Menu
Menu

Tetapi yang kembali mungkin akan singgah sebentar, menjenguk berita bahagia yang tak pernah lengkap dan langit yang senantiasa bersedih.


Oleh: Ama Gaspar |

Menulis sejak kecil. Terpilih menjadi Emerging Writers MIWF 2014. Lewat Babasal Mombasa, bersama teman-temannya, ia menghadirkan program tahunan Festival Sastra Banggai, yang menjadi sister festival dengan MIWF. Dua buku puisi tunggalnya: Keterampilan Membaca Laut (Gramedia Pustaka Utama, 2019) dan Lagu Tidur (Gramedia Pustaka Utama, 2022). Saat ini, ia juga aktif sebagai Ketua Puan Seni Indonesia.


Mendengarkan (kembali) Una Palabra

una palabra no dice nada
pada mulanya adalah sebuah kata,
di dalamnya kita menjadi matahari dan pagi,
bunga dan lampu taman atau laut
dan gelombang pasang.

y al mismo tiempo lo esconde todo
ada yang luput dari semuanya,
metafora yang tertulis meski tidak
pernah kita catatkan: kabut pada hari,
kelam pada setiap janji dan sore
yang tidak sempurna.

una palabra no dice nada
sebab, selamanya, adalah kata yang ingkar
dan kita terlalu takut untuk saling
menyelamatkan.

. berita bahagia yang tak pernah lengkap

Karam

Tanda hanya sebuah kerlip yang lelah.
Sebentar muncul lalu hilang.

Malam tidur di sana,
di atap mercu yang lembap.
Sementara kita dari kejauhan
yang tidak teraba laut,
duduk menunggu yang singgah.

Badai atau mungkin sesuatu yang menyelamatkan.

. berita bahagia yang tak pernah lengkap

Sikat Gigi

Setelah mimpi buruk menyerang,
ia menyikat gigi.

Kata-kata yang merah,
berjatuhan bersama busa pasta gigi.

Makian yang tertahan,
diludahinya ke dinding toilet yang berkerak.

Cermin menampilkan wajah dan mulutnya
yang bersimbah darah.

Namun, ia terus menyikat gigi.

. berita bahagia yang tak pernah lengkap

Dermaga Rotan

Ombak yang dipatahkan tembok-tembok pelabuhan itu memaksa ingatan tiba di satu sore yang sepia. Di hadapan kenangan, sepasang kening sering kali tak bisa menahan hujan.

Kuli-kuli panggul mengangkat semua kesedihan ke dalam kantung besar yang amat berat, separuh lainnya menitipkan kabar atau rindu yang bertahan di ujung-ujung jari.

Kapal kayu membawa sebagian kita menuju deretan panjang Pulau Peling yang sepi. Sedang untuk hal yang diselesaikan laut, kita hanya bisa berdoa.

Tak ada yang menunggu di sini. Hanya rapuh tiang dermaga dan camar-camar yang bersuara sumbang.

Tetapi yang kembali mungkin akan singgah sebentar, menjenguk berita bahagia yang tak pernah lengkap dan langit yang senantiasa bersedih.

. berita bahagia yang tak pernah lengkap

Semoga Kau Tertidur dengan Tenang

Aku ingin bercerita kepadamu dalam
suara paling jernih yang bisa ditangkap telinga
dan disimak kepalamu.

Hujan tumbuh di sekeliling rumahku.
Rintiknya berwarna merah, ungu, biru
atau apa pun yang bisa kau bayangkan
ada dalam lukisan seorang anak kecil.

Jangan menyela atau bertanya.
Sebab kisah ini beginilah adanya.

Pohon-pohon Akasia yang meneduhkan jalanan
juga pagar rumahku berubah warna.
Warnanya serupa sore kesukaanmu.
Sedikit jingga dan banyak merah.

Dari jendela bergorden tipis, kaki-kaki
hujan sesekali menyentuh kaca bening,
di mana aku berdiri di sebaliknya.

Telah pergi kemarau berumur panjang itu.
Akan tiba mekar bunga-bunga di kamar tidur itu.
Mulailah menghitung domba-domba, satu untuk setiap harapanmu.

Lalu bunga-bunga yang namanya tidak kukenal
bermunculan di ruang tamu, dapur, meja makan
dan tempat tidur. Kemudian seribu kupu-kupu
menjadikan rumahku taman bermain.

Kau mungkin akan mengingat ini, dongeng sebelum tidur yang tak punya judul.

Aku pun akan mengingat ini sebagai
kalimat penghiburan yang tak berupaya
menjadi puisi.

. berita bahagia yang tak pernah lengkap

Rumah

Tempat tinggalku di dasar laut yang ikan-
ikannya tidak suka bersuara.
Kecuali sebuah cermin kecil yang lebih banyak
menangis daripada menghiburku.

Aku melepas balon-balon berwarna hitam
ke atas. Seperti mengusir jauh rasa cemas
dari kedua telapak tangan.

Aku senang memakai gaun hitam di siang
hari yang terang. Melindungiku dari cahaya
yang senantiasa menuduh.

Di sekelilingku tumbuh daun-daun merah jambu
yang berbagi hujan dengan kedua mataku.
Aku membayangkan diriku seorang anak kecil
yang melarikan diri dari tidur siang.

Aku suka melamunkan ini:
sepasang lengan yang selalu kehilangan
dan warna langit yang hampir tak ada.

Tetapi kau tahu, aku lebih senang duduk saja di sini.
Di tempat yang menerima segala ketakutanku.

—Terinspirasi dari sebuah lukisan Lala Bohang


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Semua yang Kita Cintai Kelak Bakal Terampas
Menemukan Beberapa Pertanyaan di Pantai
Persiapan-Persiapan Menjelang Musim Hujan


Komentar Anda?