Menu
Menu

Bekerja dengan metafora dalam narasi memang bukan perkara gampang, tapi menantang.


Oleh: Marcelus Ungkang |

Pengajar sastra di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unika Santu Paulus Ruteng. Saat ini, ia bergiat di Klub Buku Petra dan Teater Saja Ruteng.


Armin Bell mengangkat tema peristiwa ’65 di Ruteng-Flores dalam salah satu cerpennya. Namun, apa menariknya mengulas tema tersebut?

Pertama, dalam peta tematik sastra Indonesia, pembicaraan tentang peristiwa ’65 lebih banyak didominasi oleh peristiwa-peristiwa di Jawa dan Bali. Peristiwa- peristiwa ’65 dari NTT, misalnya, relatif kurang terlihat pengaruhnya secara diskursus di panggung sastra Indonesia.[1]

Kedua, sirkulasi pengetahuan berupa riset atau kesaksian tentang peristiwa ’65 masih lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali.[2] Di satu pihak, kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan “keuntungan” sumber rujukan bagi para pengarang yang ingin menggarap cerita bersumber dari peristiwa 1965 dari Jawa-Bali.

Di pihak lain, keterbatasan materi rujukan dapat membuat pengarang justru mereproduksi teks-teks dari wilayah Jawa-Bali ke dalam karya yang berangkat dari peristiwa 1965 di NTT, misalnya—yang jelas tidak sama.[3]

Sebagai contoh, para pelaku di NTT melaksanakan ritual pembersihan/pemulihan diri yang bersumber dari ritual agama adat setempat (Kolimon, 2015).

Ketiga, di samping enggan dibicarakan terbuka, keragaman medium dan cara pengungkapan peristiwa ’65 di Manggarai memang masih terbilang langka. Selain cerpen Armin Bell, tercatat saat ini baru ada satu liputan feature di floresa.com dan satu film dokumenter pendek Tida Lupa karya sutradara Asrida Elisabeth yang khusus bicara tentang peristiwa ’65 di Manggarai.[4]

Dunia Tekstual

Perjalanan Mencari Ayam (2018, diterbitkan Dusun Flobamora) adalah kumpulan cerpen kedua karya Armin Bell, setelah Telinga (2011). Sejumlah cerpennya pernah dipublikasikan di Jurnal Santarang, Pos Kupang, Flores Pos, Lombok Post, Pos Bali, dan Litera.

Perjalanan Mencari Ayam berisi tujuh belas cerpen. Secara umum, tema-tema dalam PMA membicarakan persoalan sosial di Manggarai: konflik tanah antara sesama masyarakat atau masyarakat adat dengan negara, TKI, pencarian identitas diri, dan mitos-mitos lokal Manggarai.

Dari tujuh belas cerpen dalam Perjalanan Mencari Ayam, “Lapak di Atas Tulang Kekasih” merupakan satu-satunya cerpen yang mengangkat peristiwa 1965. Kelangkaan tema ini di konteks Manggarai membuat cerpen ini menarik untuk diulas. Selain itu, jika dibandingkan daerah lain, Manggarai adalah daerah yang kurang dibicarakan dalam penelitian mengenai peristiwa ’65 di NTT.[5]

Secara ringkas, “Lapak di Atas Tulang Kekasih” mengisahkan perempuan bernama Lena yang berdagang di Pasar Puni. Pilihan tempat tersebut bukan tanpa alasan. Puni adalah tempat ayah, saudara laki-laki, dan kekasihnya dieksekusi karena keterlibatannya dengan organisasi PKI. Ketika Puni dialihfungsikan menjadi pasar, Lena segera memutuskan berdagang di sana agar tetap dekat kuburan ketiga orang terkasihnya. Pertemuan Lena dengan seorang penjual sapu keliling dan ramai suara petasan yang lazim didengar pada bulan Desember di Ruteng membangkitkan kembali kenangan tentang peristiwa ’65, sebuah wujud involuntary memory. Kepada si penjual sapu, Lena menceritakan bagaimana ketiga orang terkasihnya dijemput tengah malam karena nama mereka ada dalam daftar anggota gerakan. Ketiganya bergabung karena janji organisasi gerakan untuk melawan kemiskinan serta menyerahkan bantuan peralatan pertanian bagi masyarakat. Di akhir kisah, Lena menuturkan bagaimana ia menyaksikan sendiri, tanpa boleh menangis, bagaimana mereka dieksekusi.

Dunia Kontekstual Peristiwa ‘65 di NTT

Untuk memahami lebih jelas cerpen Armin Bell, kita perlu meletakkannya pada konteks NTT.

Mery Kolimon, seorang peneliti dan putri pelaku peristiwa ’65 di NTT, dalam artikel “Para Pelaku Mencari Penyembuhan: Berteologi dengan Narasi Para Pelaku Tragedi ’65 di Timor Barat” (2015), menyampaikan beberapa poin penting.

Pertama, menurutnya para pelaku tragedi ’65 masih enggan menceritakan pengalaman traumatis tersebut. Meskipun peduli dan tidak melupakan, tapi ada campur aduk perasaan tidak nyaman, malu, takut, dan jijik bagi mereka ketika mengingat semua itu. Para pelaku tahu bahwa para korban adalah orang baik, tapi mereka tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan itu. Kolimon (2015: 37) menulis “Dengan membunuh, para pelaku kehilangan separuh jiwanya. Kejahatan kemanusiaan itu melukai diri mereka sendiri.”

Kedua, kebanyakan pelaku masih berpegang pada narasi besar negara. Artinya, para pelaku masih bersikukuh dan bersembunyi di balik narasi pembenaran atas perbuatan mereka. Dengan cara itu, mereka bertahan dari proses kerusakan diri dan rasa bersalah.

Ketiga, para pelaku perlu diberi kesempatan untuk menguji dan menimbang kembali narasi dan imajinasi kepahlawanan mereka. Imajinasi yang dimaksud antara lain bahwa pelaku lebih tinggi derajatnya daripada korban, perilaku agresif sebagai bentuk maskulinitas, komunisme antiagama, dsb.

Keempat, dalam menghadapi rasa bersalah atas perbuatannya, para pelaku melaksanakan beberapa ritual untuk pembersihan/pemulihan diri. Ritual itu adalah (1) meminum darah korban, (2) menggosok badan dengan kayu pendingin (hau hainikit), (3) ritus mengalirkan darah anjing ke sungai, dan (4) dan berdoa di gereja.

Dunia Referensial-Tekstual

Dapat dikatakan bahwa penggarapan cerita yang bertitik tolak dari peristiwa nyata di atas merupakan kerja transformasi dunia referensial ke dunia tekstual.[6] Peristiwa eksekusi ’65 di Pasar Puni Ruteng dalam cerpen “Lapak di Atas Tulang Kekasih” adalah dunia referensial. Sedangkan dunia tekstual adalah dunia yang diproduksi dari dalam dunia teks itu sendiri tanpa harus dikaitkan dengan dunia referensial. Ucapan tokoh Lena kepada penjual sapu, misalnya, “Jangan menyerah. Besok sapu-sapu itu pasti ada yang laku. Setiap orang membutuhkan sapu untuk kotoran-kotoran yang mereka buat sendiri” adalah contoh dunia tekstual.

Meski peristiwa ’65 diloloskan dari dunia referensial ke dalam dunia tekstual, cerpen “Lapak di Atas Tulang Kekasih” menyisakan beberapa catatan. Hal itu terutama terkait dengan bagaimana dunia tekstual yang dibangun berguna untuk menguji narasi utama Orde Baru tentang peristiwa ’65 (baca: dunia referensial).

Pertama, belum ada sesuatu yang khas dari gambaran peristiwa ’65 yang terjadi di pasar Puni Ruteng dibandingkan karya-karya yang mengambil latar Jawa-Bali, misalnya. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Ignas Kleden (2018: 10) bahwa “ […] sastra mencari kekhususan dan kekhasan pada satu objek singular yang membedakannya dari objek lain dalam gejala yang sama. Misalnya dalam gejala pemberontakan petani, akan diselidiki bukan kesamaan-kesamaan antara pemberontakan petani di Birma dan di Banten, tetapi justru kekhasan pemberontakan petani Banten yang membuatnya berbeda dari pemberontakan petani di tempat lain.”

Kedua, soal pengarang tersirat dan pembaca tersirat. Karena fitur-fitur internalnya, cerpen dapat ditelaah dengan naratologi Seymour Chatman (1980). Naratologi Chatman dipilih sebagai sarana analisis karena model ini mengakomodasi komunikasi. Narasi sebagai komunikasi, hemat saya, diperlukan karena teks sastra sampai saat ini bisa menjadi alternatif mengomunikasikan peristiwa 1965 yang masih enggan dibicarakan terbuka di Manggarai.

Ada enam komponen dalam model naratologi Chatman yang dapat dibagi dalam dua kelompok besar. Pertama, di luar narasi: pengarang sebenarnya (real author) dan pembaca sebenarnya (real reader). Kedua, di dalam narasi, yaitu narator, narratee, pengarang tersirat (implied author), dan pembaca tersirat (implied reader).

Cara teks dikonstruksi dari posisi atau sudut pandang tertentu adalah bagian dari konsep pengarang tersirat, sedangkan pembaca yang diandaikan, dikonstruksikan atau terkonstruksikan oleh narasi adalah pembaca tersirat. Sebagai catatan, pengarang tersirat tidak sama dengan narator. Narator memiliki “suara” dalam cerita, sedangkan pengarang tersirat tidak. Sebagai contoh, seorang ibu ketika melihat anak perempuannya bermain mobil-mobilan berkata bahwa anak perempuan sebaiknya main boneka saja. Mobil-mobilan hanya untuk anak laki-laki.

Ibu yang berbicara di atas adalah narator. Anak perempuan yang dituju oleh ujarannya adalah narratee. Ideologi patrilineal dapat dikatakan sebagai pengarang tersirat yang mengonstruksikan cara pandang ruang gerak anak perempuan terbatas pada wilayah-wilayah domestik. Sedangkan (anak) perempuan yang didomestikasikan adalah pembaca tersiratnya.

Narator dalam “Lapak di Atas Tulang Kekasih” adalah Lena. Namun, siapa pengarang tersirat dan pembaca tersirat dalam teks “Lapak di Atas Tulang Kekasih” tampaknya masih terlalu umum. Masih mengambangnya pembaca tersirat ini berdampak pada pembaca riil yang agak sukar mengaitkan dirinya dengan teks.[7]

Keumuman dimaksud bisa dicurigai karena dua hal yang berkaitan. Pertama, teks cerpen ini dibangun dari teks-teks besar peristiwa ’65 di Jawa-Bali. Selain latar geografis Pasar Puni, tidak terlihat kekhasan peristiwa itu berlangsung di Manggarai, misalnya, terkait cara pandang tokoh terhadap kematian. Padahal, orang Manggarai membedakan antara kematian wajar dan tidak wajar (dara ta’a). Bagi orang Manggarai, mati karena dibunuh termasuk kematian tidak wajar. Karena itu, cara pandang serta cara menghadapinya juga berbeda.

Karena pembedaan jenis penyebab kematian itu pula, seperti temuan Kolimon di Timor Barat, membuat para pelaku melakukan ritual pembersihan diri—yang secara tidak langsung mengakui bahwa perbuatan mereka salah. Sesuatu yang dianggap salah itu kemudian perlu dikembalikan pada kondisi harmoni.

Kedua, trauma kolektif bisa dipandang bertindak sebagai pengarang tersirat. Artinya, trauma itu menyamarkan diri justru dengan mengambil rupa teks umum yang sudah dikenali dan dibicarakan secara relatif lebih terbuka, misalnya di Jawa dan Bali.

Strategi Proses Kreatif: Bekerja dengan Metafora

Dari pembacaan di atas dapat dikenali dua persoalan menulis peristiwa ’65. Pertama, bagaimanakah cara agar dunia tekstual membuka terobosan cara pandang (insight) baru pada dunia referensial yang darinya sebuah teks diasalkan? Kedua, bagaimanakah mengembangkan strategi proses kreatif menyiasati hambatan ketaksadaran yang masih membayangi?

Strategi alternatif yang dapat diajukan adalah bekerja dengan metafora. Ada beberapa alasan bekerja dengan metafora. Pertama, kebanyakan pelaku masih berpegang pada narasi besar negara. Karena itu, usul Kolimon, para pelaku perlu dihadapkan pada situasi yang memungkinkan mereka untuk menguji dan menimbangkan kembali narasi dan imajinasi kepahlawanan mereka pada peristiwa ’65. Jika usul Kolimon dibawa ke dalam konteks sastra, para pengarang juga perlu bekerja dengan sarana-sarana naratif seperti simbol dan metafora. Metafora dapat meredeksripsikan sesuatu yang sudah dikenali dengan cara baru dan segar (Kaplan, 2013:50).

Kedua, kenyataan di Timor Barat, militer telah membajak dan mengeksploitasi metafora dan simbol-simbol lokal untuk memperkuat imajinasi dan narasi pembenaran bagi para pelaku pembunuhan 1965 (lih. Kolimon, 2015: 43-44). Kerja kritis sastra kemudian adalah membebaskan berbagai metafora dan simbol lokal itu untuk dikembalikan pada kondisi semula atau membuat inovasi semantik atasnya. Inovasi semantik itu sendiri terjadi pada “metafora hidup” dan bukan “metafora mati”. “Kepala batu”, misalnya, adalah contoh “metafora mati” yang tidak membawa imajinasi baru lagi.

Ketiga, harus diakui bahwa ada hambatan sosiopolitik dan ketaksadaran mengenai apa yang boleh dan tidak boleh diungkapkan mengenai peristiwa ’65.[8] Khusus soal hambatan bawah sadar, persis di situlah pentingnya simbol dan metafora. Dalam wawasan psikologi sastra, ketaksadaran manusia dipandang bekerja dengan cara mirip dengan sastra, yaitu melalui metafora dan simbol-simbol.

Tentu pendayagunaan simbol dan metafora bukan barang baru dalam sastra. Namun, hemat saya, akan berbeda jika kita menghadapkannya secara kritis bukan pada slogan gerakan melawan lupa, tetapi justru melawan ingatan.

Dikatakan melawan ingatan karena Orde Baru dengan aparatusnya membenihkan ingatan–master narrative, atau narasi besar–tentang peristiwa ’65. Narasi besar ini bukan cuma ada di benak para pelaku, tetapi juga beberapa lapis generasi melalui, terutama, buku-buku sejarah versi Orde Baru. Tentu kini ada buku-buku sejarah di luar versi Orde Baru. Namun, kisah ‘65 yang ditanamkan di benak masa kecil bukan sesuatu yang mudah dihapus begitu saja.

Keempat, bekerja dengan metafora juga menjadi salah satu pembeda utama antara jurnalis dengan pengarang atau seniman. Seorang pengarang dapat melakukan riset atau investigasi layaknya seorang jurnalis. Namun, pengolahan lanjut atas hasil riset keduanya berbeda. Sebagai misal, Afrizal Malna dalam pengantar bukunya menceritakan tentang seseorang yang meninggal di Jakarta karena tertabrak. Afrizal termasuk orang yang ikut memandikan mayat.[9] Yang menarik perhatian Afrizal bukan soal tabrakannya, tapi justru kuku korban yang berwarna hitam. Bagi Afrizal, kuku hitam itu merupakan metafora tentang kerasnya kehidupan di Jakarta. Sementara jurnalis mungkin lebih berfokus pada fakta-fakta seputar kematian orang bersangkutan.

Cerpen “Lapak di Atas Tulang Kekasih” sesungguhnya memiliki potensi simbol dan metafora, tetapi belum dimaksimalkan oleh Armin Bell, yaitu “sapu ijuk” dan/atau “pasar”. Sapu bisa dipandang sebagai pengendapan (kondensasi), yaitu penggabungan sekaligus beberapa soal: (1) eksekusi (baca: pembersihan komunisme), (2) sebuah paradoks karena untuk membersihkan kotoran, sapu harus mengotori dirinya, (3) sapu adalah alat untuk meluputkan diri dari kontak langsung dengan objek pembersihan.

Jika dicermati, bentuk kondensasi berupa sapu ijuk, selain dikenali oleh skemata lokal orang Manggarai, koheren dengan diskursus tentang ’65. Komunisme dicitrakan sedemikian kotor sehingga harus “dibersihkan”. Untuk kepentingan “bersih-bersih” itu, kekuatan negara dengan militer sebagai alat harus dilibatkan. Akan tetapi, negara juga bisa “cuci tangan” dengan cara melibatkan sipil sebagai eksekutor lapangan.[10]

Selain sapu ijuk, Pasar Puni bisa dilihat lebih dari lokus eksekusi ‘65. Pasar bisa dijadikan metafora ruang negosiasi yang khas karena dapat dilakukan relatif dengan anonimitas. Kondisi itu paralel dengan diskursus ’65 di Manggarai. Sampai saat ini, sedikit sekali kajian sejarah tentang siapa pelaku, korban, saksi, atau penyintas peristiwa ’65 di Manggarai.[11]

Namun, bekerja dengan metafora dalam narasi memang bukan perkara gampang, tapi menantang. Meski kunci untuk memahami koneksi antara metafora dan narasi telah ditunjukkan oleh Ricoeur melalui konsep imajinasi produktif (lih. Kaplan 2003: 49-50), menurut saya, perbedaan sifat dasar metafora yang memadatkan dengan narasi yang bersifat menguraikan ide bisa jadi kerja kompleks dalam proses kreatif.[12] Lain hal dengan puisi yang memiliki kesepadanan sifat dengan metafora: keduanya memadatkan ide.

Penutup

Secara politis, cerpen macam karangan Armin Bell masih diperlukan untuk mengungkapkan peristiwa ’65 di NTT yang relatif jauh dari “episentrumnya”. Namun secara estetis, para pengarang juga perlu mengembangkan strategi proses kreatif terkait tema ’65 ini.[13]

Sebagai penutup, kita bisa mengingat film Inception (2010) besutan Christopher Nolan. Lazimnya kita tahu bahwa perampok mengambil sesuatu secara terang-terangan, sedangkan pencuri masuk, mengambil, lalu keluar secara diam-diam. Namun, dalam film ini, pencuri tidak mengambil, tapi justru menyimpan sesuatu (baca: ide) sedemikian rupa sehingga pemilik rumah berpikir seakan-akan ide itu dari dulu memang miliknya.[*]

Artikel ini pernah ditayangkan di jurnalruang.com tahun 2019. Versi ini telah mengalami penyuntingan minor.

Catatan Kaki
[1] Bandingkan misalnya dengan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Pulang karya Leila S. Chudori, Amba karya Laksmi Pamuntjak, atau cerpen-cerpen Martin Aleida.
[2] Perbandingan informasi tentang peristiwa ’65 di NTT dengan daerah Jawa dan Bali misalnya dapat dilihat di www.genosidapolitik65.blogspot.com. Blog ini relatif lengkap mendokumentasikan link berbagai tulisan, publikasi, atau video dokumenter tentang peristiwa ’65.
[3] Lihat artikel Mery Kolimon tentang bagaimana ritual para pelaku untuk memulihkan diri sesudah mengeksekusi korban.
[4] Cek http://www.floresa.co/2015/09/30/tragedi-1965-di-ruteng-dari-tuduhan-pki-hingga- eksekusi-massal-di-puni/ dan https://medium.com/ingat-65/menelusuri-jejak-kuburan- massal-di-pasar-puni-d54d4ed5ce9d.
[5] Bdk. https://indoprogress.com/2016/07/memori-kolektif-perspektif-korban-dan- marwah-peradaban1/; Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah, Memori-Memori Terlarang Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur, (2012, Yayasan Bonet Pinggupir).
[6] Contoh analisis dunia referensial dan tekstual juga dapat dilihat dalam tulisan Ignas Kleden, “Sastra dan Humaniora”, 2018. Ulasan bagian ini juga berhutang pada tulisan Ignas Kleden tersebut.
[7] Membaca novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, dapat memberikan pengalaman khas tentang pembaca tersirat. Bermacam mentalitas dan rasionalisasi yang mungkin dipikirkan sebagai alasan untuk melakukan korupsi seperti sudah diantisipasi teks melalui pembaca tersirat.
[8] Hambatan ini bukan milik sastra semata. Sebagai contoh, dalam tulisan Ignas Kleden (2017) disebutkan bahwa ungkapan “kebebasan bertanggung jawab” produk Orde Baru, yang masih kita warisi itu, problematis sifatnya karena tidak ada definisi yang jelas dan tegas tentang apa yang dimaksud dengan bertanggung jawab itu. Definisi itu ditentukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
[9] Seperti sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, Afrizal Malna, (Magelang: Indonesia Tera)
[10] Beberapa kisah eksekusi di NTT bisa dibaca di beberapa tautan berikut: https://historia.id/modern/articles/penumpasan-pki-di-ntt-dalam-dokumen-rahasia-as- vVerW; http://indoprogress.blogspot.com/2010/06/senandung-bisu-1965.html; https://kbr.id/saga/11-
2015/ipt_1965 ngesti pembunuhan_massal_di_ntt_dikomandoi_tni/77447.html.
[11] Riset dan diskusi peristiwa ‘65 di Manggarai agak kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain di NTT. Bandingkan dengan buku Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966 yang membahas peristiwa ’65 di NTT.
[12] Beberapa contoh prosa fiksi yang berhasil menggunakan metafora secara baik, misalnya, Bumi Manusia karya Pramoedya melalui tokoh Nyai Ontosoro sebagai metafora Indonesia dan Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya.
[13] Bdk. Zen Hae, “Ihwal kegemaran dan siasat terhadap realisme” di beritagar.id. https://beritagar.id/artikel/telatah/ihwal-kegemaran-dan-siasat-terhadap-realisme


Baca juga:
Mendengarkan Bisikan Tanah Penari Karya Rissa Churria Lebih Saksama
Lima Fungsi Imaji Biblikal dalam Komuni Karya Saddam HP


61 thoughts on “Metafora Baru dalam Penggambaran Peristiwa 1965”

  1. Nova berkata:

    Cerita yang mudah dipahami dan alur yang menarik dan banyak hal hal positif yang terkandung

  2. Yeni berkata:

    untuk cerita diatas menggambarkan seorang perempuan yang bernama Lena harus menghadapi kepahitan dunia yang harus kehilangan orang-orang tercinta nya, kemudian dipertemukan kembali dengan tukang jual sapu. Cerita diatas menggambarkan juga bagaiamana Lena berusaha menjalani kehidupan di daerah NTT. Perpaduan cerita antara religius dan kepecayaan amsyarakat setempat digambarakan begitu nyata. Cerita nya sangat menarik membuat pembaca mengetahui kejadian yang terjadi di daerah tersebut.

  3. Kiki berkata:

    Kata2 dan alurnya mudah dimengerti, makna dari alur cerita juga bagus banget

  4. Diwa Lulu berkata:

    Karya yang memiliki alur yang sangat mendalam dalam setiap momen yang terjadi. Disisi lain cerita ini mengulang terjadi dalam kasus yang nyata di dunia ini

  5. untuk cerita yang di paparkan alurnya cukup mudah di mengerti dan dari kata’ yang di pakai sangat menarik. ada banyak arti yang di dapat dari cerita terse

  6. Nurul Patudin berkata:

    Alurnya mudah dipahami dan penulisan yang sangat baik juga membuat si pembaca tidak akan merasa bosan untuk mengartikan tiap kata dalam cerita tersebut.

  7. Orlando Silas Davincci Kambu berkata:

    penggunan bahasa yang sangat tepat yang membuat pembaca seolah-olah mersakan apa yang terjadi pada dunia nyata pada saat membaca cerita tersebut

  8. Itsmecin berkata:

    Buku ini bagus dan ceritanya sangat menarik serta membunyai arti yang sangat dalam mungkin orang orang di luar sana belum banyang mengerti tentang buku ini,buku ini merupakan karya yang memukau tentang penggunaan metafora baru dalam mengenalkanperistiwa bersejarah pada tahun 1965.Dengan penulis yang menambahkan analisa di dalam buku tersebut tentang bagaimana penggunaan metafora,ini tidak hanya memengaruhicara kita memahami peristiwa tersebut, tapi juga memperdalam pemahaman tentang politik dan narasi sejarah. Melalui pendekatan yang kritis dan terstruktur, buku ini memberikan kontribusi berharga dalam memahami dinamika budaya, kekuasaan, dan memori kolektif. Sebuah karya yang sangat disarankan bagi siapa pun yang tertarik dalam studi sejarah dan representasi visual.

  9. zidan berkata:

    bagus,mudah di fahami,ada banyak arti di dalam cerita terebut.

  10. Shofia berkata:

    Bagus mudah di pahami

  11. Shofia berkata:

    Sangat bagus

  12. Dalam cerita “Lapak di Atas Tulang Kekasih” yang digarap oleh Armin Bell, tema peristiwa 1965 di Ruteng-Flores diangkat dengan cara yang menarik dan menggugah. Bell menempatkan fokus pada kehidupan sehari-hari seorang perempuan bernama Lena yang berdagang di Pasar Puni, tempat dimana ayah, saudara laki-laki, dan kekasihnya dieksekusi pada peristiwa 1965 karena keterlibatan dengan organisasi PKI.

    Metafora yang digunakan dalam cerita ini menciptakan koneksi antara dunia referensial, yaitu peristiwa sejarah yang terjadi, dengan dunia tekstual, yaitu cerita yang diproduksi. Misalnya, Pasar Puni dijadikan sebagai metafora ruang negosiasi yang khas dan anonim, mirip dengan bagaimana diskursus ’65 di Manggarai dilakukan secara relatif tertutup.

    Dengan cara ini, Bell mencoba menghadirkan sudut pandang baru terhadap peristiwa ’65 di NTT yang belum banyak terungkap dalam sastra Indonesia. Meski begitu, ia juga menyoroti kompleksitas dalam bekerja dengan metafora dalam proses kreatif, terutama terkait dengan bagaimana menguji narasi utama Orde Baru tentang peristiwa ’65. Ini menunjukkan bahwa cerita ini tidak hanya menghadirkan cerita naratif, tetapi juga mengajak pembaca untuk memikirkan dan merenungkan makna yang lebih dalam dari peristiwa sejarah tersebut.

  13. Rasyid Nur Syaban Prayogi berkata:

    Ceritanya mudah dipahami dan alurnya sangat menarik

  14. afriana berkata:

    bahasa dan keseluruhan kata mudah dipahami, ceritanya menarik alurnya juga rapi dan ceritanya sangat bermakna dengan kesan yang baik bagi pembaca.

  15. queeny briggita watuna berkata:

    alurnya mudah dipahami ceritanya sangat menarik perhatian dengan makna yang sangat mendalam, mempunyai banyak makna dalam cerita tsb

  16. Johan berkata:

    Alurnya mudah dipahamii

  17. Johan berkata:

    Ceritanya sangat menarik dan alurnya mudah dipahami dan mudah dimengerti

  18. fikri berkata:

    bagus ceritanya, alur nya mudah di mengerti dan dari kata kata yang di gunakan juga menarik minat baca

  19. gina berkata:

    sangat bagus ceritanya dan banyak sekali kosakata yang sangat menarik dan banyak makna dari setiap kata”nya

  20. Zahran berkata:

    Ceeitanya sangat bagus Dan memuaskan, ceeitanya menarik Dan baik

  21. stevejohnsen berkata:

    kata dan bahasanya sangat bagus

  22. Yolanda berkata:

    Dalam cerita dan ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa kisah tahun 65 banyak menyimpan kisah divalik kisah yang sangat menyayat hati kita para pembaca yang tahu alkisah dibalik kisah yang sebenarnya, hal ini memberikan kesan tersendiri bagi pembacanya

  23. dea berkata:

    untuk cerita yang di paparkan alurnya cukup bagus dan mudah di mengerti. banyak kata’ yang menarik di dalam cerita tersebut dan banyak mengandung arti atau makna dari cerita tersebut.

  24. Putri berkata:

    Sangat bagus dan mudah di pahami oleh para pembaca dan terstruktur

  25. Dian berkata:

    menarik

  26. Annisa berkata:

    sangat bagus sekali karena setiap kata ada makna yang berbeda beda

  27. m4inah1997 berkata:

    Ini sangat menarik dan mempunyai makna yang indah aku suka ini

  28. Antie berkata:

    Buku ini menceritakan tentang sejarah peristiwa dunia.sebuah sejarah berharga
    Yg dapat di sarankan untuk siapa saja

  29. butterfly berkata:

    Metafora baru dalam penggambaran peristiwa 1965 dapat memberikan sudut pandang yang segar dan mendalam terhadap peristiwa tersebut. Misalnya, menggambarkan peristiwa tersebut sebagai “badai politik yang mengguncang bumi” dapat menyoroti intensitas dan dampak dramatis dari peristiwa tersebut. Metafora ini membantu mengilustrasikan kekuatan dan kekacauan yang terjadi pada saat itu, serta implikasi jangka panjangnya. Dengan menggunakan metafora baru, kita dapat melihat peristiwa sejarah dari perspektif yang lebih kaya dan nuansa.

  30. aay berkata:

    bahasa dan kata katanya sangat mudah di pahami oleh pembaca

  31. bahasa sangat di pahami,dan mudah di mengerti

    1. Alanoaxe berkata:

      kata dan bahasanya sangat mudah dimengerti mudah dipahami mudah dimaksud dan jelas

  32. salut dengan jam terbangnya yang sudah jauh,bisa menjadi inspirasi buat anak muda

  33. Anita Tri Apriliani berkata:

    secara keseluruhan bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca, ceritanya bagus alurnya lumayan seru

  34. Sekar Swadani berkata:

    Bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami dan nyaman dibaca.

  35. Anam berkata:

    Pengolahan kata yang mudah di pahami dan bahasa bagis

  36. mukhlis berkata:

    bahsanya mudah dimengerti ceritanya menarik

  37. Wira Sandi berkata:

    Cerita nya sangat menarik

  38. Muna berkata:

    Bahasanya dan kata katanya bagus untuk dibaca dan bisa menarik perhatian banyak orang untuk membaca ini

  39. Muna berkata:

    Bahasa

  40. hilmi berkata:

    Pembahasan nya menarik tidak membosankan

  41. melva berkata:

    secara keseluruhan bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca

    1. Wira Sandi berkata:

      Benar sekali

  42. S.Budiman berkata:

    Bahasa yang digunakan sering saya temukan pada beberapa buku karya penulis yang jam terbangnya tidak diragukan lagi. Saya suka walaupun ada beberapa kata yang kurang saya pahami. Semoga kemampuan menulis saya bisa meningkat seperti itu. Salam hormat dari Papua Barat ????

  43. kkayditha berkata:

    bahasa dan kata kata nya puitis banget, indah dan menyenangkan untuk dibaca

  44. senja berkata:

    ceritanya bagus alurnya juga lumayan seru namun,alangakah baiknya jika tulisanya di lebih di perhatikan lagi karena ada beberapa kata yg sulit di pahami

  45. Aprilia Dwi berkata:

    Penulisan rapi dan kata-kata yang digunakan mudah dipahami oleh para pembaca.

  46. Fakih Rhmt berkata:

    Kata kata ilmiah alangkah baiknya di jelaskan artinya agar pembaca lebih memahami apa yang ingin di sampaikan oleh penulis.

  47. Nurul Annisa Tanjung berkata:

    Saya berpendapat alangkah baiknya, tulisan atau isinya bisa lebih di mengerti lagi dari inti permasalahnnya

  48. Maria Fransisca berkata:

    Cerita, bahasa, dan kata-kata yang disampaikan dan digunakan dapat dipahami

  49. Lola berkata:

    Pemilihan bahasa dan cara penulisan sangatlah mudah dipahami. Pembaca pun tidak akan merasa cepat bosan

    1. Sekar berkata:

      Sangat bagus. Cerita, bahasa, dan kata katanya sangat mudah dipahami????

  50. Bagus ceritanya, sayangnya yang titik² itu tidak ada tulisannya

    1. Julia berkata:

      Buku ini merupakan karya yang memukau tentang penggunaan metafora baru dalam merepresentasikan peristiwa bersejarah tahun 1965. Dengan cermatnya, penulis menyajikan analisis yang mendalam tentang bagaimana penggunaan metafora ini tidak hanya memengaruhi cara kita memahami peristiwa tersebut, tetapi juga memperdalam pemahaman tentang politik dan narasi sejarah. Melalui pendekatan yang kritis dan terstruktur, buku ini memberikan kontribusi berharga dalam memahami dinamika budaya, kekuasaan, dan memori kolektif. Sebuah karya yang sangat disarankan bagi siapa pun yang tertarik dalam studi sejarah dan representasi visual.

      1. farida berkata:

        secara keseluruhan karya ini sangat bagus dan rapih dari mulai pembuka hingga penutup

  51. rossy ahsani berkata:

    bahasa dan kata-kata yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca.

    1. Fikar berkata:

      Mempunyai makna dan kisah nyata yang membuat orang lain menangis

      1. Sensen berkata:

        Bahasa serta kata2 yang digunakan mudah dimengerti serta langsung cepat dipahami ketika membaca. Bagus bangett pokonya.

        1. Putri berkata:

          Bahasa cerita nya mudah di mengerti saya suka kisah tersebut, berasa di kisah nyata. Dan ada banyak makna makna di dalam cerita tersebut

    2. widya berkata:

      ceritanya sangat menarik serta mempunyai makna yang sangat mendalam dari sisi ceritanya sendiri, penulisannya yang baik sehingga memberi kesan yang menarik bagi pembacanya

    3. dea berkata:

      untuk cerita yang di paparkan alurnya cukup mudah di mengerti dan dari kata’ yang di pakai sangat menarik. ada banyak arti yang di dapat dari cerita tersebut.

Komentar Anda?