Menu
Menu

Namun, mereka tidak dapat mencapai kota Bremen dalam satu hari, dan pada malam hari mereka sampai di sebuah hutan di mana mereka memutuskan bermalam.


Oleh: Lanna |

Tinggal di kota Jombang, Provinsi Jawa Timur. Lahir pada  April 2007. Saat ini, Lanna tidak menghadiri sekolah reguler, tetapi tetap antusias dalam belajar dari rumah. Hobi-hobinya yang menyenangkan mencakup membaca buku, terutama buku-buku anak, menulis, berkebun, dan merawat kucing kesayangan.


Ada seorang pria memiliki seekor keledai, yang rajin membawa karung-karung jagung ke pabrik penggilingan selama bertahun-tahun. Namun, kekuatannya makin lama makin melemah dan ia menjadi semakin tidak pantas untuk bekerja. Tuannya mulai mempertanyakan apakah masih layak baginya untuk terus memelihara keledai tua ini. Tetapi sang keledai yang melihat bahwa tidak ada angin baik tertiup, kabur dan pergi ke kota Bremen. “Di sana,” pikirnya, “aku pasti bisa menjadi musisi kota.” Setelah berjalan beberapa jarak, ia menemukan seekor anjing tergeletak di jalan, terengah-engah seperti orang lelah berlari. “Kenapa kau megap-megap begitu, teman besar?” tanya sang keledai.

“Ah,” jawab anjing itu, “karena aku sudah tua, dan semakin lemah setiap harinya, dan tidak bisa lagi berburu. Tuanku ingin membunuhku, jadi aku melarikan diri. Tetapi kini bagaimana bisa aku mencari nafkah?”

“Kuberi tahu kau,” kata sang keledai, “Aku hendak ke Bremen, dan akan menjadi musisi kota di sana; ikutlah bersamaku dan bergabunglah juga sebagai musisi. Aku akan memainkan kecapi, dan kau akan memukul timpani.”

Anjing itu setuju, dan mereka berdua melanjutkan perjalanan.

Tidak lama kemudian, mereka bertemu dengan seekor kucing yang duduk di jalan dengan wajah seakan tiga hari hujan terus! “Nah, teman lama, apa yang tak beres denganmu?” tanya sang keledai.

“Siapa yang bisa bahagia kalau nyawanya dalam bahaya?” jawab kucing itu. “Karena aku sudah menua, gigiku banyak yang aus, dan aku lebih suka duduk di dekat api dan begelung, daripada berburu tikus. Pemilikku berniat menenggelamkanku, maka aku minggat. Hanya saja sekarang saran yang baik sulit ditemukan. Ke mana aku mesti pergi?”

“Pergilah bersama kami ke Bremen. Kau paham musik malam, kau bisa menjadi musisi kota.”

Kucing itu setuju dan pergi bersama mereka. Setelah itu, ketiga hewan pelarian itu sampai di sebuah halaman peternakan, di mana seekor jago duduk di atas gerbang, berkokok-kokok dengan sepenuh tenaga. “Suaramu sungguh menggetarkan hati,” kata sang keledai. “Apa yang terjadi?”

“Aku meramalkan cuaca cerah, karena hari ini adalah hari ketika Bunda Maria mencuci pakaian kecil Bocah Yesus dan ingin mengeringkannya,” kata jago itu. “Tapi ada tamu datang hari Minggu, jadi tuan rumah yang tak punya belas kasihan itu mengatakan kepada koki bahwa dia berniat menceburkanku ke dalam sup besok, dan malam ini kepalaku akan dipotong. Sekarang aku berkokok dengan keras selagi aku mampu.”

“Ah, tapi jambul merah,” kata sang keledai, “lebih baik kau ikut dengan kami. Kami hendak pergi ke Bremen; di mana pun akan kau temukan sesuatu yang lebih baik daripada kematian. Suaramu luar biasa, dan bila kita membuat musik bersama, pasti akan punya kualitas!”

Jago itu setuju dengan rencana ini, dan mereka semua pergi bersama-sama. Namun, mereka tidak dapat mencapai kota Bremen dalam satu hari, dan pada malam hari mereka sampai di sebuah hutan di mana mereka memutuskan bermalam. Sang keledai dan anjing itu berbaring di bawah pohon besar, kucing dan jago menetap di dahan; tetapi jago terbang langsung ke puncak, di mana ia yang paling aman. Sebelum tidur, ia memandang ke empat penjuru di sekelilingnya, dan melihat dari kejauhan ada percikan kecil yang menyala; maka ia berseru kepada teman-temannya bahwa seharusnya ada rumah tidak jauh dari sana, karena ia melihat cahaya. Sang keledai berkata, “Kalau begitu lebih baik kita bangun dan melanjutkan perjalanan, sebab tempat istirahat di sini buruk sekali.” Si anjing berpikir bahwa beberapa tulang dengan sedikit daging juga akan baik untuknya!

Jadi mereka menuju ke tempat cahaya itu, dan segera melihat cahayanya semakin terang dan semakin besar, sampai mereka tiba di rumah perampok yang terang benderang. Sang keledai, sebagai yang terbesar, pergi ke jendela untuk melihat ke dalam.

“Kau lihat apa, keledai abu-abu?” tanya jago.

“Aku lihat apa?” jawab sang keledai, “meja yang ditutupi dengan makanan dan minuman enak, serta perampok-perampok yang duduk di situ menikmatinya.”

“Itulah yang cocok buat kita,” kata jago.

“Ya, ya. Ah, moga-moga saja kita ada di sana!” kata sang keledai.

Lalu keempat hewan itu berunding bagaimana mereka bisa mengusir perampok-perampok itu, dan akhirnya mereka memikirkan sebuah rencana. Keledai itu akan menempatkan kakinya di ambang jendela, anjing itu akan melompat di punggung keledai, kucing itu akan memanjat anjing, dan akhirnya sang jago akan terbang naik dan bertengger di kepala kucing.

Setelah itu, dengan isyarat yang telah ditentukan, mereka mulai memainkan musik mereka bersama-sama: keledai itu meringkik, anjing itu menggonggong, kucing itu meraung, dan ayam jantan itu berkokok; kemudian mereka mendesak jendela agar bisa masuk ke dalam ruangan, sehingga kacanya berderak-derak! Mendengar kegaduhan yang mengerikan ini, para perampok itu melompat berdiri, mengira ada hantu masuk, dan lari ketakutan ke dalam hutan. Keempat sahabat itu sekarang duduk di meja dengan puas pada apa yang tersisa, dan makan seolah-olah mereka hendak berpuasa selama sebulan.

Setelah keempat musisi itu selesai, mereka memadamkan lampu, dan masing-masing mencari tempat tidur yang sesuai dengan sifat dan cocok untuk mereka. Keledai itu berbaring di atas jerami di halaman, anjing itu di belakang pintu, kucing itu di atas perapian dekat abu hangat, dan ayam jantan itu bertengger di atas balok di atas atap; dan karena lelah setelah berjalan jauh, mereka segera tidur.

Waktu sudah lewat tengah malam, para perampok melihat dari jauh bahwa lampu tidak lagi menyala di rumah mereka, dan semuanya terlihat tenang, sang kapten berkata, “Kita tidak seharusnya membiarkan diri terkejut sebegitu rupa”; dan memerintahkan salah satu dari mereka untuk pergi dan memeriksa rumah itu.

Utusan itu melihat segalanya masih sunyi, masuk ke dapur untuk menyulut lilin, dan mengira mata berkilauan si kucing sebagai bara api yang menyala, ia menyentuhnya dengan korek api untuk menyulutnya. Tetapi si kucing tidak mengerti maksud keliru tersebut, dan segera melompat ke wajahnya, meludah dan mencakar. Pria itu sangat ketakutan, lalu berlari ke pintu belakang, tetapi anjing yang berbaring di sana menerjang dan menggigit kakinya; dan ketika dia berlari melintasi halaman melewati tumpukan jerami, sang keledai menghadiahinya tendangan maut dengan kaki belakangnya. Jago itu juga, yang telah terbangun oleh kebisingan ini, dan menjadi makin lincah, berteriak dari atas balok, “Kukuruyuk!”

Kemudian perampok itu berlari kembali secepat mungkin kepada kaptennya, berkata, “Ah, ada penyihir mengerikan di dalam rumah itu, yang meludahiku dan mencakar wajahku dengan kuku-kukunya yang panjang; dan di pintu berdiri seorang pria dengan pisau yang menusuk kakiku; dan di halaman ada monster hitam yang memukulku dengan tongkat kayu. Dan di atas, di atas atap, duduklah hakim yang berseru, ‘Bawa bajingan ini kepadaku!’ jadi aku melarikan diri sebaik mungkin.”

Sejak saat itu, para perampok tidak berani masuk ke dalam rumah lagi; tetapi empat musisi dari Bremen itu merasa betah di sana sehingga mereka tidak ingin meninggalkannya. Dan mulut orang terakhir yang menceritakan kisah ini masih hangat.

*** Para Musisi Kota Bremen

Tentang Brothers Grimm

Brothers Grimm, atau dikenal juga sebagai Grimm Bersaudara, adalah dua penulis dan kolektor cerita rakyat terkenal asal Jerman. Jacob Grimm (1785-1863) dan Wilhelm Grimm (1786-1859) lahir di Hanau, Jerman, dan menunjukkan minat dalam bahasa, sastra, dan sejarah sejak usia muda. Mereka memulai perjalanan mereka sebagai sarjana dan pengajar bahasa Jerman, namun menjadi dikenal di seluruh dunia berkat kontribusi mereka dalam mempopulerkan cerita rakyat Jerman. Koleksi cerita mereka yang legendaris, Grimm’s Fairy Tales, menjadi inspirasi bagi generasi dan budaya sastra di berbagai belahan dunia. Selain itu, mereka juga berkontribusi dalam bidang linguistik dengan menerbitkan kamus bahasa Jerman yang terkenal. Karya Brothers Grimm tetap menjadi warisan budaya penting dan berpengaruh hingga saat ini. Karya-karya mereka, termasuk cerita seperti “Cinderella,” “Snow White,” dan “Sleeping Beauty,” telah diadaptasi dalam film-film klasik oleh Disney.


Baca juga:
Kantor Para Kucing – Cerpen Kenji Miyazawa
Maling Jadi Polisi – Cerpen Konstantin Paustovski


Komentar Anda?