Menu
Menu

Ia tahu kalau pria itu telah memotong roti. Pisaunya masih tergeletak di samping piring dan ada remah-remah roti di atas taplak.


Oleh: Fa Fauzia |

Asal Kuningan, Jawa Barat. Lulusan Sastra Jerman Universitas Padjadjaran. Saat ini bekerja sebagai editor, penerjemah, dan proofreader lepas. Karya cerpennya berjudul Kota yang Penuh Larangan dimuat di tabloid Majas vol. 2 edisi Februari 2019.


Tiba-tiba ia terbangun. Setengah tiga dini hari. Ia bertanya-tanya mengapa ia terbangun. Oh, benar! Di dapur, tadi, seseorang menabrak kursi. Ia mendengarkan suara dari dapur. Sunyi. Terlalu sunyi. Saat ia meletakkan tangannya di atas tempat tidur di sampingnya, ia menyadari tempat itu kosong. Itulah yang membuatnya begitu sunyi: ia tak mendengar suara napas suaminya. Ia bangkit dan melangkah menyusuri ruangan yang gelap menuju dapur. Mereka bertemu di sana. Jam menunjukkan pukul setengah tiga. Ia melihat satu sosok putih berdiri di depan lemari dapur. Ia menyalakan lampu. Mereka berhadapan, berdiri mengenakan baju tidur masing-masing. Tengah malam. Pukul setengah tiga. Di dapur.

Di atas meja terdapat piring roti. Ia tahu kalau pria itu telah memotong roti. Pisaunya masih tergeletak di samping piring dan ada remah-remah roti di atas taplak. Ketika hendak tidur, ia selalu membersihkan taplak meja. Setiap malam. Namun, sekarang ada remah-remah di atas taplak itu dan pisaunya tergeletak di sana. Ia merasakan dinginnya ubin perlahan-lahan merayapinya. Lalu, ia berpaling dari piring itu.

“Sepertinya ada sesuatu di sini,” kata suaminya sambil melirik ke sekeliling dapur.

“Aku juga mendengar sesuatu,” jawabnya. Saat itu ia menyadari bahwa suaminya terlihat sangat tua dengan baju tidurnya di malam hari. Setua usianya. Enam puluh tiga. Saat siang hari kadang sosoknya terlihat lebih muda. Sang istri juga tampak tua, pikir pria itu. Dengan baju tidur yang dikenakannya, istrinya tampak begitu tua. Namun, itu mungkin karena rambutnya. Rambut wanita memang selalu seperti itu di malam hari, membuat mereka menjadi kelihatan sangat tua.

“Kau harusnya memakai alas kaki. Bertelanjang kaki di atas lantai yang dingin nanti bisa membuatmu sakit.”

Ia tak melihat ke arah suaminya, ia tak tahan karena suaminya berbohong. Pria itu berbohong setelah menikah dengannya selama tiga puluh sembilan tahun.

Sepertinya ada sesuatu di sini,” katanya sekali lagi dan melihat dari satu sudut ruangan ke sudut yang lain tanpa ekspresi. “Aku mendengar sesuatu. Pasti ada sesuatu di sini.”

“Aku juga mendengar sesuatu. Tapi itu mungkin bukan apa-apa.” Wanita itu membereskan piring dari meja dan membersihkan remah-remah di atas taplak.

“Ya, itu mungkin bukan apa-apa,” gumam sang suami ragu-ragu.

Sang istri menghampirinya, “Sudahlah, mungkin itu suara dari luar. Tidurlah. Nanti kau sakit. Lantainya dingin.”

Ia melihat ke arah jendela, “Ya, pasti ada sesuatu di luar sana. Kukira itu ada di sini.”

Wanita itu mengangkat tangannya ke arah sakelar lampu. Aku harus mematikan lampu sekarang atau aku akan melihat piring itu, pikirnya. Aku tidak boleh melihat piring itu. “Ayo,” katanya sambil mematikan lampu, “itu mungkin suara dari luar. Talang air suka mengenai dinding kalau cuacanya berangin. Tadi itu pasti suaranya. Kalau ada angin selalu berderak-derak.”

Mereka berdua pun menyusuri lorong gelap menuju kamar tidur. Kaki telanjang mereka berjinjit-jinjit di atas lantai.

“Angin, ya,” ujar suaminya. “Angin memang berembus semalaman.”

Saat mereka berbaring di tempat tidur, sang istri menimpali, “Iya, angin memang berembus sepanjang malam. Jadi, itu mungkin suara talang air.”

“Ya, kukira suara itu berasal dari dapur. Bisa jadi itu memang suara talang air.” Pria itu mengatakannya dengan suara seolah-olah ia sudah setengah tertidur.

Namun, wanita itu menyadari betapa palsunya suara suaminya ketika ia berbohong. “Dingin sekali,” katanya sambil menguap lembut, “aku mau berselimut. Selamat malam.”

“Malam,” jawab sang suami, “ya, hawanya memang sangat dingin.”

Kemudian sunyi. Setelah beberapa menit, wanita itu mendengar suaminya mengunyah dengan perlahan dan hati-hati. Ia sengaja menghela napas dalam-dalam dengan pelan supaya suaminya tak menyadari bahwa ia masih terjaga. Kunyahan itu terdengar begitu teratur, sehingga ia pun perlahan tertidur.

Saat suaminya pulang ke rumah pada malam berikutnya, ia menyodorkan empat potong roti. Biasanya dia hanya bisa makan tiga potong.

“Kau boleh makan empat,” ujarnya sambil menjauh dari cahaya lampu. “Aku tidak begitu cocok dengan roti ini. Kau mau satu lagi? Aku tidak terlalu suka.”

Sang istri melihatnya menundukkan kepalanya di atas piring. Pria itu tak berani mendongak. Pada saat itu, ia merasa bersalah pada istrinya.

“Kau tak bisa cuma makan dua potong,” katanya, pandangannya masih tak beranjak dari piringnya.

“Tak apa. Aku tak bisa mencerna roti dengan baik saat malam hari. Ayo, makan. Makanlah.”

Setelah beberapa saat, barulah wanita itu duduk di bawah lampu di meja makan.

***

Tentang Wolfgang Borchert |

Wolfgang Borchert adalah sastrawan Jerman. Ia merupakan penulis paling terkenal dari periode Trümmerliteratur, karya-karya yang muncul pasca-Perang Dunia II. Karyanya yang paling populer adalah naskah drama Drauβen von der Tür, yang ia tulis tepat setelah PD II berakhir. Karya-karyanya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan traumanya pada masa perang.

“Das Brot”, yang versi Indonesianya Anda baca, merupakan cerita pendek yang ditulis Borchert pada 1946 dan pertama kali terbit di majalah sastra das Karussell pada 1947. Cerpen tersebut menggambarkan kondisi masyarakat saat terjadi krisis pangan akibat perang.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Yang Menjadikan Mereka Bersaudara – Cerpen O. Henry
Rumah untuk Nenek – Cerpen Goh Sin Tub


Komentar Anda?