Menu
Menu

“Inggih, Pak Kepala. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” dan gantian mata tua itu yang sering berkedip.


Oleh: Adi Zamzam |

Menulis cerpen, puisi, dan esai. Karya-karyanya tersebar di berbagai media dan sejumlah antologi bersama. Novelnya berjudul Mlangun akan segera terbit. Saat ini sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan ‘Akademi Menulis Jepara’. Pengampu “Creative Writing” di MA Nurul Islam Jepara.


Mata itu terus saja berkedip. Apalagi tatkala lelaki uban yang kini menjadi perhatian jemaah pengajian itu beranjak bangkit, berdehem, mengucap salam, sembari mengedarkan pandang ke arah semua orang—termasuk dirimu.
Mata itu terus saja berkedip. Tatkala kenangan puluhan tahun silam—yang hampir membusuk dan terlupakan, tiba-tiba hidup dan bergerak nyata di pelupuk mata. Bahkan bau Pulau Buru pun kembali tercium hidungmu.

Mata itu terus saja berkedip. Mencari sisa-sisa persamaan pada wajah, pada sosok, pada gestur, dan terutama pada bunyi suara. Meski semuanya tersamarkan dengan tubuh yang menyusut, dan penampilannya yang sekarang—terutama pada baju koko dan peci hitam, namun senyum itu, nada suara itu, dan terutama tatapan mata itu, membuat ingatanmu semakin nyata.

Mata yang terus berkedip itu matamu. Mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Antara percaya dan tak percaya. Sementara bibirmu terus saja mendesiskan nama Tuhan…

* * *

Suara kaki yang mengendap-endap itu membangunkanmu. Dua bayangan kaulihat berjalan ke luar barak, menuju seseorang yang sudah menunggu di ambang kegelapan. Hingga akhirnya kau putuskan untuk membuntut.
Di langit hanya ada bulan sabit. Kau hampir saja kehilangan mereka jika telingamu tak mendengar gumam samar. Dan tiga orang itu tengah mengerumuni sebuah benda. Semacam boneka. Berkepala batok kelapa, berbaju goni, mirip orang-orangan sawah.

Hari berikutnya kau pura-pura tak mengetahui hal itu meski kedua matamu tak mau berhenti membuntuti polah mereka. Kau bahkan tahu ketika pesan-pesan itu dengan cerdiknya dimasukkan ke dalam roda bemo[1] demi mengelabui Tonwal[2].

“Kalau kalian coba melakukan kusi-kusi[3] dan tak mau berbagi denganku, maka jangan salahkan aku jika nanti ada yang kena buntut pari[4],” ancammu ketika hanya menemukan seutas plastik bening yang menyembul di tengah-tengah kacang hijau yang menghuni perut roda bemo—yang kaurampas dari mereka. Sepertinya isu perda[5] itu memang benar adanya.

Tapi dua cecunguk itu rupanya memang tak begitu menganggapmu. Dan sayangnya kau tak punya senjata apa-apa selain kenangan di tengah malam buta itu. Meski kau bisa membaca gurat-gurat perubahan di wajah mereka. Itu terjadi persis ketika kau sering mendengar kata ‘malari’ dari bincang-bincang dua mata Tonwal Abdullah dan Tonwal Sutrisno.

Tonyur[6] dilarang ikut merdeka,” celetuk salah satu cecunguk itu ketika beradu makan denganmu. Meski badan kerempeng, ternyata mereka punya cukup nyali untuk beradu mulut denganmu.

“Kalian masih tak mau berbagi denganku ya?” ancammu, menjajal serius. Ingin menakar sejauh mana kadar kuasa.

“Solidaritas cuma satu! Sudah habis dimakan diri sendiri. Emangnya Mbahe Markai apa?!” ia mengumpat, sambil berlalu dari hadapanmu.

“Awas kalian ya!” balasmu. Tunggu saja nanti jika ada kesempatan, batinmu.

* * *

Malam itu kau benar-benar kaget. Bukan lantaran panggilan Tonwal Sutrisno untuk urusan skripsi kelulusannya—seperti biasanya, tapi justru oleh para cecunguk itu.

“Bukankah kau ingin tahu?” ujar salah satu cecunguk yang paling kerempeng. Suara bisiknya hampir tak terdengar.

“Tapi kami ingin barter. Dan syaratnya kau harus diam,” lanjut yang bertubuh lebih pendek. Yang tempo hari sempat jajal kauancam.

Di sepanjang perjalanan menuju kebun belakang barak pun kau terus menduga-duga. Mengapa mereka tiba-tiba saja melunak terhadapmu? Takut? Ah! Kira-kira, apa yang tengah mereka rencanakan? Jika kondisi ini nanti tiada menguntungkan, perlukah ceritanya kau hadiahkan kepada Tonwal Sutrisno?

“Kami tahu, belakangan kau begitu lekat mengikuti apa yang kami lakukan. Karena semua petunjuk sekarang justru mengarah kepadamu, makanya sekarang kami ingin menunjukkan semuanya kepadamu.”

Tak ingin dibodohi. Tapi kau ingin tahu. Apa itu yang mengarah kepadamu? Ada firasat tak enak. Tapi kau tak mau dibilang pengecut. Akhirnya kau biarkan diri membebek.

“Duduklah. Lalu pegangi itu,” perintahnya.

Matamu berkelana ke aneka makanan yang tersaji di hadapan kalian. Sesaji untuk apa?

“Ambil itu, cepat. Kau dalangnya sekarang,” desak cecunguk yang bertubuh kurus. Lihat saja, mereka bahkan masih berani membentakmu.

Kau tak menyukai nama-nama yang mereka sebut lantaran itu adalah hal yang paling mudah kabur dalam ingatanmu. Apalagi jika bisik-bisik mereka terlalu cepat untuk disimpan telinga, dan tahu-tahu mantra itu sudah mereka gumamkan dengan khusyuk.

Kau masih dalam posisi memegangi mainan berkepala batok kelapa yang berpakaian goni saat nuansa mistis itu mulai merasukimu. Hingga kemudian kau tahu ada yang datang. Suara-suara, amarah, serapah, bayang-bayang, entah siapa, tapi rasanya kau tengah menyebut beberapa nama. Seperti ada yang tengah mengendalikanmu, padahal penglihatan masih sepenuhnya milikmu.

Kaulihat tangan nan kurus—tangan si batok kelapa, itu bergerak di luar kendali tangan kananmu. Dan kapur tulis yang terikat di ujungnya pun spontan menemukan sebidang batu pipih yang sebelumnya telah dipersiapkan.

“Dendi… coko[7] … merdeka…,” desis mereka hampir berbarengan, melafalkan tulisan yang hampir tak terlihat itu. Mengapa namamu? Ya, kau masih bisa mendengar ketika berulang kali menyebut namamu sendiri.

Dan beberapa detik sebelum mampu mendesiskan beberapa kata lagi, lagi-lagi ada yang merasuk ke dalam penglihatanmu. Lembar-lembar kertas skripsi yang kau tahu milik siapa, ciuman bertubi di tengkuk, seseorang yang merangkulmu erat dari belakang, nyeri di pantat yang menjalar ke dada, hingga baru kausadari ada air mata yang meleleh…

Hampir saja kau kalap dan meneriakkan kata setan sebelum kemudian sadar bahwa semua itu tak nyata. Ataukah belum nyata…

* * *

Mata itu masih sering berkedip. Mencoba memercayai apa yang dilihat. Mata itu berkedip kesekian kali. Ketika menerka, perjalanan hidup seperti apa kiranya yang mampu mengubahnya hingga kemudian berani menceramahi banyak orang dengan deretan ayat-ayat suci.

Mata itu sering berkedip ketika timbul pertanyaan; ataukah kau perlu memastikannya nanti seusai pengajian? Apakah kau sanggup?

Kau memang sering mendengar nama lelaki itu disebut—sebagai pendakwah yang sedang digandrungi. Tapi sungguh, kau tak menyangka jika ternyata sosok itu adalah dia yang pernah membuat dadamu mendidih. Kau bahkan masih bisa merasai sensasi merindingnya ketika tubuhmu ditindih dan dicumbu.

* * *

Kau telah mengambil keputusan meski kau pernah hampir membunuh lelaki itu—dengan rencana diam-diam, lantaran perbuatan bejatnya—sebelum kemudian jailangkung mengubah semuanya. Sejak remaja kau tidak pernah memercayai ramalan—bahkan hitungan weton yang dipegang erat orang tuamu saat memilihkan jodoh. Tapi, entah mengapa kali ini keyakinanmu terguncang hebat. Ah, bagaimana kabar Lastri dan Mayang kecilmu sekarang?

“Apa kalian telah mengguna-gunaiku?” kenangan itu kembali menguasaimu.

“Bukankah kau sendiri yang bilang ingin tahu apa yang kami kerjakan? Sekarang ceritakan apa yang kau lihat barusan,” ketiga cecunguk itu menggenggam erat kedua tanganmu. Sebelum kemudian kautinggalkan tempat itu seraya menolak penglihatan-penglihatan konyol yang menguasaimu barusan. Kau tetap bungkam bahkan hingga salah satu dari mereka kena coko—bahkan juga hingga detik ini.

Sesampainya di barak, kau masih dikuasai ketakutan-ketakutan itu. Hingga berhari-hari. Tiga kata itu mengganggu ketenanganmu. Apalagi ketika itu tengah santer beredar desas-desus tentang kematian Marsum yang menjadi korban coko di Bukit Siong San. Juga peristiwa Malari yang desas-desus pertamanya konon juga bermula dari permainan brengsek itu; jailangkung! Dan disebarluaskan melalui pesan berantai yang diselipkan di dalam roda bemo.

Hari-harimu mulai berjalan tak normal ketika kemudian diketahui barak kehilangan satu orang lagi—salah satu dari tiga cecunguk itu. Dan kau mulai serius memikirkan permainan itu. Permainan itu; ramalan, ataukah justru petunjuk yang bisa terus dilakukan demi menyelamatkan nyawa?

Tiap kali perasaan buruk itu datang, kau merasa dipenuhi lendir kotor menjijikkan! Kau merasa seperti bukan seutuhnya lelaki. Meski kau mengetahui, bukan hanya dirimu seorang yang terpaksa mengambil cara itu demi mendapatkan kenyamanan hidup dan barangkali jaminan kebebasan. Toh nyatanya, empat tahun pascaperistiwa Malari, kau benar-benar dibebaskan, tanpa stempel ET di KTP.

“Hanya dirimu!” bisik Tonwal Sutrisno ketika melepas kepulanganmu. Sosok yang kini mengurai ceramah di hadapan banyak orang, bak orang suci yang tak pernah melakukan dosa besar itu.

Rumahmu, posisimu yang kini menjadi pemimpin di sebuah sekolah swasta,anak-anakmu yang bisa bebas menggantungkan cita-cita sebagai apa, dan masa lalu kelam yang dihapuskan itu, tentu saja kau sangat berterima kasih kepada sosok itu. Sosok yang kini membuatmu sering mengedipkan mata lantaran setengah percaya.

* * *

“Apa benar ini dirimu, Pak Tris?” tanganmu sedikit gemetar saat terulur ke arah lelaki berkopiah itu.

Inggih, Pak Kepala. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” dan gantian mata tua itu yang sering berkedip.

“Masya Allah…” desisnya kemudian, dengan bibir gemetar. Ia langsung memelukmu, tanpa canggung. Sementara dirimu justru kehilangan kata-kata. “Apa kau memang sengaja memanggilku ke tempatmu ini, Den?” tanyanya kemudian.

Sebenarnya ada yang menyesaki dadamu. Sesuatu yang sulit didefinisikan. Hingga membuatmu sulit mengeluarkan kata-kata.

“Bukan. Ada salah seorang guru yang kebetulan menyukai gaya ceramahmu, Pak… Kiai,” jawabmu, dengan agak ragu. “Aku bahkan tidak tahu jika yang diundang itu adalah Pak Tris…” lanjutmu.

Terdengar embusan napas, lalu ada jeda diam yang cukup lama.

“Apa kau sudah mendengar pidato pernyataan Presiden, kemarin?” dengan nada agak canggung.

“Pada akhirnya, ketika kekuasaan absolut itu tumbang, suara-suara lain pun mulai bisa didengar,” sahutmu, mulai bisa tersenyum. “Negara ini berhutang banyak pada demokrasi.”

“Aku tahu soal itu. Aku juga tahu bahwa kau telah melewati hal berat itu dengan tidak mudah. Tuduhan tanpa pengadilan. Tapi kemudian aku tahu, bahwa agama memaklumi tindakanmu—yang demi menyelamatkan nyawa.”

“Saat itu aku masih belum mengenal agama, Kiai…,” kau tertawa getir. “Yang aku yakini, aku harus terus bertahan hidup. Siapa tahu nanti nasib akan berubah.”

Ia tiba-tiba menangis, lalu memelukmu lagi. “Apakah kau bisa memaafkan aku?”
Kau merasa gugup saat menyadari banyak mata memandangi kalian. Tapi, siapa yang sanggup menahan kehendak mata dan hati? Air mata.*

Catatan:
[1] Sejenis roti, papeda kukus yang dibentuk seperti roda. Di dalamnya diisi apa saja, tergantung kekayaan barak yang bersangkutan; kelapa parut, gula merah, kacang tanah, dll. Digunakan tapol untuk menyebarkan berita. Sumber; Kamus GESTOK Hersri Setiawan, 2003.
[2] Peleton pengawal. Di tiap unit tapol Pulau Buru, biasanya ada 1-2 orang per 25 tapol.
[3] Sindiran efektif untuk nama lain ‘berdiskusi’
[4] Dicambuk dengan ekor ikan pari.
[5] Pertanian dalam. Diusahakan oleh para tapol sendiri demi menyejahterakan mereka lantaran jatah yang seharusnya diperuntukkan buat mereka, diambil oleh para penguasa.
[6] Pemberian nama sesama tapol kepada kelompok tapol pekerja kebun sayur di Unit II Wanareja Inrehab Pulau Buru. Kelompok ini seringkali dicurigai oleh sesama tapol lantaran disinyalir merupakan mata-mata penguasa.
[7] Cara tradisional penduduk Buru berburu, yang diplesetkan kepada para tapol korban pembunuhan yang direncanakan.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Pengakuan Che – Cerpen Margareth Ratih Fernandez
Mimpi-Mimpi Seorang Buruh – Cerpen Surya Gemilang


Komentar Anda?