Menu
Menu

Flores Writers Festival 3 akan dilaksanakan di Maumere pada tanggal 8 sampai 10 November 2023. Pada gelarannya yang ketiga ini, festival yang digagas oleh Klub Buku Petra ini mengambil tema Sadang Bui.


Oleh: Tim Kurator Flores Writers Festival 3 |

Tim kurator Flores Writers Festival 3 adalah AN Wibisana, Erlyn Lasar, dan Valentino Luis. Profil mereka dapat dilihat di tautan ini.


Flores Writers Festival

Flores Writers Festival digagas sebagai perayaan untuk merangsang gairah, pertumbuhan, dan perkembangan aktivitas-aktivitas kesusastraan (literasi), kesenian serta kebudayaan di Flores. Flores Writers Festival mempertemukan para penulis, pembaca, penerbit, kritikus, peneliti, aktivis literasi, komunitas, seniman, dan media dari berbagai latar belakang sosial, politik, dan budaya. Pertemuan ini diupayakan sebagai ruang berdialog, berbagi, dan berefleksi untuk meningkatkan kecintaan serta kreativitas dalam kerja-kerja kesusastraan dan kebudayaan, terutama membaca, menulis, berdiskusi, menerbitkan karya-karya dan penciptaan kesenian serta membuka kemungkinan kerja-kerja lintas ilmu dan praktik kesenian dari para partisipan yang terlibat.

Kerangka tematik dan program festival ini berpijak pada upaya menggali, belajar, dan melestarikan nilai-nilai, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang berasal dari kekayaan tradisi, praktik, produk-produk kebudayaan serta sejarah daerah-daerah di Flores yang diharapkan akan menawarkan nilai dan pengetahuan lokal pada perbincangan yang lebih global, dalam tataran estetis-kultural maupun sosial-politis dan ekonomi.

Festival ini juga diproyeksikan untuk menginisiasi terbangunnya ekosistem literasi di daerah- daerah di Flores, memicu keterlibatan pemerintah, NGO, masyarakat, serta institusi sosial politik dan ekonomi lainnya dalam upaya pemajuan literasi dan kebudayaan.

Flores Writers Festival diprakarsai oleh Yayasan Klub Buku Petra Ruteng. Pada tahun ketiga ini, bekerja sama dengan Komunitas KAHE Maumere dan didukung Program Bantuan Pemerintah dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia akan berlangsung di Maumere pada tanggal 8 – 10 November 2023.

Kuratorial Flores Writers Festival 2023

Sadang Bui

Sadang Bui (bahasa Krowe) secara harfiah berarti ‘bersandar’ dan ‘menanti’. Nama ini merujuk pada sebuah pelabuhan di pesisir utara kota Maumere, tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai daerah yang datang ke regang Alok Wolokoli (sebutan untuk pasar yang mencakup wilayah kota Maumere saat ini). Sadang Bui menjadi pintu masuk dan gerbang interaksi orang Maumere pada masa lalu dengan ragam manusia, budaya, gagasan, sistem nilai, dan rasa-merasa. Sadang Bui mengawali banyak sekali perjumpaan.

Dalam perjalanan waktu, Sadang Bui juga menjadi tempat orang-orang Maumere memulai mimpinya. Meninggalkan kampung halaman, mengawali pengembaraan untuk mencari hidup (melarat) dengan aneka motif: sekolah, bekerja, atau sekedar bertualang. Dengan demikian, Sadang Bui juga adalah tempat berpisah. Tempat menanti dengan renjana anggota keluarga yang lain pulang, membawa sejuta harap dan angan.

Sadang Bui, nama yang romantis, yang ditemukan dan dirawat warga lewat berbagai syair dan lagu ini kemudian diubah menjadi Pelabuhan Lorens Say, yang diresmikan pada 9 Agustus 2010 oleh menteri perhubungan saat itu, Freddy Numberi. Penggantian nama ini sempat diprotes keras oleh warga karena ia menghapus memori kolektif dan identitas yang sudah telanjur melekat pada ruang sosial-budaya itu. Meski protes tak usai, pembangunan tetap tak bisa dihentikan. Sadang Bui yang sudah diganti penandanya menjadi Lorens Say kini adalah sebuah pelabuhan komersil yang ditata dan diproyeksikan terutama untuk kepentingan pasar. Ia adalah situs modern baru dengan logika yang sama sekali berbeda dengan bagaimana ia dinamai sebelumnya.

Flores Writers Festival 2023 memaknai Sadang Bui sebagai memori sekaligus metafora untuk memasuki beberapa hal yang hari-hari ini rasanya penting untuk dibahas:

1)

Sejarah kosmopolitanisme yang sudah lama berlangsung di Flores, yang di dalamnya memandang pertemuan berbagai konteks (manusia, budaya, gagasan, sistem nilai dan rasa merasa) sebagai sesuatu yang niscaya. Kesadaran atas sejarah yang demikian sudah seharusnya ditempatkan sebagai etos untuk menghidupi dan merayakan keberagaman, melampaui sekat-sekat identitas yang akhir-akhir ini menguat serta menjadi sangat sensitif karena dipakai sebagai alat politik golongan tertentu.

2)

Kenyataan keterhubungan antar lokalitas yang bisa menjadi basis refleksi bagi perkembangan dan pertumbuhan satu sama lain. Kenyataan keterhubungan ini bisa diupayakan sebagai jalan bagi konteks lokal di Flores untuk menawarkan pandangan dan gagasannya sehingga bisa dibicarakan secara translokalitas, di berbagai konteks yang lebih global dan beragam. Modal ini juga membuka peluang untuk membangun gerakan solidaritas yang lebih besar dan kuat dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan lainnya.

3)

Isu-isu relevan seperti perdagangan manusia, investasi kapitalisme yang tidak berpijak pada komunitas lokal, developmentalisme yang abai terhadap kerusakan lingkungan adalah bentuk- bentuk kolonialisme baru yang menghancurkan relasi kosmopolitanisme organik pra-penjajahan Eropa, yang belakangan dialami sebagai kenyataan Flores hari ini. Isu-isu di atas bisa jadi dapat direspons dan dibicarakan dengan pendekatan seni dan budaya yang idealnya dapat lebih cair dan berpotensi memasuki ruang-ruang percakapan yang plural dan inklusif. [*]


Ikuti kami di media sosial: Facebook, Twitter, dan Instagram.


Komentar Anda?