di NTT adalah dua hal yang saling berkelindan, yang dalam praktiknya kemudian menjadi pintu masuk para pegiat di tiga komunitas untuk bergotong royong merespons persoalan lain yang muncul menyertainya.

Kedua tema tersebut—penggalian narasi lokal dan pangan—mengisi proporsi cukup besar dalam festival, sebagaimana pendokumentasian narasi dan kekayaan tradisi lokal yang telah lama senapas dengan upaya panjang ketiga komunitas dalam mengaktifkan ruang kreatifnya sendiri dilandasi dekolonisasi sebagai semangat utama. Pendekatan dekolonisasi dibutuhkan untuk menjawab tantangan gerakan akar rumput yang identitas serta kearifan lokalnya tergerus arus pembangunan. Melalui festival ini, gerakan berbasis dekolonisasi yang dipimpin dan dikelola orang muda di Mollo, Labuan Bajo, dan Larantuka diproyeksikan untuk menjadi alternatif model pembangunan “dari bawah ke atas” (bottom-up) yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Lakoat.Kujawas: Preservasi Pengetahuan Adat Melalui Pendidikan Kritis-Kontekstual

Ancaman memudarnya tradisi adat dan krisis iklim mendorong Lakoat.Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial di Desa Taiftob, Timor Tengah Selatan, mendokumentasikan pengetahuan lokal sebagai bagian penting dari identitas Masyarakat Adat Mollo. Upaya revitalisasi tradisi tersebut dilakukan melalui pembelajaran tematik di Skol Tamolok—model pendidikan kritis dan kontekstual yang dikembangkan sejak 2019—seperti pendokumentasian resep-resep makanan, eksperimen pangan lokal, pengarsipan bibit, mengadakan festival dan pameran budaya, hingga peningkatan kapasitas bagi orang muda lokal. Dengan transfer pengetahuan lintas generasi dan orang muda yang berdaya sebagai generasi penerus, diharapkan bahwa kehidupan Masyarakat Adat Mollo dapat berdaulat secara berkelanjutan.

SimpaSio Institute: Pendokumentasian Tradisi Masyarakat Melayu Nagi di Larantuka

SimpaSio Institute, lembaga pengarsipan dan pengkajian budaya Flores Timur, menggagas Lingkar Belajar SimpaSio Institute yang mewadahi orang muda. Ruang ini memfasilitasi terjadinya produksi pengetahuan lintas generasi yang kontekstual, misalnya perihal modernisasi pengobatan tradisional Masyarakat Nagi Larantuka yang makin asing di mata orang mudanya sendiri. Dalam prosesnya, komunitas ini melakukan pendokumentasian pengetahuan “dari warga untuk warga” mengenali tari dan musik tradisional, sejarah kampung, pangan lokal, juga kekayaan budaya Masyarakat Melayu Nagi Larantuka lainnya. Hasil pendokumentasian ini didiskusikan dan diolah bersama sebagai bagian dari rangkaian reproduksi pengetahuan lokal dengan harapan pengetahuan lintas generasi tetap terjaga.

Kolektif Videoge: Orang Muda Merekam Kampung Lama

Sebagai komunitas yang memosisikan dirinya sebagai “laboratorium kreativitas” dalam alih-wahana pengetahuan lokal di Labuan Bajo, kolektif Videoge mewujudkan proses belajar mereka dengan cara yang unik, yakni produksi dan distribusi audio-visual berupa micro-documentary, disertai produksi katalog dan buku, hingga pendekatan event melalui serangkaian Pesta Kampung sepanjang tahun, seperti sejumlah lokakarya, pameran, nonton bareng dan diskusi, tur kampung, dan intimate gigs, yang selama prosesnya menggandeng erat keterlibatan orang muda setempat sebagai salah satu metode Videoge untuk lebih mendekatkan mereka dengan kampung halamannya sendiri di tengah gempuran pembangunan wisata super premium yang masif. Proses belajar ini menghasilkan praktik swadaya informasi atau pendokumentasian pangan lokal khas warga pesisir dengan menerbitkan buku Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo sebagai praktik berkala merekam kampung-kotanya.[*]


Baca juga:
Belajar Membaca
Sejarah, Ingatan, dan Fiksi
Memaknai Ulang Kerja Kolaborasi


2 thoughts on “Festival Kampung Katong: “Membangun dari Kampung””

  1. nabila berkata:

    cerita ini sangat memotivasi apalagi untuk anak zaman sekarang

  2. nenty berkata:

    menurut saya, kisah ini merupakan kisah yang sangat memotivasi banyak kalangan anak muda di jaman sekarang apalagi gen z.

Komentar Anda?