Menu
Menu

Orang yang dibisikinya itu hanya mengangguk. Barnabas tetap tidak ingin bertemu pastor.


Oleh: Elvan de Porres |

Lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Menulis esai, cerpen, dan feature pada sejumlah media. Buku kumpulan esainya yang telah terbit berjudul Menggaris dari Pinggir (2017).


Pagi sebelum matahari naik, Barnabas kedatangan tamu. Ia tengah menjerang air dan istrinya menetek anak mereka ketika derap-derap kaki bergemerisik di belakang rumahnya. Hawa dingin menusuk kulit. Uap meruap dari tutupan panci rusak. Langkah kaki itu terhenti, dan seketika menjadi tuduhan:

“Barnabas, kemarin kau buat apa di kebun paroki?”

Barnabas yang tahu suara manusia itu segera membetulkan bara. Ia mendongakkan kepala. Lelaki gemuk—mengenakan celana tisu dan arloji perak—telah berdiri di hadapannya. Itu ketua lingkungan di paroki tersebut.

Istri Barnabas menyodorkan bangku dan buru-buru masuk ke bilik. Barnabas mengaduk kopi, lalu menemani orang terhormat itu di halaman belakang. Mereka duduk berhadapan seperti hendak main domino.

“Oom Konradus, ada perlu apa?” Tanya Barnabas usai mengedarkan kopi.

“Semalam romo beri tahu kalau ada babi yang telah masuk ke kebun paroki,” ketua lingkungan menyambar.

“Babi yang benar-benar babi atau babi siluman?”

Tamu itu terperanjat. “Babi siluman,” jawabnya. Bercak noda kopi yang baru disesap merambati kumis keritingnya.

***

Barnabas pergi ke paroki bersama dua temannya. Nadus, pengojek yang gemar sabung ayam, dan Tobias, mantan sopir tangki air sebuah koperasi. Mereka datang ke tempat tinggal Pastor Anselmo guna meminta barang sedikit makanan. Hawa Flores setahun belakangan membuat banyak tanah kering-kerontang. Wabah melata bagai ular pulau itu. Ketiganya menolak kiamat, karena itu mereka datang mengharapkan berkat.

“Tetapi, kami tidak butuh urapan tangan romo,” Barnabas angkat bicara usai dipersilahkan duduk oleh koster paroki. Koster itu berusia paruh baya dan sejak belia telah ikut pelayanan gereja. Kini ia tinggal di paroki untuk menemani pastor.

“Romo juga sedang keluar. Kalian perlu apa?” Koster bertanya.

“Berilah kami beras. Harga di kios mahal sekali,” jawab Barnabas.

Dua orang temannya hanya menahan suara. Baru kali ini keduanya kembali berkunjung ke paroki setelah sambut baru bermusim-musim jagung yang lampau. Ketika Barnabas menyampaikan alasan, keduanya merasa Yesus Kristus seakan menantang mereka dari kayu salib yang terpaku di tembok.

“Harus beri tahu dulu ke romo,” koster lanjut menanggapi Barnabas.

“Sedikit tidak apa-apa. Masing-masing kami satu mangkuk.”

Koster itu melihat ketiganya dari ujung kepala hingga kaki. Ia mulai merasa tidak nyaman. Kabar dari Alok, kota di pesisir tanah Flores, menyebutkan krisis sebentar lagi melanda pulau itu dan sebagian orang telah menjadi gila menyerupai anjing rabies. Ada penduduk yang berubah menjadi penyamun, menjarah toko-toko kota, dan perang saudara bakal berkobar karena isu politik. Ia mengingat pesan pastor supaya berjaga-jaga.

“Pulang saja,” kata koster itu.

“Romo tidak mungkin marah,” Barnabas menimpali.

“Kami di paroki juga tidak punya makanan. Jangan-jangan kalian mau mencuri?”

Mendengar kata-kata itu, Barnabas menggandeng lengan teman-temannya yang sejak tadi duduk seperti orang mati. Mereka melesat pergi ke luar gerbang paroki; melewati lintasan merah bata dengan rumput hijau pucat di sisi kiri dan kanannya. Baru setelah menapaki jalanan kerikil, napas kedua temannya terbetik rapi. Kening mengucurkan keringat.

Ahu gi’on,” Nadus membuang ludah ke tanah.

“Kau bawa kami pergi ke neraka,” Tobias menyambung.

Keduanya menyesal dan memprotes Barnabas. Sebelumnya mereka hendak menyiangi kebun nenek Dominggus yang mati bunuh diri karena harga kakao jatuh, tetapi lelaki itu malah mengajak mereka berbelok ke gereja.

“Arwah nene Domi penasaran. Jangan sampai kamu dua mimpi buruk!” Begitu Barnabas menghasut. “Bukankah kita sama-sama menderita, dan pergi ke rumah Tuhan adalah solusi yang mulia.”

“Makan sudah pemberian dari Tuhanmu itu.”

“Sudah benar selama ini saya tidak sembahyang.”

Mereka meninggalkan Barnabas. Hendak dihajarnya lelaki bertubuh batang angsono itu. Namun, keduanya merasa iba. Barnabas sudah kurus, miskin pula, dan ia masih punya anak-istri di rumah. Dulu istrinya itu melahirkan sendiri tanpa bidan, hanya dibantu seorang dukun yang kini telah bertobat dan menjadi bendahara KUB. Banyak orang mengasihani keluarga Barnabas meski ia tak terlalu peduli.

“Biar saya sendiri saja,” rutuknya. “Kamu dua macam banci saja.”

Itu adalah sore yang gersang ketika perkampungan mulai sunyi dan hampir tak seorang pun yang lalu lalang. Gerbang pastoran sudah tutup. Dan perkebunan kelapa menghampar jauh di belakang tempat kudus itu. Di samping dapur paroki terdapat sebuah kebun kecil yang menumbuhkan tanaman pangan. Kebun itu berbatasan langsung dengan hutan kemiri milik seorang bangsawan.

Namun, Barnabas tahu, pagar pembatas ke kebun paroki telah dirusak angin muher beberapa hari lalu. Semak yang menjeluak di sekitar hutan kemiri—sedikit lagi menggerogoti tanaman pangan—lantas berubah menjadi pagar. Hanya kaki-kaki yang telah terbiasa dengan kehidupan keraslah yang dapat menghalau semak itu. Asalkan tidak menyentuh buah kemiri karena telah dipasangi uru, siapa pun bisa masuk ke kebun paroki lewat hutan tersebut.

***

Ketua lingkungan membetulkan duduk, melihat-melihat arloji bak pejabat yang sibuk, lalu kembali meneguk kopi. “Kau tidak curi?” Tanyanya.

“Sembarang saja, Oom,” Barnabas menyergah.

“Pisang dua tandan hilang dan pokok merica luruh ke tanah.”

“Saya tidak tahu.”

“Romo bilang itu ulah kau.”

“Romo tahu dari siapa?” Barnabas balik bertanya.

Namun, sebelum ketua lingkungan membalas, terdengar suara tangis dari bilik bambu. Barnabas bergegas masuk ke dalam.

“Kau pikir saya tidak tahu ketua lingkungan omong apa,” berkata istrinya sembari mengolesi tubuh anak mereka dengan minyak kelapa. “Bikin malu saja!”

“Saya bikin apa?”

“Kau pergi curi di kebun paroki.”

“Tidak benar begitu,” Barnabas membuang muka.

“Tidak sudi saya makan barang haram.”

Barnabas menggendong anaknya; mengabaikan celetukan perempuan itu. Tangannya yang lusuh mengelus kepala bayi mungil yang perlahan-lahan diam. Seketika ia teringat peristiwa kelahiran anaknya. Ia tidak punya biaya pergi ke Posyandu, tetapi dukun Noang bisa membantu persalinan istrinya. Ia pun berjanji untuk merawat baik-baik anak itu.

“Saya memang ada di kebun paroki,” Barnabas kembali menemui ketua lingkungan. “Tetapi saya tidak ambil sedikit pun tanaman.”

“Kau datang langsung menghadap romo,” timpal ketua lingkungan.

“Saya tidak mau.”

“Kau hanya pergi ikut kompensa.”

“Tetap saja saya tidak mau.”

Ketua lingkungan duduk di rumah itu agak lama. Bagaimanapun ia harus pergi ke paroki bersama Barnabas. Sebab, itu akan membuat derajatnya naik di mata romo. Ia bakal menyelamatkan seorang berdosa, mengembalikan gembalaan tersesat ke rumah Tuhan, meski harus membuang rasa jijik ketika tahu bahwa babi yang dimaksud Pastor Anselmo adalah Barnabas.

“Saya temani kau. Kita bertemu romo sama-sama.”

“Romo tidak tahu. Oom lebih tidak tahu lagi.”

***

Ketika mendengar keributan kecil itu, para tetangga yang baru menyalakan api berbondong-bondong datang ke rumah Barnabas. Tetapi mereka terkejut mengetahui keberadaan ketua lingkungan.

“Oom Konradus, kenapa datang ke sini?” Seseorang mengajukan pertanyaan.

“Ketua lingkungan lagi mimpi baik ka?” Imbuh yang lain.

“Apakah Barnabas akan terima bantuan dari gereja?”

“Mampirlah juga ke pondok kami.”

Tamu itu diberondongi berbagai pertanyaan yang bikin kepalanya pengar. Sebenarnya ia tinggal memberikan jawaban dan beranjak pergi. Namun, ia merasa malu. Wibawanya telah rusak dikerumuni orang-orang miskin itu. Toh selama ini ia selalu menjaga nama baiknya. Tidak bertemu dan bicara ke sembarangan orang, kecuali kepada pastor, orang-orang pemerintah, dan pengurus paroki.

Tetapi tidak ada Pastor Anselmo di situ, dan pagi itu bukanlah kegiatan gereja atau negara. Dengan tergagap ketua lingkungan bangkit berdiri seraya berbisik parau ke telinga Barnabas. Orang yang dibisikinya itu hanya mengangguk. Barnabas tetap tidak ingin bertemu pastor.[*]

Keterangan:
1. Ahu gi’on: makian
2. KUB: Kelompok Umat Basis, gabungan/persekutuan doa terkecil dalam lingkup Gereja Katolik
3. Muher: puting beliung
4. Uru: tanda larangan mengambil hasil tanaman
5. Kompensa: compensação (Portugis), kompensasi, pengampunan dosa


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Suatu Hari Selepas Hari Itu
Meg dan Pria-Pria Brengsek


1 thought on “Barnabas Tidak Ingin Bertemu Pastor”

  1. Rasyid Nur Syaban Prayogi berkata:

    Sungguh menarik ceritanya

Komentar Anda?