Menu
Menu

Bagi Dante, tak cukup hanya berkata bahwa ketika ular dan manusia saling memeluk, si manusia berubah menjadi ular, dan ular menjadi manusia …


Oleh: Mario F. Lawi |

Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Beberapa buku puisinya: EkaristiMendengarkan ColdplayLelaki Bukan Malaikat, dan Keledai yang Mulia.


Mari kita bayangkan, di sebuah perpustakaan Timur, sebuah gambar miniatur dibikin berabad-abad yang lalu. Mungkin di perpustakaan Arab, dan kita diberi tahu bahwa semua cerita Seribu Satu Malam tergambarkan di situ; mungkin di perpustakaan Cina, dan kita tahu bahwa miniatur tersebut mengilustrasikan sebuah novel dengan ratusan atau ribuan karakter. Di tengah keriuhan bentuk-bentuknya, miniatur tertentu – sebuah pohon menyerupai kerucut terbalik, sejumlah masjid berwarna merah terang di balik tembok besi – menarik perhatian kita, dan darinya kita beralih ke yang lain. Hari memudar, cahaya menghilang, dan semakin kita terbenam ke dalam lukisan, kita paham bahwa tak ada satu pun hal di bumi yang tak tercakup di dalamnya. Apa yang pernah ada, apa yang sedang ada, apa yang akan ada, sejarah masa lalu dan masa depan, apa yang telah saya miliki dan yang akan saya miliki, semuanya menunggu kita di suatu titik dari labirin tenang itu… Saya berfantasi tentang sebuah karya magis, sebuah miniatur sekaligus mikrokosmos: puisi Dante adalah miniatur keluasan semesta. Saya percaya, bagaimanapun, bahwa jika kita dapat membacanya dengan penuh kemurnian (tetapi sukacita semacam itu terlarang bagi kita), universalitas tak akan jadi hal pertama yang kita perhatikan, apalagi kesubliman dan kemegahan. Dengan segera kita akan menyadari, saya percaya, karakteristik-karakteristik lain yang tidak terlalu berlebihan dan jauh lebih menyenangkan, barangkali, yang dicatat oleh para Danteis Inggris: penemuan yang beragam dan menggembirakan dari detail-detail cermat. Bagi Dante, tak cukup hanya berkata bahwa ketika ular dan manusia saling memeluk, si manusia berubah menjadi ular, dan ular menjadi manusia; Dante membandingkan metamorfosis serentak tersebut dengan api yang melahap kertas, diawali dengan halo cokelat tempat yang putih lenyap, tetapi belum jadi hitam (Inferno, XXV, 66). Tak cukup lagi baginya untuk berkata bahwa, dalam kegelapan lingkaran ketujuh, para terkutuk memicingkan mata untuk melihatnya; ia membandingkan mereka dengan orang-orang yang saling memandang di bawah bulan tak menentu, atau dengan penjahit tua yang mencoba memasang benang (Inferno, XV, 21). Tak cukup lagi baginya untuk berkata bahwa di dasar semesta air membeku; ia menambahkan bahwa hal itu justru terlihat seperti kaca, bukan air (Inferno, XXXIII, 24)… Macaulay memikirkan persamaan-persamaan tersebut ketika ia menyatakan, bertentangan dengan Cary, bahwa kesubliman samar dan generalitas mengagumkan Milton menggerakkannya tidak sebanyak yang dilakukan rincian-rincian Dante. Ruskin, selanjutnya (Modern Painters, IV, XIV), mengutuk kesamaran Milton dan menyetujui topografi bengis yang digunakan Dante untuk menggambar peta nerakanya. Kita tahu bahwa para penyair bekerja melalui hiperbola: bagi Petrarca, atau bagi Góngora, setiap helai rambut perempuan adalah emas, dan setiap air adalah kristal; alfabet simbol yang mekanis dan kejam itu melemahkan kekakuan kata-kata dan tampaknya didasarkan pada pengabaian terhadap pengamatan yang tak sempurna. Dante menghindari kesalahan tersebut; dalam bukunya, tak ada satu pun kata tanpa pembenaran.

Ketepatan yang baru saja saya tunjukkan bukanlah perangkat retorika: itu adalah sebentuk afirmasi terhadap kejujuran dan kepenuhan yang dengannya setiap insiden dalam puisi dibayangkan. Hal yang sama juga berlaku tentang ciri-ciri yang bersifat psikologis, begitu mengagumkan dan pada saat yang sama begitu sederhana. Seluruh puisi seolah terjalin dengan karakter-karakter ini; akan saya sebutkan beberapa. Jiwa-jiwa yang ditakdirkan ke neraka untuk menangis dan menghujat Tuhan; naik ke perahu Charon, ketakutan mereka diubah menjadi keinginan dan kecemasan tak tertahankan (Inferno, III, 126). Dari bibir Vergilius, Dante belajar bahwa si penuntun tidak akan memasuki Paradiso; Dante segera melihat Vergilius sebagai guru dan tuan, untuk menunjukkan bahwa pengakuan itu tidak mengurangi kasih sayangnya kepadanya, justru karena mengetahui bahwa Vergilius tersesat, Dante semakin mencintainya (Inferno, IV, 46). Dalam badai hitam lingkaran kedua, Dante ingin mengetahui akar cinta Paolo dan Francesca; kisah terakhir menceritakan bahwa mereka saling mencintai dan mengabaikan, “kami sendirian, dan tanpa curiga”, dan bahwa cinta mereka terungkap melalui bacaan biasa. Vergilius menentang orang-orang sombong yang mengaku merangkul keilahian tak terbatas hanya dengan akal; tiba-tiba Vergilius pun menundukkan kepalanya dan terdiam, karena dia merupakan salah satu dari para malang (Purgatorio, III, 34). Di lereng Purgatorio yang terjal, jiwa Sordello dari Mantua bertanya kepada jiwa Vergilius dari manakah ia berasal; Vergilius menjawab dari Mantua; Sordello kemudian menyela dan memeluknya (Purgatorio, VI, 58). Novel pada zaman kita mengikuti proses-proses mental dengan keangkuhan berlebihan; Dante justru membiarkan proses tersebut dengan maksud dan isyarat.

Paul Claudel mengamati bahwa tontonan yang menanti kita setelah penderitaan tidak mungkin berupa sembilan lingkaran Inferno, teras Purgatorio, atau langit konsentris. Dante pasti setuju dengannya; ia akan menganggap topografi kematiannya sebagai kecerdasan yang dibutuhkan oleh skolastik dan oleh struktur puisinya.

Astronomi Ptolemeus dan teologi Kristen menggambarkan alam semesta Dante. Bumi adalah bola tidak bergerak; di tengah belahan bumi utara (yang diizinkan untuk manusia) terdapat gunung Sion; sembilan puluh derajat dari gunung, ke timur, sebuah sungai mati, Sungai Gangga; sembilan puluh derajat dari gunung, ke barat, sungai lahir, Ebro. Belahan bumi selatan terdiri dari air, bukan tanah, dan telah dilarang untuk manusia; di tengahnya muncul gunung antipode Sion, gunung Purgatorio. Dua sungai dan dua gunung yang berjarak sama membentuk tanda salib di atas bola. Di bawah gunung Sion, tetapi jauh lebih luas, sebuah kerucut terbalik ke pusat Bumi, Inferno, terbagi menjadi lingkaran-lingkaran yang mengecil laiknya anak tangga amfiteater. Lingkarannya sembilan dan topografinya sendiri rusak dan mengerikan; lima yang pertama membentuk Neraka Atas, empat yang terakhir membentuk Neraka Bawah, yang merupakan sebuah kota dengan menara-menara merah, dikelilingi tembok-tembok besi. Di dalamnya ada kuburan, sumur, tebing, rawa-rawa dan pantai; di puncak kerucut ada Lucifer, “cacing yang menembus dunia”. Sebuah celah di batu dibuka oleh air Lethe, menghubungkan Inferno dengan dasar Purgatorio. Gunung ini adalah sebuah pulau yang memiliki sebuah pintu; di sepanjang lerengnya terdapat teras-teras yang melambangkan dosa-dosa mematikan; taman Eden semerbak di puncak. Sembilan bola konsentris berputar mengelilingi Bumi; tujuh yang pertama adalah langit planet-planet (Langit Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus); yang kedelapan, Langit bintang tetap; yang kesembilan, Langit kristal, yang juga disebut Primo Mobile. Yang terakhir ini dikelilingi oleh Empireo, tempat Mawar Orang Benar terbuka, tak terukur, di sekitar suatu titik, yakni Tuhan. Dapat ditebak, ada sembilan lingkaran Mawar. Demikianlah, pada dasarnya, konfigurasi umum dari dunia Dante, sebagaimana akan diamati oleh pembaca, tunduk pada otoritas dari 1, dari 3, dan lingkaran. Demiurgo, atau Artefice, dari buku Timaeus, yang dikutip Dante (Convivio, III, 5; Paradiso, IV, 49) menilai bahwa gerakan paling sempurna adalah rotasi, dan benda paling sempurna adalah bola; dogma, yang oleh Demiurgo Platon dibagi dengan Xenophanes dan Parmenides, menentukan geografi tiga dunia yang dilalui oleh Dante.

Kesembilan langit yang berputar dan hemisfer selatan yang terbuat dari air, dengan gunung di tengahnya, terkenal berhubungan dengan kosmologi kuno; ada yang percaya bahwa julukan ini sama-sama berlaku untuk ekonomi supernatural puisi tersebut. Sembilan lingkaran Inferno (menurut mereka) tidak kurang sementara dan tidak dapat dipercaya dibandingkan sembilan surga Ptolemeus, dan Purgatorio sama tidak nyatanya dengan gunung tempat Dante meletakkannya. Hal tersebut membutuhkan beberapa pertimbangan: pertama, Dante tidak menetapkan topografi dunia lain yang benar dan mungkin. Dante menyatakannya sendiri; dalam Epistola-nya yang terkenal kepada Cangrande, ditulis dalam bahasa Latin, Dante menyatakan bahwa terma Commedia secara harfiah adalah keadaan jiwa setelah kematian, dan secara alegoris, manusia, sejauh kelebihan dan kekurangannya, yang menjadikan dirinya kreditor hukuman atau hadiah ilahi. Iacopo di Dante, putra sang penyair, mengembangkan gagasan ini. Dalam prolog komentarnya, kita membaca bahwa Commedia ingin menunjukkan tiga kondisi keadaan manusia secara alegoris, dan bahwa dalam bagian pertama penulis mempertimbangkan sifat buruk, menyebutnya Inferno; yang kedua, transisi dari kejahatan ke kebajikan, menyebutnya Purgatorio; yang ketiga, kondisi manusia yang sempurna, menyebutnya Paradiso, “untuk menunjukkan tingginya kebajikan dan kebahagiaan mereka, kedua bagian lain diperlukan untuk membedakan kebaikan tertinggi.” Para komentator kuno lainnya turut memahami dengan cara yang sama, misalnya Iacopo della Lana, yang menjelaskan: “Mengingat bahwa kehidupan manusia dapat terdiri atas tiga kondisi, yakni kehidupan orang jahat, kehidupan orang bertobat, dan kehidupan orang baik, penyair membagi bukunya menjadi tiga bagian, yakni Inferno, Purgatorio, dan Paradiso.

Testimoni yang setia lainnya berasal dari Francesco da Butti, yang memberikan anotasi Commedia pada akhir abad ke-14. Ia menggemakan bunyi Epistola: “Subjek dari puisi ini secara harfiah adalah kondisi jiwa-jiwa yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka, dan secara moral penghargaan atau hukuman yang diperoleh manusia melalui kehendak bebasnya.”

Hugo, dalam Ce que dit la bouche d’ombre, menulis bahwa hantu yang dalam Inferno mengambil wujud Kain untuk Habel adalah sosok yang sama dengan yang dikenal Nero sebagai Agrippina.

Yang jauh lebih serius daripada tuduhan keusangan adalah tuduhan kekejaman. Nietzsche, dalam Götzen-Dämmerung, oder, Wie man mit dem Hammer philosophiert (1888), menjajakan pendapat tersebut dalam epigram yang mendefinisikan Dante sebagai “hiena yang menulis sajak di kuburan”. Definisi tersebut, seperti dapat disimak, yang kurang cerdik ketimbang empatik itu, berutang popularitasnya, popularitasnya yang besar, pada cara merumuskan hal yang biasa dengan kurangnya pertimbangan, dan kekerasan. Menyelidiki alasan penilaian ini adalah cara terbaik untuk membantahnya.

Alasan lain, bersifat teknis, menjelaskan kekerasan dan kekejaman yang dituduhkan kepada Dante. Gagasan panteistik tentang Tuhan yang juga adalah alam semesta, tentang Tuhan yang adalah masing-masing ciptaannya dan takdir dari para makhluk tersebut, mungkin merupakan ajaran sesat dan kesalahan ketika diterapkan pada kenyataan, tetapi tak terbantahkan penerapannya terhadap penyair dan karyanya. Sang penyair adalah setiap tokoh dalam semesta fiksinya, dialah setiap embus napas dan setiap detail. Salah satu tugasnya, bukan yang termudah, adalah menyembunyikan atau menyamarkan kasus Dante yang sulit, yang dipaksa oleh karakter dari puisinya untuk memberikan kemuliaan atau kebinasaan, tanpa pembaca dapat memperingatkan diri bahwa Keadilan, yang mengeluarkan hukuman tersebut, pada akhirnya, adalah dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, Dante memasukkan dirinya sendiri sebagai tokoh dalam Commedia, dan memastikan bahwa reaksinya tidak bersesuaian, atau hanya kadang-kadang bersesuaian – dalam kasus Filippo Argenti, atau dalam kasus Yudas – dengan keputusan ilahi.

***

Keterangan:
Diterjemahkan oleh Mario F. Lawi dari “Prologo” dalam “Saggi danteschi” (terjemahan Italia esai-esai tentang Dante dikerjakan oleh Gianni Guadalupi), dalam buku kumpulan karya lengkap Borges dalam bahasa Italia berjudul Tutte le opere, vol. 2 yang disunting Domenico Porzio (I Meridiani, 1985: 1263-1268).


Baca juga:
Dunia adalah Articok – Esai Italo Calvino
Jam Dapur – Cerpen Wolfgang Borchert


Komentar Anda?