Menu
Menu

Kalau yang sesungguhnya hendak dijual adalah kecantikan lanskap Labuan Bajo, adilkah menulis dengan keliru budaya perkawinan di Manggarai untuk sebuah film berjudul Nona Manis Sayange?


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng, bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino. Pemimpin Redaksi Bacapetra.co, peserta aktif di program Bincang Buku Petra. Blog pribadi: Ranalino.co.


‘Siapa berhak menulis apa?’ barangkali akan terus menjadi bahan diskusi. Tetapi sebelum sampai ke sana, baik juga kalau kita singgah sebentar di soal lain: Apakah kesadaran bercerita/menceritakan kebutuhan sudah benar-benar merata sekarang ini? Atau, lebih jauh lagi: Apakah semua orang tahu dan sadar tentang apa yang benar-benar dia butuhkan?

Dalam beberapa situasi kita biasa melihat, orang tidak tahu apa kebutuhannya, apa yang harus dia ceritakan, apa yang ingin dia peroleh. Ada tiga alasan.

Pertama, dia/mereka telah sekian lama hidup dalam dikte (pemerintah, lembaga swadaya, komunitas—yang kadang bekerja berdasar asumsi).

Kedua, dia/mereka membutuhkan semuanya. Segalanya. Bukan. Hanya hak-hak dasar yang tidak pernah terpenuhi. Hmmm… Hanya? Pokoknya begitu. Oleh karena membutuhkan semuanya itu, seseorang kadang tidak tahu harus mulai dari mana meminta: jalan kah, listrik kah, air minum bersih kah, pendidikan yang layak kah, partisipasi dalam politik kah, pungutan-pungutan agama kah, atau apa?

Ketiga, dia/mereka dilarang menyampaikan kebutuhan; kau diam di situ, nanti kami kasi apa yang kau butuhkan karena hanya kami tau. Bangsa ini pernah ada di masa-masa demikian, sampai akhirnya alam bawah sadar dia/mereka kemudian teryakinkan bahwa yang disampaikan orang-orang di luarnya adalah hal yang sungguh-sungguh yang dibutuhkan.

Tentang yang ketiga itu kita bisa mengambil contoh pada keseragaman pola makan di Indonesia. Ketergantungan pada beras/nasi. Fadly Rahman, sejarawan makanan pernah mengurai masalah ini. Menurutnya, nasi yang banyak dikaitkan dengan kebijakan politik orde baru soal swasembada beras sesungguhnya mengadopsi pola kekuasaan Kerajaan Mataram. Pada masa itu kewibawaan penguasa atau raja ditentukan dalam keberhasilan memakmurkan pangan rakyat yaitu beras. Ideal kemakmuran seperti itu terus menerus disuntikkan sampai akhirnya sagu-ubi-jagung-dan lain-lain hilang dari percakapan tentang kebutuhan pokok. Kita baru boleh bilang ‘sa su selesai makan’ kalau sudah makan nasi.

Barangkali kita pernah ada di situasi kita dimarahi karena kita tidak mau makan (nasi) dengan alasan ‘sa su kenyang makan bakso’. “Tapi kau belum makan nasi!” Mama bilang begitu. Seketika kita setuju; hak kita untuk menyampaikan apa yang mau dan apa yang tidak mau kita makan serentak dihapus dalam situasi relasi kuasa orang tua anak—lalu tiba-tiba merasa Mama yang paling benar. Relasi serupa berlanjut ke level yang lain, ke konteks yang lebih luas: pusat-pinggir, nasional-lokal, penulis ternama-penulis tidak ternama, penerbit besar-penerbit kecil, peneliti-sasaran, dan lain-lain. Pada bagian berikutnya, pihak-pihak yang lebih besar kuasanya lantas mengumumkan kepada dunia tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh pihak yang lain, bisa jadi berdasarkan kesimpulan sepihak, sesuatu yang disadari atau tidak merampas hak bercerita (menyampaikan kebutuhan) pihak yang lain/yang diwakilkan.

Dalam fiksi, kita berjumpa hal-hal serupa. Bahkan dengan intensi yang baik semisal menjadi voice of the voiceless, niat mulia itu tidak benar-benar mampu melepas dirinya dari persoalan-persoalan: potret dari jarak yang terlampau jauh, sudut pandang yang tidak adil, objektifikasi, eksploitasi, sampai pada apropriasi. Di Ruteng, di Klub Buku Petra, dalam program Bincang Buku Petra, kami membaca beberapa novel yang mengambil latar Indonesia bagian timur. Papua, Maluku, Flores, Sumba yang ditulis oleh penulis/pengarang yang berasal bukan dari daerah-daerah itu (orang luar). Beberapa soal di atas kami temukan.

Tentu saja para penulis/pengarang melakukannya atas intensi baik. Tetapi apakah ketika mengerjakannya mereka benar-benar menggunakan sudut pandang yang adil adalah soal yang lain. Paling sering ditemukan adalah pada situasi: Yang baik dalam dunia ideal penulis/pengarang ‘dipaksakan’ sebagai yang baik juga menurut karakter-karakter yang mereka ciptakan padahal karakter itu berasal dari tempat berbeda yang memiliki modelnya sendiri. Akibatnya, hal-hal yang sesungguhnya baik-baik saja atau biasa-biasa saja di lingkungan karakter rekaan itu kemudian dinarasikan sebagai sesuatu yang tidak baik/buruk. Apakah itu salah? Percakapan tentangnya bisa sangat panjang. Apakah itu adil? Tidak!

Tentang Belis di Manggarai

Dalam film, kami di Manggarai sedang mengalami situasi betapa sedihnya dipotret dari jauh.

DMILASTY Pictures dan Putaar Film memproduksi film berjudul “Nona Manis Sayange”. Ngadiman, Produser Eksekutif Putaar Film menjelaskan, film yang mengangkat adat belis di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur ini adalah upaya mengedukasi masyarakat terkait adat belis dalam tradisi perkawinan serta membangun pariwisata di daerah Labuan Bajo, dengan harapan mampu memberikan pengetahuan yang benar kepada masyarakat. Niat yang sungguh baik, tetapi …

Begini!

Belis adalah pemberian mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Belis di Manggarai selalu jadi bahan diskusi menarik nan panjang sebab pembacaan terhadapnya masuk ke wilayah ekonomi nan pragmatis. Jual beli. Umumnya, ‘orang luar’ membacanya demikian. Hei! Tidak begitu, Om! Di Manggarai, tentu saja wilayah ekonomi juga ada dalam percakapan tentang belis. Soal resepsi pernikahan dan hal-hal di dalamnya; band, dekorasi, makanan, sewa terop, dan lain-lain. Tetapi sama sekali tidak dimaksudkan sebagai jual beli. Biaya resepsi semakin hari semakin mahal. Bukankah begitu? Itu satu. Yang lain?

Di sana, dalam adat perkawinan di Manggarai, ada wilayah lain yang barangkali abstrak tetapi betul diyakini: Belis adalah penghargaan yang tinggi terhadap perempuan—yang akan meninggalkan rumah asal tempat dia menjadi seorang putri ke rumah lain yang tidak dia ketahui seperti apa wajahnya. Dan, belis adalah sesuatu yang tidak boleh dibayar lunas. Dia waè tèku tèdèng, mata air sepanjang hayat dikandung badan. Perempuan akan bergabung dengan keluarga suaminya dan menjadi bagian penuh di sana sebagai anak wina. Anak wina memiliki kewajiban-kewajiban dalam urusan adat mendukung anak rona (keluarga asalnya) melalui mata adat bernama sida; saudaranya menikah dan dia berkewajiban menyumbang sejumlah uang dan hewan. Dari mana sumbernya? Dari belis yang tidak dibayar lunas tadi. Itu akan berlangsung sepanjang hayat bahkan sampai pada garis keturunan selanjutnya. Untuk apa? Agar silaturahmi tidak terputus. Keluarga suaminya juga punya saudari. Situasi tadi berputar. Ai ite ho’o anak rona racap cupu’n, anak wina racap cupu’n, dalam relasi perkawinan (juga akan dibawa sampai pada upacara-upacara adat kematian) orang Manggarai kita akan ada di sisi sebagai anak rona dan sebagai anak wina, tergantung pada situasi/relasi keluarga.

Tidak ada jual beli, tidak ada perayaan berlebih atas tingginya harga belis (sebab toh tidak boleh dibayar lunas), dan tidakkah kalian tahu bahwa suara perempuan di Manggarai adalah keputusan bahkan meski mereka tidak ada di meja-meja rapat keluarga sebab sedang sibuk mengurus hal-hal penting di dapur? Banyak perempuan Manggarai yang barangkali tampak sebagai orang-orang domestik tetapi dari ruang domestik itulah mereka mengubah dunia; datanglah ke Manggarai dan dengarlah dengan jujur.

Lalu, apakah hal-hal tadi tampak dalam “Nona Manis Sayange”? Ini adalah upaya mengedukasi masyarakat terkait ada Belis dalam tradisi perkawinan serta membangun pariwisata di daerah Labuan Bajo dengan harapan mampu memberikan pengetahuan yang benar kepada masyarakat, kata Ngadiman. Hmmm… edukasi masyarakat, harapan, pengetahuan yang benar, Ngadiman yang juga adalah Ketua DPP Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas), pariwisata, bagaimana eksekusinya?

Lihat adegan ini. Mathias Muchus yang berperan sebagai Ayah Sika (tokoh utama perempuan dalam fim itu) bilang begini: Harga belis untuk Sika nanti adalah harga belis yang termahal di Labuan Bajo. Itu diumumkan di depan umum kepada para kerabatnya dengan bangga, disambut dengan tepuk tangan meriah, sesuatu yang membuatmu merasa betapa buruknya Ayah-Ayah di Manggarai sebab melakukan selebrasi atas mahalnya belis anak perempuan mereka. Duh! Ayah Manggarai mana yang melakukan itu selain yang ada dalam pikiran orang-orang yang menonton kami dari jauh? Adegan itu, saudara-saudariku, ada di film yang didistribusi masif; edukasi apa yang hendak disebarluaskan?

Itu hanya satu dari sekian soal yang diproduksi ‘orang luar’ Manggarai itu. Soal lain adalah pemahaman yang minim tentang bagaimana kami berdialog. Dialek tokoh-tokoh dalam “Nona Manis Sayange” bukanlah dialek orang Manggarai tetapi dialek Papua campur Ambon campur beberapa lagi dari daerah timur Indonesia. Ini menyedihkan mengingat para kreatornya menjelaskan bahwa pra-produksi film ini berjalan selama lebih dari setahun. “Total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan film ini satu tahun dua bulan, dari ide menulis riset sampai post-editing. Syutingnya total 23 hari produksi,” kata Hestu Saputra, sang sutradara. Akram dan Sika, dua tokoh utama film itu juga bukan nama yang akrab di Manggarai. Sikka adalah nama salah satu kabupaten di Pulau Flores, 500-an kilometer jauhnya dari Labuan Bajo. Kabupaten Sikka. Ibukotanya Maumere. Kebudayaannya berbeda meski kami berada di pulau yang sama. Cara bicaranya pun berbeda.

Sebagai orang Manggarai tentu saja saya tergoda untuk bertanya, “Di rentang waktu riset selama itu, kamu bikin apa saja?” Maksud saya, kalau yang hendak dijual sesungguhnya adalah kecantikan lanskap Labuan Bajo (sebab Ngadiman orang pariwisata), adilkah menjual dengan keliru budaya perkawinan kami orang Manggarai? Tentu saja film itu, seperti juga cerita pada umumnya, mengandung hal-hal yang baik. Tetapi tetap saja dia tidak mampu melepas dirinya dari kekeliruan besar yang dilakukan oleh ‘orang luar’: menulis dari jarak yang jauh dan seperti melupakan rasa hormat pada subyek yang mereka tulis.

Orang Luar atau Orang Dalam, Kita Sama!

Tentu saja tidak semua hal yang ditulis ‘orang luar’ selalu salah atau keliru besar. Toh ‘orang dalam’ juga tidak terbebas dari soal-soal tadi. Kami membaca novel-novel karya ‘orang dalam’ yang, sadar maupun tidak sadar, jatuh pada situasi yang tidak jauh berbeda. Kecenderungan mengatakan terlampau banyak hal tentang ‘situasi di dalam’ (umumnya dilandasi kemarahan) membuat semesta ciptaan itu malah terjebak pada soal eksploitasi. Eksplotiasi eksotisme. Pernah dengar frasa itu? Beberapa novel yang kita baca, tanpa sengaja menampilkannya.

Felix K. Nesi menulis di Bacapetra.co: Mempersenjatai Orang Lokal: Siapa Berhak Menulis Apa? Felix mengangkat kasus Trish Lorenz, seorang jurnalis dan penulis asal Berlin yang, mendapatkan penghargaan Nine Dots Prize 2022 setelah menulis tentang perlawanan anak-anak muda Nigeria di tahun 2020 melawan SARS—sebuah unit polisi Nigeria yang gemar melakukan kekerasan. Judul bukunya Soro Soke: The Young Disruptors of an African Megacity. Setelah buku itu diumumkan sebagai pemenang Nine Dots Prize, protes bermunculan, menyebut buku ini sebagai hasil dari “pencurian kekayaan intelektual tanpa penghormatan terhadap bangsa Nigeria.” Felix menghubungkan kemarahan itu dengan kondisi bahwa mereka baru terlepas dari penjajahan ratusan tahun, mereka ada di fase: kebutuhan mempertahankan apa yang mereka punya, termasuk cerita, luka, trauma. Itu tidak boleh lagi dirampas dari mereka. Trish Lorenz, ketika meraih penghargaan itu, mereka anggap sebagai orang yang mendapatkan untung dari trauma mereka.

Tetapi bisa saja selain ‘untung atas trauma’ itu, ada hal ini: apakah Trish Lorenz telah menulis dengan benar-benar benar?

Trish Lorenz bisa saja adalah kita semua, dan entah karena alasan ingin menjadi voice of the voiceless atau karena keberpihakan yang terlalu kuat, tanpa sadar malah terjun bebas ke objektifikasi; memperlakukan seseorang layaknya barang tanpa mempertimbangkan martabat mereka. Umumnya terjadi karena kita sudah berpihak sebelumnya atas dasar asumsi nan sumir.

Keberpihakan tentu saja baik terutama dalam situasi bahwa ada korban, tetapi lebih baik lagi jika sebelum dituliskan, benar-benar digumuli agar tidak menjadi potret yang jauh tetapi sungguh-sungguh cerita dari dalam (atau minimal terbaca demikian).

Leraian untuk soal-soal ini saya kira adalah mendengar dengan jujur, lalu menulis dengan hormat agar kita tahu batas: kita tulis tentang atau atas nama atau untuk yang liyan? Perlakuan terhadapnya akan berbeda-beda. Leraian ini barangkali masih abstrak. Tetapi Felix bilang, (jika menulis tentang yang liyan) kamu akan bekerja dua kali lipat daripada orang-orang yang memahami tema itu. …. Dan jika kamu memenangkan perang (seperti Trish Lorenz yang meraih penghargaan), bukan mereka yang naik pangkat. Sekarang bayangkan jika kalian tidak jujur ketika mendengar dan karenanya kehilangan rasa hormat ketika menulis lalu menjadi terkenal karenanya, apa bedanya dengan penguasa yang kaukritik melalui tulisan-tulisanmu? Atau barangkali memang begitu. Agar saya menang, beberapa orang harus kalah dan hilang dari cerita. Oh … [*]


Tulisan ini dikembangkan dari materi diskusi ”Menulis ’Yang Lain’: Fiksi di Antara Kebebasan Kreatif dan Apropriasi Budaya” di Flores Writers Festival 2023 di Maumere, 8 November 2023.

Ilustrasi: Foto Kaka Ited, dari sini.

Baca juga:
Mengapa Orang-Orang Hilang dari Sebuah Cerita?
Orang dengan Gangguan Jiwa dalam Cerita-Cerita Pendek


1 thought on “Mendengar dengan Jujur, Menulis dengan Hormat”

  1. Mey oktaviany berkata:

    Sangat mewakili orang Manggarai, ini menjadi pembelajaran sih, agar kiranya ketika kita membuat suatu karya perlu lakukan riset terdahulu apa lagi yang berkaitan dengan budaya, tujuanya untuk apa? Yaaaa untuk mencerminkan budaya itu sendiri, bawah apa yang kita buat dalam karya bukan semerta-merta hanya hasil karya saja namun harus memiliki nilai makna di dalamnya.

Komentar Anda?