Menu
Menu

Novel Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang berhasil memunculkan cerita-cerita dari ruang personal para pembacanya.


Oleh: Lolik Apung |

Sekretaris Redaksi Bacapetra.co.


Bincang Buku ke-52 Klub Buku Petra berlangsung pada Sabtu (29/04). Setelah mendengarkan ulang rekaman bincang buku ini, terdengar semua peserta tersedot pada ulasan personal tentang diri, rumah, dan keluarga masing-masing. Adalah Wisnu Suryaning Adji yang berhasil mendorong Bapak Arsy Juwandi, Bapak Armin Bell, Bapak Ronald Susilo, Ibu Ajen Angelina, Ibu Yasinta Ajin, Bapak Beato Lanjong, Ibu Maria Pankratia, dan Kaka Nia Yus melalui Novel Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang (Bentang, 2022) untuk larut dalam sharing masing-masing. Apakah ulasan-ulasan personal dengan serta-merta membuat sebuah buku berkategori bagus?

Arsy yang menjadi pemantik pada malam itu menikmati ujung ke ujung membaca Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang karya Wisnu Suryaning Adji, meski sejak awal ia mewanti-wanti dirinya bahwa tekanan bisa muncul dari ucapan dan narasi tokoh Bapak sebagai narator. Tokoh Bapak yang berusia 76 tahun (hal. 4) menurutnya adalah tokoh yang mudah marah dan dengan terang-benderang menyatakan rasa tidak suka kepada anak-anaknya, entah itu melalui perbuatan maupun tutur kata (hal. 9). Yang paling banyak menurutnya adalah kata-kata bernada pesimis yang keluar dari mulutnya. “Saya kira hal-hal itu bisa melukai hati anak-anak,” ujar Arsy.

Buku ini menurutnya ditulis dalam alur yang tidak teratur, yang mana menurutnya mengingatkannya pada orang-orang tua yang memang, karena usia tua, kesulitan berpikir secara runut dan teratur. Akibatnya mereka tidak pernah berhenti memberikan sekaligus mengulang-ulang nasihat-nasihat yang sama pada anak-anaknya. “Namun barangkali, nasihat-nasihat itu adalah puncak gunung es dari kasih sayang mereka yang tidak terbatas, bahwa cinta orang tua pada anak-anaknya sampai pada titik memaklumi kebodohan anak-anak,” tutupnya.

Arsy mungkin mengambil kacamata seorang anak, sehingga ia tampak tidak begitu suka pada tokoh Bapak. Armin Bell membaca sebaliknya. Sebagai orang tua, ia sangat memahami perasaan yang dimiliki tokoh Bapak. Ia merasa dekat dengan tokoh Bapak, dengan usia, situasi yang sedang dialami, dan dengan harapan-harapan berlebihnya terhadap orang-orang di sekitar. Menurutnya quotes yang lahir dari pemikiran dan ucapan narator adalah keistimewaan terakhir yang dimiliki oleh orang tua: protes tak pernah membuat orang-orang melakukan sesuatu dengan cara yang benar (hal. 68). “Mereka tidak akan merasa lengkap kalau tidak marah-marah terhadap tetek-bengek di rumah dan tidak mengawali hari dengan rentetan nasihat ini-itu. Marah-marah dan nasihat-nasihat karena harapan,” ujarnya.

Menurutnya juga banyak sekali relasi yang tersendat antara anak dan bapak, khususnya relasi bapak dengan anak laki-laki. Ia menganjurkan agar peserta bincang buku yang masih muda untuk sesering mungkin berbicara dengan bapak. “Seorang bapak agak sulit bertanya, tetapi satu pertanyaan sudah cukup membuatnya berbicara berjam-jam,” tutupnya.

Relasi ayah-anak yang dimulai Bapak Armin, diperdalam Bapak Ronald Susilo dengan bercerita tentang relasi ayah-anak dalam komunitas Tionghoa. Menurutnya 90 persen komunitas Tionghoa di Indonesia tidak ingin anak-anaknya tinggal terpisah. Hal ini terjadi, menurutnya, karena ada semacam ketakutan atas kasus-kasus diskriminasi yang menimpa komunitas Tionghoa dalam sejarah Indonesia (hal. 233). Bagi orang Tionghoa, laki-laki adalah semacam Tuhan, bahkan melebihi-Nya, sehingga anak-anak milenial dalam konteks ini sangat dibenci oleh orang tuanya karena tidak menuruti perintah orang tua. “Mengusir anak-anak dari rumah dalam etnis Tionghoa juga adalah hal yang biasa,” ujarnya.

Menurut dr. Ronald hampir seluruh etnis Tionghoa ingi agar anak-anaknya mau tinggal di dalam rumah, sehingga ketika anak-anak berencana menjual rumah tokoh Bapak dalam novel Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang, tokoh Bapak menjadi amat sakit hati. Selain itu dalam komunitas Tionghoa acara makan-makan di acara keluarga adalah acara yang sakral, sehingga anggota keluarga yang absen akan ditegur oleh anggota keluarga yang lain. Terkait dengan bisnis yang identik dengan komunitas Tionghoa, dr. Ronald berujar jika bisnis adalah hal yang tidak mudah dan pebisnis Tionghoa biasanya menjual hanya satu jenis produk, sehingga mereka pun mendapat nama panggilan sesuai dengan jenis produk yang mereka jual.

dr. Ronald menyukai ending Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang. Tokoh Bapak akhirnya berubah keyakinan; dari keyakinan tentang betapa suramnya hidup ini, menjadi harapan berbunga-bunga untuk anak-anaknya; meskipun sakit hatinya tidak tersembuhkan (hal. 264). “Buku ini amat sinematik dan berhasil menghidupkan cerita dari lembar ke lembar,” tutupnya.

Apa yang sudah dimulai ketiga pembicara awal disambung juga oleh Bapak Yuan yang menjadi pembicara keempat. Ia menanggapi komentar Arsy tentang relasi ayah-anak. Dari sisi self-presentation, menurutnya, setiap orang mempunyai penampilan berbeda ketika tampil di depan orang banyak dan mempunyai penampilan lain lagi ketika tampil dalam lingkungan yang lebih personal dan kecil. Dalam buku ini, hal itu juga muncul. “Bapak cenderung bersikap keras dengan anak-anaknya, tetapi amat lunak ketika tampil atau mengingat kembali janjinya dengan sang istri (hal. 7),” ujarnya.

Setelah empat pembaca awal adalah bapak-bapak, Nia sebagai pembicara kelima mengubah gerak bincang dengan bercerita tentang hubungan anak perempuan dengan bapak. Sosok bapak dialami dalam dua situasi yang berbeda. Pertama, ketika dekat, bapak adalah seorang yang jauh, dengan kecanggungan yang selalu terjadi di antara mereka. Sedangkan dalam situasi kedua, ketika berjauhan, bapak dialami sebagai tokoh yang dekat. Buku ini kemudian menjadi cukup dekat dengan situasi Nia di rumah.

Dari tokoh Bapak ia belajar bahwa segala sesuatu butuh perjuangan dan perjuangan mendapatkan cinta dari istrinyalah yang terberat (hal. 129). Ia menyukai permainan simbol dalam bentuk permen gula asam yang dipakai tokoh bapak kecil ketika bertemu pertama kali dengan istrinya (hal. 29). “Benda-benda yang kecil justru berubah menjadi memori ketika diberikan pada situasi yang tepat. Pertama sebagai kenangan tentang kegembiraan bertemu pertama kali dengan istrinya dan kedua sebagai kenangan yang menyedihkan ketika benda yang sama membawanya pada kenyataan bahwa istrinya telah pergi meninggalkannya (hal. 23),” ujarnya.

Ibu Ajen Angelina sebagai pembaca kelima terus mengubah gerak Bincang Buku Petra malam itu. Ia menyukai buku ini dan ia mendalami tokoh Bapak sebagai pasiennya. Ajen adalah seorang perawat kesehatan mental, sehingga ia berusaha menguraikan tahap-tahap depresi yang dialami oleh tokoh Bapak. Menurutnya, tokoh Bapak mengalami trauma akibat sexual abuse yang didapatnya pada masa kecil (hal. 239). Korban sexual abuse cenderung merasa dirinya tidak berharga, sampai kasih sayang sang istri datang padanya. Tokoh Bapak kembali merasa tidak berharga dan gagal ketika istrinya dilecehkan di ruang tamu milik mereka (hal. 230).

“Ketika istrinya meninggal, tokoh Bapak berduka cita dan berusaha menolak pengalaman itu (denial). Kemudian dia mulai bertanya-tanya (bargaining), lalu ke tahap marah-marah (anger), depresi, dan acceptance,” ujarnya. Dia begitu mencintai istrinya, hingga tidak mau mengingkari janjinya terhadap sang istri. Tokoh Bapak mengalami semua tahap-tahap ini, kecuali tahap terakhir yaitu menerima semua pengalaman itu (acceptance).

Istrinya telah menjadi tokoh pujaannya, hingga benda yang berasal dari kenangan mereka bersama dijaga secara obsesif. Ketika anak-anaknya berusaha merampas barang-barang berharga dari kenangan itu termasuk bermaksud menjual rumah mereka dengan 12 kamar itu, tokoh Bapak semakin membenci anak-anaknya dan memikirkan lagi rencananya untuk bunuh diri (hal. 40-41). “Orang-orang depresi cenderung memikirkan tindakan yang terakhir ini,” tutupnya. Ajen menyukai buku ini, tidak saja karena tema yang hendak dikedepankan, tetapi juga karena cara berceritanya yang halus dan sinematik.

Perempuan tampaknya terus menguasai gerak Bincang Buku Petra kali ini. Adalah Ibu Yasinta Ajin yang menjadi teman bincang yang ketujuh. Ajin menyukai buku ini karena membawanya pada cerita personal tentang ayahnya di rumah.

Mengalirnya cerita tentang ayahnya pada malam itu seperti membuka pintu irigasi di dam yang tertampung bertahun-tahun. Air juga mengalir dari matanya. Menurut Ajin, tokoh Bapak dalam buku ini terperangkap dalam labirin keputusasaan oleh karena peristiwa-peristiwa kelam yang menimpa dirinya, mulai dari istrinya mengalami pelecehan seksual hingga anak-anaknya yang tidak bertumbuh dan berkembang di luar ekspektasinya.

“Sang istri adalah pusat kehidupan Tokoh Bapak, sehingga penderitaan apa pun yang dialami didakunya sebagai kegagalan seorang suami/ayah (hal. 252). Namun janji terhadap istrinya pulalah yang membuat dia tetap hidup (237),” tutup Ajin.

“Seorang pria mungkin harus menepati janjinya agar dia tetap hidup,” ujar Pak Beato yang menjadi pembincang yang kedelapan. Alur bincang kembali kepada laki-laki. Ia teringat relasinya dengan bapaknya seperti Ajin. Menurutnya, kita tidak akan memahami setiap ucapan orang tua hingga kita bertumbuh menjadi dewasa. “Pada titik tertentu baru kita sadar ternyata semua ucapan orang tua itu benar adanya,” ujarnya.

Teman bincang terakhir pada malam itu adalah Ibu Maria Pankratia. Maria tidak menyukai buku ini pada awalnya. Namun ketika ia mulai membaca buku ini, ia teringat keluarga dan lingkungannya di Ende. Ia menilai hubungan anak dengan orang tua di wilayah timur tampak kaku. Hal ini terjadi karena menunjukkan hubungan akrab dengan orang tua seperti menunjukkan kelemahan. Baginya buku ini dipenuhi dengan kemarahan dan ia bisa merasakan hal itu, hingga membuatnya lelah. Selain kemarahan, ia juga menangkap rasa sakit dan trauma sebagai penggerak tak kentara Si Tokoh Bapak (hal. 265). “Trauma adalah perkara yang tidak boleh dianggap remeh dan barangkali ia bisa bersumber dari rumah dan dari kebiasaan-kebiasaan yang dianggap ‘sudah biasa’ di dalam keluarga,” ujarnya.

Bincang buku berakhir. Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang mendapat bintang 4,5. Sampai jumpa di notulensi berikut.


Baca juga:
Sentuh Papua: Rindu Tapele Tanjung dan Lautan
Membaca Wesel Pos; Pahami Aturan Mainnya


Komentar Anda?