Menu
Menu

Perang tidak peduli kenangan atau taman mana/ yang tidak boleh dibakar.


Oleh: Andi Batara Al Isra |

Menyelesaikan master antropologi di University of Auckland, Selandia Baru, kini aktif sebagai dosen di Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin dan sebagai peneliti di Antropos Indonesia. Buku solo pertamanya adalah kumpulan puisi Di Seberang Gelombang (2019). Buku lainnya, Rumata’: Dua Belas Tahun Membangun Kebudayaan, yang ditulis bersama peneliti dari Antropos. 


Tezcatlipoca

Seekor elang terbang
ke selatan danau, waktu
bedil melubang kapur
di tanjung tenggara.
Tak ada lagi bayang
pada buram obsidian.
Malam mengambilnya,
sebagai seserahan
di antara dua ilalang.

Ketika kapal-kapal tiba
asap membumbung
dari Tenochtitlan.

Sehabis itu letupan.

Sehabis itu darah
dari cermin obsidian
yang retak.

Dan wajah kita telah di sana.

.

Zulkifli

Namamu terus berubah
dari mulut-mulut di sepanjang jalur sutera.

Seperti banyak janji yang patah,
uap yang gagal jadi hujan tetap tabah
menanti saat yang tepat tumpahkan kesedihan.

Sebab tenang adalah menang,
kau dikenang akan kesanggupan puasa:
melawan setan yang gagal
bangkitkan berang seorang raja.

Orang-orang yang datang belakangan
bertanya-tanya tentang langkah-langkah raja
Kapilawastu yang mekarkan teratai di bawah
pohon suci ara. Kaukah dia
yang telah mencapai pencerahan?

Namun yang lainnya menganggap
kaulah Yehezkiel dalam pengasingan
Yahudi ke Babilonia. Kau tak pandai menyimpan
kisahmu serupa hujan yang jatuh di gersang
gurun. Masih tenangkah kau dilumat masa?
Masih menangkah kau dalam zaman?

.

Outahutahi

___ —2019

Apa yang ia khawatirkan
dari dinding masjid
yang tak pernah lantang
memanggil Tuhan ke langit?

Siang yang sunyi
pecah oleh deru artileri.
Padahal orang telah lupa
suara letupan setelah perang
berakhir dan kapal-kapal api
membawa pasukan ANZAC kembali.

Siang itu, darah tidak semerah
yang ia lihat di film dan gim daring.
Mereka yang mati
tidak takut sama sekali.

Lantas ia lesapkan diri
dari tubuh ruang-waktu
yang bahkan tak menyisakan
nama dan ingatannya sendiri.

.

Malioboro

Tak kutemukan lagi cerita-cerita terpatri
pada bata-bata jalan ini.
Hilang oleh ananta tapak-tapak
sejak pagi kembali pagi.

Sewaktu ia masih segaris ingatan pada gunung,
istana dan pantai, ia mekar sebagai karangan
bunga di taman kenangan tempat Marlborough
menatap lindap petang.

Ketika para sultan berganti nama,
orang-orang mulai riuh dengan iklan dan pasar.
Marlboro ditatap di ujung jalan
sebagai lelaki jantan kebarat-baratan.
Padahal, entah ia budak dagang Inggris,
Amerika, Belanda, atau Tionghoa.

Setelah puluhan musim gugurkan bunga-bunga
di awal Maret, jalan ini penuh darah dan air mata.
Perang tidak peduli kenangan atau taman mana
yang tidak boleh dibakar. Di hadapan sejarah,
lenganglah jalan ini selama enam jam.

Lalu, cerita itu lenyap pada bata-bata jalan
oleh segala lindas roda dan tapak-tapak kita.

.

Antiokhia

___ —1098

Pertemuan di taman surga
sebuah jemaat beringas
tanpa belas kasihan.

Langit penuh gagak
kematian serupa nyaring genta
ke seluruh Antiokhia.

_____ – Ah, lama sekali
_____ suara itu tak bergema.

Jalanan adalah medan perang
dengan kuda dan tentara
tanpa kepala.

Di tanah tertumpah darah
mata air mata
tanpa rasa bersalah.

_____ – Deus vult!


Ilustrasi: Foto Kaka Ited, diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Ilham Rabbani – Membaca Perbatasan
Puisi-Puisi Okta Saputra – Tes Wawasan Kebangsaan
Puisi-Puisi Ama Gaspar – Berita Bahagia yang Tak Pernah Lengkap


1 thought on “Puisi-Puisi Andi Batara Al Isra – Suara Letupan Setelah Perang”

  1. lyra ava berkata:

    diksi bagus sekali:)

Komentar Anda?